Rabu, 15 Januari 2014

KEKUASAAN POLITIK DALAM PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH DAN ABUL A’LA AL MAUDUDI



KEKUASAAN POLITIK DALAM PANDANGAN
IBNU TAIMIYYAH DAN ABUL  A’LA AL MAUDUDI


A. PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW, adalah persoalan kekuasaan politik atau yang juga disebut persoalan al-Imamat (Imamah). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abul Bakar (w.23 H/634M) sebagai Khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam.[1] Masalah pokok yang dihadapi dunia Islam dewasa ini adalah bagaimana caranya menegakkan kembali ideologi Islam di dunia pada pertengahan abad keduapuluh ini. Masalah ini memunculkan tantangan besar, karena Islam tidak hanya sekedar kumpulan dogma, dan ritual saja. Islam adalah Jalan Hidup Paripurna. . Ia merupakan penjelmaan Tuntutan Ilahi untuk semua bidang kehidupan manusia yang mencakup baik urusan pribadi maupun kelompok. Politik maupun ekonomi, sosial maupun kultural, moral maupun hukum dan keadilan.[2] Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka ragam bentuk pemerintahan dalam dunia Islam pada masa silam. Tidak adanya satu konsep Negara Islam yang disepakati sepanjang sejarah membawa kepada timbulnya berbagai interpretasi tentang apa yang disebut dengan Negara Islam itu. Istilah Negara (daulah) tidak disinggung dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi unsur-unsur ensensial yang menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci itu. Usaha memahami masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu menurut Nurcholis Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa sejarah.[3] Namun terlepas dari ada tidaknya konsep Negara dalam Islam, kita tidak dapat menafikan bahwa kajian sejarah pemikiran kenegaraan Islam telah berhasil memunculkan tokoh-tokoh yang konsep kenegaraannya masih orisinil untuk dipelajari sampai sekarang. Dua tokoh yang teori kenegaraannya selalu menjadi isu sentral dalam setiap perdebatan tentang persoalan ini adalah Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa keberadaan kepala Negara itu diperlukan tidak hanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat, serta terpenuhinya kebutuhan materi mereka saja, tetapi lebih dari itu juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan Hukum Allah. Ibnu Taimiyyah juga menganggap bahwa sultan atau kepala Negara adalah bayangan Allah dibumi, dengan arti bahwa dia adalah wakil Tuhan dibumi, dengan kekuasaaan dan kewenangan memerintah yang bersumberkan dari Tuhan.[4] Mengambil kepemimpinan wajib bertujuan demi kepentingan agama dan taqarrub kepada Allah. Karena ketaqarrubannya dalam memegang kepemimpinan dengan mentaati-Nya dan Rasul-Nya itu termasuk lebih afdhalnya taqurrub. Dan kebanyakan umat manusia menemui kemafsadatan karena diminati demi jabatan dan harta.[5] Pendapat Maududi bahwa pada hakikatnya kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Maududi adalah pemikir politik Islam yang pertama yang mempergunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah-khalifah (Allah) di bumi sebagai landasan teori politik. kelanjutan dari teori Maududi bahwa manusia itu adalah khalifah-khalifah (Allah) di bumi, dia berpendapat bahwa kedudukan sebagai khalifah-khalifah itu terbatas hanya di miliki oleh umat islam, mereka yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[6] Dalam hubungan ini Al-Qur`an menyatakan
            ”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi. Sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. 24:55).[7]
 Profesi sebagai penulis ditekuninya sejak usia dua puluh tahun. Tulisan-tulisannya banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan pikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits. Pada umumnya karya-karya Ibnu Taimiyyah dimaksudkan untuk memberi komentar dan kritik terhadap pendapat-pendapat para ulama semasanya maupun pendahalunya. Sebagai penulis ia termasuk sangat produktif. Hasil karyanya berjumlah 500 jilid diantara yang terkenal adalah : (1) Kitab ar-Raddu’ ‘Ala al-Muntiqiyin (Jawaban terhadap Para Ahli Mantiq); (2) Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah (Metode Sunnah Nabi); (3) Majmu al-Fatawa (Kumpulan Fatawa); (4) Bayan Muwafaqat Shahih al-Ma’qul Sarih al-Manqul (Uraian tentang Kesesuaian Pemikiran Yang Benar dan Dalil Naqli Yang Jelas); (5) Ar-Radd ‘Ala al-Hululiyah wa al-Ittihadah (Jawaban Terhadap Paham Hulul dan Ittihadah); (6) Muqoddimah fi Usul at-Tafsir (Pengantar mengenai Dasar-Dasar Tafsir); (7) Ar-Radd ‘Ala Falsafah Ibn Rusyd (Jawaban Terhadap Filsafat Ibnu Rusyd); (8) Al –Iklil fi al-Mutasyabah wa at-Ta’wil (Suatu Pembicaraan Mengenai Ayat Mutasyabih dan Takwil); (9) Al-Jawab as-Shahih Li Man Badda Iman al-Masih (Jawaban Yang Benar Terhadap Orang-Orang yang menggantikan Iman Terhadap Al-Masih; (10) Ar-Radd ‘Ala an-Nusairiah (Jawaban Terhadap Paham Nusairiyah). Karangan-karangannya hampir semua berisikan kritik terhadap segala paham aliran-aliran yang berkembang di dunia Islam. Yang dikritik bukan hanya terbatas pada aliran-aliran eksterm teologi, tasawuf, dan filsafat, seperti aliran Batiniah, Jahmiyah, Mulahadah Nasiriyah, Wahdah al-Wujud, Hululiyat, Dahriah, Mujassimah, Rawandiyah, Musybihah, Mu’attilah, Salimiyah, dan Kalabiyah, tetapi juga aliran-aliran moderat seperti al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.[8] Selama tahun 1920 hingga 1928 Abul A’la Al Maududi juga menerjemahkan empat buah buku, ia menulis bukunya yang penting pertama al-Jihad fil-Islam. Ini merupakan tulisan yang baik mengenai hukum Islam tentang perang dan damai. Pertama ini buku itu ditulis secara bersambung dalam al-Jam’iyat pada tahun 1927, secara formal diterbitkan pada tahun 1930. Buku itu mendapat pujian dari Muhammad Iqbal (meninggal 1938 M), dan Maulana Muhammad Ali Jauhar (meninggal 1931), pemimpin yang masyhur dari gerakan Khilafah dan gerakan kemerdekaan. Sekalipun buku itu ditulis pada sekitar umur dua puluhan, namun buku itu tetap merupakan salah satu bukunya yang sangat ia hargai dan ia anggap penting. [9] Maududi adalah seorang pembicara yang ulung dan penulis yang amat produktif, khususnya dalam bidang agama. Gagasan-gagasannya tentang Islam, termasuk teori kenegaraan, dimasyarakatnya selain melalui majalah Tarjamah Al-Qur’an juga lewat ceramah-ceramah yang naskahnya kemudian diterbitkan, dan penulisan risalah-risalah serta buku-buku. Dari sekian banyak karya tulis Maududi, selain buku pertamanya yang berjudul Perang Dalam Islam, juga terdapat enam risalah dan satu buku yang berkaitan dengan gagasannya tentang kenegaraan. Enam risalah tersebut adalah (1) Teori politi Islam; (2) Metode Revolusi Islam; (3) Hukum Islam dan Cara pelaksanaannya; (4) Kodifikasi Konstitusi Islam; (5) Hak-Hak Golongan Dzimmi Dalam Negara Islam; (6) Prinsip-prinsip Dasar Bagi Negara Islam. Adapun karya tulis yang berbentuk buku antara lain berjudul Pemerintah Islam.[10]Terjemahan dan ulasan al-Qurannya, Tafhim al-Quran (memahami al-Quran). Yang mulai dikerjakan pada 1942 dan selesai 1972, termasuk ulasan al-Quran dalam bahasa urdu yang paling banyak dibaca saat ini. Walaupun ditulis dengan gaya popular dan dengan agenda kebangkitan, buku ini mendapat tempat dalam keilmuan Islam di anak benua itu. Dalam karya-karyanya yang sangat banyak itu, Maududi menguraikan pandangannya tentang agama, masyarakat, ekonomi, dan politik. Karya-karyanya itu merupakan penafsiran tentang Islam, yang berusaha menggerakkan keimanan untuk aksi politik. Perspektif tentang Islam, yang berusaha menggerakkan keimanan untuk aksi politik. Perspektif ideologinya salah satu artikulasinya sikap kebangkitan di seluruh Dunia Muslim. Bentuk wacana keislaman dengan sosialisme dan kapitalisme didefinisikan pertama kali olehnya banyak terminologinya dihubungkan dengan kebangkitan Islam, termasuk “revolusi Islam”, “Negara islam”. Dan “ideology Islam”.[11] Jama’at Islami, gerakan Islam yang didirikan oleh Maududi, makin menjadi kuat dan teratur dengan baik sebagai organisasi politik agamis yang menarik rakyat dari segala lapisan, tetapi mempunyai pengaruhi yang kuat pada golongan integensia dan pemuda dari anak benua India. Pengaruh Maulana Maududi tidak terbatas kepada kepada anggota-anggota Jamaat-i Islami saja. Pengaruh itu melampaui batas partai dan organisasi, sebagai seorang ulama dan penulis dapat dikatakan bahwa ia adalah penulis yang tulisannya paling banyak dibaca orang. Buku-bukunya banyak diterjemahkan dalam berbagai macam bahasa dunia-Arab, Inggris, Turki, Paris, Hindi, Prancis, Jerman, Swahili, Tamil, Benggali dan sebagainya. Dan sekarang ini mulai banyak diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Asia, Afrika dan Eropa.[12] Dua tokoh ini marupakan tokoh yang menonjol pada zamannya, Ibnu Taimiyyah hidup pada permulaan abad ke XIII sementara Abul A’la Al Maududi berkarya dan bergerak pada paroh abad XX. Kedudukannya sama-sama bergerak mengembangkan Islam. Dalam dinamika percaturan politik Islam kontemporer, banyak bermunculan gerakan-gerakan politik Islam baik partai politik maupun organisasi massa yang mencita-citakan supremasi politik Islam di pentas politik dunia. Gerakan-gerakan tersebut sering kali merujuk dan mendasarkan landasan dan gerakannya pada pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh politik Islam seperti Ibnu Taimiyah dan Abul A’la Al Maududi. Kedua tokoh ini merupakan di antara teoritisi dan praktisi politik Islam yang paling banyak di rujuk oleh gerakan gerakan tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan metode kualitatif, sedangkan jenis penelitian ini yaitu documenter dan obyek penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research). Yakni, penelitian yang data-datanya di ambil dari bahan-bahan pustaka berupa buku-buku, majalah dan jurnal, dokumen-dokumen, artikel-artikel dan data internet yang penulis anggap relefan dengan pokok-pokok pembahasan sebagai bahan rujukan, yakni menghimpun semua data kepustakaan tersebut untuk kemudian di analisis guna memperoleh gambaran menyeluruh tentang objek permasalahan penelitian ini. Sumber data yang digunakan ada dua. Pertama, data primer yaitu data yang dibutuhkan kemudian dikumpulkan dari sumber-sumber yang berkaitan langsung dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi. Data primer ini di khususkan pada karya-karya mereka berdua. Sumber sumber primer ini antara lain : As-siyasah  Asy-Syar`iyyah fi Ishlah ar-Ra`i wa ar-Ra`yah[13] karya ibnu taimiyyah, hukum dan konstitusi : sistem politik Islam, khilafah dan kerajaan: evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, kedua, dua sekunder yaitu sumber-sumber lain yang mendukung data primer. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah ”deskriptif-analisis” yaitu dengan mendetesiskan data-data yang ada ”primer dan sekunder” dan menganalisanya sehingga dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan pokok pembahasan. Atas dasar itu penulis merasa tertarik dan perlu mengangkat persoalan konsep kekuasaan politik dalam pemerintahan Islam menurut kedua tokoh tersebut. Disamping itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari alternatif konsep baku kekuasaan politik dalam pemerintahan Islam dari hasil pembandingan tersebut.

