Urgensi Ijtihad Menuju Pembaharuan Hukum Islam
Ijtihad
merupakan institusi pengembangan hukum Islam, ia tidak hanya memberikan
sumbangasih hukum baru, tetapi berfungsi untuk mengkoreksi perkambangan
hukum Islam yang berlaku. Al Ghozali berkata,
“Ijtihad
adalah tiang yang agung dalam syari’at Islam, setiap periode mulai
periode sahabat tabiin dan seterusnya selalu mengembangkannya hingga
kita ini.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa setiap periode terdapat seorang pembaharu dalam hukum Islam, sabdanya:
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode (100 tahun) seorang akan meperbaharui agamanya.”
Hadist itu menunjukkan bahwa institusi ijtihad merupkan upaya untuk memperbaharui pemahaman terhadap hukum Islam.
Walaupun demikian para ulama berbeda pendapat apakah setiap ijtihad merupakan suatu pembaharuan atau tidak.
Bagi
Abu Bakar Al-Baqilani barpendapat bahwa setiap berijtihad harus
diorientasikan pada pembaharuan atau memperbaharui ijtihad yang lama.
Setiap perbedaan pendapat di setiap zaman merupakan bukti bahwa ijtihad
itu merujuk pada pembaharuan, hal itu dikarenakan disetiap tradisi
masyarakat selalu berubah, atau juga perubahan kemaslahatan serta
perkembangan manusia. Apa yang terjadi pada periode kini tidak mungkin
ditemukan pada periode yang lalu. Bahkan Syeh Abdus Syakur dalam
“Muslimus Tsubut” menyatakan bahwa ijtihad itu selalu mengarah pada
perubahan dan setiap perubahan mengarah pada pembaharuan untuk
menampakkan kebenaran.
Ijtihad mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1. Fungsi Al-I’adah (Ar-Ruju’), yaitu kembali pada hukum yang murni tanpa mengikutkan campur tangan rasio.
2. Fungsi Al-Ihya’, yaitu menghidupkan pemahaman hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi Al-Inabah, yaitu pembenahan hukum Islam yang telah dipahami tidak sebagaimana mestinya.[1]
Karena
itu, urgensi ijtihad tidak hanya mempengaruhi hukum Islam yang lebih
baru tetapi yang lebih esensi adalah mengembalikan bentuk pemahaman yang
murni, membenahi dan mengembangkannya.[2]
2. Sumber atau Dalil Hukum Islam
Kata-kata
sumber hanya mungkin digunakan untuk al-Quran dan sunnah, karena memang
dari keduanya dapat ditimba hukum-hukum syara’ tetapi tidak mungkin
kata ini digunakan untuk ijma’, qiyas dan yang lainnya karena semuanya
bukanlah wadah yang dapat ditimba. Semuanya adalah cara dalam menemukan
hukum. Kata dalil di samping dapat digunakan al-Quran dan sunnah, juga
berlaku untuk ijma’, qiyas dan lainnnya, karena semuanya itu menuntun
kepada penemuan hukum Allah. Karena pembahasan di sini akan menjangkau
pula kepada ra’yu atau ijtihad maka bahasa atau kata yang paling dapat
digunakan di sini adalah dalil-dalil hukum Islam.[3] Manurut Aswadi Syukur, sumber atau dalil hukum Islam itu ada dua macam:
1. Sumber formil (asli) ialah yang berasal dari wahyu (syari’at), baik itu berasal dari nash al-Quran maupun sunnah.
2. Sumber asesoir (tambahan) ialah yang berasal dari ijtihad para fuqaha seperti ijma’, qiyas dan lainnya.[4]
Selain
tersebut di atas ada lagi kategorisasi yang lain, dalil syara’ dapat
dikelompokkan pada dua kelompok. Pertama, dalil-dalil syara’ yang
disepakati yaitu, Quran sunnah, ijma’ dan qiyas dan kedua dalil-dalil
syara’ yang tidak disepakati yaitu istihsan, maslahah mursalah,
istishhab, urf, mazhab shahabi dan syara’ dari agama sebelum Islam.[5]
a. Al-Quran
Al-Quran
adalah merupakan wahyu Allah yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW, dalam bahasa Arab, dan dengan makna yang benar, agar
menjadi hujjah bagi Rasulullah saw dalam pengakuannya sebagai
Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat
manusia dan mendapat pahala membacanya.[6].
Ayat-ayat
al-Quran yang berbicara dan membicarakan hukum, kebanyakan besifat umum
tidak membicarakan soal-soal yang kecil. Meskipun dengan serba singkat,
al-Quran sudah melingkupi semua persoalan yang bertalian dengan dunia
dan akhirat. Jadi, dengan demikian al-Quran merupakan sumber utama,
pertama dan sumber pokok bagi hukum Islam. Di samping itu al-Quran
berfungsi juga sebagai dalil pokok hukum Islam. Dari ayat-ayat al-Quran
ditimba norma-norma hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan
al-Quran kita mendapat petunjuk dan bimbingan dalam memutuskan
problematika hidup dan kehidupan.[7]
b. Sunnah
Sunnah
menurut bahasa ialah “jalan yang terpuji” dan menurut ulama ushul ialah
segala yang diberitakan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan atau pengakuan (taqrir).[8]
Sedangkan sunnah menurut istilah ulama fiqhh adalah sifat hukum bagi
perbuatan yang dituntut memperbuatnya dalam bentuk tuntutan yang tidak
pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang meninggalkannnya.
Perbedaan
ahli ushul dan ahli fiqh dalam pemberian istilah pada sunnah
sebagaimana disebutkan di atas karena berbeda dalam segi peninjauan.
Ulama ushul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil
hukum syar’i. unt maksuk itu ia mengatakan: “Hukum ini ditetapkan dengan
sunnah”. Sedangkan ahli fiqh menempatkannya sebagai salah satu hukum
syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap suatu perbuatan. Untuk
maksud itu ia berkata: “Perbuatan ini hukumnya adalah sunnah”. Dalam
pengertian ini sunnah adalah hukum dan bukan dalil hukum.[9]
Sunnah menurut pengertian ahli ushul seperti disebutkan di atas, dan segi materinya terbagi kepada tiga macam:
a.
Sunnah Qauliyah yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain. Umpamanya sahabat berkata: Nabi
Muhammad saw, bersabda: “Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau
karena lupa hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat”.
b. Sunnah
Fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dilihat
atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain
dengan ucapannya. Umpamanya sahabat berkata: “Saya melihat Nabi Muhammad
saw, melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat dhuhur ”.
c. Sunnah
Taqririyah yaitu perbuatan seorang sahabat yang dilakukan di hadapan
atau sepengetahuan Nabi, tetapi ditanggapi atau dicegah oleh Nabi.
Diamnya Nabi tersebut disampikan oleh sahabat lain dengan ucapannya.
Umpamanya seorang sahabat memakan daging dhab di hadapan Nabi. Nabi
mengetahui apa yang dimakan sahabat tersebut tetapi Nabi tidak
melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat yang mengetahuinya
dengan ucapan: “Saya melihat seseorang sahabat memakan daging dhab di
dekat Nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarang”.[10]
Adapun
fungsi sunnah jika dihubungkan kepada al-Quran dari segi hukum-hukum
yang terkandung dalam keduanya, ulama ushul membaginya kepada tiga
macam, yaitu:
a. Sunnah sebagai penguat hukum yang telah ditetapkan oleh al-Quran, seperti perintah mendirikan shalat, puasa zakat dan haji
b. Sunnah
sebagai penjelas dan merinci apa yang telah digariskan dalam al-Quran.
Fungsi ini merupakan fungsi yang paling dominan. Misalnya hadis-hadis
yang berhubungan dengan tata cara shalat, zakat, puasa dan haji. Praktik
Rasulullah saw merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat
al-Quran yang bersifat mujmal (umum).
c. Sunnah
berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur di dalam al-Quran. Isalnya
haram kawin dengan mengumpulkan seorang wanita dengan saudara ayah atau
saudara ibunya, haram memakan binatang yang bertaring dan bercakar,
haram memakai sutera dan emas bagi kaum laki-laki dan halal memakan
binatang dhab dan mengharamkan keledai piaraan.[11]
3. Gerakan Membangun Kembali Hukum Islam
Di
pertengahan abad ke-18 M, timbullah reformasi dan melepaskan diri dari
taqlid dalam tubuh umat Islam. Usaha ini tidaklah terjadi sekaligus,
melainkan secara bertahap.
Usaha
ini timbul, setelah timbulnya kesadaran nasional. Kaum muslimin
mengetahui dan merasakan adanya kemunduran-kemunduran yang kemudian
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di barbagai negeri-negeri Islam.
Di
Hijaz dalam abad ke-13 Hijrah atau abad ke-18 Masehi, timbul gerakan
Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (wafat pada tahun
1206 Hijrah) yang mengumandangkan seruan pembasmian bid’ah dan mengajak
kembali kepada Quran dan Sunnah dan amalan-amalan Ulaa Shahabat. Dari
beliaulah tumbuh pengikut Wahabiyah.[12]
Di
Libya, Muhammad ibn Sanusi, yang pernah juga melawat ke Afrika dalam
usahanya menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari usaha-usaha
infiltrasi musuh Islam yang menyisipkan ajaran-ajaran yang menyesatkan
dan mengajak untuk kembali kepada Quran dan Sunnah Nabi dan kepada
amalan-amalan ulama Shalaf.
Kebangunan Fiqh Islam di dalam periode ini dapat dilihat pada dua fakta:
a. Studi dan karang mengarang.
b. Usaha menyusun hukum-hukum fiqh secara sistem undang-undang tanpa membatasi diri dengan sesuatu madzab tertentu.
4. Kecenderungan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer
Selama ini ada 3 kecenderungan dalam wacana pemikiran hukum islam, yakni:
1) Kecenderungan
menggunakan pendekatan formalis yang mencurahkan perhatiannya pada
aspek-aspek material disiplin ilmu fiqh yang telah baku.
2) Kecenderungan
menggunakan pendekatan histories yang belakangan berkembang menjadi
histories sosiologi pendekatan itu muncul untuk menutupi kekurangan
pendekatan pertama. Pendekatan ini memandang fiqh sebagai a faet bukan sebagai a practice. Fakta-fakta historis ditampilkan sebagaimana adanya sebagai penjelasan atas kenyataan fiqh.
3) Kecenderungan
menggunakan pendekatan normatif historis pendekatan ini adalah:
gabungan dari dua pendekatan sebelumnya, dengan asumsi bahwa pendekatan
pertama tidak menyentuh realitas, sementara pada pendekatan kedua ada
kekhawatiran tersebut dari akar normativitasnya sebagai dengan
pendekatan ini diharapkan dua kekhawatiran akan dapat diatasi.[13]
5. Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam dalam Literatur Kontemporer
Di
negara-negara Islam, khususnya di negara-negara Timur Tengah, jarang
terdapat kajian spesifik yang mendalami produk pemikiran hukum Islam,
khususnya tentang fatwa-fatwa, yang merupakan hasil ijtihad para ulama.
Kajian paling awal agaknya adalah yang dilakukan oleh Belin, yang
diterbitkan pada tahun 1851 M, dan membicarakan produk pemikiran hukum
tentang zimmi di negeri-negeri Islam. Kajian-kajian lainnya membicarakan
produk pemikiran hukum Islam hanya sebagai bagian dari diskursus
mengenai peran para ulama, mufti dan sebagainya. Misalnya, kajian yang
dilakukan oleh Heyd mengemukakan bahwa elit Ulama Turki Usmani cenderung
menggunakan ulama dan hasil pemikiran hukumnya untuk menunjang dan
mendukung rencana modernisasi pemerintahan. Pada tahun 1969, Heyd
meluncurkan tulisan mengenai berbagai pemikiran ulama Turki Usmani,
khususnya yag berkaitan dengan produk pemikiran hukum Islam, meskipun
dalam tulisan ini sisi prosedural dan metodologis berbagai produk
pemikiran hukum tampak lebih menonjol dibandingkan aspek isinya. Kajian
lain untuk mengetahui sifat pemikiran agama di kalangan para ulama,
meskipun tidak secara khusus ditujukan pada produk pemikiran hukum,
adalah penelitian Smith pada harian Azhar, terbitan tahun 1939 sampai
dengan 1948. Kesimpulan Smith adalah bahwa gagasan-gagasan yang dimuat
dalam harian Azhar tersebut pada prinsipnya bersifat membela diri, sebuh
isyarat situasi kritis. Kajian tersebut kemudian dilanjutkan oleh
Lazareh Yafeh, yang menelisik harian Azhar dari tahun 1963-1968.
