Selasa, 28 Januari 2014

HUKUM ISLAM DI INDONESIA: DULU DAN SEKARANG

HUKUM ISLAM DI INDONESIA; DULU DAN SEKARANG


Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.[8]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.[11]
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.[12]
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[14]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[29]
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33]
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[34]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[35]
Penutup
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta,  27 September 2000.
4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21.
[2] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 61.
[3] Ibid., hal. 61-62.
[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 63-64.
[5] Ibid., hal. 64-66.
[6] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 67-68.
[7] Ibid., hal. 68.
[8] Ibid., hal. 68-70.
[9] Ibid., hal. 70.
[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 72. Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa perubahan ini juga sangat dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck Hurgronje.
[11] Ibid., hal. 76.
[12] Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105.
[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 76-79.
[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 83.
[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, hal. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35.
[16] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 85.
[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.”
[18] Ibid., hal. 92-93.
[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun, hal. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 91.
[20] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 103.
[21] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 110-111.
[22] Ibid., hal. 112.
[23] Ibid., hal. 113.
[24] Ibid., hal. 115.
[25] Ibid., hal. 131-133.
[26] Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, hal. 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 96-97.
[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia: (3) demokrasi terpimpin: (4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 110.
[28] Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Suwirjo (PNI).
[29] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 140-141.
[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 111-112.
[31] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 149-150, dan 153.
[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit, hal. 163-164.
[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri dari tiga buku: (1) tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan (3) tentang Hukum Perwakafan.
[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
[35] Ibid.
[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA

    Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
       Kedudukan hukum Islam dalam negara RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945 (disamping hukum-hukum lainnya). Tetapi secara khusus tercantum dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945, di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, menurut almarhum Prof. Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan dalam enam kemungkinan, tiga diantaranya yang relevan dengan pembicaraan ini, intinya adalah :

  1. Negara Indonesia tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama di tanah air kita
  2. Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya adalah negara berkewajiban menjalankan syariat agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam negara RI ini.
  3. Syariat yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam) menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankan menurut ketentuan agamanya masing-masing.
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
       Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
  1. Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam negara Republik Indonesia ini dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam bidang ibadah
  2. Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
  3. Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
  4. Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
  5. Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan) oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
  6. Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama oleh warga negara RI.
Sekuler, Sekulerisme, dan Sekulerisasi
     Kata sekuler bisa dipahami sebagai kata sifat atau kata benda. Sekuler dalam konteks kata sifat adalah sesuatu yang terkait dengan dunia atau duniawi, sedangkan sekuler dalam konteks kata benda mempunyai arti masa atau periode panjang. Sekuler dalam sudut pandang wacana kekinian dipahami sebagai kata sifat.
      Sekuler adalah sesuatu yang terkait dengan dunia dan sama sekali tidak bersentuhan dengan unsur agama dan tradisi. Sebagaimana disinggung Luke Ebersol, sekuler dalam konteks ilmu sosial adalah sesuatu yang hanya terkait dengan dunia, dan karenanya, bertentangan dengan unsur spritual. Ia juga menambahkan, sekuler tidak hanya bertentangan dengan unsur spritual, tapi juga berseberangan dengan kesakralan. Pernyataan kedua Ebersol ini mendukung Howard Becker dalam memandang pengertian sekuler. Howard Becker mengatakan, “Sekuler mencakup pengertian tidak sakral, kafir, tidak bertuhan, tidak beragama, tidak beriman dan lain-lain. Akan tetapi, makna setiap kata tadi tidak bisa dijadikan sebagai sinonim satu sama lain”.
     Ia menyatakan secara tegas, bahwa sekuler berlawanan dengan semua unsur sakral. Oleh karena itu, masih menurut Howard, segala bentuk budaya yang bernuansa sekuler selalu lebih cenderung pada basis kapital. Terminologi sekuler berbeda dengan sekulerisme.
     Terminologi sekulerisme sudah dipahami sebagai sistem yang berbasis pada filsafat atau sosial. Pengetian sekulerisme tetap tidak meninggalkan warna aslinya yang selalu mengarah pada “murni dunia” atau berseberangan dengan unsur-unsur agama. George Jacob Helyoake mengatakan, sekulerisme adalah sebuah pergerakan yang bertujuan untuk membentuk perilaku manusia yang tidak mempedulikan Tuhan dan akherat. Sepanjang sejarah, antara agama dan sekulerisme masing-masing saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Pertentangan tersebut semakin meningkat setelah tibanya Renaissance. Perkembangan agama diidentikkan dengan kehancuran sekulerisme dan perkembangan sekulerisme diidentikkan dengan kehancuran agama. Brain Roulson juga menegaskan, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menolak segala unsur metafisik serta memposisikan nonagama sebagai landasan perilaku individu dan sosial. Penjelasan atas pengertian sekulerisme dapat disimpulkan melalui kalimat berikut. Seorang sekuler dengan lantang akan menyatakan bahwa Tuhan atau agama tidak ada. Seandainyapun Tuhan atau agama itu diasumsikan ada, keduanya dipastikan tidak dapat berperan dalam menangani kehidupan manusia, baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis (fudzuluun mutawaqifun).
      Di samping sekuler dan sekulerisme, terdapat pengertian lain yang masih berada dalam satu rangkaian kata keduanya, yaitu sekulerisasi. Pengertian sekulerisasi berbeda dengan sekuler dan sekulerisme. Sekulerisasi juga tidak meninggalkan makna asli sekuler. Sekulerisasi secara bahasa dan istilah mempunyai makna yang sama. Sekulerisasi adalah mengarahkan segala sesuatu menuju dunia atau menduniakan. Muhammad Nagib Alatas mengatakan, sekulerisasi adalah pelepasan pandangan manusia yang diserap dari sumber agama atau semi agama.
Pancasila sebagai dasar agama
    Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agamadan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui.
      Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Realita kehidupan sosial kemasyarakatan
     Mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana keagamaan yang menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara apriori-intuitif dari sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan kuno’). Akan tetapi, hal ini ditemukan melalui proses dialektika wacana keagamaan yang –sayangnya– justru menggeret pada paradigma ketertundukan otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup dan sosial-kemasyarakatan.
     Dalam merealisasikan mekanisme ini, wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk kemudian difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’. Berangkat dari kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik tentang penciptaan semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan eksistensi semesta, maka bentuk interpretasi yang berkembang –dalam wacana kaegamaan selain akidah– adalah pengembalian setiap fenomena sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer tersebut. Hal ini, secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas manusia sebagai makhluk berfikir.
     Indonesia tetap menjadi negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia internasional sampai sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi daya tarik para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas, baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan.
      Karakteristik masyarakat Indonesia secara diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam”. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.
     Karakteristik masyarakat Islam di Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu tema sendiri sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret secara sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia adalah sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi satu, ketika bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun ini tidak berlaku ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat Islam (muslim). Umat Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis, hidup dan sangat kompleks. Islam (agama) sebagai wujud teologis yang pasti dan absolut di satu sisi dan umat Islam (sosiologis) yang menjadikan agama (Islam) sebagai identitas teologisnya. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di Indonesia karena sangat luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu komponen di dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam keindonesiaan.
     Islam keindonesiaan sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya. Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan perubahan. Islam keindonesiaan merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen sosial tadi adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.
     Untuk lebih menyederhanakan jika kita kelompokkan secara umum umat Islam di Indonesia, terbagi menjadi empat komponen utama, yakni:
  1. Formalis-Konservatif Terlepas dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini. Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI, Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.
  2. Tradisional-Moderat Ini merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran Tarekat.
  3. Modern-Moderat Ini klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya. Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.
  4. Liberal-Substansialis Kelompok terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia. Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif.

DEMOKRATISASI DAN STABILITAS POITIK DI PAKISTAN

DEMOKRATISASI DAN STABILITAS POITIK DI PAKISTAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakistan adalah negara yang perpolitikannya kurang stabil. Kebanyakan rezim pemerintah yang berkuasa setelah kemerdekaan nasionalnya dikuasai oleh pemerintahan militer. Kekerasan-kekerasan sering terjadi di negeri ini, misalnya saja bom bunuh diri yang dapat melukai masyarakat yang sebenarnya tidak terkait masalah politik tersebut. Akar- akar kekerasan mudah pecah dalam negara ini dan kudeta militer telah menjadi tradisi. Pola-pola kekerasan militeristik mudah tampil ke panggung politik. Militerisme telah memangkas demikrasi yang sesungguhnya mampu merekah. Bahkan Pakistan memiliki julukan negara Islam yang sarat konflik.
