HUBUNGAN
AGAM DAN MORAL
Asep W. M. Ag
A.
Pengertian
agama.
Secara Etimologis, istilah Agama berasal dari bahasa Sangskerta (a+gama/gam)
A berarti tidak dan gama berarti kocar-kacir atau berantakan atau
teratur.
1. Sedangkan
Secara Terminologis, agama dapat dipahami sebagai:
1)
Hubungan manusia dengan suatu
kekuatan suci yang dianggapnya lebih tinggi untuk dipuja dan dimintai
pertolongan (Endang Saefuddin Anshary).
2)
Ajaran-ajaran yang diwujudkan
Tuhan kepada manusia melalui para rasul-Nya (Harun Nasution).
3)
Suatu peraturan Tuhan yang
mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan dengan
kehendaknya sendiri, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan
di akhirat kelak (Taib Tahir Abdul Muin).
2. Secara etimologis,
agama juga dapat dipahami sebagai:
1)
Kata “moral” sering diidentikkan dengan kata “etika”, “akhlak”, dan “karakter”.
2)
Kata-kata tersebut secara
detail memiliki makna atau pengertian yang berbeda.
3)
Kata moral berasal dari bahasa
Latin mos (jamak dari mores), yang berarti kebiasaan, adat (K. Bertens).
4)
Moralitas: etiket, integritas, kebaikan, atau kebajikan (Tesaurus).
5)
Moralitas: perbuatan dan tingkah
laku yang baik; kesusilaan (KBBI,
2009).
Agama memberikan aturan kepada manusia sehingga hidupnya teratur, tidak
berantakan.
Agama merupakan sesuatu yang penting bagi semua orang, bahkan bisa
dikatakan jikalau semua orang butuh agama. Seseorang yang tidak memiliki agama
seakan hidup tanpa tujuan dan tidak tahu untuk apa ia ada di dunia ini. Mungkin
agama di dunia ada banyak sekali, mulai dari agama Islam, Kristen, Budha, dan
sebagainya. Dalam memilih suatu agama tentunya seseorang akan memilih agama
yang sesuai dengan apa yang ia yakini dan ia percayai. Selain itu, ada juga
faktor lain yang membuat seseorang memilih suatu agama, seperti faktor
keturunan, dan faktor lingkungan (masyarakat sekitar). Misalnya saja ada
seseorang yang terlahir dalam keluarga yang beragama Islam, maka kemungkinan
besar orang tersebut juga akan beragama Islam seperti keluarganya. Di dalam
beragama tentunya kita harus mengetahui apa saja yang terkandung dalam agama
yang kita pilih, seperti apa saja yang diajarkan dalam agama tersebut,
bagaimana cara peribadatannya, hingga sejarah dari agama tersebut.
Islam adalah agama samawi yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
uturan-Nya, Muhammad SAW, yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci
Al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat
(Abdul Karim, 26).
“Ad Dien ( agama ) adalah: “Keyakinan terhadap eksistensi (wujud)
suatu zat-gaib yang mahatinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki
wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan nasib
manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk memuja Zat
itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan.”
(Muhammad Abdullah Darraz).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama
adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut
dengan nama Dewa
atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" itu sendiri
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu agama
yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep
ini adalah religi yang berasal
dari bahasa latin
religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti
"mengikat kembali". Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Definisi
agama menurut Durkheim adalah
suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek
yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi
ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut
agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek
ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai
suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di
atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut
terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan
dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri
tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki
hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
B.
Pengertian
Moral
K.
Bertens, mengungkapkan bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Mansur).
Makna yang hampir sama untuk kata moral
juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain, menyangkut
kegiatankegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah,
tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam
hubungan dengan orang lain.
Dari
definisi diungkap di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak memuat
dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok
bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau
nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut.
Adanya
norma-norma atau nilai-nilai di dalam makna moral seperti diungkap di atas
merupakan sesuatu yang mutlak. Hal ini dikarenakan norma-norma atau nilai-nilai
ini di dalam moral selain sebagai standar ukur normatif bagi perilaku,
sekaligus sebagai perintah bagi seseorang atau kelompok untuk berperilaku
sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tersebut. (Paul W. Taylor, hal. 3).
Dalam
berbicara tentang konsep moral, ini juga terkait dengan konsep moralitas,
karena konsep moral itu pada awalnya yang memunculkan adanya teori perkembangan
moral, seperti yang dikemukakan oleh Hill (1991: 53-58) mengidentifikasi empat
konsep yang berbeda satu sama lain mengenai moralitas. Dari empat konsepsi
inilah kemudian muncul berbagai teori tentang perkembangan moral. Keempat
konsepsi tersebut ialah kepatuhan pada hukum moral (obedience to the moral
law), konformitas pada aturan-aturan sosial (conformity to social rules),
otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi (rational autonomy in
interpersonal dealings), dan otonomi eksistensial dalam pilihan seseorang (existential
autonomy in one’s choices). (Darmiyati zuchdi, hal. 2).
Menurut
Ronald satya surya, dalam agama Budha Sila (aturan moralitas budhis) merupakan
dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan
sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama budha.
Menurut kosa kata bahasa Pali, istilah Aturan-moralitas Budhis (sila) mempunyai
beberapa arti yaitu:
1. “Sifat, karakter, watak, kebiasaan,
perilaku, kelakuan” sila biasanya berfungsi sebagai kata sifat, misalnya susila
(perilaku baik), dusila (perilaku buruk), adanasila (perilaku kikir),
parisuadhasila (watak luhur), dll.
2. Latihan moral, pelaksanaan moral, prilaku
baik, etika Budhis, dan kode-kode moralitas.
Moral
adalah kesadaran jiwa terdalam dari tiap-tiap manusia, kesadaran hati nurani
untuk menghormati dan mencintai sesame, membela kaum tertindas, bersikap
altrulistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan
mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme. (Musa sofiandi).
Moral
adalah akar-akar normative (dalam agama Islam Akhlak) yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. (Amin Abdullah). Senada
dengan itu moral juga diartikan sebagai keadaan batin yang menentukan perilaku
manusia dalam menentukan sikap, tingkah laku, dan perbuatannya. (Abdul karim,
Double, hal. 31).
C.
Hubungan
Agama dan Moral
Ketika
kita berbicara masalah agama, maka kita tidak terlepas dari berbagai aturan dan
tatanan yang terdapat dalam setiap agama, tidak terkecuali dalam agama Islam.
Dalam
agama Islam, terdapat berbagai hukum atau aturan-aturan yang harus dipegang
teguh oleh setiap pemeluknya. Setiap pemeluk agama Islam harus belajar berbagai
hukum dan aturan dalam agama Islam, serta menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu kandungan isi dari ajaran agama Islam adalah tentang
akhlak (moral) baik itu menyangkut bagaimana manusia itu berakhlak terhadap
hubungannya dengan sang pencipta (Allah SWT), akhlak kepada sesama, dan akhlak
terhadap lingkungan atau alam sekitar.
Menurut
Syekh Zainuddin Abdul Madjid dalam wasiatnya renungan masa (hal. 37) beliau
menyatakan bahwa “Agama bukan sekedar ibadah, puasa sembahyang di atas sajadah,
tapi agama mencakup aqidah mencakup syari’ah mencakup hukumah”. Dari pernyataan
tersebut jelaslah bahwa agama itu bukan hanya menyangkut ibadah kepada Tuhan
tapi juga menyangkut syari’at (jalan menuju kebenaran yang diaarkan agama untuk
mencapai keridoan Tuhan) yang berlaku di kalangan sesama masyarakat. Seperti
berbuat kebaikan kepada semua orang, melaksanakan dakwah, melaksanakan ajaran
agama sesuai keyakinan.
Agama
Islam tidak memaksakan kepada umat manusia untuk masuk mengikuti ajaran Islam.
Kejelasan telah ada, masing-masing individu pun sesungguhnya telah ada pada
dirinya hidayah (petunjuk), tergantung pribadinya, apakah ia mau menerima
hidayah itu atau tidak. Seperti firman Allah swt, yang artinya:
“Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu
kebenaran (Islam dan Al Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang
mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri.
dan Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan
dirinya sendiri. dan aku bukanlah
seorang penjaga terhadap dirimu". ( QS Yunus: 108 )
Dari
paparan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya agama telah
memberikan sebuah pegangan tentang kebenaran baik dalam bertindak maupun dalam
melakukan berbagai pilihan hidup. Agama disini juga menegaskan bahwa apa yang
menjadi pilihan manusia itu akan kembali pada dirinya sendiri, setiap apa yang
dikerjakan akan mendatangkan hasil dari perbuatan tersebut, entah itu perbuatan
yang baik maupun yang tidak bermoral.
Agama
Islam pada intinya mengajarkan atau mensyari’atkan kepada ummat manusia untuk
berbuat kebaikan, baik untuk dirinya sendiri dan orang lain yang ada
disekitarnya. Seperti firman Allah swt yang artinya:
Agama
Islam disyariatkan untuk kemashalatan atau kebaikan manusia dan melindunginya
dari segala mudharat atau kesulitan. Karena itu Allah membuat syariat ini
mudah, baik untuk dipahami maupun diamalkan. Allah berfirman, “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan. ( QS. Al Baqarah : 185 ).
Dari
paparan arti ayat tersebut, dapat dipahami bahwa agama islam selalu menekankan
kepada umat manusia untuk selalu berusaha berbuat yang mendatangkan kemaslahatan
atau kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ini ditekankan dengan adanya syari’at
yang ditekankan agar dapat dilaksanakan oleh manusia untuk dapat melaksanakan
dan berusaha untuk dapat berusaha berbuat berbagai tindakan yang bernilai
positif dalam artian mendatangkan kebaikan bagi kemaslahatan seluruh manusia.
Trilogi
Agama (Islam) sebagai inti dari ajaran yang terkandung dalam agama islam yaitu:
1) Iman-Islam-Ihsan
2) Aqidah-Syariah-Akhlak
3) Sistem
keyakinan-sistem ritus-etika/moral/moralitas/karakter.
Ketika
kita akan berbicra mengenai hubungan agama dan moral, maka disini kita bisa
lihat bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara agama dan moral. Hal
ini tercermin dari hubungan yang ditimbulkan oleh Aqidah, syari’ah dan akhlak
yang sangat erat satu dengan lainya, dan ketiga konsep ini memiliki lingkup
masing-masing atau dapat dibedakan satu dengan lainnya. Hubungan ketiganya yaitu:
Aqidah sebagai konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan elemen-elemen dasar
iman, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syari’ah sebagai
konsep atau sistem hukum berisi peraturan-peraturan yang menggambarkan fungsi
agama. Akhlak sebagai sistem nilai etika menggambarkan arah dan tujuan yang
hendak dicapai oleh agama. (Marzuki, hal. 10).
Dalam
tataran aplikasi dari ketiga hubungan konsep tersebut, maka dapat dilihat dalam
tataran aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim yang baik
adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk
melaksanakan syari’ah yang hanya dirujukan kepada Allah SWT sehingga tergambar
akhlak yang mulia dalam dirinya. Hal ini juga dinyatakan dengan jelas dalam
Al-Qur’an yang artinya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di anara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
mengeukuhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan mengukur (keadaan) mereka, sesudah mereka mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa ” (QS. Al-Nur; 25: 55).
Dalam kaitannya antara
agama dan moral, sering kita mempertanyakan Apakah agama diperlukan untuk
menemukan kaidah-kaidah moral?, Apakah iman juga diperlukan untuk menjaga
kepatuhan terhadap kaidah-kaidah moral?
Sebagai umat beragama khususnya Islam, tentu kita akan
menyikapi pertanyaan tersebut dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam yang.
Seperti yang terdapat dalam Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
”sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Malik)
Dalam agama Islam, akhlak menempati posisi yang sangat
penting, sehingga setiap aspek dari
ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang
mulia, yang disebut al-akhlaq al-karimah.
Iman juga sangat diperlukan dalam kepatuhan terhadap kaidah-kaidah moral.
Orang yang baik keimanannya akan selalu menjalankan kaidah-kaidah moral yang
diajarkan agama dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu benar-benar
sesuatu yang baik dan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Seperti yang
diterangkah dalam Hadits Rasulullah SAW.
”Takwa kepada Allah
dan akhlak yang baik adalah sesuatu yang paling banyak membawa manusia ke dalam
surga”.(HR. Tirmizi)
Dalam Islam akhlak yang baik atau mulia sering
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, baik dalam perbuatan, ucapan, maupun
ketetapannya. Akhlak Rasulullah SAW juga sering disebut Akhlak Islam. Menurut
Quraish Shihab, ciri-ciri akhlak yang diajarkan rasulullah tersebut yaitu:
1)
Kebaikannya bersifat mutlak, yaitu kebakan yang
terkandung dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk
individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu, dan
tempat apapun.
2)
Kebaikan bersifat menyeluruh, yaitu kebaikan yang
terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di segala
zaman dan di semua tempat.
3)
Tetap, langgeng, dan mantap, yaitu kebaikan yang
terkandung di dalamnya bersifat tetap, tidak berubah oleh oleh perubahan waktu
dan tempat atau perubahan kehidupan masyarakat.
4)
Kewajiban yang harus dipatuhi, yaitu kebaikan yang
terkandung dalam akhlak Islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan sehinga
ada sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya.
5)
Pengawasan yang menyeluruh. Karena akhlak Islam bersumber
dari Tuhan, maka pengaruhnya akan lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia,
sehingga seseorang tidak akan berani melanggarnya kecuali setelah ragu-ragu dan
kemudian akan menyesalinya dan bertobat. (Bisri M. Djaelani, hal. 39).
Setiap
orang yakin akan adanya standar moral yang berlaku untuk masyarakat umum,
misalnya membantu orang yang membutuhkan pertolongan, member makan orang yang
lapar, membuat orang senang, semuanya ini tentu berlaku secara umum dan
diterima di masyarakat. Dan setiap orang juga yakin bahwa kalu perbuatannya iu
akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan orang yang ditolongnya. Hal ini
juga dinyatakan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”(QS.
Al-Baqarah: 195).
1) Agama adalah
sumber ajaran moral yang paling benar
Para ilmuan
percaya bahwa Agama adalah sumber ajaran moral yang paling benar. Menurut John Stuart Mill dalam The
Utility of Religion, mengatakan bahwa, Agama senantiasa menerima
kepercayaan yang luas untuk mempertahankan moralitas. Ini menunjukkan bahwa
peran agama dalam menunjang terbentuknya moral masyarakat sangat penting,
karena bagaimana pun kita ketahui bahwa tiap agama itu mengajarkan umatnya
untuk berbuat kebaikan.
Kita
ketahui bahwa dalam setiap ajaran agama pada intinya mengajak umatnya untuk
berbuat kebaikan, baik itu dari cara berhubungan dengan sang penciptanya,
sesame manusia, bahkan dengan alam sekitarnya. Namun kadang kita sering salah
kaprah tentang kebenaran yang dianut setiap agama. Kita cenderung melihat
perbedaan yang ada di tiap-tiap agama sehingga seolah agama yang lain adalah
salah. Dan agama kitalah yang paling benar, ini kalau pada tataran internal agama masing-masing
pemeluknya sudah pasti agama yang dianut adalah agama yang paling benar, namun
kalau berkaitan dengan hubungan eksternal dengan agama lain maka harus juga
menghormati kebenaran agama lain yang tentunya terdapat pada batasan-batasan
yang tidak mengganggu kesejahteraan pemeluk agama lain.
Kaitannya
dengan moral terhadap antar umat beragama lebih ditekankan kepaa bagaimana
masing-masing umat beragama saling menghormati dan saling menghargai, bukankah
dalam setiap agama sudah ada batasan-batasan yang bisa dinegosiasi, seperti
dalam agama islam harus menghormati pemeluk agama lain selama itu tidak
menyangkut masalah keyakinan. Misalnya dalam hal bergaul dalam kehidupan
sehari-hari sebagai tetangga atau sesama anggota masyarakat, namun kalu
kaitannya sampai pada tataran keyakinan seperti masalah ibadah itu sudah harus kembali kepada ajaran agama
masing-masing. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
(Al-Ayah)
Moral dalam ajaran Islam, sering diidentikkan dengan tingkah laku atau
akhlak, baik akhlak terhadap Tuhan, maupun akhlak terhadap sesama dan
lingkungan. Orang dianggap bermoral apabila dia berakhlak mulia (al-karimah)
seperti mengerjakan soholat lima
waktu tepat waktu, melaksanakan sunnah Rasulullah saw, menunaikan zakat,
membantu orang fakir miskin, berbuat baik pada orang lain, tidak berbuat
kerusakan, dll. hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw, beliau mengatakan
bahwa “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (al-hadits). Dengan
demikian, dalam agama Islam, moral dan agama itu merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
2) Sumber
ajaran moral yang lain adalah akal, nurani, adat/kebiasaan.
Setiap
orang yang berakal pasti tau mana yang baik dan tidak baik untuk dikerjakan, mana yang bermoral dan mana yang tidak
bermoral, kemudian hal tersebut juga akan diikuti dengan nurani yang akan menguatkannya. Namun dalam masyarakat keputusan atas
sebuah tindakan moral yang dilakukan dengan hasil pemikiran akal dan didukung
dengan nurani, ini tentu harus disesuaikan lagi dengan adat/kebiasaan yang
berlaku dimana tempat dia berada.
3)
Agama yang dianut seseorang memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap moralitasnya.
“Manusia yang
bermoral akan melakukan tindakan yang dikehendaki Tuhan” sebagai seorang yang
beragama tentu hal demikian itu sudah seharusnya terjadi. Orang yang
betul-betul menyakini dan menjalankan ajaran agamanya akan menegakkan apa yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. Keyakinan akan kebenaran yang diperintahkan
Tuhan kepadanya akan membuat seseorang berbuat, bahkan tidak pemikiran tidak
diperlukan dalam hal ini. Karena tiap agama tidak ada yang mengajarkan untuk
berbuat amoral yang akan mencelakakan umatnya.
Umat islam, dipeintahkan untuk melaksanakan sholat,
menunaikan zakat, membantu pakir miskin, dll. Bagi umat yang bermoral tentu hal
ini akan dilakukan dan sebaliknya orang yang tidak bermoral tentunya tidak akan
mau melakukan hal yang demikian, mungkin saja dengan berbagai alasan, misalnya
itu tidak ada maatnya bagi dirinya. Tidak demikian halnya dengan orang yang
bermoral, dia akan melakukan hal tersebut karena dia yakin bahwa itu baik dan akan
mendapatkan imbalan dari Tuhan.
4) Jika
agamanya baik maka
moralitasnya akan baik, dan sebaliknya.
Orang yang
dikatakan baik agamanya adalah
mereka yang melaksanakan ajaran agamanya dengan tidak setengah-setngah, tetapi
menjalankan ajaran agama dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Agama
menuntut umatnya berbuat semua kebaikan, baik itu bagi diri sendiri, maupun
bagi orang lain. Berbuat baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain ini
mencerminkan moral yang baik yang dibawa oleh agamanya yang baik.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kenyataan ini sering tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Orang yang terlihat taat beragama, belum tentu bisa dikatakan
sebagai orang yang bermoral. ini tentunya dilihat dari berbagai kenyataan yang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang rajin beribadah namun
terkadang dalam berbagai kegiatan sosial lainnya sering diabaikan, sehingga
anggapan yang negatif pun sering terucap dari orang yang masih memahami
pengertian beragama itu hanya sebatas ibadah.
Menyikapi
pandangan masyarakat yang kurang tepat tersebut, disini perlu dipahami, tentang
kondisi masyarakat dan latar belakang serta situasi sosial lingkungannya. Dalam
memandang permasalahan hubungan agama dan moral, disini dapat ditinjau dari
kondisi masyarakat yang cenderung berbeda, pada satu daerah dengan daerah lain
atau satu negara dengan negara lain. Misalnya, di negara-negara barat seperti
Amerika, Inggris, Belanda, dll. Masyarakat cenderung memisahkan masalah agama
dengan kehidupan sosial, mereka menganggap bahwa agama itu urusan orang-orang
yang berada di lingkungan keagamaan seperti gereja, mesjid dll. Disisi lain,
ada juga masyarakat yang cenderung mengkaitkan masalah agama dengan masalah
sosial, dimana urusan agama itu selalu dikaitkan dengan masalah agama, sehingga
disini cenderung akan ada pandangan yang mengasumsikan bahwa orang yang taat
beragama kalau tidak bertindak sosial akan dianggap sebagai orang yang tidak
bermoral, begitu pula sebaliknya, orang yang selalu mengerjakan berbagai
kegiatan sosial akan dianggap sebagai orang yang bermoral, meskipun kurang
dalam menjalankan kegiatan keagamaan.
Menyikapi
problematika masyarakat yang demikian itu, maka disini perlu ditekankan
pemahaman tentang pengertian beragama yang sesungguhnya. Idealnya, orang yang
taat beragama, akan menghasilkan moral. Dan sebaliknya orang yang tidak
menjalankan ajaran agama, akan cenderung melahirkan tindakan yang tidak
bermoral.
K. Sri
Dhammananda. Beliau adalah seorang Bikkhu yang sangat produktif. Beliau
mengatakan bahwa perilaku moral warga masyarakat memainkan peranan yang sangat
penting dalam agama ini. Guru Agungnya pernah mengatakan, “Ajaranku tidak untuk
datang dan percaya, tetapi datang, lihat, dan laksanakan”. Ini mendorong
orang-orang untuk mempelajarinya sepenuhnya dan dengan demikian memungkinkan
mereka menggunakan pertimbangan sendiri untuk memutuskan apakah mereka akan
menerima ajaran itu atau sebaliknya. (Dhammananda). Dari pernyataan tersebut,
jelas kiranya bahwa agama itu merupakan satu kesatuan dengan tindakan moral yang
diajarkan kepada setiap pemeluknya, dengan tujuan untuk kesejahteraan ummatnya
dalam kehidupan sehari-hari.s
Beragama,
bukan sekedar ada pada ucapan, akan tetapi lebih dari sekedar itu. Orang yang
disebut taat beragama adalah orang yang betul-betul menjalankan ajaran agama
dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan secara penuh. Karena agama
itu bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga
menyangkut hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan
lingkungan sekitar. Orang yang betul-betul paham agama tentu akan selalu
berbuat adil, selalu menyeimbangkan antara tuntutan beribadah kepada tuhan dan
berbuat baik bagi sesama.
Kita
ketahui dalam setiap agama, selalu bertujuan untuk mengajak umatnya untuk
berbuat baik demi kemaslahatan semua umat manusia. Jadi sudah jelas bahwa apa
bila seorang betul-betul menjalankan ajaran agama yang dianut, tentu akan
menghasilkan nilai moral, dan sebaliknya orang yang jauh dari agama akan
cenderung berbuat amoral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul karim. Islam nusantara.2007.
Al-Qur’an dan
terjemahan (CV Penerbit J-ART)
Amril M. Al-Fikra: Jurnal
Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006. Hal. 77.
Amin
Abdullah. Falsafah kalam diera post
modernism. Pustaka Pelajar. 2004. Hal. 147.
Bisri M.
Djaelani. Rahasia kekuatan do’a. Quiis.
2006.
Darmiyati
zuchdi. Humanisasi pendidikan. Bumi
Aksara. 2008.
Muhammad
zainuddin abdul madjid. Wasiat renungan
masya.
Paul W.
Taylor, “Introduction: What is Morality” dalam Paul W. Taylor (ed), Problems of Moral Philosophy an Introduction
to Ethics, (Publishing Company Inc. 1967), hal . 3.
Ronald
satya surya. Lima aturan moralitas Budhis
0 komentar:
Posting Komentar