Meskipun hanya bagian kecil dalam harian tersebut yang memuat produk
pemikiran hukum seperti fatwa-fatwa ulama Azhar, namun ia menjadi
sumbangan berharga dalam menuntun berbagai studi berikutnya mengenai
persoalan serupa.[14]
6. Kondisi tasyri’ di Era Kontemporer dan Berbagai Faktor Sosial yang Melatar Belakanginya
Adapun
kondisi tasyri’ di era kontemporer saat ini sangatlah bertambah
berkembang akibat dari kemajuan zaman yang menyebabkan munculnya
persoalan-persoalan baru. Sedangkan persoalan-persoalan tersebut tidak
ada pada zaman dahulu. Akhirnya mau tidak mau harus ada hokum baru yang
berlandaskan Al-qur’an dan Hadist tentang penyelesaian
persoalan-persoalan pada masa saat ini.
Oleh
karena itu ijtihad merupakan salah satu sarana/cara yang harus ditempuh
untuk mendapatkan sumber atau dasar hukum yang baru. Dengan adanya
ijtihad permasalahan-permasalahan dapat diselesikan secara benar-benar
tepat dan berlandaskan atau meruju’ Al-qur’an dan Hadist.[15]
Di
era yang serba maju dan berkembang an canggih ini terdapat banyak
sekali faktor-faktor sosial yang melatar belakangi kondisi tasyri’ di
era di antaranya yaitu:
a) Tuntutan zaman yang semakin berkembang
b) Masyarakat yang intelektual
c) Adanya masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat sekarang seperti: semir rambut, gigi palsu, danlain sebagainya.
d) Dll.
7. Hermeneutika Al-Quran dan Persoalan Kontemporer
Gagasan
hermeneutika al-Quran Rahman ini merupakan suatu tawaran yang menarik,
ketika kita mencoba mencermati dan mengkaitkannya dengan persoalan
kontemporer. Salah satu contoh adalah persoalan poligami.
Poligami
Poligami
merupakan issu yang hangat dalam wacana feminisme dan gender, karana
mereka menganggap bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut cenderung
diskriminatif dan subordinatif. Walaupun dengan alasan yang
berbeda-beda apakah poligami atau monogami yang jelas konsep poligami
ini tertulis dalam al-Quran.[16]
Locus interpretasi dan re-interpretasinya adalah al-Quran surat
an-Nisa’ (4): 3, ayat tersebut turun sebagai respons terhadap perilaku
para wali dari anak-anak yatim baik laki-laki ataupun perempuan yang
sering menyelewengkan harta kekayaan mereka. Kemudian al-Quran
menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan
itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di
antara mereka, asalkan dapat berlaku adil. Seruan al-Quran ini didukung
pula oleh ayat yang lain, yang turun sebelumnya, yaitu dalam an-Nisa’
(04): 127.
Beberapa
pernyataan di atas dengan melihat Asbah al-Nuzulnya menunjukkan bahwa
masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi
kemudian al-Quran memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu
berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat ), namun kalian, kata
Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut
” (QS. An-Nisa’ (04): 129).
Pernyataan-pernyatan
al-Quran di atas, menurut Fazrul Rahman terdapat sebuah distingsi
(antara aspek legal dan ajaran moral al-Quran), yaitu (1) ijin untuk
beristri sampai empat orang, dan (2) keharusan untuk berlaku adil kepada
mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman lemudian berkasimpulan
bahwa:
…Yang
benar tampaknya bahwa diijinkannya poligami adalah pada taraf legal,
sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakikatnya adaah
sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan begarak ke
arahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal
sekaligus.
Penafsiran Rahman ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama tradisional,[17]
yang seperti dikutipnya, ijin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan
hukum sedang keharusan untuk berbuat adil kepada istri-istri tersebut,
walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami.
Berkenaan dengan kesimpulan di atas, Rahman memberikan alasan bahwa:
…prosedur
yang biasa terjadi di dalam perbuatan hukum yang berdasarkan al-Quran.
Secara garis besarnya, setia pertanyaan yang legal [Arab] atau
quasilegal disertai oleh sebuah ratiolegis [Arab] yang menjelaskan
mengapa sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio-legis
secara sempurna pertama sekali kita harus mempelajari latar belakang
sosio-historis (yang oleh penafsir-penafsir al-Quran diktakan sebagai
‘alasan-alasan penurun wahyu’ [Arab]. Ratio-legis merupakan inti,
sedangkan legislasi yang aktual [Arab] merupakan perwujudannya asalkan
tepat dan benar merealisasikan ratio-legis tersebut.[18]
Dengan
alasan terebut, dapat digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifiknya
bahwa kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban bagi
para wali yang tidak berlaku adil terhadap anak yatim, baik laki-laki
dan perempuan. Dan al-Quran membolehkan mereka (para wali) mengawini
perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan
al-Quran di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang
lemah (seperti orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita,
budak-budak dan orang-orang yang terjerat hutang)[19]
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter.
Karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan
perbuatan poligami dengan syarat berlaku adil tidak mungkin (mustahil),
maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan
perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus
perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[20]
Paradigma
pemikiran yang dilontarkan Rahman ini, jika dikorelasikan dengan UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diberlakukan di Indonesia, dalam
beberapa hal ada kecocokan kebijaksanaan penetapan hukumnya. Dalam
penjelasannya, Undang-Undang ini menganut asas monogami, meskipun
seorang suami diijinkan beristri lebih dari seorang dengan syarat
dikehendaki leh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan telah
memberi ijin. (Ps. 3 (2) UUP). Alasan-alasan yang dipegang oleh
Pengadilan
ditegaskan dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan.
Pengadilan
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkn keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu ada tujuan
pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.[21]
Perkawinan Beda Agama Dalam Wacana Kontemporer
Dalam
banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar
terhadap kawin beda agama. Umumnya, dalam persoalan halal dan haramnya
kawin antar umat beragama, banyak ulama berpegang pada ayat-ayat
al-Quran seperti dikutip di bawah ini:
“janganlah
kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman.
Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik
sekalipun ia mmenarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (perempuanmu)
dengan laki-laki budak musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki
budak beriman baik daripada seorang laki-laki musyrik
sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam
api (neraka)…,”(QS.Al-Baqoroh. 2: 221).
Ayat berikutnya adalah:
“
Hai oang-orang beriman! Jika perempuan-perempuan beriman datang
berhijrah kepadamu, ujilah mereka; Allah mengetahui keimanan mereka;
bila sudah kamu pastikan mereka perempuan-perempuan beriman, janganlah
kembalikan mereka kepada kaum kafir; mereka (kaum mukmin wanita) tidak
halal (sebagai istri) bagi mereka (kaum kafir), dan mereka(kaum kafir)
apa (maskawin) yang telh mereka bayar. Kemudian, tiada salah kamu
menikah dengan mereka( kaum mukmin wanita), asal kamu bayar maskawin
mereka. Dan janganlah kamu berpegang kepada tali perkawinan dengan
perempuan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta maskawin yang telah
kamu bayarkan, dan biarlah mereka (orang-orang kafir) meminta apa yang
telah mereka bayarkan (maskawin dari perempuan yang datang kepadamu).
Itulah ketentuan Allah; Ia memberikan keputusan yang adil antara kamu.
Dan Allah Maha Tahu, Maha Bijaksana,” (QS.60: 10).
Ayat-ayat
di atas termasuk ayat madaniyah yang pertama kali turun dan membawa
pesan khusus agar orang-orang muslim tidak menikahi wanita musyrik atau
sebaliknya. Imam Muhammad alrozi dalam al-tafsir al kabir- wa Mafatih
al-ghaib menyebut ayat tersebut sebagai ayat-ayat permulaan yang secara
ekplisit menjelaskan hal-hal yang halal ( ma yuhallu) dan hal-hal yang
dilarang (ma yuhramu). Dan, menikahi orang musyrik merupakan salah satu
perintah tuhan dalam kategori “haram” dan “dilarang” . [22]
Bila
pernikahan laki-laki muslim dengan wanita non muslim diperbolehkan,
maka bagaimana dengan sebaliknya. Memang dalam masalah ini terdapat
persoalan yang serius karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada
justru hadist yang tidak begitu jelas kedudukannya. Jadi, soal
pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslim
merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, di
antaranya konteks dakwah islam pada masa itu. Yang mana jumlah umat
islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan
suatu yang terlarang. [23]
8. Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Kontemporer
Turki
adalah negara pertama yang melakukan usaha pembaruan hukum Keluarga di
dunia Muslim pada tahun 1917, dengan lahirnya Ottoman Law of Family
Rights (Qonun al-Huquq al-'Ailab al-Uthmaniah). Karena
kurang puas dengan UU tahun 1917, pada tahun 1923 pemerintah membentuk
panitia untuk membuat draft Undang-Undang baru. Akan tetapi, para ahli
hukum yang diserahi tugas memperbarui UU tersebut selama lima tahun
tidak berhasil membuat draft UU dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi
(import) the Swiss Civil Code Tahun 1912, yang dijadikan UU Civil Turki (the Turki Civil Code of 1926), dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki.[24]
Lebanon pernah memberlakukan the Ottoman law family Rights Tahun 1917, yang ditetapkan dengan The Muslim Family Law Ordinance No. 40 Tahun 19197 UU ini (kemudian diganti dengan ditetapkannya UU Hak-Hak keluarga Tahun 1962 (The Law of rights of the Family of July 1962). Sementara masyarakat Duruz yang ada di Lebanon mengodifikasi Hukum Keluarga (Personal Status Law), UU No. 24 Tahun 1948.
Mesir
yang mayoritas penduduknya adalah pengikut mazhab Shafi'i dan sebagian
kecil pengikut Hanafi setelah adanya pengaruh kekuasaan pemerintah
Turki, mengadakan pembaruan Hukum Keluarga pada tahun 1920 dengan
lahirnya dua UU Keluarga Mesir, yakni Law. No. 25 Tahun 1920 dan Law No.
20 tahun 1929. Kedua UU ini kemudian diperbarui tahun 1979, dengan
lahirnya UU yang dikenal Hukum Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. UU ini
kemudian diperbarui lagi dalam bentuk Personal Status (Amendment) Law No. 100 Tahun 1958.[25]
Sebelum lahirnya UU Keluarga pertama di Iran, Marriage Law (Qonun Izdiwaj) yang ditetapkan tahun 1931, masalah perkawinan dan perceraian diatur dalam UU Sipil Iran (Iranian Civil Code), yang diperlakukan tahun 1930. Kemudian untuk menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family protection Act Tabun 1967 (Qonun Al-Himayat al-ibaniwad).
UU ini kemudian diganti lagi dengan Protection of Family (Himayat
al-Kbaniwada) tahun 1975. Setelah revolusi Iran tahua 1979, UU ini
dihapuskan.
Yaman
selatan dengan raja Yaum Shihr dan Mukatta, mengodifikasi Hukum
Keluarga Islam di bawah Dekrit Raja (Royal), tahun 1942. Kemudian
diperbarui dengan Family Law (Qonun al-Usrah) No. 1 Tahun 1974.
Sementara Yaman Utara, yang mayoritas penduduknya pengikut Shi’ah
Zaidiyah, menentapkan UU Keluarganya dengan Family Law (Qonun al-Usrah) No. 3 tahun 1978.H Bersamaan dengan disatukannya kedua negara ini menjadi Republik Yaman, ditetapkanlah UU Republik (Republik Decree Law) No. 20 Tahun 1992.
Yordania juga pernah memperlakukan the Ottoman Law of Family Rights
1917, sebelum lahirnya Undang-Undang No. 92 Tahun 1951. Namun menurut
catatan El-Alami, sebelum lahirnya Undang-Undang No. 92 tahun 1951,
yakni mulai berlaku 15 Agustus 1951. Yordania pernah memperlakukan the law of Family Rights (Qonun al-Huquq al-A'ilab al- Urduniah) No. 26 tahun 1947. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 92 Tahun 1951, dengan demikian, menghapus UU the Ottoman
tahun 1917 dan UU No. 26 tahun 1947. UU No. 92 Tahun 1951 ini mencakup
132 pasal, yang dibagi dalam 16 bab. Konon Undang- Undang ini sangat
mirip dengan UU Turki Tahun 1917, baik dari sisi strukturnya maupun
aturan rinciannya. Kemudian UU ini diperbarui dengan UU yang lebih
lengkap (comprehensive), dengan lahirnya Law of Personal Status (Qonun al-Ahwal al-Shakhsiyah). No 61 Tahun 1976 sebelum lahirnya kodifikasi, konsep Hanafi menjadi rujukan di Yordania.