Permasalahan yang timbul di Pakistan sangat banyak. Tahun 1971 terjadi perang saudara antara Pakistan Barat yang dipimpin Presiden Yahya Khan dan Pakistan Timur yang dipimpin Mujibur Rahman. Masalah ini pun mengakibatkan berkurangnya geografis Pakistan, yaitu Pakistan Timur yang kini menjadi Bangladesh. Selain itu, masalah Pakistan adalah wilayah Kasmir dengan India yang sampai pada sangat ini belum selesai. Bukan hanya itu saja, masalah internal juga senantiasa mengguncang sendi-sendi pemerintahan. Tahun 1974, Jenderal Yahya Khan dikudeta oleh Zulfikar Ali Butho. Juli 1977, Jenderal Ziaul Haq mengambil alih kekuasaan. Ali Butho dihukum gantung (4 April 1979).Tanggal 17 Agustus 1988, Zia-ul-Haq beserta beberapa pejabat militer Pakistan tewas dalam ledakan pesawat udara.Konon , ini juga ulah sabotase terhadap Kepala Negara Islam .[1]
Negara Pakistan dapat dikatakan diperintah oleh militer. Militer Pakistan telah memainkan perang yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri ini.[2] Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977- 1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negara ini kerap digunjang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantingan rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.
Partai-partai oposisi di negara ini tentu menawarkan pemerintahan yang lebih stabil. Partai oposisi ini kebanyakan ditangan sipil. Misalnya saja Benazir Butho yang sudah dua kali menjadi perdana menteri dengan partai Pakisatan People’s Party dan Nawaz Sarif dengan Partai Liga Islam. Benazir Butho sendiri digantikan Nawaz Sarif dan Nawaz Sarif dikudeta Jenderal Pervez Musarraf. Kekerasan yang semakin menyengsarakan rakyatnya dirasakan pada pemerintahan Pervez Musarraf.
Wilayah negara Pakistan setelah Pakistan Timur berpisah
Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penulisan paper ini penulis beranggapan sangat perlu membuat batasan penulisan. Batasan masa yang ditekankan adalah masa pemerintahan Pervez Musarraf dari militer dan pihak oposisinya, yaitu Nawaz Sarif dan Benazir Butho. Untuk menyempurnakan paper ini juga akan digunakan waktu lainya yang relevan Permasalahan yang dibahas ialah upaya demokratisasi dan stabilitas politik di Pakistan.
Setelah Perang Dunia II berakhir yang dimenangkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya maka banyak negara-negara memilih sistem demokrasi.[3] Amerika Serikat dan sekutunya kebanyakan menggunakan sistem yang demokrasi. Setiap negara yang merdeka menginginkan stabilitas politiknya aman, sedangkan sistem demokrasi menurut saya bukan pilihan terakhir agar kesejahteraan negara dapat dicapai. Menurut saya bagaimana pemerintahan menjalankan tugasnya yang mendapat dukungan dan tuntutan dari rakyatnya.
Indikator untuk mengetahui demokrasi atau tidaknya suatu negara adalah setelah mengetahui sejumlah hal penting dalam kaitannya dengan pemerintahan antara lain adakah manajemen pemerintahan didasarkan atas prinsip pembagian/pemisahan trias politika, adakah proses pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip bottom up, adakah diberlakukan desentralisasi pemerintahan dan/atau dekonsentrasi kekuasaan dan lain-lain.[4]
PEMBAHASAN
Pakistan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1947 kemudian resmi menjadi negara republik pada tanggal 23 Maret 1956. Militer Pakistan telah memainkan perang yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri ini.[5] Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977- 1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negara ini kerap digunjang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantingan rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.
Dominasi dan rivalitas militer versus sipil seolah menandai sejarah politik Pakistan kontemporer. Rezim sipil dan militer seperti bertumbal sulam. Setelah rezim militer runtuh digantikan oleh rezim sipil. Rezim sipil berkuasa dan digulingkan oleh militer, begitu seterusnya.
Kasus teranyar, misalnya, tampak melalui penggulingan pemerintahan sipil Nawaz Sharif tahun 1999 oleh kudeta militer tidak berdarah yang dipimpin oleh Musharraf. Begitu juga penggulingan Benazir Bhutto tahun 1989 oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan, dan pada tahun 1996 oleh Presiden Farooq Leghari yang sarat dengan kepentingan militer.[6]
Setelah kemenangan Pervez Musarraf Amerika Serikat, Gedung Putih, sangat senang. Sehingga tidak mengherankan kalau Pervez Musarraf atau Pakistan adalah sekutu AS. Ini dapat dilihat dengan semangat Pakistan yang juga memerangi teroris-teroris dunia seperti Alqaeda. Negara Pakistan ini juga memiliki militan-militan Islam yang radikal yang dianggap juga penyebab ketidakstabilan negeri ini. Sebelum menjadi perdana menteri Pervez dikenal sebagai jenderal yang lugu, namun setelah menjadi perdana menteri ia dikatakan menjadi agresif seperti Perdana Menteri Zia-Ul-Haq.
Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf kini tengah menghadapi dilema yang serius. Mengebiri demokrasi atau menegakkan demokrasi melalui moncong senjata. Kondisi Pakistan juga semakin tidak menentu. Penolakan dari kubu prodemokrasi menjadi tidak terelakkan setelah Presiden Musharraf mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara menjelang pemilu legislatif, Januari 2008.
Sehari sebelumnya mantan PM Benazir Bhutto dan mantan PM Nawaz Sharif berhasil membentuk koalisi antara Partai Rakyat Pakistan dan Partai Liga Muslim Pakistan yang bertujuan untuk mengulingkan Presiden Musharraf. Koalisi besar ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman yang menakutkan bagi masa depan karier politik Musharraf. Koalisi Bhutto-Nawaz ini tampaknya akan menguat menyusul dibebaskannya Bhutto dari tahanan rumah.
Pada lapis bawah [grass root] aliansi ini diperkirakan akan memperoleh dukungan massif dari publik menyusul meningkatnya kekecewaan publik terhadap kinerja politik Musharraf. Ia dipandang telah mengebiri demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) melalui pemberlakukan status darurat militer terhitung sejak 1 November lalu, membekukan konstitusi, dan memberangus kebebasan sipil, serta memenjarakan anggota pengadilan.
Musharraf tidak hanya mendapat tekanan yang massif di dalam negeri melalui advokasi kelompok-kelompok prodemokrasi yang digerakkan oleh Bhutto dan Nawaz. Ia juga mendapat tekanan dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, sekutu dekat Musharraf. Pengebirian Musharraf atas demokrasi dipandang AS akan berpengaruh terhadap prospek hubungan “ideologis” antara AS dan Pakistan. Tindakan Musharraf diperkirakan akan menyulut protes sosial yang tak pelak akan menganggu kepentingan ekonomi-politik AS di Pakistan.
Kekecewaan publik atas Musharraf tampaknya tengah mencapai titik akumulasi tertinggi. Tawaran Musharraf untuk melepaskan jabatan militernya terhitung mulai 1 Desember 2007 tampaknya tidak begitu mendapat apresiasi positif kelompok prodemokrasi.
Kini, kelompok prodemokrasi yang telah dirintis melalui aliansi politik Bhutto dan Nawaz. Konsolidasi kelompok prodemokasi terus menampakkan perkembangan yang signifikan. Yaitu melalui kesepatan masing-masing kelompok untuk bersama-sama membangun daulat rakyat (sipil) melalui pemerintahan demokratis. konsolidasi kelompok prodemokrasi dalam mengawal proses demokratisasi menjadi penting untuk mereduksi dominasi politik militer. Selain itu, tentu untuk meredam bangkitnya kelompok ektremisme agama dalam rangka stabilisasi demokrasi.
Benazir Butho yang dituntut Pervez Musarraf untuk membayar utang sebanyak 4 miliar dollar karena korupsi dengan batas pembayaran satu bulan. Jika dalam satu bulan tidak dibayar akan ditahan. Benazir Butho yang tidak membayar utang terrsebut menjadi buron akhirnya menjadi tahanan rumah. Ia sendiri karena sakit keras diizinkan untuk berobat ke Inggris. Setelah berakhirnya masa tahanan tersebut ia kembali ke Pakistan dengan disambut jutaan para pendukungnya. Disamping itu yang menjadi rekan koalisinya Nawaz Sarif juga kembali dari pengasing yaitu Mesir. Mereka telah menjadi rekan koalisi yang akan mengikuti pemilihan umum tanggal 8 Januari 2008.
Krisis politik yang terjadi di Pakistan ini terlihat lagi melalui kebijakan Perdana Menteri Pervez Musharraf. Negara dalam keadaan darurat diberlakukan oleh Presiden Pakistan, Pervez Musharraf karena meningkatnya krisis politik yang diawali ketika beliau mencoba memecat Ketua Mahkamah Agung (MA), Iftikhar Muhammad Chaudhry pada bulan Maret lalu. Pemberlakuan keadaan darurat ini dinyatakan beberapa saat menjelang pengumuman MA tentang apakah akan melegalkan kemenangan Musharraf dalam pemilu presiden di parlemen 6 Oktober 2007 lalu dan juga meningkatnya aksi kekerasan oleh kelompok Islam garis keras.[7]
Menyusul diberlakukannya keadaan darurat ini, pihak otoritas Pakistan di bawah kekuasaan Presiden Musharraf mulai menangkap para petinggi Liga Muslim Pakistan dan oposisi politik Musharraf. Penahanan-penahanan terhadap para petinggi tersebut terjadi pada saat Presiden Musharraf menangguhkan berlakunya konstitusi yang menurutnya menjadi ancaman bagi negara berkemampuan senjata nuklir itu oleh kalangan ekstrimis Islam dan campur tangan peradilan.
Tindakan ini tentunya sangat dikutuk oleh mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif. Dia pun meminta agar Musharraf mengundurkan diri segera. Menurutnya, memberlakukan keadaan darurat adalah sesuatu yang belum pernah terjadi, dan belum pernah dalam sejarah langkah tersebut diputuskan untuk diterapkan. Sudah sepatutnya Musharraf harus turun agar melancarkan jalan untuk pemilu yang adil.
Senada dengan mantan perdana menteri Pakistan, para pemimpin dunia pun menyerukan untuk segera mengembalikan kehidupan demokrasi dan aturan hukum di Pakistan setelah Presiden Musharraf memberlakukan keadaan darurat. Bahkan sekutu dekatnya, Amerika Serikat, menyatakan kekecewaannya atas langkah Musharraf tersebut.  Begitu pun dengan Cina yang menyatakan prihatin atas langkah yang telah diambil Musharraf tersebut. Inggris juga menyerukan agar Pakistan melaksanakan kekuasaan demokrasi dan aturan hukum untuk mencapai tujuan stabilitas, pembangunan dan memberantas terorisme.
Di Paris, kementerian luar negeri Perancis menyatakan prihatin dan menyerukan agar Musharraf menaati aturan hukum. Perancis menginginkan dialog antara semua kekuatan politik di Pakistan untuk menjamin stabilitas dan demokrasi di negara itu, yang menjadi mitra dan sahabat.
Masyarakat Pakistan telah mengharapkan akan dipimpin oleh pemimpin yang lebih adil dibandingkan Pervez. Masyarakat dunia juga menginginkan agar hal tersebut terjadi melalui pemilihan umum tanggal 8 Januari 2008. Namun, sebelum terjadi pemilihan itu terjadi, terjadi hal yang sangat mengecewakan terhadap diri Benazir Butho.
Benazir Butho, pemimpin Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People’s Party/PPP) tewas dibunuh secara brutal pada tanggal 27 Desember 2007 setelah ia selesai berpidato kampanye di Rawalpindhi. Media Barat pada umumnya menyebutkan kematian Benazir adalah ledakan bom bunuh diri. Ada pula yang menyebutkan bukan itu penyebabnya, melainkan tembakan yang diarahkan ke kepala Benazir sebelum ledakan terjadi. Disebutkan juga bahwa pelaku pembunuhan adalah “mullahs” (wali) kaum fundementalis Islam.
Pervez sendiri menyatakan bahwa kematian Benazir adalah salahnya sendiri, mengapa mengeluarkan badannya melalui sunroof mobilnya. Padahal ia tahu sendiri sering terjadi tindakan tersebut pada waktu peristiwa kampanye. Namun, setelah hal tersebut diidentifikasi, Perver sendiri mengakui bahwa kematian Benazir itu ditembak sebelum terjadi bom bunuh diri. Sebelum meninggal Benazir menyatakan bahwa pemerintah tidak memberikan perlindungan penuh kepadanya. Ketika ia katakan bahwa membutuh mobil yang antipeluru hal tersebut tidak pernah ada.
Terlepas dari itu, seperti dicatat oleh Woods bahwa pembunuhan yang menimpa Benazir adalah reaksi dari kaum kontra revolusioner yang tidak menghendaki adanya perubahan ekonomi-politik di Pakistan yang sudah bertahun-tahun di bawah kediktatoran militer. Datangnya gelombang dukungan dari massa pekerja atau buruh dan petani terhadap PPP- yang diyakini akan memenangkan pemilu pada 8 Januari 2008- telah membuat kawatir kelas yang sedang memerintah (ruling class) di Pakistan. Untuk mengobati kekawatiran itulah mereka menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu, kata Woods, mereka yang disebut kaum fundementalis- yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Benazir- hanyalah boneka yang diperintah oleh kekuatan-kekuatan reaksioner yang bercokol dalam ruling class dan aparatur negara. Pakistan Intelligence Services (ISI), serta gembong obat bius yang memiliki
hubungan dengan Taliban dan rezim Saudi yang memang selalu memberikan
dukungan dan mendanai setiap kegiatan kontra revolusioner di dunia.
Perang yang terjadi di Afganistn, kata Woods, telah melahirkan bencana di Pakistan. Kelas yang memerintah di Pakistan berambisi untuk memdominasi negara setelah Taliban berhasil menyingkirkan orang-orang Rusia dari Afganistan-yang dalam beberapa dekade melibatkan tentara Pakistan dan ISI di dalamnya. Hingga kini mereka masih memiliki hubungan dengan Taliban dan gembong obat bius. “Banjir uang” dari hasil perdagangan obat bius itulah yang meracuni Pakistan hingga membuat ekonomi masyarakat dan politiknya tidak stabil. Pembunuhan terhadap Benazir butho adalah ekspresi lain dari pembusukan, degenerasi dan korupsi yang menggerogoti Pakistan. Kesengsaraan massa (rakyat), kemiskinan, ketidakadilan adalah persoalan vital yang mendesak untuk diselesaikan di Pakistan. Massa-pekerja dan kaum tani- tidak melihat jalan ke luar itu ada di tangan tuan-tuan tanah dan kaum kapitalis, melainkan di PPP, partai yang dipimpin Benazir. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kaum kiri Pakistan berpendapat program-program Benazirlah yang dapat memberi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi Pakistan saat ini. Hal lain yang diperkuat kaum Marxis di tubuh PPP yang terus memperjuangkan program sosialisme yang notabene  merupakan program awal PPP.
Tak diduga sebelumnya akhirnya perubahan Pakistan yang diharapkan tersebut terganjal, membuat rakyat terguncang karena tokoh yang diharapkan terbunuh. “Rakyat meratap dan kaum perempuan menangis di rumah mereka: Aku dapat mendengar mereka “, kata seorang comrade di Karachi kepada Woods. Guncangan yang dialami massa saat ini, akan beubah menjadi kemarahan: “Tak ada apapun di jalan-jalan dan membakar ban” itu adalah sebuah peringatan kepada Ruling class bahwa kesabaran massa sudah habis. Gerakan massa tidak dapat dihentikan oleh satu bahkan ratusan pembunuhan.
Woods mencatat bahwa massa selalu melekat pada organisasi massa tradisionalnya. PPP dibangaun dalam konteks perlwanan reaksioner pada tahun 1968-1969 takkala pekerja dan petani berusaha mengambil-alih kekuasaan. Ketika diktator Zia (Zia ulHaq) membuh ayah Benazir Butho, Zulfikar Ali Butho, hal ini tidak menghalangi kebangkitan PPP pada tahun 1980_an. Demikian pula ketika Benazir diasingakan, tidak menyurutkan eksistensi PPP di tengah massa rakyat. Itu terbukti ketika dua sampai tiga juta orang turun ke jalan menyambut kedatangan Benazir. Menurut Woods, massa akan memulihkan dirinya dari guncangan dan kesedihan. Emosi mereka akan berubah menjadi kemarahan dan kehendak membalas. Namun, kata Woods, yang diperlukan bukan pembalasan pribadi, melainkan pembalasan kolektif. Apa yang diperlukan adalah mempersiapkan massa bagi sebuah serangan revolusioner baru guna menyelesaikan persoalan-persoalan di Pakistan oleh rakyat sendiri.
Kaum reaksioner memperhitungkan bahwa kematian Benazir akan melemahkan PPP. Itu penilaian yang sangat keliru, kata Woods. PPP tidak dapat direduksi sebagai satu individu (Benazir Butho), karena PPP adalah organisasi yang mengekspresikan kehendak massa demi perubahan masyarakat. Jumlah mereka jutaan. Mereka akan menemukan cara perlawanan yang efektif untuk membuat suara mereka didengar.
Lebih jauh Woods mengingatkan bahwa massa rakyat selayaknya melakukan protes yang berpuncak pada pemogokan umum: mengangkat panji demokrasi untuk melawan kediktatoran. Kepemimpinan PPP todak boleh menyerah pada tekanan apapun selama dalam masa penundaan pemilu. Di atas itu, PPP harus kembali pada program dan prinsip-prinsip awalnya seperti terumuskan dalam program PPP: memperjuangkan transformasi sosialis yang didalamnya mencakup nasionalisasi tanah, kontrol pekerja terhadap bank-bank dan industri, menggantikan tentara dengan milisi pekerja dan petani. Itulah yang harus dijalankan, karena ide-ide tersebut tepat dan relevan untuk saat ini.
Pemimpin dunia menyampaikan kemarahan atas pembunuhan pemimpin oposisi Pakistan Benazir Bhutto, Kamis, dan mengutuknya sebagai serangan terbuka terhadap demokrasi di Republik Islam itu. Presiden AS George W. Bush, yang pemerintahnya memiliki hubungan dengan Pakistan dalam “perang melawan teror”, menyebut pembunuhan tersebut “aksi pengecut” dan menelefon Presiden Pakistan Pervez Musharraf untuk menyampaikan dukungan. “AS dengan keras mengecam aksi pengecut ini oleh kaum ekstrem pembunuh yang berusaha merusak demokrasi di Pakistan,” kata Bush. “Kami bersama rakyat Pakistan dalam perjuangan melawan kekuatan teror dan ekstrem,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menggambarkannya sebagai “kejahatan keji” yang “merupakan serangan terhadap kestabilan di Pakistan dan proses demokrasinya” menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan 8 Januari. Dewan Keamanan PBB keluar dari sidang darurat mengenai pembunuhan tersebut dengan pernyataan yang mengutuk “aksi teror keji ini”. Gelombang rasa terkejut akibat pembunuhan itu menyentak harga minyak melampaui 97 dolar AS per barel dan menggetarkan pasar bursa AS, sementara Dow Jones Industrial Average merosot 1,41 persen.
Sedikinya 10 orang tewas dalam kerusuhan yang meletus di beberapa kota besar Pakistan sebagai reaksi atas pembunuhan itu, dan pemerintah di seluruh dunia mendesak Islamabad agar menjamin kestabilan sebelum pemilihan anggota parlemen.
Benazir, yang dua kali menjadi perdana menteri dan pemimpin partai politik paling tangguh di Pakistan, ditembak di tengkuk dan dada oleh seorang penyerang sebelum pelaku serangan meledakkan dirinya pada pertemuan terbuka politik di Rawalpindi, sehingga menewaskan tak kurang dari 20 orang.
Itu adalah serangan bunuh diri kedua yang ditujukan kepada Benazir (54), sejak ia kembali dari delapan tahun hidup di pengasingan yang diputuskannya sendiri pada Oktober. Serangan pertama menewaskan 139 orang, tapi Benazir selamat.
Tetangga Pakistan, yang khawatir kerusuhan merembes kalau kondisi Pakistan   yang memiliki senjata nuklir  tak terkendali, bereaksi cepat.
Perdana Menteri India Manmohan Singh mengatakan pembunuhan Benazir menjadi pengingat mengenai “bahaya bersama” yang dihadapi oleh India dan Pakistan. “Nyonya Bhutto bukan pemimpin politik biasa tapi orang yang meninggalkan jejak mendalam pada masa dan jamannya,” katanya.
Presiden Afghanistan Hamid Karzai, yang bertemu dengan Benazir hanya beberapa jam sebelum kematiannya, menyebut pembunuhan itu sebagai aksi “yang sangat brutal” terhadap salah seorang perempuan terkemuka di dunia Islam. “Saya sangat berduka, sangat sedih bahwa saudari kita yang berani ini, putri besar dunia Muslim ini tak lagi bersama kita,” katanya. Di Eropa, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan Benazir “dibunuh oleh para pengecut yang takut pada demokrasi”, sementara Kanselir Jerman Angela Merkel mencapnya sebagai “aksi teroris pengecut” yang dirancang untuk merusak kestabilan Pakistan.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyebut pembunuhan tersebut sebagai “aksi menjijikkan”, dan Perdana Menteri Italian Romano Prodi mengutuk “fanatisme” yang mengakibatkannya dan Spanyol berbicara mengenai “serangan terbuka terhadap demokrasi Pakistan”. Komisi Eropa menyatakan pembunuhan itu adalah “serangan terhadap demokrasi dan terhadap Pakistan”, sementara Slovenia yang memangku jabatan bergilir Uni Eropa pekan depan, menyatakan peristiwa tersebut dapat membahayakan pemilihan umum. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ia berharap “pelaku kejahatan akan ditemukan dan mereka diganjar hukuman yang layak”. Menteri Luar Negeri Kanada Maxime Bernier berkata, “Keinginan anti-demokrasi para pelakunya sangat jelas.”
Rudd ikut bergabung dengan para pemimpin dunia yang mengutuk pembunuhan Benazir dan mengkhawatirkan stabilitas Pakistan semakin  rapuh, di mana pemilihan umum akan diadakan 8 Januari mendatang.
Aksi kekerasan meletus menyusul pembunuhan, dan perdana menteri Australia menyerukan semua pihak di Pakistan mengendalikan diri dan dengan damai kembali ke rel demokrasi dalam rangka mengalahkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kaum militan.  “Kaum ekstrimis berada di balik serangan ini tak boleh dibiarkan menang,” kata Rudd. “Saya imbau semua pihak di Pakistan untuk bertindak dengan mengendalikan diri, dan bekerja untuk mengembalikan proses demokrasi yang damai. “Harapan saya adalah bahwa kehidupan demokrasi di Pakistan akan mewarisi semangat Benazir Bhutto,” katanya.
Rudd mengatakan kepada para wartawan bahwa dia prihatin bukan hanya pada stabilitas politik Pakistan, tapi juga di kawasan tersebut secara luas. “Australia seperti negara-negara demokrasi lainnya prihatin, dan mengharapkan proses demokrasi cepat kembali normal di Pakistan, dan memulihkan penegakan hukum di Pakistan,” ujarnya. “Lebih dari itu, kami juga memprihatinkan stabilitas politik Pakistan dan kami juga memprihatinkan stabilitas politik di kawasan itu secara luas,” ujarnya.
Demokrasi yang direncanakan oleh Benazir setelah kematiannya akan diteruskan dari partainya. Pemilu yang akan dilaksanakan pada tanggal 8 Januari 2008 akhirnya ditunda dan akan dilanjutkan pada tanggal 18 Febuari 2008. Dalam pemilihan tersebut PPP memenangkanya. Sementara itu pemimpin dua partai oposisi utama Pakistan yang ikut dalam pemilu 18 Februari lalu, bertemu untuk membahas pembentukan satu pemerintah koalisi yang dapar memaksa Musarraf melepaskan kekuasaannya.
PPP yang muncul sebagai pemenang utama dalam pemilu 18 Febuati  lalu, memulai pembicaraan koalisi dengan Pakistan Muslim League (Nawaz) pimpinan mantan perdana menteri Nawaz Sharif yang lebih dikenal dengan PML-N atau Liga Nawaz yang berada di posisi kedua. Kami akan menemukan solusi bagi segala masalah yang dihadapi Pakistan, tukas Asif Ali Zardari yang mengambil kepemimpinan PPP setelah istrinya Bhutto terbunuh tentang pertemuannya dengan Sharif. Parlemen akan memutuskan presiden mana yang dapat diajak bekerjasama dan presiden mana yang tidak, terang Zardari kepada wartawan. Zardari juga mengancam akan melengserkan Musharraf yang dianggap biang keladi dari semua kekacauan di Pakistan. Namun, Zardari tidak menyebutkan siapa sosok yang cocok untuk menggantikan Musarraf.
Pemimpin PPP (suami Butho) dan pemimpin Partai Liga Nasional.
Pernyataan tersebut mendapat anggukan Nawaz Sharif yang menyebut koalisi oposisi sebagai momen penting untuk membawa Pakistan menjadi negeri yang lebih demokratis. “Tidak boleh ada peluang untuk bersikap fleksibel dengan penguasa saat ini. Para diktator harus segera dihapus,” jelas perdana menteri yang digulingkan Musharraf lebih dari delapan tahun lalu itu. Seperti halnya PPP, Sharif jelas-jelas menyatakan keinginannya agar Musharraf mundur namun belum dapat memastikan siapa sosok yang tepat untuk dilantik sebagai pengganti Musharraf.
Meskipun partainya unggul dalam pemilu 18 Februari lalu, Zardari mengatakan bahwa dirinya tidak akan mengajukan diri jadi Perdana Menteri. Dalam sebuah konferensi pers usai pertemuan komite eksekutif pusat partainya, Zardari mengenyampingkan kemungkinan dirinya menjadi PM. Saya bukan kandidat PM, dikatakannya seperti dilansir The Hindu dalam situnya. Ia menambahkan ada sejumlah pemimpin dalam tubuh PPP yang layak mengambil alih peran itu. “PPP akan segera menunjuk kandidat PM untuk memimpin pemerintah koalisi yang dibentuk koalisi partai-partai,” tegas Zardari, beberapa saat sebelum menggelar dialog dengan Sharif tanpa merinci alasan mengapa dia tidak akan mencalonkan diri sebagai perdana menteri.[8] Kini, yang menjadi perdana menteri Pakistan adalah Yousaf Raza Gillani yang juga masih dari PPP. Musarraf yang dianggap menjadi biang keladi pengacau di negeri ini menurut oposisinya dulu, masih menjadi presiden Pakistan. Setelah masalah pembunuhan oposisi selesai, ketidakstabilan politik Pakistan mulai terlihat dari perekonomiannya.
KESIMPULAN
Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa stabilitas politik negara sangat penting. Negara Pakistan yang juga dikenal dengan kekayaan alamnya, tidak akan tentu menyejahterakan rakyatnya jika saja stabilitas politik tidak ada. Pakistan adalah negara yang sarat konflik, demikian tulis sebuah artikel. Permasalah dengan tetangga negara yang tak kunjung selesai ditambah permasalahan dalam negeri di mana para elite politik selalu berusaha untuk merebut kekuasaan walau melalui jalan apa pun. Setelah lelah dipimpin oleh diktator militer, rakyatnya menginginkan dipimpin oleh pemerintahan yang lebih adil. Sistem yang dipilih adalah demokrasi sebagaimana hal tersebut selalu disuarakan kaum oposisi militer.
Kediktatoran bagaimanapun lamanya memerintah serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya akan menemui ajalnya. Hal ini menurut saya ialah kemarahan rakyat yang terpendam akan meledak denga berbagai cara. Cara lain ialah kemenangan oposisi di negara tersebut. Itulah yang terjadi bagi Pakistan. Setelah lama stabilitas politik yang kurang mendukung dan sejumlah kesengsaraan rakyat oleh pemimpinnya, akhirnya demokrasi yang dicita-citakan dimenangkan partai oposisi.
Setelah masa diktator militer telah berlalu di Pakistan, kini yang telah dipimpin dari sipil, kestabilan politik Pakistan juga tidak dapat dijamin penuh stabil. Kemungkina kudeta akan tetap ada. Dalam hal ini, menurut hemat penulis kestabilan itu akan terjaga apabila pemerintah yang berkuasa sekarang adalah benar-benar melakukan apa yang dijanjikannya. Jika demokratisasi jalan yang terbaik untuk negara ini, jalankanlah, agar dapat dicapai suatu negara yang dulu dijuluki negara yang rawan konflik menjadi negara Islam yang stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Ranaderiksa,Hendarman. Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa Ada Negara Yang Gagal Menggunakan Demokras. Bandung: Fokusmedia. 2007.
Alfian, M. Alfan. http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/148/Pelajaran_dari_Pakistan_
Fernandes,Arya. Masa Depan Demokrasi Pakistanhttp://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188435.
Kubu Musharraf Dituding Ubah Hasil Pemilu Pakistan. http://hariansib.com/2008/02/21/kubu-musharraf-dituding-ubah-hasil-pemilu-pakistan/.
Kukuh.Pakistan, Negara Islam Yang Sarat Konfli.i http://persatuan.web.id/?p=192:
Krisi Politik Pakistan. http://forum-politisi.org/berita/article.php?id=539.
Oposisi Menangkan Pemilihan Parlemen Pakistan. http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3137274,00.html
Pakistan. http://en.wikipedia.org/wiki/Pakistan.
Pakistan Terancam Pecah, Kematian Benazir Bukti Kerapuhan Berdemokrasi-Penembakan Benazir Butho-Isak Tangai Iringi Kepergian Benazir. http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Pakistan-Terancam-Pecah—Kematian-Benazir-Bhutto,-Bukti-Kerapuhan-Berdemokrasi—Penembakan-Benazir-Bhutto—Isak-Tangis-Iringi-Kepergian-Benazir-td14534120.html.
Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.

[1] Kukuh,”Pakistan, Negara Islam Yang Sarat Konflik”, diakses dari http://persatuan.web.id/?p=192:
[2]Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan”, diakses dari http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.
[3] Hendarman Ranaderiksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa Ada Negara Yang Gagal Menggunakan Demokrasi, (Bandung:Fokusmedia, 2007), hal. 1.
[4] Hendarman Ranaderiksa, ibid., hal. 24.
[5]Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan”, diakses dari http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.
[6] Arya Fernandes, ”Masa Depan Demokrasi Pakistan”, diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188435
[7]Krisi Politik Pakistan”, diakses dari http://forum-politisi.org/berita/article.php?id=539
[8]Kubu Musharraf Dituding Ubah Hasil Pemilu Pakistan diakses dari

Hukum, Demokrasi Dan Pembangunan Ekonomi

Hukum, Demokrasi Dan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dalam sebuah negara pada hakikatnya membutuhkan tiga hal: predik-tibilitas, fairness, dan efisiensi. Dalam upaya mencapai tiga hal tersebut di atas maka hukum diberdayakan sebagai sebuah sarana yang akan mampu mendorong proses-proses dalam pembangunan ekonomi. Peran hukum menjadi sangat penting ketika pembangunan memberikan dampak baik dampak kesejahteraan ekonomi, dimana pada hal ini pertumbuhan ekonomi menjadi barometer keberhasilan sebuah pembangunan ekonomi sebuah negara, tetapi pada sisi lain keberhasilan pembangunan ekonomi yang dilihat dari keberhasilan pencapaian pertumbuhan ekonomi secara sadar mupun tidak juga berdampak sisi demokrastisasi. Demokrasi acapkali dianggap menjadi sebuah ancaman atas kesuksesan sebuah pembangunan ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin memperlihatkan kaitan hukum, demokrasi dan pembangunan ekonomi. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Kesimpulan yang dapat penulis dapatkan bahwa hukum harus mampu menyeimbangkan antara keberhasilan pembangunan ekonomi dengan proses demokratisasi dalam sebuah negara.
Pembangunan pada hakikatnya diupayakan dalam rangka untuk mencapai suatu kesejahteraan rakyat sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, dimana tujuan dari ber-dirinya Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan sebuah kesejahteraan bangsa. Imple-mentasi dari Pembukaan UUD 1945 tersebut kemu-dian diimplementasikan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkan-dung di dalamnya dikuasai Negara dan diperguna-kan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembangunan tersebut menjadi salah satu cara untuk menuju pada terciptanya sebuah kesejah-teraan rakyat. Konsep pembangunan dikembangkan secara mengedepan khususnya sejak masa orde baru, dimana pada saat itu Orde Baru berupaya untuk mencapai sebuah tingkat perekonomian yang maju. Tingkat perekonomian yang maju tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengejar ketertinggalan ekonomi.
Proses pembangunan sebuah bangsa pada umumnya akan melalui beberapa tahapan, yaitu: tahap unifikasi, yaitu pada tahap ini sebuah bangsa dihadapkan pada masalah integrasi nasional dari beberapa kekuatan nasional yang ada. Tahap selan-jutnya adalah tahap industrialisasi dimana pada tahap ini sebuah Negara berupaya untuk menerap-kan konsep industrialisasi untuk mengejar laju pem-bangunan. Pada tahap ketiga sebuah Negara akan mencapai tahap social welfare,yaitu pada saat ini tujuan sebuh pembangunan Negara diharapkan telah tercapai yaitu menciptakan sebuah kesejahteraan rakyat.
Pada dasarnya telah dan kajian terhadap hukum dan pembangunan ekonomi sekurang-kurangnya disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, bahwa pembangunan sebagai sebuah model untuk mencapai kesejahteraan sosial acapkali mengalami proses pertentangan, pro dan kontra dari berbagai aspeknya. Bahwa pembangunan ekonomi kadangkala dilakukan untuk mencapai sebuah kese-jahteraan rakyat, akan tetapi pembangunan acapkali dianggap sebagai salah satu sumber munculnya kemiskinan karena pembangunan acapkali menim-bulkan korban. Pada titik krusial inilah maka kajian hukum dan pembangunan menjadi sangat relevan mengingat bahwa kajian ini diperlukan untuk meng-analisis sekaligus menelaah permasalahan pemba-ngunan dari sisi hukum. Hukum menjadi hal yang sangat utama ketika tuntutan keadilan atas hasil-hasil pembangunan dipertanyakan oleh rakyat. Hukum harus menjadi tulang punggung dalam pem-bangunan yang dilakukan di negeri ini.
Permasalahan ketidakadilan pada pemba-ngunan yang dilaksanakan pada masa orde baru menjadi salah satu penyebab kegagalan pemba-ngunan orde baru yang memunculkan reformasi di Indonesia. Pembangunan pada dasarnya harus mampu menciptakan keadilan, dimana pengadilan-pengadilan harus berperan dapat bertindak secara adil terhadap sengketa-sengketa yang diajukan oleh masyarakat.
Kedua, bahwa pembangunan yang dilak-sanakan setelah era reformasi pada saat ini tidak memiliki arah sebagaimana pembangunan yang dikembangkan pada masa Orde Baru. Orde Baru menerapkan konsep pembangunan yang diajukan oleh Rostow, dimana setiap Negara untuk menuju pada sebuah keberhasilan pembangunan harus melalui tahapan-tahapan sebagai halya yang dilakukan oleh Orde Baru dengan Tahapan Pemba-ngunan Lima Tahun (Pelita). Pembangunan pada masa Orde Baru walau menimbulkan berbagai kontradiksi akan tetapi pembangunan yang dilak-sanakan cukup terarah dan terencana untuk menca-pai sebuah keberhasilan pembangunan.
Mengacu pada masa pembangunan orde baru yang menganggap bahwa hukum sebagai penghambat pembangunan, maka pembangunan pada masa Reformasi harus menjadikan hukum sebagai panglima. Peranan hukum dalam upaya pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah untuk mencapai predictibility (predikbilitas), fairness (keadilan), and efficiency (efisiensi) (Erman Rajagukguk, 1999). Pembangunan menuntut sebuah kepastian, hukum pada sisi ini harus mampu memberikan jaminan kepastian khususnya sisi kepastian berinvestasi bagi para pemodal yang ingin menanamkan modalnya.
Ketiga, bahwa analisis terhadap hukum dan pembangunan di Indonesia khususnya, menjadi hal yang sangat penting mengingat bahwa pemba-ngunan ekonomi pada dasarnya dilakukan oleh negara-negara yang masuk dalam kategori develo-ping countries. Permasalahan hukum dan pemba-ngunan di Indonesia menjadi krusial ketika hukum dengan berbagai perannya harus mengawal pem-bangunan yang sedang dilakukan di negara-negara yang sedang berkembang sehingga penstudi hukum menjadi sangat penting. Hal ini dilakukan meng-ingat negara-negara sedang berkembang sedang dihadapkan pada kondisi transisi dari masyarakat tradiisional menuju masyarakat modern melalui pembangunan ekonomi (Hikmahanto Juwana, 2006)
Permasalahan
Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dikaji, dimana dalam tulisan ini kajiannya hanya akan penulis berikan secara singkat saja mengingat keterbatasan yang ada. Permasalahan itu adalah:
  1. Apakah demokratisasi dapat meningkatkan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi?
  2. Apakah peranan hukum dalam pembangunan ekonomi pada masa transisi demokrasi?
Tulisan ini bertujuan membahas suatu problematika yang muncul mengenai bagaimana hukum, demokrasi dan pembangunan ekonomi saling berkaitan satu sama lainnya dan juga mempu-nyai fungsi dan arti yang sangat berharga untuk dapat ditegakkan. Demokrasi dan pembangunan ekonomi, tanpa adanya aturan hukum yang mema-dai, maka akan terjadi kekacauan. Hukum dan Demokrasi bila tidak diiringi Pembangunan Ekonomi pun akan menjadi lumpuh. Pembangunan ekonomi tanpa disertai hukum dan demokrasi maka akan menuju kehancuran. Selain itu tulisan ini bertujuan pula untuk membahas mengenai Apakah demokratisasi dapat meningkatkan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi atu tidak. Kemudian tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk melihat peranan hukum dalam pembanguna ekonomi pada saat terja-dinya transisi demokrasi.
Penulis menggunakan bentuk penelitian hukum normatif dalam membuat penelitian ini, karena yang dilakukan penulis hanya melaku-kan suatu studi kepustakaan, menggunakan data sekunder untuk menganalisis permasalahan yang ada. Sedangkan sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Dikatakan bersifat deskriptif karena penulis mencoba untuk menggambarkan sehingga pembaca dapat mencitrai atau merasa-kan apa yang penulis lihat dan rasakan, khusus-nya dalam permasalahan, hukum, demokrasi dan pembangunan ekonomi ini.
Hukum dan Pertumbuhan Ekonomi
Konsep pertumbuhan ekonomi pada dasar-nya mengacu pada konsep pertumbuhan ekonomi yang diterapkan formulasinya oleh Max Weber. Formula yang dikembangkan oleh Max Weber membutuhkan hukum sebagai salah satu landasan pembangunan industrialisasi di Eropa. Menurutnya peranan hukum dalam pembangunan setidaknya harus mampu menciptakan lima kondisi yaitu Stability, Predictibality, Fairness, Education, dan The special development abilities of the lawyers.
Diperlukannya predictibility (prediktibilitas) adalah ketika sebuah negara dimana masyarakatnya berada dalam tahap memasuki tahapan pemba-ngunan ekonomi dari masa masyarakat tradisional. Tahapan ini menunjukkan terjadinya masa transisi masyarakat dari kondisi masyarakat tradisional menuju masyarakat industri. Pada masa ini hukum juga berperan untuk menjadi penyeimbang dan harus mampu mengakomodasi kepentingan para pihak yang berkompetisi dalam bidang ekonomi.
Aspek fairness dalam hal ini bahwa hukum sangat berperan guna menciptakan keadilan pada proses-proses di peradilan. Hukum juga harus berperan dalam menjamin sebuah mekanisme pasar yang fair dan menjaga dari kekuatan ekses biro-kratis. Peranan ahli hukum untuk mendorong pembangunan hukum ekonomi sangat diperlukan, sebagai contohnya di Amerika Serikat peran ahli hukum adalah dalam proses mendiskusikan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam proses di pengadilan.
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan dengan pembangunan ekonomi. Pertum-buhan ekonomi berpokok pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Pembangunan mengandung makna yang lebih luas, peningkatan produksi merupakan salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan, salah satu hal penting yang terdapat dalam pembangunan adalah meluasnya kesempatan kerja yang bersifat produktif (productive employment).
Pembangunan ekonomi seharusnya membawa parti-sipasi aktif dalam kegiatan yang bersifat produktif oleh semua anggota masayarakat yang ingin dan yang mampu untuk berperan serta dalam proses ekonomi. Pembagunan merupakan suatu transfor-masi dalam arti perubahan struktural, yaitu: peru-bahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi perubahan pada perimbangan-perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi dan bentuk susunan ekonomi.
Pembangunan dalam arti luas harus meli-puti pertumbuhan (sebagai salah satu ciri pokok proses pembangunan). Laju pertumbuhan yaitu cepat-lambatnya produksi barang dan jasa harus cukup tinggi dalam arti melampaui tingkat pertum-buhan penduduk. Walaupun demikian konsep pemi-kiran antara konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi keduanya berjalan secara beriring dan berdampingan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan seba-gai salah satu parameter keberhasilan pembangunan ekonomi sebuah negara.
Salah satu cara untuk mencapai pertum-buhan ekonomi yang baik adalah ketika Negara dapat membuka lapangan kerja sehingga dapat bekerja dan hidup layak. Kenaikan pertumbuhan ekonomi 1% pada tingkat pertumbuhan ekonomi 6% dapat menyerap sekitar 600.000 tenaga kerja. Indonesia setidaknya memerlukan dana Rp. 122 Trilyun untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dari semula 5% menuju tingkat pertum-buhan 6%.  (Michael Todaro, 1994)
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Pengangguran di Indonesia pada saat ini diperkirakan mencapai sebelas juga orang. Pening-katan angka pengangguran secara langsung akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia, oleh karena itu salah satu upaya untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia adalah mening-katkan jumlah investasi asing di Indonesia.
Masuknya investasi asing di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya untuk menaikkan angka pertumbuhan di Indonesia. Keberadaan peru-sahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal-nya di Indonesia akan membawa efek katalisator atau pertumbuhan selanjutnya dari perekonomian nasional (Muhammad Sadli, 1969).
Penanaman modal asing dipandang sebagai suatu instrumen khusus yang menarik dan sebagai alat untuk meningkatkan saham-saham investasi negara berkembang karena penanaman modal asing jarang meninggalkan negara berkembang bila terjadi krisis ekonomi dibandingkan dengan investasi lain.
Pertumbuhan ekonomi dunia dengan munculnya Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi dunia menjadikan Indonesia perlu segera berbenah untuk menarik masuknya modal asing guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi seperti kedua negara tersebut. Untuk hal itulah maka hukum diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengatur kepentingan pembangunan ekonomi.
Kemajuan pembangunan ekonomi membawa berba-gai dampak bagi perubahan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang tradisional dengan berbasis sistem agraris dengan masuknya investasi asing di Indonesia turut pula mendorong terciptanya moder-nisasi hukum. Beberapa bentuk masyarakat modern dicirikan sebagai berikut:
  • membuka diri pada pengalaman-pengalaman yang baru
  • memiliki tingkat independensi yang cukup tinggi
  • sangat meyakini arti dan peran penting ilmu dan teknologi
  • memiliki ambisi terhadap pencapaian tujuan melalui tingkat pendidikan;
  • memiliki perencanaan yang terukur secara jelas untuk mencapai tujuan yang diharapkan;
  • sangat aktif dalam kehidupan sosial dan politik (John Ohnesorge, 2007)

Dalam pembangunan yang terjadi di Indonesia, masyarakat modern Indonesia yang pada umumnya diwakili oleh kaum muda profesional cenderung mencoba hal-hal yang baru dalam hidupnya. Secara positif hal itu akan menimbulkan sebuah tantangan baru yang akan menambah penga-laman dan kemampuannya, akan tetapi sisi negatif yang dihasilkan juga berdampak cukup besar seperti meningkatnya angka pengguna narkoba di Indonesia.
Masyarakat muda Indonesia memiliki kecenderungan independensi serta tingkat indivi-dual yang tinggi, secara positif generasi muda akan mampu bekerja secara mandiri, akan tetapi secara negatif proses sosialisasi dan kebersamaan sebagai bagian dari warga masyarakat serta kecenderungan untuk tidak peduli terhadap sesama juga berjalan seiring
Generasi muda Indonesia juga cenderung untuk meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada peningkatan kualitas warga terdidik di Indonesia. Bila hal ini terjadi maka harapan selan-jutnya adalah ketika sistem pemerintahan dan swasta dipegang dan dikendalikan oleh orang berpendidikan, maka harapan akan masa depan negara yang lebih baik akan terwujud. Peningkatan kualitas pendidikan warga Indonesia akan meng-akibatkan pada pola fikir yang lebih terarah dan terencana dalam mengerakkan pembangunan di Indonesia.
Masalah keterbukaan dengan disertai ting-kat edukasi yang tinggi juga akan dapat meng-akibatkan generasi muda terdidik saat ini memiliki kecenderungan untuk aktif dalam usaha kegiatan yang mendorong pada perubahan secara sosial dan politik. Hal ini diharapkan dapat mengerakkan pro-ses tranformasi terjadi di Indonesia.
Sistem Hukum
Sistem hukum berkait dengan tiga hal, yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Pertama, struktur hukum, menurut Friedman:
”First many features of working legal system can be called structural the moving parts, so speak of the machine courts are simple obvious example; their structure can be described; a panel of such and such size, sitting at such and such time, which this or that limitation on jurisdiction. The shape size and power of legislature is another element of structure. A written constitution is still another important feature in structural landscape of law. It is, or attempts to be, the expression or blue print of basic features of the country’s legal process, the organization and framework of government”. (Lawrence Friedman, 1984).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka struktur hukum yang merupakan bagian dari sistem hukum meliputi institusi yang diciptakan seperti lembaga hukum, dan organisasi pemerintah. Dalam kaitan ini maka peran dari pemerintah dan lembaga-lembaga Negara untuk mendorong sebuah proses pembangunan sangat diperlukan. Sebagai contohnya adalah pada saat ini perlu adanya penguatan atas lembaga-lembaga di daerah untuk mendukung terciptanya iklim investasi yang kondusif di daerah.
Aparatur penegak hukum, aparatur Negara perlu menciptakan sebuah kondisi yang kondusif bagi terciptanya iklim investasi d Indonesia. Seba-gai contohnya yaitu Kabupaten Indramayu mene-rapkan proses satu atap serta transparansi atas proses-proses perizinan bagi pelaksanaan investasi di daerahnya. Hal ini perlu didukung mengingat pembangunan membutuhkan investasi dalam jum-lah yang besar.
Kedua, substansi hukum, Friedman menya-takan:
”the second type of component can be called substantive. These are actual product of the legal system-what the judges, for example: actually say and do. Substance includes, naturally, enough, those proposition referred to legal rules; realistically, it is also includes rules which are not written down, those regulaties of behavior that could be reduces to general statement. Every decision, too is substantive product of the legal system, as is every doctrine announced in court, or enacted by legislature, or adopted by agency of government”. (Lawrence Friedman, 1984).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diartikan sebagai putusan hakim pengadilan juga produk peraturan perundangan. Pembangunan hukum di negara-negara berkembang umumnya menduplikasi atau menerapkan aturan hukum yang ada di negara-negara Barat yang notabene adalah negara bekas penjajahnya. Negara Barat memer-lukan hukumnya untuk dicangkokkan di negara-negara berkembang mengingat bahwa terdapatnya kepentingan ekonomi industrialisasi negara-negara maju atas negara-negara berkembang.
Dalam kaitan dengan pembangunan eko-nomi, maka peran perundang-undangan adalah sangat penting dimana Indonesia harus mampu menciptakan sebuah peraturan perundangan yang mampu mendorong terciptanya peningkatan pemba-ngunan ekonomi. Munculnya UU No.26 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan mampu menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif bagi pemodal asing khususnya untuk bersedia menanam-kan modalnya di Indonesia.
Ketiga, budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dimaksudkan sebagai pandangan, sikap, serta atau nilai yang menentukan berjalannya sistem hukum dan menjadi kebudayaan suatu bangsa. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum sangat bervariasi, dipengaruhi oleh subkul-tur, seperti: etnik, jenis kelamin, pendidikan, keturu-nan, keyakinan (agama), dan lingkungan.
Berkait dengan pembangunan ekonomi maka konsep pembangunan dipandang dalam berbagai sudut pandang, masyarakat akan meman-dang sebuah pembangunan beserta aturan hukum yang mendukungnya secara berbeda. Masyarakat Indonesia yang beragam kultur dan etnik meng-akibatkan munculnya beragam pemahaman terhadap arti sebuah pembangunan. Pembangunan yang dilangsungkan di daerah bersentuhan dengan kebu-tuhan riil masyarakat dan suku tertentu. Masuknya investasi asing perlu diimbangi dengan konsep free informed concent dimana msayarakat diberikan informasi seluas-luasnya terhadap masuknya pene-trasi modal asing ke daerahnya yang bertujuan menaikkan taraf hidup masyarakat serta mening-katkan jumlah lapangan kerja di daerah sehingga pengangguran di daerah dapat ditekan.
Demokrasi dan Pembangunan
Perubahan pandangan terhadap pemba-ngunan muncul ketika terjadi krisis ekonomi dan munculnya polarisasi yang tajam antara Negara-negara Utara dan Selatan. Kaitan antara demokrasi dengan pembangunan atau secara umum dikatakan antara arsitektur politik dengan pembangunan ekonomi telah menjadi perdebatan yang hangat di Eropa sejak akhir abad ini. Masalah demokrasi dan pembangunan ini pada awalnya telah menjadi bahan kajian dari ilmuwan Islam, Ibnu Khaldun yang menjelaskan sebuah teori materialis pembangunan.
Perdebatan hangat muncul di negara yang menghadapi pembangunan pada yang menghadapi industrialisasi dan urbanisasi. Perdebatan ini muncul pasca terjadinya kolonisasi dimana negara-negara yang baru merdeka menjalankan pemba-ngunan. Selain itu pula pada saat itu muncul peranan yang Sangat dominan dari organisasi keuangan internasional yang mempunyai kemam-puan untuk mempengaruhi kebijakan suatu negara.
Demokrasi  
Demokrasi pada awalnya diperkenalkan sebagai sebuah pemahaman negara-negara barat. Banyak para pemikir barat yang memulai untuk menekankan nilai-nilai demokrasi, akan tetapi sayangnya metodologi yang digunakan adalah ber-asal dari faham metodologi barat.
Hubungan antara pemerintah dengan rak-yat yang diperintah, dapat dikategorikan dalam dua bentuk relasi:
  1. sistem diktator, dimana: (a) publik secara relatif mampu memberikan pengaruh kepada peme-rintah, dan/atau (b) terjadinya tindakan represif terhadap kaum minoritas;
  2. sistem demokratis, dimana: (a) publik yang telah dewasa memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, (b) terdapatnya pengakuan atas hak-hak kaum minoritas. (Sankhder & Nagel, 2002).
Beberapa negara akan menerapkan sistem sesuai dengan sejarah dan kebudayaan masing-masing bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara yang mencoba menerapkan demokrasi sesung-guhnya dapat ditinjau dari faktor sejarah ketika Indonesia mengalami proses penjajahan dimana kita bersinggungan dengan nilai-nilai kultural bangsa barat yang memperkenalkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan individual.
Kesepakatan terhadap makna demokrasi adalah pembagian kekuasaan (sharing of power) diantara beberapa kelompok dalam kehidupan suatu bangsa, dalam hal ini dapat berupa hak-hak yang mendasar berupa kebebasan untuk berekspresi, serta kebebasan untuk melakukan persaingan serta pula mampu mempengaruhi para pengambil keputusan.
Persoalan utama yang muncul adalah ketika makna demokrasi tersebut berhadapan dengan berbagai macam kondisi kultural yang beragam, maka makna demokrasi tidak lagi seragam. Oleh karena itu mungkinkah dengan beragamnya budaya di dunia ini kita mampu mengoperasikan makna dan konsep demokrasi?
Negara-negara totaliter yang mengalami proses transisi demokrasi acapkali mengalami beberapa kekerasan serta konflik. Indikator untuk menen-tukan keberhasilan sebuah demokrasi adalah ketika kebebasan untuk menyuarakan pendapat (freedom of speech) serta dihargainya kebebasan masyarakat sipil. Munculnya negara-negara yang sedang mela-kukan tahapan transisi dari negara otriter yang didominasi oleh kekuatan militer menuju pada sebuah negara yang tunduk pada kekuatan sipil, maka kekuatan ekonomi akan terkonsentrasi hanya pada kelompok tertenu saja.
Indonesia adalah sebuah Negara yang sedang mengalami proses transisi demokrasi. Ketika kekuatan militer berhasil ditumbangkan, maka kekuatan pemegang modal mulai mengandalikan kekuasaan pemerintahan Negara. Dengan kekuatan modalnya beberapa Penguasa berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan politik di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa jabatan Negara mulai dari yang terendah hingga tertinggi mampu dikuasai oleh beberapa pengusaha.
Demokrasi pada konteks ini menjadikan para pemegang kekuatan ekonomi akan berupaya untuk mempengaruhi setiap kebijakan yang ada di negara tersebut. Hal ini terjadi di negara-negara barat ketika pertama kali menerima konsep demokrasi.
Demokrasi dan Pembangunan
Demokrasi dan keadilan acapkali saling bertentangan, dapatkah demokrasi dikondisikan untuk mendorong sebuah pembangunan. Sejak dipublikasikannya The Wealth of Nation dua abad lalu, beberapa ahli hukum berpendapat bahwa desentralisasi kekuasaan politik serta liberalisasi pasar mendorong terciptanya investasi dan pertum-buhan ekonomi.
Menjadi sebuah pertanyaan mendasar apakah kekuatan represif yang dilakukan oleh negara dalam melaksanakan pembangunan lebih diutamakan guna menarik kepentingan investor, ataukah tuntutan demokrasi rakyat dengan frekuensi perubahan dan pergantian kekuasaan dalam sebuah negara lebih diutamakan? Dalam kaitan dengan pembangunan di Indonesia demokrasi sempat meng-alami pasang surut. Pada masa Orde Baru kekuatan ekonomi lebih mengedepan dimana pembangunan bertumpu pada masuknya investasi asing di Indonesia.
Untuk menjamin masuknya investasi asing, maka bentuk pembangunan yang seragam dengan menekan pada stabilitas mengakibatkan beberapa pihak yang berseberangan dengan kebijakan peme-rintah mengalami tekanan secara represif. Pada masa Demokrasi terpimpin dengan pemusatan kekuatan di tangan satu orang yaitu Presiden meng-ambil sikap yang berbeda, yaitu anti modal asing. Dalam hal ini maka pembangunan yang harus dilakukan pada masa Reformasi adalah pemba-ngunan ekonomi yang harus memperhatikan pula hak-hak masyarakat yang beragam (plural). Pada sisi lain masyarakat juga harus memahami bahwa masuknya modal asing akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia. Secara riil akan membuka peluang kesempatan kerja bagi rakyat.
Demokrasi dapat kita katakan merupakan hasil dari pembangunan. Demokrasi dan pemba-ngunan pada hakikatnya dapat saling menguatkan, dalam artian bahwa kita tidak membenturkan antara demokrasi pada satu sisi dengan pembangunan di sisi yang lain. Perubahan dalam sebuah susunan bangunan masyarakat (Negara) dapat berubah dan tergantikan, yang kaya dapat menjadi miskin demi-kian pula sebaliknya yang miskin dapat menjadi kaya, dengan demikian tanpa kekuatan fondasi ekonomi yang kukuh dalam pembangunan, maka demokrasi akan kehilangan maknanya.
Kesimpulan
Dari hasil kajian penulis, maka pada akhirnya didapatkan sebuah kesimpulan bahwa demokratisasi dapat meningkatkan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa demokratis adalah sebuah sistem dimana terdapat adanya pengakuan atas hak-hak kaum minoritas. Dengan demikian bila ada kaum minoritas ingin melakukan kegiatan usaha di Indonesia, dia akan dilindungi hak-haknya oleh hukum. Apabila pengusaha tersebut merasa aman dan nyaman dalam melakukan kegiatan usah, sudah barang tentu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi pun akan semakin membaik.
Sementara peranan hukum dalam pemba-ngunan ekonomi pada masa transisi demokrasi juga merupakan hal yang penting dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa demokrasi di Indonesia sempat mengalami pasang surut. Indonesia sempat berkali-kali berganti sistem demokrasi, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila sampai kepada demokrasi rakyat. Perubahan-perubahan yang sangat cepat ini tentu akan membuat khawatir para pelaku usaha maupun investor asing. Oleh karenanya peran perundang-undangan sebagai produk hukum adalah sangat penting dimana Indonesia harus mampu menciptakan sebuah pera-turan perundangan yang mampu mendorong tercip-tanya peningkatan pembangunan ekonomi. Mun-culnya UU No.26 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan mampu menciptakan iklim berin-vestasi yang kondusif bagi pemodal asing khu-susnya untuk bersedia menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian dapatlah disimpulkan antara hukum dan demokrasi adalah hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan apabila hendak mencapai pembangunan ekonomi di Indonesia.
Referensi:
Djojohadikusumo, Sumitro, ”Perkembangan Pemi-kiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pemba-ngunan”, LP3ES, Jakarta, 1994.
Emmerson, Donald K, “Indonesia Beyond Soeharto”, Penerbit: Gramedia, 2001.
Friedman, Lawrence M, “Introduction to American Law”,  WW Norton and Company, New York, 1984.
Juwana, Hikmahanto, “Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development, Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia”, Pidato Ilmiah pada Dies Natalies Universitas Indonesia ke-56, 2006.
Ohnesorge, John, “Developing Development Theory: Law and Development Orthodo-xies and The Northeast Asian Expe-rience”, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, Pennsylvania, 2007.
Rajagukguk, Erman, “Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, tulisan dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan”, UII Press, Jakarta, 1999.
Sadli, Muhammad, “Indonesian Economic Development. Conference”, Board Record, Vol.6, 1969.
Sankhder & Nagel, “Capitalism, Socialism, and Democracy, Combining for Welfare, Justice, and Equity, New Perspectives in Political Theory”, Deep & Deep Publications, 2002.
SK Date-Bah, “Facilitating and Regulating Private Investment in a Developing Economy, Penn State Interntional Law Review”, Vol.22, 2003.
Theberge, Leonard J, “Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, 2003.
Todaro, Michael, ”Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1994.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda