Hukum, Moral dan Agama : Sebuah Risalah
Hukum Alam Sampai Positivisme
Pendahuluan
Barangkali
untuk mempermudah pemahaman hubungan antara Hukum dan moral dan agama kita
dapat membayangkanya sebagai kisah polemik dua insan manusia yang saling
mencintai. Kedua insan tersebut dapat diandaikan saling berebut untuk dapat
menyalurkan cintanya pada yang lain, dan sebagaimana pula kisah-kisah cinta
yang lain, cinta selalu menyertakan konflik. Seperti epos Bekisar Merah karya Ahmad
Tohari, perjumpaan dari satu insan diiringi dengan perpisahan dilain waktu saat
.
Hukum
dan moral dan agama juga memiliki kisahnya sendiri. Hukum yang kita terima pada
hari ini tidak terlepas dari kisah pergulatan hukum dengan yang lain serta
tidak lepas pula dari perkembangan zaman yang mengawalnya. Abad pertengahan misalnya,
dimana gereja kala itu memiliki kekuasaan absolut sehingga waktu itu hanya ada
dua kata ganti yang meunjukkan status manusia: warga atau umat. Disusul
kemudian munculnya humanisme dan pencerahan dimana di masa itu manusia mencoba
untuk keluar dari dogma gereja dalam terang akal budi ilmu-ilmu pengetahuan
yang ditandai oleh para kaum copernican dan newtonian. Seiring perkembangan
zaman, modernisme dianggap tidak lagi dapat menjawab masalah hari ini yang kian
kompleks sehingga melahirkan generasi pengkritiknya: postmodern yang berusaha
membunuh totalitas kebenaran demi merengkuh keberagaman. Kisah-kisah tersebut
bukanlah sebuah kejadian yang terjadi secara tunggal melainkan memiliki
korelasi dengan kisah perkembangan hukum dengan moral dan agama.
Melihat
hukum dalam suatu refleksi bukanlah hal yang mudah tapi memiliki nilai lebih
tersendiri sebgaimana dikatakan oleh Mensky “If law students can, from the start, develop sensitivity for how
different concepts of law have been historically growing within a spesific
socio-cultural environment, they have also benn thaught to function as humans,
not just to think as lawyers”[1].
Dengan demikian maka mempelajari kisah panjang perjalanan hukum dan
berbagai lingkup disekitarnya merupakan suatu tindakan dalam memahami manusia
dan berpikir sebagai manusia.
Sebelumnya harus diakui bahwa
kekurangan dalam tulisan ini adalah sempitnya ruang lingkup perihal
perkembangan hukum dengan memfokuskan pada sejarah perkembangan hukum dengan
moral dan agama di Eropa. Padahal tiap sudut dunia tiap kebudayaan memiliki
kisah perkembanganya dan sistem hukum sendiri yang unik dan khas.
Hukum
Alam yang Universal dan Abadi
Ada
perdebatan yang sengit dalam mempertautkan hukum dan moral, dari Kelsen, Hart,
maupun Austin dan para tokoh lainya. Namun apabila kita runut lebih awal
perdebatan tersebut telah terjadi semenjak berlakunya Hukum alam. Hukum alam
digunakan dan menyebar luas di Eropa dari Yunani hingga pudar pada abad 19.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hukum Alam adalah hukum yang berlaku
Universal yang mengikat semua manusia dn berlaku sepanjang waktu[2]
dalam perjalananya, Hukum Alam nantinya juga mendapat pengaruh dari keagamaan
dan proses sekularisasi. Bagaimanapun juga, Hukum alam mengandaikan adanya keadilan absolut yang
mengatasi semua permasalahan manusia/
Pada filsafat hukum Yunani, beranggapan bahwa
hukum buatan manusia adalah hukum yang cacat, para filsuf ynani kuno
beranggapan bahwa ada yang lebih “mulia” dari keambiguan hukum buatan manusia.
Seiring dengan filsafat alam, filsuf Yunani Kuno percaya bahwa hukum alam
merupakan suatu hukum yang inheren dalam kehidupan sosial dan keberadaan
manusia dalam alam kosmos.Hal tersebut tampak pada moral keagamaan masyarakat
yunani yang mempercayai adanya hukum dan keadilan yang berasal dari Themis[3]
yang diterima oleh raja melalui Zeus.
Anggapan adanya ambiguitas dalam hukum manusia
juga dikatakan oleh kaum sofis. Para sofis berpendapat bahwa pembuat dan
penegak hukum hanya mencari keuntungan demi kepentingan pribadi. Jadi terdapat
dua hal yang menarik disini. Pada satu sisi hukum merupakan pemberian dari para
dewa namun disisi lain manusia yang menegakkan dan mengaplikasikan hukum
kedalam bahasa manusia cenderung korup. Bagi Socrates dan muridnya, Plato,
mengatakan bahwa ada sebuah basis moral yang tak tergantikan pendapat ini
kemudian diteruskan oleh murid Plato, Aristoteles. Aristoteles berpendapat
bahwa diantara manusia keadilan berdasarkan hukum alam tidaklah tergantikan[4]
pemikiran Aristoteles memberikan pengaruh yang besar pada corak pemikiran Eropa
sampai abad pertengahan melalui dua karakter manusia sebagai bagian sekaligus
tuan atas alam, maka manusia selain menjadi subyek dari hukum alam juga
memiliki potensi untuk mendominasi alam dengan membedakan antara yang baik dan
buruk melalui kehendak bebasnya. Filsafat Aristoteles ini hendak mengatakan
bahwa dibandingkan hukum negara, hukum alam memiliki statius yang lebih tinggi.
Mengadopsi
pemikiran dari Aristoteles, kaum Stoic berpendapat bahwa hukum alam merupakan
jalan hidup yang sejalan dengan akal budi dimana hukum alam merupakan sebuah
kewajiban moral..”Nature was synonymous
with Reason and reason was synonymous with God...”[5].
Para Stoik percaya bahwa negara kota atau polis juga merupakan polis para
dewa sehingga hukum polis juga merupakan hukum alam, menurut kaum stoik, hukum alam
yang tadinya mengacu para ‘perihal yang mengatur segalanya’ menjadi lebih
identik dengan akal budi manusia. Maka ditangan para Stoik Hukum alam menjadi
lebih relatif dengan menyerahkan proses legislasi pada akal budi dengan
berusaha mendekati sedekat mungkin hukum alam yang absolut. Kerajaan Romawi
kemudian menagdopsi para pemikir Yunani, terutama Stoik. Hukum alam mengalami
sekularisasi di era Kerajaan Romawi, Cicero seorang ahli hukum Romawi mengkonfrontasikan hukum positif dengan hukum
alam dengan membaginya menjadi ius natura,
ius naturae dan lex naturae. Pada
akhirnya, menuyusul pengaruh kuat dari agama Kristen, hukum Romawi juga
mendapat pengaruh yang signifikan darinya. Pada masa awal bercokolnya pengaruh Kristen,
Hukum Romawi mendasarkan parapendapat bahwa alam termasuk manusia didalamnya
adalah buruk maka melalui hukum agama gereja berhak mengintervensi negara dan
hukum negara[6].Bersamaan
dengan hal tersebut, lahit pula eurosentrisme dengan berpendapat bahwa
masyarakat lain bukanlah masalah yang beradab termasuk pula hukumnya.
Memasuki
abad pertengahan, seiring dengan suksesnya proses Kristenisasi di Eropa
Pengaruh Gereja menjadi semakin kuat. Tokoh yang menonjol disini adalah St
Augustine dan Gregory. Pemisahan antara Hukum alam ideal dan Hukum alam relatif
ala Stoik masih digunakan oleh Gereja dengan membedakanya satu sama lain. Hukum
alam ideal adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan sementara yang kedua merupakan
hukum yang tidak sempurna mengingat dikeluarkanya manusia dari surga dan dosa
asal. Maka memperbolehkan manusia membuat hukum bisa menimbulkan kerusakan pada
hukum alam yang absolut[7]
Figur
lain yang menonjol pada era ini adalah St. Thomas Aquinas yang membagi hukum
menjadi empat tingkatan berturut-turut adalah: Lex Aeterna, Lex Natura, Lex Divina, dan Lex Humana. Masing-masing memiliki tingkatnya dengan Lex Aeterna
sebagai hukum Tuhan sampai dengan Lex
Humana yang merupakan buatan manusia dari konsepsi atas “kebaikan” yang
berasal dari Lex Natura. Nantinya Filsafat hukum Eropa akan
meninggalkan Lex Aeterna dalam kajian
mereka yang menjadi lebih sekular dan positivis. Dengan banyaknya kritik atas
Gereja yang tadinya begitu dominan dengan berada lebih superior dibanding
negara dengan berlindung dibalik filsafat Thomisme. Lahirnya abad pencerahan
yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh gereja membuat posisi politik
Gereja berada dalam posisi yang sulit. Hukum alam yang digadang-gadang
memberikan jaminan akan keadilan absolut dan universal mulai banyak
dipertanyakan.
Hukum
Positif : Perceraian Antara Moral dan Hukum
Ada dua faktor yang memberi kritik keras
terhadap dominasi gereja kala itu; sekularisasi politik dan keinginan agar
pasar bebas dari intervensi dengan kedaulatan negara sebagai jaminan atas hak
personal dan munculnya Protestantisme yang memisahkan diri dari Gereja
nasional. Satu hal yang patut dicatat adalah gerakan sekularisasi ini bukan
berarti merupakan upaya untuk menafikkan keberadaan Tuhan, melainkan memberi
tempat yang lebih bagi akal budi manusia mengenai standar kebaika berdasar
kehendak bebas[8].
Gelombang pencerahan melahirkan suatu tren baru dalam teori negara yaitu
munculnya beragam teori kontrak mulai dari Locke, Hobbes, Rousseau hingga
Montesquieu. Hobbes misalnya menolak otoritas gereja dalam menerjemahkan
hukum-hukum Tuhan, disisi lain Locke berpendapat bahwa kekuasaan yang tidak
terbatas merupakan pelanggaran terhadap hukum alam, dapat dicermati disini
teori hukum alam mengalami kecenderungan untuk menjadi semakin bercorak
akademis,.
David
Hume, seorang filsuf empirisme inggris mengatakan bahwa hukum alam mengandung
tiga kelemahan : yang pertama mereka bersikap naif dengan menganggap bahwa
perilaku manusia sebagaimana yang diharapkan oleh hukum dapat dapat muncul.
Kedua bahwa hubungan sebab dan akibat yang mereka klaim sebagai fakta-fakta dari
observasi dan pengamatan tidaklah lebih dari sekumpulan realitas yang diseleksi
dan bersifat subyektif. Ketiga hukum alam telah secara salah dalam memahami
perilaku manusia yang rasiona yag didasarkan atas prinsip-prinsip rasional
memiliki validitas yang universal[9].
Hukum alam terus menerus digempur dan perlahan menjadi out of fashion di abad 19 sebelum mulai dihidupkan kembali pada
abad 20.
Sebagaimana
sedikit diulas diatas, kini para kaum positivis hendak memisahkan diri dari
doktrin hukum alam, untuk memfokuskan dirinya -dalam istilah Aquinas- pada lex humana dan tidak lagi menengok ke ius natura.
Pada
masa awalnya, Positifisme berusaha menggabungkan antara agama dan otoritas yang
sifatnya sementara, disini masih dapat kita lihat corak religius belumlah
hilang sepenuhnya, belum dapat memisahkan diri dari bayang-bayang kekuasaan
gereja. Melalui sekularisasi, legal positifisme kemudian berkembang dengan
memisahkan diri dari moral sebagaimana dikatakan Bix yang dikutip oleh Mensky “Through secular methods of enquiry, it
became possible to develop legal positivisme,’based on the simple assertion
that the proper description of law is a worthy objective, and a task that need
be kept separate from moral judgement”[10]
Perkembangan pencarahan eropa yang memuncak pada August Comte dengan manusia
positivnya juga mempengaruhi perkembangan ilmu hukum, yaitu dengan digunakanya
standar-standar ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial[11].
Mensky
kemudian mengambil lima elemen dari positifisme yang disarikan oleh Friedman
dari Hart bahwa: Pertama, hukum
adalah perintah dari manusia bukan dari tuhan, Kedua, Isi dari hukum tidak membutuhkan suatu hubungan dengan moral
melainkan dari hukum itu sendiri, Ketiga,
Pengembangan analisa konsep-konsep hukum dengan membedakanya dari sejarah dan
sosiologi Keempat, Legal sistem harus
dibuat sedekat mungkin dengan sistem logika sehingga dapat berlaku obyektif dan
Kelima, bahwa penilaian secara
argumen moral tidak dapat diperdamaikan dengan argumen rasional[12].
Meski Legal Positifisme sendiri memiliki banyak definisi, namun secara umum
dapat ditarik dua proposisi dasar : Bahwa moral tidaklah bergantung pada
validitas moral dan hukum seharusnya hanya di identifikasi secara formal.
Demikian maka hukum menjadi terpisah sama sekali dari moral dan netral (yang
kemudian banyak dikritik sebagai great
positivist fallacy).
Jeremy
Bentham seorang Utilitaris dan Positifis dari Inggris mengtakan bahwa layaknya
apa yang telah dilakukan oleh Luher terhadap agama Kristiani, Bentham hendak
melakukan hal yang serupa pada hukum. Bentham mengatakan bahwa kebahagiaan
terbesar adalah kebahagiaan milik mayoritas (greatest happines is greatest
number) dengan semboyan Laissez Faire libertarian, Bentham melihat bahwa ilmu
hukum adalah eksperimen ilmiah yang didapatkan dalam penilitian legal realitas
secara cermat[13].
Twinning kemudian menggolongkan Bentham sebagai seorang “soft positivism”, positifisme kemudian mengalami puncaknya ditangan
murid Bentham; John Austin meski dalam catatan kakinya, Mensky mengutip
Morrison bahwa sesunhgguhnya Austinpun bukanlah seorang positivis murni. Austin
mempertahankan pemisahan yang ketat antara hukum dan moral yang merupakan ciri
khas bagi akademisi hukum di Inggris. Meski pendekatan ini lebih banyak merujuk
pada hukum sebagaimana yang seharusnya dan tidak dapat menjelaskan kenyataan[14].
Hukum
yang benar-benar murni dapat kita temukan dalam teori Hans Kelsen, sebagai
seorang Neo-Kantian Kelsen hendak melanjutkan “rasio murni” Kant dalam hukum.
Dengan memusatkan teorinya semata-pada hukum sebagai aturan, Kelsen menolak
Legal Positivisme karena memiliki hubungan ambigu antara hukum dengan fakta
maupun Hukum Alam yang mengacaukan hubungan antara hukum denga moral. Atas
tujuan mencapai ‘teori murni’ Kelsen kemudian mengisolasi total hukum dari
etika, politik, sosiologi, sejarah dan agama dan hanya terfokus pada
undang-undang dengan hirarkinya. Hirarki hukum tersebut mendapatkan
validitasnya dari norma dasar yang disebut sebagai Grundnorm.Pemisahan hukum dan moral yang lain juga dilakukan oleh
H.L.A Hart, yang membagi dua model aturan; primary
rules dan secondary rules. Yang
pertama adalah nilai-nilai moral sementara yang kedua adalah hukum dimana
nilai-nilai moral sudah terinstitusi kedalam undang-undang.
Seiring
berkembangnya waktu mulai muncul kesadaran akan adanya keterkaitan antara hukum
dengan keberagaman dalam fenomena-fenomena global. Meski demikian, pendekatan
yang pluralistik masih belum menjadi bahan kajian yang utama[15].
Pada titik ini hubungan antara hukum dan moral yang sebelumnya dipisahkan oleh
para penganut positifisme kini mualai dipertemukan kembali. Pertemuan tersebut
dapat ditemukan pada kajian-kajian socio-legal
yang memandang hukum dalam konteks sosialnya. Para penganut socio-legal daripada mengkaji hukum dari
segi peraturan lebih terfokus pada bagaimana peraturan tersebut berjalan (law in action). Socio Legal hadir setelah adanya perkembangan dalam bidang
sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang kemudian turut mengkaji
hukum dalam kajian sosiologi. Kajian tersebut berawal dari sociological jurisprudence dan sociology
of law dan kemudian berkembang dalam ranah ilmu hukum menjadi socio-legal.
Di
Amerika kajian sociology of law dipopulerkan oleh Roscoe Pound. Pound melihat
hukum sebagai kajian interdisipliner dan merupakan suatu bentuk kontrol sosial
yang digunakan untuk memberikan solusi atas permasalahan keadilan[16]. Pada
belahan lain dari dunia, para realis skandinavia memiliki corak yang lebih
filosofis dengan menganggap hukum sebagai fenomena psikologis sehingga
peraturan tidaklah inheren dengan otoritas dan hukum harus dikaji sebagai fakta
sebagaimana dikatakan oleh Dias dan Hughes yang dikutip oleh Mensky: “..reality of law are matters of personal
evaluation and not suspectible to any scientific processes of examination in
this waymany of the traditional problems of legal philosophy become illusory,
and must be replaced by an examination of the actual use of legal therms and
concept and a psychological analysis of the mental atitudes that are involved[17]”.
Kajian
sosiologi pada ranah hukum kemudian semakin diakuit dengan tumbuhnya kesadaran
akan subyektifitas dalam hukum dan
kajian tersebut daat ditemukan terutama pada gerakan Critical Legal Studies, Feminist Jurisprudence dan para postmodernis.
[1] Werner Mensky. Comparative Law
In A Global Context, The Legal System of Asia and Africa. Cambridge
University Press. 2006. Hlm 18
[2] “....It binding over all the
globe in all countries and at all times..” Sir William Blacstone dalam Ibid
Hlm 132
[3] “There is no Legislature. The
King does not make laws....Instead there is a themis: a word whose force is
difficult to grasp but which is applied to an area at the centre of which is
perhaps the idea of a god-inspired or directive or finding” Kelly dalam
Ibid hlm 135
[4] ..among men, even natural
justice was not unchanging” Freeman dalam Ibid hlm 137
[5] Ibid hlm 138
[6] “..that nature including mankind
, had become corrupted and that, as the expoent of divine law; church could
interferee with the state and override its laws”Dias & Hughes dalam
ibid hlm 141
[7]“ ...allowed for human
law-making, which could potentially wiolate all the ideal principle of the absolute
Law of Nature” Ibid hlm 142
[8] This new practical approach did
not deny the existece of God , but asserted that there was a higher standard of
goodness to which man, through reason, could appeal. Ibid hlm 147
[9] Ibid hlm 150
[10] Ibid hlm 151
[11] ...however positivist theories
substitute for the articulate idealism of the theories which they fight an
inarculate idealism of teir own, which is presented as a scietific fact based
on observations” Ibid hlm 152
[12] Lok Cit
[13] “He saw jurisprudence as ‘an experimental
science founded upon the careful observaton of legal realities”. Ibid hlm
155
[14] This approach does not
recommended itself as a useful tool for understanding law and remains
essentially an idealist search for absoluetruth in the realm of values” Ibid
hlm 156
[15] “...that pluralist approaches
are not yet accepted as mainstream legal methodology” ibid hlm 160
[16] ..American society facoured an
interdicipinary approach of law that sought to understand how law as a form of
social control could be used effectively to solve old and new problems over
justice and distribution.” Ibid hlm 164
[17] Ibid hlm 167