Sama dengan Libanon dan Yordania, Syria juga pernah memberlakukan the Ottoman Law of Family Rights 1917 dengan sedikit modifikasi, sebelum memiliki UU sendiri, yakni personal Status (Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyah al- syuriya)
No. 59 Tahun 1953, yang penetapannya didasarkan pada Dekrit Presiden,
dan merupakan negara Muslim kedua setelah Yaman Selatan yang mendasarkan
UU Keluarganya pada Dekrit Presiden. TheSyrian Code of Personal Status 1953, yang disahkan pada tanggal 17 September 1953 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 November 1953 ini, diperbarui
tahun 1975 dengan lahirnya UU No. 34 Tahun 1975. Salah satu pembaruan
UU Tahun 1975 ini adalah hak pengadilan melarang poligami kalau
dilakukan tanpa alasan yang jelas dan/atau tidak mampu secara ekonomi
menghidupi keluarga.
UU Keluarga pertama kali yang berlaku di Tunisia, yang mayoritas penduduknya pengikut Mazhab Maliki, adalah Code of Personal Status (Majjalat al-ahwal Al-Shakhsiyah)
No. 66 Tahun 1956, yang pemberlakuannya adalah pada tanggal 1 Januari
1957. UU yang oleh Menteri Kehakiman ditegaskan pada sambutannya sebagai
UU yang berlaku untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama ini,
kemudian diperbarui beberapa kali dengan Law No. 70 Tahun 1958,
No. 77 Tahun 1959, No. 61 Tahun 1961, No. 1 dan No. 17 Tabun 1964, No.
49 Tahun 1966, dan No. 7 tahun 1980 UU tahun 1956 berdasar pada
perpaduan antara Hanafi dan Maliki yang disesuaikan dengan tuntutan
modern. Meskipun UU Tunisia telah diumumkan keberadaannya oleh Menteri
Kehakiman pada tanggal 3 Agustus 1956, lewat sebuah siaran yang
dilanjutkan dengan sambutan Perdana Menteri sekaligus Presiden, Habib Bu
Ruqayba, UU ini ditetapkan tanggal 13 Agustus 1956 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1957[26]
Setelah
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus 1957, Maroko yang
penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki, melakukan kodifikasi selama
tahun 1957-1958, yang menghasilkan Mudawwanah al-Ahwal al Shakhsiyabh. Sejarah lahirnya UU Maroko berawal pada tanggal 6 Desember 1957 (13 Jumadil Awal 1377) dengan terbitnya
dekrit Raja yang bertanggal 22 November 1957 (28 Rabiul Thani 1377),
mengumumkan akan lahirnya UU Perkawinan dan Perceraian (Code of Personal Status and Inheritance).
Akhirnya UU Keluarga pertama yang mencakup perkawinan dan perceraian
ini mulai berlaku di seluruh wilayah kerajaan sejak 1 Januari 1958
berlaku di seluruh wilayah kerajaan sejak 1 Januari 1958. Kedua buku ini
adalah hasil kerja dari komite yang dibentuk tanggal 19 Agustus 1957
(22 Muharram 1377). Adapun isinya terdiri dari 8 Bab.
Algeria, yang mayoritas pengikut mazhab Maliki, dan sebagian pengikut, Shi’ah Ibadi, memiliki UU Keluarga pertama dengan Marriage Ordinance
No. 274 Tahun 1959, yang pada dasarnya berhubungan dengan masalah
perceraian. Setelah diperbarui tahun 1976 yang direncanakan untuk
melahirkan UU yang lengkap, akhirnya setelah makan waktu lama untuk
mendiskusikannya dapat terlaksana dengan lahirnya the Algerian Family Code No. 11 tahun 1984, yang ditetapkan 9 Juni 1984.
Sebelum
lahirnya UU No. 10 tahun 1984, masalah perkawinan di Lybia, pengikut
Mazhab Maliki, diatur dalam UU No. 176 Tahun 1972, yang mengatur tentang
hak-hak wanita dalam perkawinan, perceraian, khulu’ dan nafkah. Kemudian keluar UU No. 87 Tahun 1973, yang mengatur tentang struktur Pengadilan Sipil.
Berdasar
sumber yang ada, sampai sekarang Sudan, yang mayoritas penduduknya
pengikut mazhab Maliki dan Shafi'i, belum memiliki UU Keluarga yang
terkodifikasi. Peraturan tentang perkawinan dan perceraian diatur dalam
bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat af-Qadhi al-Qudha)
yang terpisah-pisah yaitu (1) Aturan tentang Nafkah dan Perceraian dalam
Manshur 17 tahun 1916; (2) Aturan tentang Nafkah dan Perceraian dalam
Manshur Tahun 1927; (3) Aturan tentang Pemeliharaan Anak dalam Manshur
34 Tahun 1932; (4) Aturan tentang Talak, Shiqaq dan Wasiyat dalam
Manshur 41 Tahun 1935; (5) Aturan ; tentang Wali Nikah dalam Manshur 54
Tahun I960.
Sejak
tahun 1937, masalah-masalah perkawinan dan perceraian di India dirujuk
pada the Muslim Personal Law (Shari'at) Application Act.
Sejarah
UU Keluarga di Bangladesh pada prinsipnya sama dengan Pakistan. Sebab
sampai sekarang UU Keluarga yang berlaku di Bangladesh masih produk
Pakistan, yakni the Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961. Ketika
masih menjadi bagian Pakistan (Propinsi Pakistan Timur), sebelum menjadi
negara merdeka (Republik) yang mulai tahun 1971, Bangladesh, yang
mayoritas penduduknya adalah pengikut Hanafi, sama dengan Pakistan,
pernah memberlakukan (1) Bengal Muhammad dan Marriage and Divorce Registration Act 1876 (yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan perceraian); (2) DivoreAct 1869; (3) Child Marriage Restraint Act 1929; Muslim Personal Law (Shari'a)Applicants Act 1937 dan Dissolution of Muslim Marriage Act 1939". Pada tahun 1980 Bangladesh memang memperlakukan Dowry Prohibitation Act, dan pada tahun 1984 memperlakukan Child Marriage Restraint (Amendment) Ordinance dan the Dowry Probibiton (Amendement) Ordinance. Karena itu, sampai sekarang Bangladesh masih memberlakukan the muslim Family Laws Tahun 1961, sama dengan Pakistan.
Kuwait adalah negara yang relatif terlambat memiliki UU Keluarga, yakni dengan lahirnya UU No. 51 Tahun 1984.[27]
UU
Keluarga yang pertama diberlakukan di Somalia, satu negara yang
memproklamirkan kemerdekaannya pada bulan Juli 1960 dan pengikut Mazhab
Shafi'i, adalah UU Keluarga Somalia (the Family Code of Somalia) tahun 1975. UU
yang terdiri dari 173 pasal ini mulai berlaku tanggal 11 Januari 1975.
Pemikir utama dalam mewujudkan UU ini adalah Abdi Salem Shaikh Hussain,
Sekretaris Negara di Bidang Kehakiman dan Agama.
Akan
halnya dengan usaha gerakan pembaruan Hukum Keluarga Islam di Asia
Tenggara, Malaysia tercatat sebagai negara pertama yang melakukan usaha
ini, yakni dengan lahirnya Moohamad Marriage Ordinance, No. V
Tahun 1880 di Negara-negara Selat. Karena itu, Hukum Perkawinan dan
Perceraian pertama yang diperkenalkan di negara-negara Selat (Pulau
Pinang, Melaka dan Singapore), sebelum merdeka, yang sekaligus
dikategorikan sebagai usaha pembaharuan hukum keluarga pertama dan Mohammed Marriage Ordinance,
No. V Tahun 1880, yang isinya (1) mengharuskan pencatatan perkawinan
dan perceraian bagi Muslim; dan (2) pegawai yang berhak melakukan
pencatatan adalah kadi.
Sementara
untuk Negara-negara Melayu bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan
dan Pahang) adalah Registration of Muhammadan Marriages dan Divorces
Enactment 1885, dan untuk Negara-negara Melayu tidak Bersekutu atau
Negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah dan johor),
yang dimulai Kelantan adalah Divorce Regulation Tahun 1907. [28]
Adapun
usaha pembaharuan Undang-undang keluarga yang di dalamnya mencakup
seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan
hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian, seperti pada UU awal, di
Malaysia dimulai tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan. Kemudian usaha yang sama dilakukan; negara-negara bagian lain, yang kalau diurutkan terlihat seperti berikut:
1. UU Keluarga Islam Melaka 1983;
2. Kelantan 1983;
3. Negeri Sembilan;
4. Wilayah Persekutuan 1984;
5. Perak 1984 (No. I);
6. Kedah No. 1 1984;
7. Pulau Pinang 1985;
8. Terengganu 1985;
9. Pahang 1987 (No. 3);
10. Selangor 1989 (No. 2);
11. Johor l990;
12. Serawakl991;
13. Pelis 1992; dan
14. Sabah l992.[29]
Karena
itu Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan adalah tiga negara pertama
yang melakukan pembaharuan Undang-Undang Keluarga di Malaysia. Sementara
negeri terakhir yang mengesahkan Undang-Undang Keluarga adalah Sabah,
dengan UU No. 15 Tahun 1992.
Kalau
UU Keluarga Islam yang ada di Malaysia dikelompokkan akan lahir dua
kelompok besar. Pertama, UU yang megikuti Akta Persekutuan, yakni
Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu,
Serawak dan Sabah, meskipun sedikit banyak tetap ada penyesuaian. Kedua,
Kelantan, Johor, Melaka dan Kedah, meskipun perlu dicatat tetap banyak
persamaannya dengan UU Persekutuan, tetapi memang ada perbedaan yang
cukup mencolok, yakni dari 134 pasalyang ada terdapat perbedaan sebanyak
49 pasal.
Dengan
demikian, meskipun Malaysia adalah negara Federal, sampai sekarang
Undang-Undang Perkawinan Islam (Hukum Keluarga) yang berlaku di Malaysia
adalah Undang-Undang Perkawinan masing-masing negeri; Usaha
penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan, yang
diketuai oleh Tengku Zaid. Setelah mendapat persetujuan dari Majelis
Raja-Raja, draft ini disebarkan ke negeri-negeri untuk dipakai sebagai
UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi
keseluruhan UU ini. Kelantan misalnya, melakukan pemerintah federal.
Akibatnya, UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam
sejak sebelum mencapai kemerdekaan sampai sekarang.
.
Pada
tahun 1989 lahir UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama ini diajukan dengan amanat Presiden
tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan Ketetapan Pemerintah pada
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Januari 1989.
UU yang ditetapkan pada Tanggal 14 Desember 1989 ini secara umum berisi
tentang Pengadilan yang meliputi Susunan Pengadilan, Ketetapan
Pengadilan dan HukumAcara. Namun pada Bab IV, Hukum Acara, bagian kedua,
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan (pasal 65 s/d 88), dibahasjuga tentang
perkawinan, khususnya yang menyangkut proses atau acara perceraian.
Dengan demikian, meskipun pada prinsipnya UU ini berhubungan dengan
Pengadilan, namun ada juga pembahasan tentang perkawinan.
Pada
tahun 1990 keluar PP No 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983,
yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi dua pasal.[30]
Pada
akhir tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(KHI) mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Kompilasi ini
berlaku dengan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni
1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya Keputusan Menag RI No. 154
Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No.l Tahun 1991
tersebut.
Sehubungan
dengan keberadaan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ada sejumlah
ketetapan yang berhubungan, yakni (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 yang
ditetapkan di Yogyakata tanggal 21 Maret 1985, tentang Penunjukan
Pelaksanan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. (2)
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang ditetapkan di Jakarta,
tanggal 10 Juni 1991 tentang instruksi penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam. (3) Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, yang
ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Juli 1991, tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. I/1991. (4) Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No.
3694/EV/HK.00.3/AZ/91, tentang Penyebarluasan Instruksi Presiden No.l
Tahun 1994.[31]
Sekedar
catatan, upaya unifikasi hukum Islam pertama dilakukan oleh khalifah
'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Usaha yang sama pernah dicoba pada abad 17,
oleh kerajaan Mughal Aurengzeb (Fatawa Akam Ghiri). Usaha selanjutnya diusahakan di Turki, yang terkenal dengan al-Majallat al-Ahkam al-'Adliyab. Lima kodifikasi dideklarasikan oleh President Sudan, Ja'far Numeiri pada bulan September 1983.
Sebenarnya
kalau dilihat ke belakang usaha unifikasi hukum Islam pertama diusulkan
oleh Ibn al-Muqaffa (d. 139/756), sebagai seorang sekretaris khalifah
Abbasid, Abu Ja'far al-Mansur (754-775). Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar
diadakan unifikasi (kesatuan hukum) dari sekian perbedaan pendapat yang
ada, dan hasil unifikasi ini menjadi hukum yang diberlakukan di negara.
Setelah melewati proses panjang, akhirnya Imam Malik menulis kitabnya
yang terkenal, al-Muwaththa, namun Imam Malik menolak diperlakukannya
isi buku ini kepada seluruh Muslim.
Hubungannya
dengan Brunei Darussalam, sulit untuk mencatat kapan negara ini
melakukan pembaruan Hukum Keluarga, sebab sampai sekarang dapat disebut
negara ini belum melakukan pembaruan sama sekali. Maka usaha yang dapat
dicatat kaitannya dengan keberadaan Hukum Keluarga adalah bahwa pada
tahun 1984 diadakan revisi UU Brunei (Revision Laws of Brunei). Demikian
juga UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956
mengalami beberapa perubahan kecil, di samping mengganti nama menjadi
Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77 (AKUMKP 77). Bentuk dan
isi Akte Penggal 77 Pada prinsipnya sama dengan bentuk dan isi UU Majlis
Ugama Islam dan Mahkamah kadi No. 20 Tahun 1955, dimana UU Keluarga
Islam secara khusus diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah
judul Marriage and Divorce pada bagian VI, yakni pasal 134-156. Sedang
judul Maintenance of Dependants pada bagian VII, mulai dari bab 157-
163. Penyusunan UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, pada
prinsipnya sama dengan UU Keluarga Islam di Negeri-negeri Persekutuan
Tanah Melayu (Malaysia).
Adapun
UU Keluarga Islam pertama yang mengatur tentang perkawinan dan
perceraian, yang meliputi fasakh, taklik talak, khuluk dan talak,
setelah Singapura menjadi negara sendiri adalah Muslim Ordinance yang
diundangkan tanggal 30 Agustus 1957, dan mulai berlaku tanggal 24
Nopember 1958. Dengan diadakannya UU ini, dengan sendirinya lahirlah
Peradilan Agama (Mahkamah Syariah), yang membidangi masalah perkawinan
dan perceraian.
Sebelum
lahirnya UU ini, aturan UU Keluarga Islam di Singapore mengikuti UU
Islam di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia), khususnya Negara-negara
Selat. Akta utamanya adalah Ordinan V/1880, yang mengatur tentang
Peraturan Pendaftaran Perkawinan, Cerai dan Rujuk, yang dilaksanakan
dengan sukarela oleh pegawai, tanpa gaji dari pemerintah. Karena itu,
Ordinan V/1880 ini lebih bersifat tatacara, yang dibagi menjadi kepada
empat bagian: (1) tentang pendaftaran; (2) tentang kadi; (3) tentang
akibat perceraian terhadap harta; dan (4) tentang aturan-aturan umum.[32]
Selama
aturan ini yang dipakai para suami bebas menceraikan istrinya meskipun
tanpa alasan yang logis. Akibatnya, angka perceraian ketika itu mencapai
50 dari angka perkawinan. Belajar dari kasus ini Majlis Penasehat Islam
Singapura membentuk panitia pada bulan Nopember 1951, untuk mengkaji
dan membuat rancangan UU Keluarga Islam. Panitia ini terdiri dari pakar
UU, pengacara, hakim-hakim dan para ulama, yakni Prof. Ahmad Ibrahim,
Encik N.J Namazie, tuan Shaikh Fatullah Suhaimi, Tuan Hj. Jubir bin
Amin, Tuan Hj. Ali bin Said Salleh, Syed Abdullah bin Shaik Belfaqih,
B.A. Mallal dan Shaik Hussain Khatib. Hasil dari pertemuan dan kajian
ini adalah lahirnya satu Akta yang dikenal dengan Muslim Ordinance, yang
diundangkan pada tanggal 30 Agustus 1957, dan mulai berlaku tanggal 24
Nopember 1958. Kemudian Akta tahun 1957, yang diamandemen tahun 1960,
diamandemen lagi tahun 1966 dengan Akta 1966, yakni Akta Pentadbiran
Undang-undang Islam 1966, yang diringkas AMLA. Akta inilah yang dipakai
sekarang (1998). Sesuai dengan bagian III pasal 34 AMLA, ada dua
intitusi yang melaksanakan UU Keluarga Islam, yaitu (a) Pejabat
Pendaftaran Pernikahan, dan (b) Hakim Agama (Mahkamah Syari' ah). Dalam
rangka memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam AMLA, sekarang
sedang dilakukan pembaruan terhadap AMLA yang diharapkan dapat menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada.
Berdasar
pasal 32 AMLA, Peradilan Agama (MahkamahSyariah) diberi kuasa untuk
mendengar dan memutuskan masalah: (a) perkawinan, (b) perceraian,
meliputi talak, cerai taklik, fasakh dan khuluk, (c) pertunangan, (d)
pembagian harta bersama (harta perceraian) ketika bercerai, (e)
pembayaran maskawin, nafkah dan mut'ah. Tetapi pasal 52 dijelaskan
perkara-perkara yang masuk wilayah Peradilan Agama, yakni (a) pembayaran
maskawin, (b) pembayaran mut'ah atau sugu hati cerai, (c) pemeliharaan
anak, dan (d) pembagian harta bersama.
KESIMPULAN
Sejauh yang telah dipaparkan dalam tulisan ini,maka dapat ditegaskan beberapa hal, antara lain :
1.
melalui perjuangan eksistensi, hujum islam berhasil eksis sepanjang
sejarah perkembangan hukum di Indonesia dan mewarnai system hukum
nasional Indonesia.
2. disamping beberapa
peluang,di masa-masa yang akan datang,hukum islam masih menghadapi
berbagai hambatan. Untuk itu perlu di upayakan langkah-langkah strategis
berupa optimalisasi fungsi ijtihad dan optimalisasi fungsi komunikasi.
3.
jika peluang dan kekuatan yang dapat di manfa’atkan secara optimal
hambatan dan kelemahan dapat di eliminir dan dicarikan solusinya,maqka
dapat dipastikan bahwa prospek hukum islam dalam sistim hukum nasional
sangatlah cerah dan menggembirakan.
Dengan
berlalunya waktu, perkembangan hukum islam yang dinamis dan kreatif
pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuknya yang baru. Hukum
islam menjadi statis dan ku7rang apresiatif yerhadap laju perkembangan
masyarakat, khususnya setelah terjadi kristalisasi madzhab-maszhab fiqh.
Contohnya,
kebolehan adanya perkawinan beda agama antara pria muslim degan
perempuan ahli kitab merupakan wacana baru yang perlu diperdebatkan, dan
pengertian mengenai ahli kitab ini para ulama masih bebeda pendapat.
Perbedaan –perbedaan pendapat tersebut berawal dar pengertian ahli kitab
dan musyrikin.
Adanya
wacana baru dalam memahami hukum beda agama kontemporer, yang
membolehkan perkawinan wanita dan pria muslim dengan non muslim(ahli
kitab), perlu mendapat perhatian dan menjadi wacana baru umat islam
dalam mencari kebenaran serta kemslahatan umat,jangan ditanggapi
negatif, namun menambah wacana keilmuan untuk mencari kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo Teguh. Hukum Islam, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 2006.
Thohari Fuad. Fiqh Progresif, FKKU Press, Jakarta.
Khalid bin Ali Al-musyaiqih. Fiqih Kontemporer, Inas Media,
Klaten Jateng.
Utomo Budi Setiawan. Fiqih Aktual, Gema Insani Press,
Jakarta, 2003
Syahrur Muhammad. Prinsip dan Dasar Hermeneutika
Hukum Islam Kontemporer, Sukses Offset, Yogyakarta, 2007.
Hudari Bik. Tarikhu Al-Tasyri al-Islami, Darul Ikhya’, Semarang, 1985
Usman Mukhlis, Hikmatus Syar’i. LBB Yan, Malang 1992.
Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Gaung Persada
Press. Jakarta 2007.
Syukur Asywadi, Perbandingan Madzhab, PT. Bina Ilmu.
Surabaya, 1994.
Mukhtar Kamal, Ushul Fiqih , Jilid II, PT. Dana Bhakti
Waqaf, Yogyakarta, 1995.
Harun Nasrun, Ushul Fiqh I, Logos, Jakarta1996.
Nasution Khoiruddin, Riba’ dan Poligami, Yogyakarta1996.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta 1997.
Kadir Abdul, Sejarah Penulisan Hukum Islam di Malaysia, 1996.
Tuan Jasman Salim, Pelaksanaan UU Keluarga Islam.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, AKAPRESS,
Jakarta, 1995.
[1] Atjmini Abdurrahman, 1993: 2
[2] Syamsul Ma’arif. Fiqih Progresif. 2003.hlm. 16.
[3] Amir Syarifudin.Pembaharuan Pemikiran. .hlm. : 21.
[4] Aswodie Syukur. Perbandingan Madzhab. ( Surabaya : PT Bina Ilmu, 1994 ) .hlm. 10.
[5] Kamal Muchtar,.Ushul Fiqih. Jilid 2 ( Yogyakarta. PT Dana Bakti waqaf. 1994 ) .hlm.10.
[6] Aswadie Syukur. Perbandingan Madzhab. ( Surabaya : PT Bina Ilmu. 1994 ) .hlm. 10-11.
[7] Fathurahman Djamil. Filsafat HukuM. .hlm. 82.
[8] Abdul Wahab K.hlm.laf. Ilmu Al Ushul. .hlm. 36.
[9] Amir Syarifuddin. Pembaharuan Pemikiran. .hlm. 36.
[10] Nasrun Harun. Ushul Fiqh 1. ( Jakarta: 10905. 1996 ) .hlm. 39.
[11]Nasrun Harun…...hlm. 37-40.
[12] Teguh Prasety. Hukum Islam. 2006 .hlm. 16.
[13] Fuad Thohari. Fiqh Progresif. 2003 .hlm. 116.
[14] Syahrur. Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. 2007. .hlm. 218.
[15] K.hlm.id bin Ali Al-Musyaiqih. Fiqih Kontemporer. Luas Media 2008. .hlm. 14.
[16] Khoirudin Nasution. Riba dan Poligami. Yogyakarta 1996. .hlm.83.
[17] Ibnu Rusyd. Bidayat Al-Mujtahid fi Nihayat Al-Muqtasid. ( Mesir, Darul Ihya’ Al-Kutub Al Arabiyah) .hlm.1169.
[19] Ali Yafie….. .hlm. 68.
[20] Ali Yafie….. .hlm. 71.
[21] Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta. Rajawali Perss. 1997 ) .hlm.169.
[23] Ali Yafie. Fiqh Aktual. ( Jakarta. Gema Insani Press. 2003) .hlm. 258.
[24] Tahir Mahmod. Family Law Reform in The Muslim World. ( New Delhi. 1972 ) .hlm. 17.
[25] Kiran Gupta. Polygamy Law Reform in Modern Muslim States. hlm. 1929
[26] JND Anderson. “ The Tunisia Law”. .hlm. 262.
[27] Kiran Gupta. Polygamiy Law Reform In Modern Moslim States. .hlm. 129.
Teguh Prasetyo. Hukum Islam,Yogyakarta. 2006 .hlm. 127.
[28] Abdul Kadir. Sejarah Penulisan Hukum Islam di Malaysia.1996. .hlm.107.
[29] Teguh Prasetyo. Hukum Islam,Yogyakarta. 2006 .hlm.127.
[30] Pasal Pertamadari PP No.45 Thn.1990.
[31] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Indonesia. ( Jakarta. AKAPRESS. 1995). hlm.98.
[32] Tuan H. Salim Jarman . Pelaksanaan UU Keluarga Islam . hlm. 15.
0 komentar:
Posting Komentar