B. KONSEP KEKUASAAN POLITIK MENURUT IBNU TAIMIYYAH
 Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa negara dan agama “sungguh saling berkelindan; tanpa keuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik,”Dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah, ia menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakkan ungkapan berikut: ”Melihat tegaknya sebuah keadilan berarti melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan bagi kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi Allah.[14] Kekuasaan hukum Islam terlihat pada nama yang dipilih dan diberikan para pelakunya, syariah. Kata itu berarti sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan, tetapi yang lebih lagi, kitab suci itu merupakan hukum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi negara Islam. Sumber hukum konstitusi Islam ke dua yang tidak kalah penting adalah Sunnah atau dipilih Allah ntuk menyampaikan risalahnya-Nya kepada semua manusia. Segenap praktek kehidupan Khulafaur-Rasyidin juga termasuk Sunnah. Pada saat-saat tertentu terdapat kesepakatan umum yang berkembang dikalangan unsur-unsur politik Islam atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan secara kolektif kemudian mencapai suatu kesepakatan bulat. Inilah Ijma’ atau konsesus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ke tiga. Sedang sumber hukum yang keempat adalah Qiyas atau analogi logis. Bentuk-bentuk pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan di bawah kategori tersebut.[15]
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. 12. 40).

Klausa in al-hukm illa lillah yang terdapat dalam ayat di atas terdapat pula dalam Q.S Yusuf (12:67) dan Q.S al-An’am (6:57). Hanya saja dalam kedua ayat ini, konteks pembicaraan berbeda dengan ayat terdahulu. Tapi dalam ayat-ayat tersebut kata al-hukm dipergunakan dalam tiga masalah, yaitu urusan ibadat, konsep hukum mengatur kehidupan manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa segala keputusan yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia sebagai khalifah Allah berada dalam kekuasaan Allah SWT. Bagaimana manusia mengatur kehidupannya, baik kehidupan pribadinya ataupun kehidupan sosialnya dalam lingkungan yang seluas-luasnya, termasuk pula hubungannya dengan lingkungan alamnya, semuanya berada dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kata al-hukm  dalam ayat ini berkaitan dengan aturan-aturan kehidupan manusia yang dikenal dengan syariat.[16] Argumen Ibnu Taimiyyah tentang sumber-sumber hukum dan legislasi Islam dimaksudkan untuk menitikberatkan pada suatu masalah pokok: setelah melalui proses analisa final dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang secara kolektif disebut syariah. Pembicaraan mengenai Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas tidak mengandung arti bahwa empat sumber hukum itu sama derajatnya. Tidak ada yang sanggup mengikis esensi agama Islam bila orang berpegang teguh pada prinsip itu. Seluruh bangunan Islam didirikan pada dua prinsip dasar ke-Esaan Allah secara mutlak dan penegasan sikap bahwa Muhammad adalah utusan Allah (La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah). Karena Muhammad diyakini sebagi rasul yang membawa misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagai terungkap dalam Al-Qur’an, maka manusia dituntun kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha kuasa hanyalah Allah semata. Syariah memang dapat dirinci menjadi empat bagian (sumber), namun sumber-sumber itu dipandang sebagai ungkapan kehendak Allah, Dzat yang Maha Esa dan Kuasa.[17]Ada sejumlah rujukan dalam Al-Qur’an yang secara tegas menerangkan sumber dan sekup kekuasaan dalam Islam. Misalnya dua ayat berikut :
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S 3:26) dan
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.(Q.S 3: 189)

Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di samping ayat-ayat yang lain menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala keuasaan. Ayat-ayat itu juga menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak seperti yang terdapat pada monarchi Hobbes atau reka-reka hukum dalam bentuk negara yang diajukan oleh John Austin. Tegasnya adalah bahwa Tuhan sendiri yang mempunyai kekuasaan itu. Hanya saja, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusai agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah) Nya di bumi. Oleh sebab itu manusai dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak terbatas sepanjang digunakan hanya demi memenuhi kehendak-Nya. Dengan konsep kekuasaan itu tidak ada lagi pertentangan antara kekuasaan Allah dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintah. Allah tetap berkedudukan sebagai satu-satunya pemilik segala kekuatan itu didelegasikan kepada Nabi Muhammad atau khalifah di Bumi yang mendapat instruksi untuk menegakkan pemerintahan yang adil. Setelah wafat Nabi “secara diam-diam umat Islam memahami bahwa Allah telah medelasikan uji coba kekuasaan-Nya kepada masyarakat Islam yang segera memilih pengganti kedudukan Muhammad sebagai khalifah (wakil) Allah. Hanya saja, kekhalifahan itu hanya berlaku sah bila penanggungjawabnya melaksanakan kehendak Allah atau syariah. Apabila Allah adalah penguasa yang sebenarnya, maka syariah merupakan ungkapan kekuasaan itu, sedang tugas para khalifah-Nya adalah menerapkan hukum-hukum syariah.[18] Implikasinya, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama (syariah), tetapi negara berikut penyelenggarakannya juga bukanlah institusi yang sakral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, ketaatan kepada pemerintah penyelenggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah mereka tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Kendati begitu, harus segera dicatat bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang remeh, karena tanpa kehadirannya suatu tata tertib sosial yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah kiranya akan sulit diwujudkan.[19] Sesungguhnya khalifah atau imam atau kepala negara menjalankan administrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan tersebut. Jadi, ia menunaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para menteri, gubernur, pekerja (pegawai dan pemerintah) daerah, hakim dan lainnya kita mungkin dapat meringkas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini: menjaga keamanan dalam negeri membela negara, baik tanah air maupun rakyat; melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar (negeri); dan mencegah setiap penyelewengan dan penyimpangan atau pelecehan (tasywih). Begitu juga menunaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya: dengan menegakkan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan serta melanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang yang miskin, menarik pajak yang diwajibkan negara atau (mengumpulkan) harta yang diizinkan syara’; menjaganya dan membelajakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengangkat orang-orang yang akan melaksanakan seluruh aktivitas pembelanjaan (negara), keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi.[20] Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya. Karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan.[21] bagi Ibnu Taimiyyah sangat penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan orang.[22] Ibnu Taimiyyah jelas nolak pernyataan bahwa seorang raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan.Dan juga, ia tidak berpandangan bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural. Teori Ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan teori Imamah Syi’ah yang sangat ditentang keras oleh Ibnu Taimiyyah. Pernyataan Ibnu Taimiyyah seperti “Inna al-Sulthan Zhill Allah fi al-Ard” (Sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi) seharusnya tidak dapat ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh kekuasaan dari Tuham. Sebab, di bagian lain, Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hamba-hamban-Nya, tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba (al- Wulat Nuwwab Allah ‘Ala Ibadillah wa Wukala’ al-Ibad ‘ala nufusihim).Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang Mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjukannya sebagai wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenankan menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh Yang Mengangkatnya, Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanat orang-orang yang diwakilinya.[23] Ibnu Taimiyyah merumuskan teori kebersamaan, berkisar sekitar konsep umat secara keseluruhan, di mana pemerintah dan yang diperintah memiliki bentuknya masing-masing. Pertama, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa “keuasaan itu adalah amanah” dan ia mengutip  Al-Qur’an :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. 4 : 58).
Ayat ini diturunkan saat jatuhnya kota Mekkah ke tangan Muslim. Nabi menerima kunci Ka’bah dari Banu syaiba. Paman Nabi, Abbas, minta bahwa ia (Nabi) diberikan kunci tersebut supaya ia dapat menghubungkan kantor penjaga Ka’bah dan penyediaan air bagi para jemaah haji. Saat ayat ini diturunkan, Nabi memberikan kembali kunci tersebut ke Banu Syaiba. Ayat ini menggarisbawahi kepentingan akan keadilan dan kehendak baik terhadap masyarakat oleh penguasa. Ayat Al-Qur’an kedua, yang Ibnu Taimiyyah pandang sebagai dasar pokok kedua dari doktrin politiknya adalah ayat yang diturunkan berurutan dengan ayat tersebut diatas, yang berbunyi:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. 4 : 59).

Ayat ini meminta Muslim untuk patuh terhadap pemerintahnya dan tidak boleh memberontak melawan mereka. Ibnu Taimiyyah menyimpulkan bahwa dua ayat ini menunjukkan hubungan timbal balik antara masyarakat dengan pemerintah yang telah di bahas di atas. Akan tetapi sejak Ibnu Taimiyyah menerima dengan sangat baik seluruh hadits politik determinasi Sunni, ia menuntut bahwa Muslim harus tetap patuh pada pemerintah, sekalipun mereka kejam (Zalim). Kemudian, Ibnu Taimiyyah menyatakan standar pandangan politik Sunni bahwa Muslim harus tunduk kepada kezaliman, daripada memberontak melawan mereka, kecuali kalau pemerintah itu memerintah untuk sesuatu yang bertentangan dengan syari’ah. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”(Q.S. 5:33)

Menurut Ibnu Taimiyyah ayat yang pertama, yakni 58 surat al-Nisaa, dimaksudkan bagi para para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota masyarakat. Sedangkan ayat yang kedua, atau ayat 59 surat al-Nisaa, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintah selama tidak diperintahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Kemudian kalau terjadi perbedaan pendapat antara mereka, maka dalam mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah). Ibnu Taimiyyah mengakhiri pendahuluan dari bukunya yang mengatakn bahwa dengan kewajibannya para pemimpin negara untuk menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak, dan untuk berlaku adil dalam memutuskan sengketa seperti tersebut dalam ayat 58, maka terjadi perpaduan antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang baik.[24] Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukum secara adil.” Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proporsional. Prinsip prinsip keadilan ekonomi syariat dalam barter, retrebusi, dan distribusi kepada kaum miskin harus dijalankan oleh pejabat publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas publik (wilayat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan tertinggi dari setiap tugas publik. Tidak ada pemerintah yang dapat mencapainya tanpa mematuhi norma-norma Islam. Sebaliknya, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif tanpa dukungan kekuatan politik. Konsep ini memberikan Ibnu Taimiyyah landasan untuk menyatakan hubungan yang tak tergoyahkan antara agama dan negara. Ia berujar, “ karena itu, sudah saatnya mempertimbangkan keamiran sebagai salah satu bentuk beragama, yakni satu posisi yang dengannya seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan.” Sebaliknya, penggunaan kekuasaan pemimpin juga merupakan “salah satu kewajiban agama yang paling penting”. “kerena tujuan yang ditetapkan untuk daulah (negara) dan syaukah (otoritas) adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menegakkan agama : jadi, ketika negara dan agama telah benar-benar dijalankan untuk tujuan ini, maka kesejahteraan spiritual dan materi pasti tercapai.[25] Dalam hal pemerintahan bagi Ibnu Taimiyyah, perkataan amanat dalam ayat 58 surat al-Nisaa itu mempunyai dua arti : Pertama, yang diartikan amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepada negara untuk mengelolanya akan baik dan sempurna kalau dalam pengangkatan para pembantunya kepada negara memilih orang-orang yang betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan, meskipun pengertian amanat Ibnu Taimiyyah itu tidak harus berarti sama dengan pengertian Mawardi. Menurut pengertian Mawardi, amanat atau trust lahir sebagai produk dari kontrak sosial antara rakyat sebagai trustor dan kepala negara sebagai trustee. Menurut Ibnu Taimiyyah, sesuai dengan sabda Nabi dan pernyataan Umar bin Khattab, kalau seorang kepala negara menyimpang dan mengangkat seseorang untuk suatu jabatan, sedangkan masih terdapat orang-orang yang lebih cakap dari dia, maka kepala negara tersebut telah berkhianat tidak saja terhadap rakyat, yang dalam konsepsi Mawardi sebagai trustor, tetapi juga terhadapa Allah dan Rasul Allah. Kedua,  perkataan amanat pada ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala negara, dan kalau untuk melaksanakannya dia memerlukan wakil-wakil dan pembatu-pembantu memiliki perysaratan kecakapan dan kemampuan. Kalau dia melimpahkan kewenangan memerintah kepada wakil, pembantu dan pejabat yang kurang cakap, sedangkan terdapat orang-orang yang lebih memenuhi syarat, akan merupakan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul Allah dan umat Islam.[26] Maka dari itu, penafsiran konsep Ibnu Taimiyyah bahwa kekuasaan pemimpin hanya berasal dari Tuhan adalah inkonsisten dan sangat bertentangan dengan pendirian mengenai kesesatan teori Imamah Syi’ah. Dengan demikian, pernyataannya tersebut barangkali lebih baik ditafsirkan dalam kontek bahwa seorang sultan atau kepala negara adalah instituisi yang paling kompeten, kapabel, berkapasitas, dan efektif untuk melaksanakan syariah dimuka bumi.[27] Pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah itu menunjukkan, bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam bai’at menjadi dasar bagi keabsahan pemerintahan Islam. Karena bai’at menjadi dasar bagi keabsahan pemerintahan Islam. Karena bai’at mempunyai arti yang amat penting, maka pelaksanaannya harus dilakukan dalam suasana yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemungkinan adanya oposisi meskipun harus senantiasa terkait dengan syariat, yang wajib dipatuhi pemerintah maupun masyarakat sebagai suatu komitmen tegas untuk mentaati aturan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Dalam subtansi dan pokoknya, bai’at merupakan suatu perjanjian diantara dua golongan. Yaitu pemimpin atau imam yang dicalonkan untuk memimpin negara dan rakyat. Adapun ia (sang pemimpin) dibai’at (bersedia) memerintah atas dasar Al-Qur’an, As-Sunnah dan nasihat dari kaum Muslim. Sedangakan rakyat yang membai’at bersedia taat dalam batas-batas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah apa yang terjadi dengan sebenarnya dimasa khulafaurrasyidin dalam hal berbai’at. Didalam dua prinsip pemilihan dan bai’at ini tampak peran rakyat atau ummah dalam membentuk dan membangun negara dan memilih alat (negara) yang mengurus urusannya. Sebagaimana tampak juga peran ini di dalam berbagai tempat lain.[28] Tugas mengimplementasikan syariah yang Ibnu Taimiyyah limpahkan kepada ulama serta umara menjadi sebab kenaikan dua kelompok itu pada posisi yang tinggi dalam struktur kekuasaan. Dalam jenjang kekuasaan itu ulama dipercayakan mengembang dwi fungsi, menafsirkan hukum-hukum syariah dan merumuskan administrasi keadilan. Sedang umara mendapat tugas menunjang berlakunya hukum-hukum Allah dan mempertahankan negara Islam.[29] “Ulama dan umara,” kata Ibnu Taimiyyah, “adalah mereka yang diisyaratkan Al-Qur’an sebagai ulul Amr atau mereka yang memerintah, pihak yang mesti dittati umat Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S 4 : 59).
Ia juga menambahkan bahwa kelompok itu terdiri dari orang-orang terpilih yang memenuhi syarat-syarat komplementer: keberanian, kekuatan, pengetahuan dan akal. Ia mengharapkan agar mereka sanggup memberikan suriteladan bagi segenap lapisan masyarakat, karena kebanyakan orang cenderung meniru tingkah laku para pemimpin mereka.”Jika para pemimpin itu baik, maka rakyat pun turut baik, tetapi bila mereka korup, rakyat pun ikut korup.”[30] ayat diatas terdapat perintah mentaati Allah dan Rasululllah SAW serta auliya al-umur seperti khalifah, para amir, komandan pasukan, gubernur, qadhi, dan menteri serta orang yang mengemban tanggung jawab mengurusi urusan umat Islam. Dalam ayat ini tidak ada konteks (qarinah) yang mengalihkan pengertian perintah menjadi sunnah atau mubah. Bahkan banyak ayat lain yang melarang menentang para amir atau melawan mereka. Jadi ayat ini menegaskan kewajiban taat kepada ulil amri.  Sedangkan mentaati Allah adalah melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagai tertera dalam Al-Qur’an, sedangkan mentaati Rasul adalah mengamalkan sunnah-sunnahnya serta mengikut perintah-perintahnya.[31] Posisi para ulama yang paling jelas ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah terdapat di dalam pernyataan lain yang berbunyi : “Dan para imam tersebut telah berkata: Sesungguhnya ada dua macam pemegang otoritas, yaitu para ulama dan para penguasa. Di dalam otoritas ini termasuk pemimpin-pemimpin agama (masya’ ikh al-din)  dan raja-raja kaum Muslim. Masing-masing di antara mereka akan dipatuhi menurut bidangnya masing-masing. Yang pertama (masya’ikh)  akan dipatuhi apabila mereka memberikan perintah-perintah yang berkenaan dengan ibadah, dan kepada mereka itulah kaum Muslim berpaling sehubungan dengan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an, Hadits, dan wahyu-wahyu Allah: yang kedua (raja-raja) akan dipatuhi di dalam masalah-masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukuman yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah (al-hudud),  dan tindakan-tindakan serupa yang diperintah Allah. Jadi jelaslah bahwa peranan para ulama sebagi penafsir dan penasehat, dan oleh karena itu janganlah kita memperoleh kesan yang salah apabila mereka disebut sebagai “amir”.[32] Mereka diwajibkan mengatasi problematika-problematika baru dengan dalil Al-Qur’an dan Sunnah, jika memang mampu. Dan jika tidak mampu, karena waktu yang sedikit dan lemahnya peminta, atau menurut hematnya sudah ada dalil-dalil dengan persoalan yang telah lewat, maka ia boleh bertaklit pada orang yang telah lebih berpengetahuan dan agamis, karena orang seperti inilah yang mempunyai pendapat yang kuat.[33]


C. KONSEP KEKUASAAN POLITIK MENURUT ABUL A’LA AL MAUDUDI


Dalam pandangan Maududi, ideologi Islam yang dirumuskan dari elaborasi sistematik atas wahyu Al-Qur’an, dirumuskan dalam semangat penyerahan pada keesaan dan kedaulatan Tuhan. Ia berfungsi sebagai acuan utama bagi sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari negara Islam. Kerena, menurut ideologi Islam, kedaulatan dan hak untuk membuat hak hanya milik Tuhan. Maududi menjelaskan bahwa legislasi hukum oleh lembaga-lembaga seperti badan legislatif dan konsultatif oleh syariah.[34] Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah pemegang kedaulatan dan penetap hukum, dan hukum yang diwahyukan-Nya harus ditetapkan sebagai hukum di bumi.
“ Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. 12:40)
 “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”. (Q.S : 25:2)
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an diatas yang menegaskan bahwa otoritas dan souverenitas (kedaulatan) tertinggi ada pada Tuhan dan bahwa Tuhan sajalah yang berhak menciptakan hukum, maka oleh Maududi diturunkan beberapa perinsip berikut ini : Pertama, tidak ada seseorang, sekelompok orang atau bahkan seluruh penduduk suatu negara dapat melakukan klaim atau souverenitas. Hanya Allah sajalah yang memegang kedaulatan dan arti sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Tuhan. Kedua, Tuhan adalah pencipta hukum yang sebenarnya (the real law-giver), sehingga Dia sajalah yang berkah membuat legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi sepanjang legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Secara demikian kita tidak dapat melakukan modifikasi atas hukum yang telah ditetapkan Tuhan, walaupun rencana modifikasi itu disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota perwakilan rakyat misalnya. Ketiga, suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Tuhan sebagaimana diterangkan oleh Nabi-Nya wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan seperti itu pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang memberlakukan peraturan-peraturan Tuhan.[35] Islam memberikan kedaulatan terbatas pada rakyat, itu sudah jelas. Rakyat dalam teori politik Islam tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kedaulatannya itu dengan semau-maunya, karena ada peraturan-peraturan Tuhan, norma-norma dan nilai-nilai Ilahi yang harus ditaati. Malahan norma-norma dan nilai-nilai Ilahi itu harus menjadi paradigma program-program sosial, politik, dan ekonomi yang ditentukan oleh rakyat lewat para wakilnya. Dari pengertian prinsipil ini Abul A’la Al Maududi menciptakan istilah theo-democacy untuk menyimpulkan konsep politik dan pemerintahan dalam Islam. Secara esensial, theo-democracy Islam itu berarti bahwa itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat terbatas di bawah pengawasan Tuhan, atau a limited popular soverignty under the suzerainty of God seperti diistilahkan oleh Abul A’la.[36] Ditinjau dari kacamata teori politik modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh Maududi kelihatan unik, bahkan mungkin “ganjil”. Keunikan atau katakanlah keganjilan teori politik Abul A’la Al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa sauverinitas (kedaulatan) ada ditangan Tuhan, ‘bukan’ di tangan manusia. Jadi berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya berada ditangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar negara. Sekalipun sebagian pikiran dan tenaga yang mereka kerahkan bukan untuk rakyat, tetapi hanyalah untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang dan untuk mengamankan vestes interest mereka sendiri.[37] Akan tetapi penolakan Maududi terhadap teori kedaulatan rakyat bukan terutama berdasarkan bukti-bukti praktek demokrasi yang terlalu sering menyeleweng, namun terutama berdasarkan pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa otoritas dan souverenitas tertinggi adalah di tangan Tuhan. Di samping itu Tuhan sajalah yang berhak memberikan hukum (law giver) bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum, menentukan apa yang boleh (halal) dan apa yang terlarang (haram). Hukum di sini berarti norma-norma dasar bagi penciptaan masyarakat yang adil dan sejahtera. Bukan hukum-hukum administrasif atau hukum-hukum lalu lintas dan sebagainya. Dalam pengertian ini sudah barang tentu manusia diperbolehkan membuat peraturan seterperinci mungkin.[38] Kiranya tidak seorangpun yang menyangkal kebenaran pendapat Maududi bahwa pada hakikatnya kekuasaan tertinggi didunia ini adalah pada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Tetapi dokrik kedaulatan rakyat tidak pernah diartikan untuk ingkar terhadap kedaualatan Tuhan. Menurut sejarah dokrin kedaulatan rakyat dahulu diranangkan untuk melawan konsepsi kedaulatan raja sebagai penguasa tertinggi dan tunggal dengan kekuasaan yang absolute. Maududi adalah pemikiran politik Islam pertama yang memperhatikan pengertian bahwa umat manusia itu khalifah-khalifah (Allah) dibumi sebagai landasan teori politik. Nampaknya konsepsinya bahwa kedaulatan adalah milik Tuhan dan manusia sebagai khalifah-khalifah (Allah) dibumi hanyalah pelaksana kedaulatan itu dan harus tunduk kepada ketentuan atau hukum yang telah diberikan oleh Tuhan sebagai pemilik kedaulatan terutama dimaksudkan untuk dasar rasional bagi pendapat Maududi bahwa kekuasaan rakyat itu terbatas dan tidak mutlak. Mereka harus tunduk kepada siperangkap hukum yang lebih tinggi, atau singkatnya perinsip supremasi syariah suatu hal yang sesungguhnya sudah cukup diyakini dan disadari oleh tiap muslim. Sementara itu, sebagai kelanjutan dari teori Maududi bahwa manusia itu adalah khalifah-khalifah (Allah) dibumi, dia berpendapat bahwa kedudukan sebagai khalifah-khalifah itu terbatas hanya dimiliki oleh umat islam, mereka yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. [39] Al-Maududi membagi lembaga pemerintahan negara menjadi tiga :a) kepala negara (khalifah atau amir) sebagai eksekutif. b) majlis syura (ahl–al–hall wa al–al–aqd) sebagai legislative c) badan kehakiman (qadhi) sebagai yudikatif.[40] kepala negara juga merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintah merupakan pimpinan tertinggi negara yang bertanggung jawab terhadap Allah dan terhadap rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat kepercayaan dari umat islam atau lembaga legislative, yang anggotanya di pilih melalui pemilihan, “ meskipun prosedur demikian tidak terdapat pada jaman Khulafa Rasyidin”. Maududi berpendapat bahwa persoalan legistatif dalam Islam merupakan tugas yang dibebankan kepada ulama. Lembaga legistatif dalam suatu Negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan. (1) Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasullulah SAW, meskipun legistatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka hanya legistatiflah yang akan kompeten untuk menegakkan dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal, serta menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya. (2) Jika pedoman-pedoman Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam Kitab Undang-Undang Dasar, Untuk tujuan ini tidak ada tawar menawar lagi bahwa lembaga legislative ini harus beranggotakan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan dan kapasita untuk menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an dan yang dalam memberikan berbagai keputusan tidak akan melepaskan diri dari jiwa atau isi syariah. Pada dasarnya, harus diakui bahwa untuk tujuan perundang-undangan, suatu lembaga legislatif harus memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa mengenai penafsiran mana yang harus lebih dipilih dan untuk menegakkan penafsiran mana yang lebih dipilihnya ini sebagai hokum, kecuali bahwa penafsiran itu hanya satu dari bukan meruapakan pelanggaran atau penyimpangan semua dari hukum. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah, fungsi lembaga legislatiflah ini adalah untuk menegakkannya hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam. Dan jika sudah ada hokum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqh, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya. (3) Jika dan dalam masalah apa pun Al-Qur’an dan Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi al-Khulafa al-Rasyidun, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melalukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini, lembaga legislative dapat merumuskan hokum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Syariah- prinsip yang menyatakan bahwa apa pun yang tidak diharamkan itu halal hukumnya.[41] legislasi dalam Negara Islam juga dibatasi dalam batas-batas yang ditetapkan syari’at. Perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya harus dijunjung tinggi dan dipatuhi, dan tidak boleh satu pun lembaga-lembaga legislatife yang boleh melakukan perubahan-perubahan di dalamnya, atau membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Mengenai perintah-perintah yang mempunyai lebih dari satu penafsiran, maka kewajiban untuk memastikan tujuan sebenarnya dari perintah-perintah tersebut terletak di pundak orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai hukum syari’at. Dengan demikian, masalah-masalah seperti ini harus diserahkan kepada suatu sub-komite dari dewan penasehat (syura) yang terdiri dari para ahli hukum Islam. Diluar masalah-masalah yang tercakup dalam ketentuan-ketentuan syari’at, dewan legislatif dan dewan penasehat mempunyai kebebasan yang luas untuk membuat hukum-hukum tambahan yang diperlukan. [42]


D. PERSAMAAN KONSEP KEKUASAAN POLITIK IBNU TAIMIYYAH DAN ABUL A’LA AL MAUDUDI
 KEKUASAAN TUHAN
Dalam menganalisa persamaan konsep kekuasaan Tuhan menurut Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi, ada beberapa point persamaan dari konsep mareka yaitu: Pertama, Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi sama mengakui hukum yang digunakan adalah hukum Islam. Argumen Ibnu Taimiyyah syari’ah merupakan sumber hukum yang tertinggi dan berada di atas segalanya. Segala bentuk tindakan perbuatan manusia harus memiliki landasan, atau paling tidak dijiwai oleh kesesuaian dengan Syari’ah. Maka, apabila timbul konflik ataupun perbedann pendapat, penyelesaiannya haruslah merujuk pada ketentuan syari’ah. Lebih dari itu, ketaatan kepada sebuah pemerintahan hanya dapat diberikan sepanjang pemerintahan itu konsisten dan tunduk pada syari’ah, yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya dalam Al-Qur;an dan Sunnah.[43] Abul A’1a Al Maududi berpendat bahwa Allah adalah pembuat aturan hukum dalam arti seutuhnya dan wewenang untuk menetapkan berlakunya aturan hukum itu secara mutlak berada ditangannya. Orang-orang yang beriman (Mukmin) sama sekali tidak dibolehkan menetapkan aturan yang berlawanan dengannya atau mengubah setiap aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Walaupun keinginan untuk menyatakan berlakunya aturan itu atau untuk mengubah aturan hukum Allah itu telah disepakati bersama. [44] Kedua, Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi sama-sama mengakui bahwasanya kekuasaan tertinggi itu hanya milik Allah semata melalui legalitas kalimat Tauhid (la ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah). Pendapat Ibnu Taimiyyah tentang kalimat tauhid, kalimat tersebut merupakan dasar dari keyakinan umat Islam bahwasanya tidak ada kekuasaan dan kedaulatan dan segala kerajaan di langit dan dibumi adalah milik Allah, karena Muhammad diyakini sebagai Rasul yang membawa misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagai terungkap dalam Al-Qur’an, maka manusia dituntun kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha kuasa hanyalah Allah semata. Banyak dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan bahwa Allah adalah sumber segala kekuasaan. Hanya saja Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah) Nya dibumi.[45]

  1. KEKUASAAN KEPALA NEGARA
Pertama, tentang kekuasaan kepada Negara Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kekuasaan yang diperoleh kepada Negara merupakan delegasi dari rakyat bertujuan untuk menjaga keamanan baik dalam maupun diluar negeri, agar dapat melindungi agama dan mencegah setiap penyelewengan dan penyimpangan maupun pelecehan, sehingga hukum-hukum Allah dapat ditegakan dalam kehidupan bernegara. Kemudian bahwasanya kekuasaan kepada negara adalah amanat dari Allah SWT dan amanat haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dan didalam menjalankan tugas- tugasnya kepala Negara diwajibkan mengangkat pembantu-pembantunya dan bermusyawarah dengan mereka dalam mengambil keputusan. Bagi Ibnu Taimiyyah seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada yang mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang telah menunjuknya sebagai wakil.[46]Dalam pandangan Abul A’la Al Maududi kedaulatan sesungguhnya hanyalah milik Allah siapapun yang memainkan kekuasaan itu sesuai dengan norma-norma dan hukum-hukum Tuhan, maka dengan sendirinya ia menjadi khalifah (penganti) Tuhan yang Maha kuasa dan ia tidak mempuntai otoritas atas sesuatu, kecuali yang telah didelegasikan kepadanya, kekuasaan untuk mengatur bumi untuk kemakmurannya, dan mengelola Negara, juga untuk mensejahterakan seluruh masyarakat yang beriman.[47] Kedua, Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi sama-sama mengatakan bahwa kekuasaan yang didapat oleh kepala Negara merupakan amanah dari Tuhan dan rakyat. Maka, kepala Negara harus bertanggung jawab kepada Tuhan dan bertanggung jawab juga kepada rakyat yang telah menyerahkan kekuasaan kepada kepala Negara. Seseorang yang telah ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintah berarti ia mendapat tugas-tugas administrasif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat, tidak lebih dari itu jadi ia bertanggung jawab kepada Allah disatu pihak dan dilain pihak bertanggung jawab kepada ”khalifah-khalifah” lainnya (rakyat pada umumnya) yang telah mendelegasikan otoritas mereka kepadanya.[48] Dalam pandangan Abul A’la Al Maududi orang-orang beriman merupakan khalifah-khalifah Allah dibumi. Dalam menjalankan kekuasaan yang telah didelegasikan pada khalifah. Khalifah-khalifah berhak mengangkat pembantu-pembantu yang terbagi dalam lembaga eksekutif, legistatif dan yudikatif.

  1. KEKUASAAN ULAMA DAN UMARA
Pertama, Ulul-Amr dalam pandangan Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi adalah “Ulama dan Umara”, mereka inilah yang membantu kepala negara atau khalifah dalam mengimplementasikan syari’ah, menafsirkan hukum-hukum syari’ah untuk memecahkan berbagai masalah baru yang timbul. Dalam konsep Maududi tugas yang dibebankan kepada ulama lebih ditekankan menciptakan peraturan-peraturan, undang-undang yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan mempunyai kebebasan yang luas dengan para pembantunya untuk membuat hukum-hukum dan undang-undang tambahan yang diperlukan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah. Sedangkan untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi sama-sama menggunakan kata-kata ulul amri yaitu “Ulama dan Umara” untuk orang-orang diberi kepercayaan untuk mengatur urusan-urusan Muslim. Dan sama-sama mendapatkan tempat yang istimewa dalam negara. Dan kalimat tauhid Abul A’la Al Maududi yang merupakan suatu pernyataan yang nampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta, dalam pandangan Maududi mempunya implikasi yang lebih jauh daripada apa yang ditunjukan oleh keterangan itu sepintas lalu. Bagian pertama dari syahadat itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan yang Maha Kuasa sebagai yang Maha Pengatur. [49]Seorang manusia yang telah berikrar dengan la ilaha illah Allah, berarti telah bersedia mematuhi kehendak Allah dan tidak akan mengakui kekuasaan selain kekuasaan Allah. Seluruh hidupnya, matinya, sholatnya, dan ibadahnya hanya didedikasikan  kepada Allah.[50]  tidak ada seseorang, sekelompok orang atau bahkan seluruh penduduk suatu Negara dapat melakukan klaim atas souveniritas ( kedaulatan). Hanya Allah sajalah yang memegang kedaulatan dalam arti sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Tuhan. [51]

D. PERBEDAAN KONSEP KEKUASAAN POLITIK IBNU TAIMIYYAH DAN ABUL A’LA AL MAUDUDI
    KEKUASAAN TUHAN
Dalam menganalisa perbedaan konsep kekuasaan Tuhan menurut Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi, ada beberapa point perbedaan dari konsep mereka yaitu : pertama, Menurut Ibnu Taimiyyah konsep kekuasaan politik lebih bersifat demokrasi kerakyatan artinya kekuasaan sepenuhnya ada ditangan rakyat dalam pengangkatan pemimpin (bai’at), setelah tercapainya hasil final, baik oleh keputusan seseorang maupun oleh kesepakatan beberapa orang. Tetapi hukum-hukum yg dijalankan adalah hukum Tuhan. Tanpa melupakan bahwa sesungguhnya Tuhan sebagai satu satunya pemilik segala kekuatan dan kekuasaan. Sementara Al Maududi berpandangan bahwa kekuasaan politik lebih bersifat theo-demokrasi artinya kekuasaan sepenuhnya dalah milik Tuhan, manusia hanya menjalankan hukum-hukum Tuhan. Tuhan pula yang memberinya kekuasaan. Allahlah adalah pembuat hukum yang sebenarnya, dan wewenang untuk membuat undang-undang yang mutlak hanyalah ada di tangan-Nya. Orang-orang yang beriman tidak dapat menyusun undang undang yang sama sekali independen dari Allah, ataupun merubah sesuatu hukum yang telah ditetapkan Allah, walaupun seluruh rakyat menghendakinya. [52] Kedua, Ibnu Taimiyyah tidak terlalu mendukung konsep “Inna al-Sulthan Zhill Allah fi Ard” (sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan dibumi), karena seorang pemimpin mempunyai status ganda. Sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang Mengutusnya dan wakil para hambanya yang bertanggung jawab pula dalam mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjuknya sebagai wakil.[53] Sedangkan Abul A’la Al Maududi berpendapat bahwa kedaulatan adalah milik Tuhan, dan manusia sebagai khalifah khalifah (Allah) di bumi hanyalah pelaksana kedaulatan itu dan harus tunduk kepada ketentuan ketentuan hukum yang telah diberikan oleh Tuhan sebagai pemilik kedaulatan. Tak seorangpun, tidak suatu kelas atau kelompok masyarakat, bahkan seluruh rakyat suatu negara yang dapat mendakwahkan bahwa mereka memiliki kedaulatan. Pemilik kedaulatan yang sebenarnya adalah Allah.[54]
  1. 2.       KEKUASAAN KEPALA NEGARA
Pertama, dalam konsep Ibnu Taimiyyah bahwa kekuasaan ekskutif dan kekuasaan legislatif berada dalam tangan seorang penguasa seperti yang terjadi dimasa Rasulullah dan para Khalifah setelah Rasulullah wafat. Khalifah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, bersama-sama dengan para pembantunya menjalankan segala ajaran dan hukum kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan hukum fiqh yang telah dibuat dan disetujuinya. Dalam hal-hal yang tidak ada nash pasti dalam Al-Qur’an dan Sunnah Khalifah sebagai penguasa legislatif diharuskan meminta pendapat dan bermusyawarah dengan para ulama atau “ahlul hilli wal aqdi” dan sebaliknya para ulama atau ahlul hilli wal aqdi diwajibkan memberikan pendapat dan bermusyawarah dengan khalifah. Dalam konsep Maududi lembaga pemerintahan negara dibagi menjadi tiga yaitu: pertama kepala negara sebagai eksekutif kedua majelis syura sebagai legislatif tiga badan kehakiman sebagai yudikatif. Kepala negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak, dia dapat mengambil pendapat yang didukung oleh kelompok kecil dalam majelis atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat majelis, baik mayoritas maupun minoritas. Tetapi rakyat tetap wajib mengawasi dengan jeli kebijakan kepala negara dan ternyata dalam memerintah dia lebih mementingkan hawa nafsunya mereka berhak memecatnya. [55] Kedua, bagi Ibnu Taimiyyah masyarakat muslim tidak boleh memberontak dan melawan kepala negara yang muslim. Sekalipun kepala negara itu zalim. Kalau masyarakat memberontak akan terjadi pembunuhan, barang siapa yang membunuh akan dijatuhi hukuman yang berat.
Tetapi bagi Abul A’la Al Maududi kepala negara yang memerintah masyarakatnya dengan hawa nafsunya maka kepala negara itu boleh di pecat.
  1. 3.       KEKUASAAN ULAMA DAN UMARA
Pertama, Ibnu Taimiyyah menggunakan istilah ulul Amri untuk para pembantu kepala negara. Tetapi ulul amri yang di isyaratkan oleh Al-Qur’an adalah “Ulama dan Umara”. Ulama dalam pandangan Ibnu Taimiyyah menempati posisi urgen, karena dalam Islam sesungguhnya ada dua macam pemegang otoritas yaitu ulama dan para penguasa, masing-masing diantara mereka akan dipatuhi menurut bidang masing- masing. Ulama otoritas yang berkenaan dengan ibadah dan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an, Hadis dan wahyu-wahyu Allah. Dan para penguasa mempunyai otoritas didalam masalah-masalah jihad pelaksanaan hukum-hukum sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maududi juga menggunakan istilah ulul amri untuk para pembantu “kepala negara, tapi yang dimaksud ulul amri bagi Maududi adalah lembaga eksekutif. Maududi berpendapat bahwa persoalan legistatif dalam Islam merupakan tugas yang dibebankan pada ulama, otoritas ulama hanya menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang yang sesuai dengan syari’ah dan menginterprestasikan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua ulama dalam konsep Ibu Taimiyyah tidak menciptakan merumuskan undang-undang, tapi sebagai penafsiran dan penasehat dalam negara, tapi dalam konsep Abul A’la Al Maududi ulama berperan dalam menciptakan dan merumuskan peraturan-peraturan dan undang-undang dalam negara.

 E. PENUTUP
 Dalam buku as-Syiyasah as-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyyah mengganggap mendirikan sebuah negara merupakan sebuah kewajiban dan tugas suci dan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi adalah Allah Yang Maha Kuasa, tapi Allah juga menghendaki manusia agar berperan sebagai wakil Allah dimuka bumi. Jadi manusia dapat memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah, dengan syarat kekuasaan-Nya itu digunakan untuk menjalankan perintah seperti didalam Al-Qur’an dan sunnah. Kepala negara diangkat oleh rakyat, dengan maksud agar dapat mengatur kehidupan mereka, sehingga rakyat dapat hidup aman dan sejahtera. Dan kepala negara tidak boleh melanggar amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya, kepala negara boleh mengangkat pembantu-pembantunya untuk menciptakan undang-undang dan peraturan-peraturan tetapi sesuai dengan syari’ah yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ulama dan Umara dalam konsep Ibnu Taimiyyah menempati kedudukan yang penting dalam negara. Ulama akan dipatuhi apabila mereka memberikan perintah-perintah yang berkenaan dengan ibadah, penafsiran-penafsiran Al-Qur’an, Hadist, dan wahyu-wahyu Allah. Sedangkan Umara akan dipatuhi dalam masalah-masalah jihad pelaksanaan hukum-hukum yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah. Konsep Abul A’la Al Maududi tentang kedaulatan dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata, karena Allah menciptakan dan mengantur alam semesta. Jadi manusia sebagai makhluk Tuhan, ia harus tunduk dan patuh, Manusia hanya wakil dari Tuhan untuk melaksanakan kekuasaan-Nya diatas bumi sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan-Nya. Kepala negara atau amir juga merangkap sebagai eksekutif atau pemerintah merupakan pimpinan tertinggi negara yang bertangging jawab kepada Allah dan terhadap rakyatnya. Jadi sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, kepala negara juga mendapatkan pendelegasian otoritas dari rakyat-rakyatnya. Maka, kepala negra harus bertanggung jawab kepada Allah dan rakyat. Dalam konsep Abul A’la Al Maududi setiap orang muslim adalah khalifah Allah dimuka bumi. Seorang ulama ditruntut untuk menjelaskan hukum Allah, sementara penguasalah yang menjalankan. Jadi legislatif yang ditugaskan kepada ulama dalam suatu negara Islam untuk menciptakan hukum-hukum dan undang-undang dan lembaga legistatif tidak boleh melakukan perubahan-perubahan atau hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dari sudut persamaan dua tokok ini hampir sama dengan memahami kekuasaan. Dimana sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan hakiki itu mutlak hanya milik Allah semata dan jika manusia memegang kekuasaan tidak lain hanya sebagai wakil Allah di muka bumi dalam mengurus kehidupan masyarakat muslim, dan tujuan dari kekuasaan yang dilegasisaikan pada kepala negara atau khalifah adalah untuk menciptakan pemerintah yang adil dan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Lebih lanjut bagi keduanya juga berpendapat bahwa sesungguhnya fungsi utama kepala negara atau khalifah adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allah yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan didalam menjalankan pemerintahan, kepala negara atau khalifah boleh mengangkat orang-orang kepercayaannya dalam membantu tugasnya. Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi juga mengatakan peran ulama dalam membantu kepala negara untuk menciptakan undang-undang yang harus ditaati oleh segenap warga negara. Tugas ulama ini tidak lain untuk menafsirkan kembali Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Sedangkan dari sudut perbedaannya, Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi berbeda dalam pendelegasian kekuasaan. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa kekuasaan itu milik Allah dan diberikan kepada masyarakat muslim yang kemudian menyerahkannya kepada kepala negara dalam mengurus kehidupannya. Sedangkan menurut Maududi sesungguhnya kekuasaan itu mutlak milik Allah semata, karena teori kedaulatan yang sering digunakan pada umumnya sering disalahgunakan hanya untuk melestarikan kekuasaan dan kepentingan mereka dan kelompok penguasa. Perbedaan pendapat juga terlihat dalam kekuasaan yang dipegang oleh kepala negara, bagi Ibnu Taimiyyah kepala negara memegang dua lembaga yaitu lembaga ekseutif dan legeistatif. Sedangkan pendapat Maududi kepala negara hanya memegang satu lembaga yaitu eksekutif. Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi juga berbeda dalam kekuasaan ulama dalam negara. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ulama dan umara mempunyai tugas untuk menafsirkan. Hukum-hukum syari’ah pembimbing, penasehat dan melaksanakan berlakunya hukum-hukum Allah. Sedangkan Maududi berpendapat bahwa ulama dan umara mempunyai tugas yang berbeda dan lembaga yang berbeda pula, ulama di lembaga legislatif yaitu menciptakan peraturan-peraturan undang-undang. Dan umara dilembaga eksekutif yaitu menegakan pedoman-pedoman Tuhan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah sehingga seluruh masyarakat muslim dapat melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah menganalisa pendapat Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi tentang kekuasaan politik, akhirnya penulis lebih memilih pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai landasan pemikiran. Karena konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyyah lebih relevan dengan konsep demokrasi kontemporer. Karena manusia dimuka bumi dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tanpa melupakan bahwa yang mutlak mempunyai kekusaan hanya Tuhan semata. Dan kekuasaan yang dimiliki manusia adalah delegasi dari Tuhan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin adalah amanah dari rakyat dan seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas amanah dari rakyat dan seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas amanah tersebut terhadap rakyatnya dan Allah. Dan tugas dari ulul amri adalah menafsirkan huku,-hukum Tuhan dan sebagai penasehat kepala negara. Apa yang menjadi pandangan Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi terhadap konsep kekuasaan masih perlu dikritisi lagi, karena zaman akan terus berubah dan pemikiran pun akan semakin berkembang dan konsep tentang kekuasaan pun akan semakin banayak di interprestasikan lagi oleh pemikir-pemikir zaman. Konsep kekuasaan Ibnu Taimiyyah dan Abul A’la Al Maududi banyak dipengaruhi oleh zaman dimana mereka hidup. Karena mereka berusaha untuk menciptakan suatu system yang mereka anggap system tersebut relevan pada saat itu. Politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Banyak penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan yang mereka dapatkan hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok mereka dan mungkin untuk melanggengkan posisi mereka. Untuk para pemimpin umat sesungguhnya kekuasaan itu amanat yang harus dipertanggung jawabkan. Dunia Islam saat ini membutuhkan figur seorang pemimpin yang dapat mengatur kehidupan masyarakat muslim. Dan melaksanakan ajaran-ajaran dan hukum-hukum Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karena masyarakat akan mencontoh pemimpinnya, jika pemimpin suatu masyarakat baik maka akan baik pula masyarakat tersebut dan jika jelek seorang pemimpin suatu masyarakat makan akan jelek pula masyarakat tersebut. Mengutip dari ucapan Ibnu Taimiyyah: “Allah akan menurunkan berkah kepada masyarakat yang adil walaupun terdiri dari orang-orang kafir dan Allah akan menurunkan azabnya kepada masyarakat zhalim walaupun terdiri dari orang-orang muslim”.




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Baz, Abdullah Aziz bin, et.all. Koreksi Totak Masalah Politik dan Pemikiran: Dalam al-Qur’an dan Sunnah. Terj. Ihsan Al-Atsari. Jakarta: Darud Haq.2002.
Ahmad, Khurshid. Pesan Islam.terj. Achsin Mohammad. Bandung: Mizan.1983.
Ali, A. Multi. Alam Fikiran Modern Di India dan Pakistan. Bandung: Mizan. 1998,Cet.IV.
Azra, Azyumardi Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post – Modernisme. Jakarta: Paramadina.1996.
udiardjo, Miriam, Dasar – dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.1997.
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Terj Abdullah Ali dan Mariana Ariestywati. Jakarta: PT,. Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. (Surabaya: Pt. Bina Ilmu). 1995.
Donohue, Jhon J., Jhon L. Esposito. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedia Masalah – masalah. Terj. Machnum Husein. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1995.
Esposito, Jhon.L., Islam dan Politik Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
——————–. Ensiklopedia Oxford. Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., bandung: Mizan 2001
Hasjmy, A., Di mana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.1984.
Taimiyyah, Ibnu. Kebijaksaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi. Surabaya: Dunia Ilm.1997
Jindan, Khalid Ibrahin. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam. Terj. Masrohin. Surabaya: Risalah Gusti.1995.
Khan. Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah. Terj. Anas, Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka 1995.
Madjid, Nurcholish. “Kata Sambutan” Dalam Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.1990
Maududi, Abu Ala.Hukum dan konstitusi: Sistem Politik Islam. Terj. Drs. Asep Hikmah. Bandung : Mizan, 1994.
————. Khilafah dan Kerajaan:Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintah Islam, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung:Mizan.1996.
————. Hak – hak Manusia dalam Islam. Terja. Iriana Djajaatmaja. Bandung: Mizan.1985.

Mubarak, Muhammad. Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam.terj. Friman Hariyanto. Solo. CV. Pustaka Mantiq. 1995. Cet.I.
Mulia, Musdah. Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina.2000.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jakarta:UI Press.1978.
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.1994.
Qadir Abu Fariz, Muhammad Abdul. Sistem Politik Islam. Terj. Musthalah Maufur. Jakarta: Robbani Press.1999.
Rahman. Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Description: :PT. Raja Grafindo Persada. 2000.
Salim, Abd. Muin. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995.
Salim G.P, M. Arskal. Etika Intervensi Negara : Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah. Jakarta : Logo, 1999. Cet.I
Sadjzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI Press.1990.
Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta; Logo.2001
Zada, Khamami dan Arif R. Arofah. Diskursus Politik Islam. Jakarta : KSIP (Lembaga Studi Islam Progresif).2004







[1] Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.1
[2] Abul A’la Al Maududi, Hukum dan konstitusi : Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung : Mizan, 1994), h.1
[3] Nurcholis Madjid, “Kata Sambutan” dalam Munawir Syadzali, Islami dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), h. 307
[4] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:Penerbit UI Press 1993), h. 89
[5] Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, (Surbaya: Dunia Ilmu, 1997). H. 159.
[6] Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 172-173.
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur`an dan terjemahnya, h.553.
[8] Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 169
[9] Ali, Alam Pikiran Islam Modern, h. 239
[10] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit UI Press 1993). h. 165
[11] Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia. h. 16

[12] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung, Mizan, 1993), h. 242-243
[13] Dalam hal ini penulis menggunakan edisi terjemahannya kebijaksanaan Politik Nabi Saw, terj. Muhammad Munawir Az-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997)
[14] Khaild Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya:Risalah Gusti, 1995). h. 57.
[15] Jindan, Teori Politik Islam, h. 60
[16] Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 180-181
[17] Jindan, Teori Politik Islam, h. 71
[18] Jindan, Teori Politik Islam, h. 73-34
[19] M. Arskal Salim G.P., Etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 52
[20] Muhamad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995), h. 70.
[21] Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW. terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, (Surabaya:Dunia Ilmu, 1997)h. 158
[22] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada), 2000. h. 235
[23] Salim G.P., Etika Intervensi Negara, h. 50.
[24] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:Penerbit UI Press 1993), h. 83
[25] Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 291-292
[26] Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 86.
[27] Salim G.P., Etika Intervensi Negara, h. 50
[28] Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam, h. 38.
[29] Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam, h. 38.
[30] Jindan, Teori Politik Islam, h. 76.
[31]Muahmmad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta:Robbani Press, 1999), h. 46.
[32] Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, h. 238.
[33] Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, (Surabaya:Dunia Ilmu, 1997) h. 156
[34] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politk Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 143
[35] Abul A’la Al Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:Mizan, 1996), h. 21.
[36] Abul A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:Mizan, 1996), h.21.
[37] Maududi, Khilafah dan Kerajaan, h. 19
[38] Maududi, Khilafah dan Kerajaan, h. 21
[39]   Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 172 – 173
[40] Khamami zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: LSIP Lembaga Studi Islam progresif) 2004 h.10

[41] Maududi Hukum dan Konstitusi. H, 246

[42] Abu Al-A-a’la Al- Maududi, Hak – hak Azazi Manusia Dalam Islam terj. Iriana Djajaatmaja (Jakarta; Bumi Aksara 1995), h. 13
1. M.Arskal Salim G.P., Etika Intervensi Negara Perspektif Etika politik Ibu Taimiyyah,(Jakarta: Logos,1999), h. 54
2.  John J. Donohue, Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan. Ensiklopedi Maslah – masalah terj. Machnun Husein.
3. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam telaah kritis Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam.
[46]Fazlur Rahman, Gelombang perubahan dalam Islam ;Studi FundamentalisIislam, terj. Aam Fahramia, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada), 2000.h.235
[47] Maududi, Khalifah dan kerajaan, h.32
[48]. Maududi, Khalifah dan kerajaan,h.34.
[49]. A.Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung, Mizan 1993).h.243
[50]. Maududi, Khalifah dan Kerajaan h.18

[51]. Maududi khalifah dan kerajaan.h.22
[52]. Khurshid Ahmad, Pesan Islam, terj.Achsin Mohammad (bandung; Pustaka.1983),h.193
[53] Salim G.P., Etika Intervensi Negara,h.50
[54] . Ahmad,Pesan Islam,h.193

[55]. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta; Penerbit UI Pres 1993), h.167

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar