KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya
ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang dijelaskan oleh nabi
Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang
membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang
semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia
belaka.
Kedudukan hukum Islam dalam negara
RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945
(disamping hukum-hukum lainnya). Tetapi secara khusus tercantum dalam
pasal 29 ayat (1) UUD 1945, di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa
negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, menurut almarhum Prof.
Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan
dalam enam kemungkinan, tiga diantaranya yang relevan dengan pembicaraan
ini, intinya adalah :
- Negara Indonesia tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama di tanah air kita
- Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya adalah negara berkewajiban menjalankan syariat agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam negara RI ini.
- Syariat yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam) menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankan menurut ketentuan agamanya masing-masing.
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
- Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam negara Republik Indonesia ini dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam bidang ibadah
- Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
- Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
- Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
- Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan) oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
- Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama oleh warga negara RI.
Sekuler, Sekulerisme, dan Sekulerisasi
Kata sekuler bisa dipahami sebagai
kata sifat atau kata benda. Sekuler dalam konteks kata sifat adalah
sesuatu yang terkait dengan dunia atau duniawi, sedangkan sekuler dalam
konteks kata benda mempunyai arti masa atau periode panjang. Sekuler
dalam sudut pandang wacana kekinian dipahami sebagai kata sifat.
Sekuler adalah sesuatu yang terkait
dengan dunia dan sama sekali tidak bersentuhan dengan unsur agama dan
tradisi. Sebagaimana disinggung Luke Ebersol, sekuler dalam konteks ilmu
sosial adalah sesuatu yang hanya terkait dengan dunia, dan karenanya,
bertentangan dengan unsur spritual. Ia juga menambahkan, sekuler tidak
hanya bertentangan dengan unsur spritual, tapi juga berseberangan dengan
kesakralan. Pernyataan kedua Ebersol ini mendukung Howard Becker dalam
memandang pengertian sekuler. Howard Becker mengatakan, “Sekuler
mencakup pengertian tidak sakral, kafir, tidak bertuhan, tidak beragama,
tidak beriman dan lain-lain. Akan tetapi, makna setiap kata tadi tidak
bisa dijadikan sebagai sinonim satu sama lain”.
Ia menyatakan secara tegas, bahwa
sekuler berlawanan dengan semua unsur sakral. Oleh karena itu, masih
menurut Howard, segala bentuk budaya yang bernuansa sekuler selalu lebih
cenderung pada basis kapital. Terminologi sekuler berbeda dengan
sekulerisme.
Terminologi sekulerisme sudah
dipahami sebagai sistem yang berbasis pada filsafat atau sosial.
Pengetian sekulerisme tetap tidak meninggalkan warna aslinya yang selalu
mengarah pada “murni dunia” atau berseberangan dengan unsur-unsur
agama. George Jacob Helyoake mengatakan, sekulerisme adalah sebuah
pergerakan yang bertujuan untuk membentuk perilaku manusia yang tidak
mempedulikan Tuhan dan akherat. Sepanjang sejarah, antara agama dan
sekulerisme masing-masing saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pertentangan tersebut semakin meningkat setelah tibanya Renaissance.
Perkembangan agama diidentikkan dengan kehancuran sekulerisme dan
perkembangan sekulerisme diidentikkan dengan kehancuran agama. Brain
Roulson juga menegaskan, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menolak
segala unsur metafisik serta memposisikan nonagama sebagai landasan
perilaku individu dan sosial. Penjelasan atas pengertian sekulerisme
dapat disimpulkan melalui kalimat berikut. Seorang sekuler dengan
lantang akan menyatakan bahwa Tuhan atau agama tidak ada. Seandainyapun
Tuhan atau agama itu diasumsikan ada, keduanya dipastikan tidak dapat
berperan dalam menangani kehidupan manusia, baik dari sisi teoritis
maupun dari sisi praktis (fudzuluun mutawaqifun).
Di samping sekuler dan sekulerisme,
terdapat pengertian lain yang masih berada dalam satu rangkaian kata
keduanya, yaitu sekulerisasi. Pengertian sekulerisasi berbeda dengan
sekuler dan sekulerisme. Sekulerisasi juga tidak meninggalkan makna asli
sekuler. Sekulerisasi secara bahasa dan istilah mempunyai makna yang
sama. Sekulerisasi adalah mengarahkan segala sesuatu menuju dunia atau
menduniakan. Muhammad Nagib Alatas mengatakan, sekulerisasi adalah
pelepasan pandangan manusia yang diserap dari sumber agama atau semi
agama.
Pancasila sebagai dasar agama
Sebagai dasar negara Indonesia,
Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische
gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga
diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee) negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah
menurut agamadan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi
dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta
diakui.
Kalau kita menengok kembali
perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang
Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap
klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam
sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan
dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai
Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan
sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas
menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan
oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik
dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari
pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status
dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam
menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan
semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan,
NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan
bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun
di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi
dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang
ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan
pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada
perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan
makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam
selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik
kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga
kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis).
Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari
pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat
kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk
membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan
negara.
Realita kehidupan sosial kemasyarakatan
Mekanisme pengembalian fenomena
realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana
keagamaan yang menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara
apriori-intuitif dari sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan
kuno’). Akan tetapi, hal ini ditemukan melalui proses dialektika wacana
keagamaan yang –sayangnya– justru menggeret pada paradigma ketertundukan
otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup dan sosial-kemasyarakatan.
Dalam merealisasikan mekanisme ini,
wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk
kemudian difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’.
Berangkat dari kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik
tentang penciptaan semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan
eksistensi semesta, maka bentuk interpretasi yang berkembang –dalam
wacana kaegamaan selain akidah– adalah pengembalian setiap fenomena
sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer tersebut. Hal ini,
secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas manusia
sebagai makhluk berfikir.
Indonesia tetap menjadi negara
berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia internasional sampai
sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia yang beragama
Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi daya tarik
para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema
keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas,
baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia
merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang
berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan.
Karakteristik masyarakat Indonesia
secara diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan
nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat
kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih
lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan
terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru
baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan
oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur
mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam”. Sampai
sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.
Karakteristik masyarakat Islam di
Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu tema sendiri
sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret secara
sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala
keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia
adalah sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi
satu, ketika bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun
ini tidak berlaku ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat
Islam (muslim). Umat Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis,
hidup dan sangat kompleks. Islam (agama) sebagai wujud teologis yang
pasti dan absolut di satu sisi dan umat Islam (sosiologis) yang
menjadikan agama (Islam) sebagai identitas teologisnya. Dalam tulisan
ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di Indonesia karena sangat
luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu komponen di
dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam keindonesiaan.
Islam keindonesiaan sebagai bagian
dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia lebih merupakan
interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-antropologis.
Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang
bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya
ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada
sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin
ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar
kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local
genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat
penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya.
Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern
sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi
lokal yang ramah juga dengan perubahan. Islam keindonesiaan merupakan
manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu
berinteraksi dan hidup inhern dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang
menjadi media penyambung antara dua komponen sosial tadi adalah
nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang senantiasa menjadi
”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita kehidupan yang
cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.
Untuk lebih menyederhanakan jika
kita kelompokkan secara umum umat Islam di Indonesia, terbagi menjadi empat komponen utama, yakni:
- Formalis-Konservatif Terlepas dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini. Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI, Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.
- Tradisional-Moderat Ini merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran Tarekat.
- Modern-Moderat Ini klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya. Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.
- Liberal-Substansialis Kelompok terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia. Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif.
0 komentar:
Posting Komentar