STUDI ANALISIS PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
Tahun
1997 bangsa Indonesia mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang
pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak
sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau
dari sudut pandang pendidikan. Berdasar pada latar belakang
masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?. Dalam
penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui
bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan
bahwa Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa
dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah.
Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berlalunya masa kenabian, syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini.
Para Shalaf al-Shalih memotivasi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid'ah. Bahkan mereka
mengkhawatirkan apa yang diperolehnya, baik itu berupa pakaian,
kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan
dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan di
dunia saja. Sebagaimana shahabat Umar bin Al-khatab ra berkata:
"Kalaulah
aku tidak takut kebaikanku berkurang, aku akan mengikuti pola kehidupan
kalian yang enak, namun aku telah mendengar Allah SWT menjelaskan
tentang suatu kaum:
'kamu
telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan
kamu telah bersenang-senang dengan nya' (QS. Al-Ahqaf:20)
Yang
membedakan Ahli Allah dengan selainnya adalah mereka selalu
mengharapkan akhirat dan mempersiapkan diri atas segala peristiwa yang
terjadi disana" (Farid,2003:43). [1]
Begitulah kehidupan dan akhlak mereka para salafu ashalih,
lain dengan kehidupan kita sekarang ini, apalagi dalam konteks yang
lebih makro. Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997
kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru,
jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa
ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan,
dalam demontrasi-demontrasi itu segalanya ternyata terjadi; pemerkosaan,
penjarahan, perusakan fasilitas umum bahkan pembunuhan, itu yang
kelihatan jelas, (terlepas dari apakah mereka yang melakukan itu kaum
terpelajar atau tidak, yang jelas demontrasi itu atas nama kaum
terpelajar) bukan lagi masalah yang memang telah mewabah dari dulu yaitu
kegiatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di mana-mana hampir di
semua instansi baik pemerintah maupun sipil. Kalau tidak KKN itu dikatakan kuno, ketinggalan, "orang jujur akan hancur".
Jika
dilihat dari kaca mata pendidikan, hal yang demikian itu mungkin
terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita lebih berkonsentrasi
kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan
jangka pendek yang lebih kasat mata, imbasnya pada pendidikan ialah
terbengkalainya pendidikan nasional kita, pantaslah apa yang dikatakan
Ahmad Tafsir bahwa "pendidikan kita dianggap gagal karena tidak mampu
menghasilkan manusia berkualitas, beriman, dan berakhlak tinggi yang
benar dari sifat kesewenang-wenangan yang muncul dalam prilaku KKN " . [2]
H.M.Idris Suryana KW (1998:12) berpendapat: [3]
"Selama
ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literatur barat yang
steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman.
Oleh karena itu sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan
banyak menulis literatur ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam,
tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu-ilmu
agama".
Pendidikan
yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan
melahirkan pendidikan yang bersifat "dogmatis" tidak "kreatif".
Sebaliknya pendidikan yang berwawasan nilai, secara metodologis tidak
hanya merupakan transformasi dan proses intruksional melainkan sampai
pada proses intemalisasi dan trans-internalisasi nilai. Pendidikan
berwawasan nilai akan meletakan kebenaran ilmiah adalah pada kebenaran
yang bersifat hipotetika-verifikatif yang selalu mendorong para ilmuwan untuk meneruskan kebenaran yang telah diajukan oleh para ilmuwan lain.
Sedangkan
kaitannya dengan nilai Ilahiyah dalam pendidikan yang berwawasan nilai
tidak berhenti sampai pada apa yang di sebutkan di atas, namun sampai
pada tataran "hakikat" dan "ma 'rifat dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam . [4] Lebih lanjut Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa:
Pendidikan
perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi
keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna
mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur, kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar . [5] Dari
penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan
dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis, pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.
b.
Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang
berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri
kepada kedhaliman dan penjajahan.
Semua
itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan
perasaan terhonnat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk
mencapainya (An-Nahlawi, 1991:40). [6]
Dalam hal ini akan ditemukan pemahaman yang lebih mendalam dari
pendapatnya, menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan
atau mendapatkan kedudukan dan menghasilkan uang. Karena kalau
pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan
menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan (an-Nawawi.t.t.: 3). [7]
Lebih lanjut mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang
yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang itu
derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di
akhirat. Ini menunjukan bahwa tujun pendidikan menurut tidak sama sekali
menistakan dunia, melainkan menjadikan dunia itu sebagai alat
(Nata.1997:163). [8]
Menurut
H.M. Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan, bila dipandang dari
segi filosofis, adalah penganut faham Idealisme yang konsekwen terhadap
agama sebagai dasar pandangannya. (Arifin. 1997: 87). Sedangkan dalam
masalah pendidikan lebih cenderung kepada faham Empirisme. Hal ini
antara lain karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap
anak didik.
Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan pendidikannya. Hati seorang anak itu bersih, mumi, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun, dalam kata lain adalah fitrah (Nala.1997 :161). [9]
Jika anak menerima ajaran yang baik dan kebiasan hidup yang baik, maka
anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan
perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu
akan berakhlak jelek.
Dalam
hal ini dapat dilihat peran teori fitrah dalam pembentukan manusia yang
paripuma, sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mendidik
warga negara Mu'min dan masyarakat muslim agar dapat merealisasikan ubudiah kepada Allah semata (An-Nahlawi,1991: 179). [10]
Dan dengan terealisasikannya atau termanifestasikan nilai penghambaan
seseorang dalam kehidupannya, maka ia akan menjadi individu yang baik
dan bet-akhlakul karimah.
Dan ini tidak bisa lepas dari pada fungsi agama, terutama Islam» di mana agama sebagai directive system dan defensive system dalam kehidupan yang juga sebagai supreme morality
yang memberikan landasan dan kekuatan etik spiritual masyarakat, ketika
mereka berdialektika dalam proses perubahan. (Rahmat, 1994:40). [11]
Maka pendidikan agama memegang peranan yang amat penting dan strategis
dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan
mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia
pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik
pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.
Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figur klasik yaitu al-Ghazali. Dikenal
sebagai seorang teolog, filosof, dan sufi dari aliran Sunni, terutama
dalam permasalahan akhlak, baik kaitannya dengan pendidikan maupun
mu'amalah dalam masyarakat secara filosofis teoritik dan aplikatif.
Sebelum diselami secara mendalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak penting untuk mengetahui terlebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran tentang pendidikan akhlak.
Pertama
tentang tujuan manusia. Al-Ghazali menerangkan bahwa tujuan manusia
sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling
utama harus diketemukan di kehidupan yang akan datang, sarana utama
kepada tujuan itu ada dua macam amal baik lahiriah berupa ketaatan
kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan
upaya bathiniah untuk mencapai keutamaan jiwa. Amal baik
lahiriyah bermanfaat karena ketaatan di samping dibalas langsung untuk
kebaikan itu sendiri, juga mendukung akan perolehan keutamaan, namun
kondisi bathin lebih penting dalam pandangan Tuhan daripada amal baik
lahiriyah dan lebih mendatangkan pahala keutamaan. Di samping itu
berpendapat bahwa kejahatan dan kebaikan hanya dapat diketahui melalui
wahyu (dan tidak melalui rasio alamiah)
Dalam
masalah "keutamaan", al-Ghazali menyamakan dengan ketaatan kepada
Tuhan, dan karenanya pengkajian tentang keutamaan Islami secara
mendasar merupakan deskripsi tentang cara yang tepat untuk melaksanakan
perintah-perintah Tuhan, al-Ghazali selanjutnya membagi
perintah-perintah ini kepada dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan
Tuhan (hablum min Allah). Dan hubungan manusia kepada sesamanya (hablum min an-Nas). Kelompok pertama disebut perbuatan-perbuatan penyembahan (ibadat), seperti shalat, bersuci, zakat, puasa dan haji. Pembagian ini dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid pertama. Adapun kelompok kedua adalah adat (adah) semacam makanan, perkawinan, transaksi yang diperbolehkan dan dilarang dan adab musyafir (bepergian). Ini dapat dilihat dalah Ihya ulum ad-Din
jilid kedua. Sedangkan puncak daripada keutamaan dan kebahagian
tertinggi adalah melihat Tuhan atau berdekatan dengan-Nya, interprestasi
ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terpelajar
(ulama) bukan ahli hukum, teolog maupun filosof, melainkan hanya ahli
tasawuf (mistik).
Al-Ghazali membahas keutamaan mi dalam rub 'u IV dari Ihya ulum ad-Din, yang dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid ketiga dan empat juga dapat pula dilihat dalam kitab al-Arba' in Fi Ushul Al-Din yang merupakan sebuah penyingkapan dari Ihya Ulum ad-Din (Abdullah. 2002:145). [12] Sedangkan pembahasan al-Ghazali tentang akhlak dapat dilihat dalam kedua kitabnya Ihya Ulum ad-Din dan Mizan al-Amal.
Secara aplikatif dapat dilihat sebagaimana ia uraikan dalam Ihya Ulum ad-Din tentang kajian beliau mengenai amal perbuatan manusia (al-akhlaq al-insaniah).
Menurut pendapat al-Ghazali, bahwasanya semua tingkah laku dan
perbuatan manusia baik yang bersifat baik atau bumk adalah bersumber
pada maka syaitan membawa satu bawaan atas akal dan memperkuat daya tariknya (al-Ghazali, 2000,11:589-592). [13]
Ide-ide
fundamental ini memiliki peranan penting dalam kontruksi akhlak tasawuf
al-Ghazali yang semata-mata bergantung pada rahmat Tuhan. Dan dari
filsafat pemikiran itu dapat dimengerti kenapa beliau bersikap demikian,
memang ini merupakan hasil dari tahun-tahun terakhir kehidupannya,
ketika ia menjalani kehidupan mistiknya, perhatian utamanya selama
periode ini adalah kesejahteraan manusia di akhirat dan itulah yang
mendasari teori akhlaknya mumi bercprak religius dan mistik.
Dari
permasalahan di atas dapat ditarik benang merah antara permasalahan
pendidikan yang tidak beres ini, dengan pengalaman al-Ghazali dan
karangan-karangan beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya
pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah, suri tauladan dari
guru. Yang berdampak pada murid-muiridnya dalam mencapai tujuan
pendidikan, hingga bisa dikatakan pendidikan "telah gagal" dalam
membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti
yang baik (Azra, 2002: 178). [14]
Dari
fenomena tersebut penulis bercita-cita untuk memunculkan suatu gagasan
baru yang dapat mereduksi ajaran akhlak tasawuf sang imam ini dalam
pendidikan Islam, paling tidak untuk penulis sendiri
B. Perumusan Masalah
Berdasar
pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan akhlak?
C. Tujuan Dan manfaat Penelitian
1.Tujuan
Dalam
setiap penelitian mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun dalam
penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui
bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
2. Manfaat
a.Teoritis
1).
Bertujuan untuk memperluas cakrawala dan mendalami bidang yang menjadi
spesilaisnya yaitu konsep al-Ghazali dalam pendidikan akhlak.
2).
Bagi pendidikan Islam, penelitian ini menjadi salah satu sumbangan
pemikiran bagi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang
sebagai perwujudan salah satu Tri Darma perguruan tingi yang berhubungan
dengan penelitian.
b. Praktis
1). Menjadikan suatu ilmu yang sekaligus menjadi pijakan dalam kehidupan di dunia dan bimbingan menuju Ilahi Rabbi.
2). Menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan yang lebih mendalam dan berusaha meninggalkan taqlid .
Kajian Pustaka
Disertasi M. Amin Abdullah (2002) The Idea of Universalitiy of Etichal Norms in Ghazali and Kant. Diterbitkan di Turki 1992, Edisi Indonesia diterbitkan oleh Mizan, 2002. dengan judul "Antara Al-Ghzali Dan Kant Filsafat Islam".
Dia menyimpulkan bahwa sumber etika menurut al-Ghazali adalah tindakan
secara eksklusif bersumber dari Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, namun
melainkan juga kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri,
sedang Kant yang menggunakan pendekatan rasionalitas ia menekankan
kepada kausalitas (hukum sebab akibat), sifat aktif pelaku dalam suatu
tindakan, apresiasinya terhadap perubahan sosial sebagai salah satu
faktor yang harus dikembangkan dalam etika dan pada kepercayaannya bahwa
betapa-pun juga rasio masih berperan kalau tidak dalam perumusan etika
dalam pemikiran-pemikiran non metafisis.
Andre Dermawan (1998), Filsafat Pengetahuan Islam, Studi Atas Pemikiran Ma 'rifat al-Ghazali.
Dalam tesis ini, menurut al-Ghazali ma'rifat ialah suatu ilmu yang
menerima pengetahuan tanpa keraguan, dan di sini faktor kemurnian dan
kehakikian pengetahuan itu dibuktikan, dasar ma'rifat al-Ghazali adalah
musyahadah dengan Allah secara langsung, hal itu sama dengan para sufi
yang lain pada umumnya. Menurut beliau ketentraman hati itu hanya akan
diperoleh dengan penyucian jiwa. Sedang peranan ma'rifat dalam kehidupan
seseorang adalah sejauh mana seseorang itu melakukan dan menjalani paket-paket tasawuf yang telah tentukan. Di sini al-Ghazali mengharuskan adanya syaikh.
Penelitian Nailul Umam Wibowo (2003) berjudul Pendidikan Tasawuf; studi Komparatif Pemikiran al-Ghazali dan Nasr. Dalam penelitian ini ia menjelaskan bahwa pendidikan tasawuf meliputi: pendidikan akidah, syariat dan akhlak. Semua
itu harus dilandasi ilmu. Dalam hal pengetahuan, al-Ghazali
mengunggulkan ilmu agama atas ilmu umum. Sedangkan Nasr tidak
menyinggung bahkan menganggap sumber ilmu adalah satu dan yang terlahir
darinya juga satu (monotomi). Inti pendidikan akidah adalah pemahaman
Allah, nama dan af'al-nya, dan sifat yang ditetapkan ulama.
Sedangkan pendidikan syariat merupakan buah dari akidah. Dalam syariat
memiliki makna batin. Untuk mencapai makna batin seseorang harus
menjalankan syariat dan menghayati makna di balik itu.
Pendidikan
akhlak di peroleh dengan meneladani sifat Rasulullah karena beliau
adalah uswah al-hasanah. Perbaikan akhlak melalui beberapa tahap yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (pengisian diri dengan akhlak mulia dan ketaatan), dan tajalli (penampakan buah prilaku mulia). Dalam hal ini di perlukan seorang guru atau mursyid
untuk membimbing murid dalam menapak jalan spirituaL Namun pendidikan
tasawuf yang dikemukakan mencakup tasawuf secara umum. Sementara masalah
akhlak tidak di bahas seecara komprehensif.
Dari
uraian kedua penelitian diatas ada penelitian yang hampir sama dengan
penelitian yang akan penulis angkat akan tetapi terdapat perbedaan yang
cukup mendasar disini yaitu di mana penelitian pertama pada tataran
filosofis idea sedangkan yang kedua-pun hanya sebatas tasawufhya saja,
sedang yang akan penults angkat lebih ditekankan pada tataran akhlak
sufistis-aplikatif. Di sinilah perbedaannya sehingga peneliti mencoba
untuk mengangkat serta meneliti tentang pendidikan akhlak menurut
al-Ghazali.
D. Metode Penelitian
Adapun metode yang diterapkan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research),
karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku atau
majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan (Nazir,
1985:54). Penelitian mi digunakan untuk meneliti tentang faliditas
menurut sejarah yang ada, serta mengetahui riwayat hidup al-Ghazali ,
karya-karya dan pemikirannya.
2. Pendekatan
Adapun
pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
histories-filosofis. Di sini peneliti juga melakukan interpretasi.
(Sartono, 1993 :77) artinya peneliti, menyelami keseluruhan pemikiran
secara mendalam, cara untuk memperoleli penjelasan pemikiran al-Ghazali
yang otentik tentang pendidikan akhlak.
3. Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi (Arikunto, 1991: 131), yaitu mencari data-data pemikiran
al-Ghazali khususnya dalam bidang akhlak dengan menggunakan data primer
dan data sekunder.
- Data Primer
Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah buku karya al-Ghazali yang berjudul Ihya ulum-ad-Din cetakan Dar at-Taqwa Qairo, Mesir terbitan tahun 2000, dan kitab Mizan al-amal diterjemahkan H.Bahruddin "Di puncak Keimanan, Jejak Pendakian Amal Sesuai Timbangan" diterbitkan oleh Cendikia, Jakarta pada tahun 2003 serta al-Munqidz min ad-dhalal. Cetakan al-Maktabah al-Sa 'baniyah Libanon, Bairut tanpa tahun.
- Data sekunder
Data
sekunder berupa dokumen-dokumen dan buku-buku yang mengulas tentang
karya al-Ghazali, riwayat hidup dan tasawuf al-Ghazali seperti al-Haqiqoh fi an-Nadhar al-Ghazali karya Dr. Sulaiman Dunya, atau karangan al-Ghazali sendiri seperti al-Munqid min ad-Dhalal diterjemahkan oleh Masyur Abadi, "Setitik Cahaya dalam Kegelapan" diterbitkan oleh Pustaka Progressif, Surabaya, tahun 2001. Kitab Majmu' ah Rasaail al-Imam al-Ghazali diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "Samudra Pemikiran al-Ghazali", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2002.
Mi'rajus-Salikiin dan al-Qisthaas al-Mustaqiim diterjemahkan oleh Drs. Wasmukan, "Tangga Ma'rifatullah, Mi'raj as-Salikiin", diterbitkan oleh Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2000, Bidayah al-Hidayah diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "al-Ghazali menggapai Hidayah", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2003. Dan buku-buku lain.
4. Analisi Data
Data
yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif
analitik. (Sumargono,1983:14), yaitu mengambarkan pemikiran al-Ghazali
secara sistematis, sehubungan dengan latar belakang kehidupan dan
pemikirannya, pendapat para ahli yang relevan juga digunakan. Tahap
berikutnya adalah interpretasi (Sartono, 1992: 77), yaitu memahami
seluruh pemikiran al-Ghazali untuk memperoleh kejelasan mengenai
pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini digunakan cara berpikir deduktif
(Hadi, 1989:36-37). Untuk menarik kesimpulan dan digunakan pula studi
komparatif untuk membandingkan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran
tokoh lain.
BAB II
KAJIAN TEORI
- Pendidikan
- Akhlak
BAB III
RIWAYAT HDIUP IMAM AL-GHAZALY
BAB IV
PEMBAHASAN
Dengan
mengetahui latar belakang sosial-kultural dan keagamaan akan lebih
mudah melacak keterkaitan latar belakang dengan sikap dan pemikirannya.
Selanjutnya analisis di fokuskan pada akhlak, pembagaian akhlak dan
metode pendidikan akhlak.
A. Keterkaitan latar belakang sosio-kuttural keagamaan dengan pemikiran.
Al-Ghazali
hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abada ke-10 Masehi, ini berarti
beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah, bentangan masa yang menurut
Montgomery Watt disebut masa kemunduran Abbasiyah (Maryam, 2003: 130). [15] Lemahnya kekhahfahan, serangan dari ancaman teror kelompok Bathiniyah (sekte Syi'ah ekstrim) ini menimbulkan perang saudara dalam negeri, hingga al-Ghazali mengarang buku Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustazhiriyah (tercelanya aliran batiniyah dan terpujinya Mustazhiri) (Munawir. 1985: 363). [16]
Selain itu ada faktor serangan serangan dari dinasti Syi'ah Buwaihiyah
dan Fatimiyyah. Kaum Syiah Qaramitah berhasil mengacau keamanan kota Baghadad dan Makkah serta membawa lari Hajar Aswad. [17] (Lapidus, 2000:263-267).
Pada
masa al-Ghazali, dunia Islam telah menjadi sasaran bagi berbagai
pengaruh budaya, yaitu kebudayaan Yunani pra-Islam dengan model
pemikiran mistik Kristiani, Neo-Platonisme muncul pada abad ke-3 M dan
berpengaruh besar terhadap pemikiran Islam. Demikian juga dalam bidang
sufisme, pengaruh filsafat Persia dan filsafat India. Pengaruh terbesar
adalah pada kepercayaan-kepercayaan Syi'ah ekstrim menyangkut hak
ketuhanan untuk memerintah dan hulul-nya Tuhan kedalam tubuh Imam (Richard, dalam al-Ghazali. 2001: 44). [18]
Semasa hidup al-Ghazali ada beberapa kelompok yang mengaku sebagai pemilik kebenaran. Mereka adalah; pertama, filosuf, yang menggali ilmu pengetahuan yang notabene berdasarkan rasional. Kedua kaum fuqoha, yang menekankan hukum lahiriah. Ketiga, golongan sufisme, yang tumbuh berdasarkan
ketidak setujuan akan kehidupan para penguasa yang sangat duniawi, juga
sebagai anti formalitas agama yang di dengungkan oleh kelompok fuqoha. Pertentangan al-Hallaj dan kaum fuqoha adalah bukti dari kuatnya kesenjangan foqoha dan sufi. Dan keempat, mutakallimun yang membahas ketuhanan dengan pendekatan rasional dan filsafat.
Dari
latar belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan
dengan wawasan luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya.
Namun akhimya, al-Ghazali memilih sufi sebagai jala untuk mencapai
kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin
yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan
hakekat. Tasawuf al-Ghazali, menurut Osman Bakar (1997; 195) adalah
keseimbangan anatara dimensi eksoteris dan esoteris. Demikian pula
kritikan al-Ghazali terhadap filsafat yang melampaui kewenangannya
(Leaman, 2002 ;27). [19] Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah
memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan
dalam^erangka menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di
anggapnya pemikiran asing seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".
B. Tentang akhlak.
Al-Ghazali
memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap
dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan
penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu
amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling
berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya,
mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada
salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian (al-Ghazali,
jilid 2, 2000:599). [20]
Akhlak
bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah"
(mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu
adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang
bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu
adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah"
(al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib al akhluk.
Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa
akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa
dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan
nafsu. (Maskawaih, 1985 :56). [21]
C. Pembagian akhlak
Dalam
pembagian itu al-Ghazali ( II, 2000: 600) mempunyai 4 kriteria yang
harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu:
Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan
kekuatan keseimbangan (keadilan), (al-Ghazali, jilid 2, 2000: 600).
Keempat komponen im merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak
yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh
Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut,
maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah.
Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi)
Dengan
meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak,
al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana
dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih (Najati, 2002;235). Hal ini
terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang
keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak
ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
Kriteria
yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oelh Ibnu Maskawaih.
Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih (1985:46-49) adalah; kearifan (yang
bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta
keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance/wasath).
Dalam perspektif filsafat etika mulai dari Yunani masa Aristoteles
hingga modem, keadilan beserta factor lainnya yang menjadi kriteria ini
juga dipakai filosof Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Kohlberg (1995:32-35) menyatakan bahwa keadilan ini akan menjadi norma dasar moralitas masyarakat modern yang beradab.
Sementara
untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan
banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk (Nata, 1997:103). [22] Dalam Ihya' al-Ghazali (2002; 2) membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak
yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan
cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak
yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan
kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. [23]
Bila
ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali
meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak
ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak
lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa
diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
D. Metode pendidikan akhlak
Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama,
memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar
nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan
agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik
tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
Kedua,
akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan
membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak
tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan.
(al-Ghazali, 2000;601-602). [24]
E. Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.
Dua
sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah:
pendidikan non fonnal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non
formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang
dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk
membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal
positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf),
dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan
melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu
diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat
besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
Bila
sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah
menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits
dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok
kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika
anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila
terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang
semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan
adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. (al-Ghazali,
2000;624-627). [25]
Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam
(1993). Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan
pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai
kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini
adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan
menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan menurut Ustman Najati
(2002;35) berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; "laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman. " (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Perhatian
al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan
hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi
perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta
pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi
yang menyatakan pandidikan di tentukan oleh titik temu faktor keturunan
dan lingkungan (Purwanto, 1990; 14-17). [26] Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning ala Ivan Petrovic Pavlov dan Watson. Dua
psikolog yang meneliti pada kebiasaan anjing ini menyatakan semua
mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik
atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat
refleks yang tanpa pemikiran. (Purwanto, 1990;90, Suiyabrata.
1993:284-287). Dengan demikian gerak refleks ala Pavlov sama dengan haal (kondisi) yang di ungkapkan al-Ghazali.
Sementara
untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru
atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah
tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia
membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru
ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata
dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala
itu lebih banyakdari mereka yang melihat dengan mata hati.(al-Ghazali,
2003; 153-160). [27]
Adapun
kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong
karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid
janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi
berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada
Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat.
(al-Ghazali.2000; 101-110). [28]
Dengan peraturan pengajar dan pelajar, al-Ghazali membuat suatu sistem
yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana hubungan antara seorang
guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang
lainnya.
Kewajiban
guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan al-Ghazali menurut
para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi
seorang pendidik sewaktu di Nizamiyah Baghdad.
Pengalaman
sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di
ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.
Namun
di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu
'ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan
kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman (dalam Bakar, 1997:247) [29]
pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual "merupakan pembedaan
paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam".
Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam,
salah satu sebabnya adalah "pengabaian ilmu intelektual". Mahdi
Ghulsyani (1995:44-45) juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena
"klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non
agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip
universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam". Demikian juga,
Amin Abdullah (2002;31) mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban
adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh
pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional
modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali "seperti mayat di tangan orang yang memandikan" atau "ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan ".
F. Pendidikan akhlak al-Ghazali presfektif filsafat Pendidikan
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan al-Ghazali menganut filsafat teosentris, yang
di dalamnya memuat asas teologis, di mana konsep antroposentris
merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Sedang ditinjau dari
segi zaman al-Ghazali termasuk kelompok Tradisonal yaitu Perenialism—Essentilaism.
Hal itu dilihat dari dasar filsafat pemikirannya yaitu al-Quran dan
al-sunnah dan atsar para sahabat Nabi, dikatakan essensialis karena
pendidikan al-Ghazali adala pendidikan nilai-nilai yang tinggi atau budi
pekerti yang luhur hanya saja lebih bersifat sufistik atu
antroposentris.
Dalam
epistimologi pengetahuan sama dengan teorinya John locke yaitu
Progresivisme dalam teori pendidikaan yang terkenal dengan kertas putih
"tabularasa" kemudian dalam klasifikasi pengembangan filsafat pendidikan
Islam konsep al-Ghazali cenderung lebih dekat kepada Tipologi Tekstual
salafi.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Akhlak
menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul
dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu.
Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal"
atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah
Kriteria
akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan
nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai
kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara
akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu
Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem
seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.
Al-Ghazali
membagi akhlak menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan
madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik adalah
taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran,
tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah
rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia,
sombong, ujub dan takabbur serta riya'.
Metode
pendidikan akhlak menurut al-Ghazali ada dua yaitu; pertama, mujahadah
dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu
dikerjakan dengan diulang-ulang dan memohon kaninia Ilahi.
Pendidikan
akhlak menurut al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal.
Pendidikan non formal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode
cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak dibiasakan
melakukan kebaikan. Pergaulan anak perlu diperhatikan,.
Orang
tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal. Diperlukan
pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak punya hak istirahat dan
bermain. Al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang
ikhlas, bertanggung jawab, mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah:
menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam
belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin.2002. Antara Ghazali dan Kant, (terj.). Bandung: Mizan.
Al-Ghazali, 2000. Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa.
_________, tth. Al-Munkid min al-Dhalal. Libanon. Beirut: Maktabah as-Sa'baniyah.
_________, 2003. Bidayah al-Hidayah (terj.). Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Al-Naquib, Al-Alatas, 1990. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan.
Arifin H.M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Darojat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.
Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ictiar Baru Van Hove.
Lannggulung. Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.
Muhaimin. 2003. Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar