Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis
Tujuan
utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme yang didefinisikan
sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga
keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam
daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan
syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas
keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan
bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa
membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan
pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat. Sebagaimana akan saya jelaskan dalam bab 4,
sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap
masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara
agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami
bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah
dipinggirkan ke ruang privat. Dengan memahai bab 2 dan 4, jelaslah bahwa
hubungan antara Negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Barat. Mengutip Ira Lapidus,
“ada pembedaan yang jelas antara
institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan
bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam
masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan,
dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi
otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.
Penekanan saya terhadap perbedaan
institusi agama dan Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa
pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi
masyarakat Islam saat ini dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin
dilaksanakan dan juga tidak diinginkan karena masyarakat muslim saat ini
memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya. Usaha untuk
menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisten dengan
asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan agama
dan negara serta hubungan agama dan politik. Tinjauan historis dan analisis terhadap hubungan antara Islam,
negara dan politik dalam bagian ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa
pendekatan yang saya ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Saya tidak
bermaksud mengklaim bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam
negara sekuler yang modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi
signifikan bagi diskusi kita untuk memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap
sekularisme yang saya ajukan di sini, bukanlah ide yang asing dalam sejarah
masyarakat Islam.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya
akan memulai dengan menjelaskan cara saya membaca dan menginterpretasikan
sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian dua bab ini, saya akan mengungkapkan
visi ideal dan realitas pragmatis sejarah Islam tersebut. Dalam bagian tiga,
saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal dan realitas pragmatis tersebut
dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir. Dalam bagian tiga tersebut,
saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma
(ahl al-kitab) di beberapa negara
bagian di Mesir untuk memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu
tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme,
kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam masyarakat Islam saat ini.
Satu hal yang harus saya klarifikasi
dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah
sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan
berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut
sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat
bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri,
melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak
menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan di sini,
karena saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh
ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang
selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman dan pengalaman manusia.
Dimensi ini biasanya ada, paling tidak,
dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan sosial
masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah
menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab kepadamu agar kamu memahaminya,…….”.
Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti
kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena
al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian juga ketika seseorang
mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap
terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada al-Qur’an kecuali jika
ia memahaminya.
Dengan kata lain, usaha apapun untuk
mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu
terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat
salah. Memang tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an
itu berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya
mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan
manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu
menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai
dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman
individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman
dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik
masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua
pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah
yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman
ummat Islam dulu, kini dan nanti.
Dalam bingkai perspektif inilah saya
menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang
terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik dan agama. Saya juga ingin
menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika mengimplementasikan gagasan
tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan tetap ada, baik jika
gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan jika ia
hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan
ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim
dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang sudah saya
ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak mungkin mempresentasikan
pembahasan sejarah yang komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa
tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini
bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya
bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan menyoroti beberapa
peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam untuk memperjelas
isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip beberapa sumber yang
memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.
I. Kerangka untuk Membaca
Sejarah Islam
Sejarah sebuah masyarakat berisi
berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan manusia. Persepsi yang berbeda
mengenai sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini
dilakukan untuk mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi
politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda tentang sejarah bisa
saja menekankan tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap perbedaan
agama, praktik dan pendapat politik dalam masyarakat. Karena perbedaan persepsi
itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini,
pembuat kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan
persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat
dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan.
Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa
kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan
berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan
memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan
satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah;
tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah
Islam dan sejarah lainnya.
Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah
dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat
Islam masa lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup
pada saat itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus
ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah
dan Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat
Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di
daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya,
penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir menganggap pengalaman
masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan
otoritatif. Bahkan masyarakat muslim
yang tinggal di daerah lain pun menganggap bahwa pengalaman keagamaan dan
sosial mereka lebih rendah dibandingkan dengan pengalaman masyarakat Timur
Tengah jika digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks
al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman
masyarakat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat,
pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua pengalaman
masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.
Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya
sudah sangat tertanam dalam sumber dan sejarah intelektual masyarakat Islam
sehingga tidak mungkin dihilangkan dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut
tidak mungkin dimulai jika kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun
mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi saya, namun saya berharap
ide saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah masyarakat Islam dapat
memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang
digunakan untuk melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari
pengalaman satu masyarakat Islam pra-modern dengan menggunakan
sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa
masyarakat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha untuk
mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam
dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam.
Hubungan antara Islam, negara dan
politik sepanjang sejarah masyarakat Islam
jelas merefleksikan ketegangan
permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin
agama untuk melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama
membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada
negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk
memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk
memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus
menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada
keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk
kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun,
negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena
kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan
prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang
pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan
terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun
kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana
mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan
sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang
menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan
penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar
penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya
lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama.
Namun demikian, bukan berarti pemimpin
agama tidak bisa memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya
menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya
dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh: otoritas keagamaan lebih berdasarkan
pada penilaian dan kepercayaan personal terhadap tingkat kesalehan seorang
ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui
interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu juga diingat bahwa model
interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki oleh semua orang,
apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di daerah yang sangat
jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan kualitas yang bisa
dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk
menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan
komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas pada bagian-bagian
selanjutnya.
Setiap masyarakat membutuhkan negara
untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari
ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya,
menyelesaikan perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan
untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia
harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan
mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini
bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas;
bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan mematuhi
saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin maupun
spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum, seperti
dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin
yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun) karena mereka diharapkan bisa melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki
kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif,
dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan
cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa
kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan
otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau,
paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.
Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan
pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini
bisa ditentukan oleh penilaian personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi
pemimpin agamanya melalui interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas
pemimpin agama hanya bisa dicapai secara gradual dan tentatif melalui relasi
interpersonal dengan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini tidak saja
terjadi dalam komunitas sunni, namun juga dalam komunitas syi’ah yang memiliki
hirarki struktural yang sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian
di level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang sampai pada
Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya
tekankan di sini, bisa juga diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan
kursif dan kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah
dan penduduk tertentu, dengan otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama
yang bisa juga berlaku luas dan bagi banyak orang.
Dengan demikian, ada perbedaan
fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama dalam cara
penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya
terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki
kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa
memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan
kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin
memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan
memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama
juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran
mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya
penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi
jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya,
keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi
inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis
untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat
menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak
realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya
karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan
orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang
berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko
terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.
Karena legitimasi keagamaan merupakan
hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya
terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka selalu cenderung mengklaim bahwa
mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun, klaim seperti itu tidak serta merta
menjadikannya muslim yang hebat atau menjadikan negara yang dipimpinnya islami.
Malah, penguasa biasanya sangat menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim
mereka tidak lagi dianggap sah. Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol
kesalehan, menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh
atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila
cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap
pemimpin agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi
relatifnya. Otonomi inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan
legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan
kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang,
harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa
mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga
mendorong negara untuk mengontrol mereka.
Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar
pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka
dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat
menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara
memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk
dipertahankan.
Paradoks yang dalam dan kompleks ini,
yang juga merupakan pengalaman komunitas agama lain dan bukan hanya ummat
Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus
dipisahkan dari kekuasaan politik agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa
untuk tetap akuntabel pada
prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin
bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan
itu, maka persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa
harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau
cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan
berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang
sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti
al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan
menyebutnya sebagai The Lesser of Two
Evils (iblis kerdil).
Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai
dengan jarak antara institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh
rezim yang berbeda.
Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan
prototipe masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah yang mengasumsikan keharusan
penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan agama. Dalam
model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan
politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya ada hirarki
dan sentralisasi yang kuat. Model yang lain adalah pemisahan utuh antara
otoritas agama dan politik yang nampaknya menjadi pilihan yang dominan
dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang
bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi
keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik di negara-negara Islam ada diantara
dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti model
ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim lebih dekat pada
model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. Hal yang ingin saya
tekankan dalam bab ini adalah ummat Islam lebih baik mengenali
ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah untuk
mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan jelaskan
hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.
Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai
setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusiapun pada saat ini yang
memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai
perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya
pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik
dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa tidak ada Nabi
setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus
menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik dan
agama, karena tidak satupun dari mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat
Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang
menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan oleh ummatnya.
Semua pemimpin, memang, pasti
menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat bahkan, kadang-kadang, penuh
kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah
bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya bisa berdasar pada penilaian
manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain. sedangkan oposisi terhadap
kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu
mengatasi tantangan manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun
despotik dan otoriternya, adalah representasi pandangan dan kepentingan warga,
maka ia bisa ditantang dengan menggunakan alasan-alasan yang sama. Sebaliknya,
karena dasar kepemimpinan agama adalah klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa
tunduk pada penilaian manusia. Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau
menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada masalah oposisi politik yang
ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi
terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku
Arab yang menolak untuk membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang
terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang
kebijakan ini.
Contoh yang saya kemukakan barusan
masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang
dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena Abu Bakar menggunakan alasan
keagamaan untuk menumpas pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu
Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat
menerima pendapat Abu Bakar karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim
saat itu, dan bukan karena persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar
bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi
berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang sah merupakan kewajiban agama seperti
yang tersurat dalam Qs. 4:59. Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku
meskipun seseorang tidak setuju dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan
stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja Umar yang menjadi khalifah pada
saat itu, mungkin pandangannya yang tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan
berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yang melatari peristiwa-peristiwa itu
jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun kampanye untuk memerangi suku
Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik.
Jelas bahwa para penguasa muslim terus
berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa
otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, di sisi lain,
otoritas keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan tingkat otonomi dan
kemerdekaan mereka dari aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan
memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti
yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian
otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan
agar mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok ini untuk
kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus
independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis,
model yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase
dan pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada institusi-institusi
keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan sebelumnya, namun
bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika
Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah
serta sunni yang menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk,
Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan berbagai penyesuaian.
Ini tidak berarti bahwa otoritas
keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa oleh penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi,
misalnya, memilih untuk menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan
pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara
damai, tak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan.
Mungkin kasus-kasus oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan
model terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama
terhadap penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang
dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon
tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan antara otoritas agama dan negara,
seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka. Sekarang saya akan mencoba
untuk mengklarifikasi dan mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam
ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara dan politik dan tidak sekedar
menarasikan peristiwa dan sosok.
Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau
cara pandang terhadap sejarah masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa
ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri
sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa
pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa
pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam
dengan negara dan politik yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di
manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca
sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam
masyarakat muslim di masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah
familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa
pandangan yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu
dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang berlaku
saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak familiar.
II.
Permulaan Mediasi antara Visi
Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yang sudah saya ungkapkan,
karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan
memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa
Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan
periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan
sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan
negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik.
Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan
konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah
yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh
penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam
bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam
dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan
kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam
menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik.
Sebagaimana muslim yang lain, sulit
bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam
tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang
terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya
bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat
Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni, ketika ia memutuskan untuk
mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub
al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid
karena perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik
Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai
seorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut dan perilaku
mereka karena saya percaya pentingnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh
ummat Islam kini dan nanti. Karena sebagai Muslim saya tidak mau menghindar
dari tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa
terhormat untuk mengungkapkan pandangan seperti itu dan karena saya
melakukannya untuk kemasalahatann bersama bukan demi keuntungan pribadi.
Lagipula, keterlibatan saya dalam
melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu
merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap menekankan pentingnya netralitas
negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini.
Pemisahan antara agama dan negara diperlukan agar ummat Islam bisa memegang
teguh kepercayaan agamanya dan hidup sesuai dengan kepercayaan itu tanpa
mengabaikan tanggung jawab mereka untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan
publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa pemuka agama rentan terhadap
rayuan dan paksaan untuk mendukung agenda politik penguasa, bahkan mereka
rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari
dilema ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius
dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan
agar ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan
negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan
kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. Tujuan saya
merefleksikan relevansi dan signifikansi peristiwa-peristiwa sejarah fase awal
dan sangat diperdebatkan ini adalah untuk melihat apa yang mereka perlihatkan
kepada kita tentang Islam dan negara, tanpa menilai apa yang benar dan yang
salah, siapa yang baik dan siapa yang jahat.
Perang terhadap
Orang-Orang Murtad dan Watak Negara
Suksesi
Nabi merupakan topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah
masyarakat Islam karena implikasinya yang besar terhadap watak negara dan
hubungannya dengan Islam. Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa
klaim kelompok Muhajirun lebih kuat daripada klaim kelompok anshar.
Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kelompok anshar menuntut adanya pemimpin
(amir) dari dua kelompok yang berbeda
ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir mengenai resiko adanya pemerintahan yang
terkonsolidasikan, daripada sekedar reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau
semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk memahami alasan pemberontakan
suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika isu pertama
ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih kuat di kalangan
muslim Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga Umar menyebutnya "kebetulan yang tak
terrencanakan" (falta). Hal
penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini adalah sebagian ummat
Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai kelompok pendukung Ali (shi'at)
terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih
signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini adalah bahwa perbedaan
alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan memiliki konsekuensi
yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi politik. Masalah yang
berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan masa Nabi terus
memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri. Sekarang saya
akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang orang-orang
murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak negara
sebagai institusi politik.
Perang
terhadap orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh
pemerintahan yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu Bakar
harus memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang
jelas-jelas menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu
Bakar melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan
mengikuti Nabi Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis
resistensi ini ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini
biasanya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu
Bakar yang membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama. Setelah
konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah
ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.
Saya
tidak tertarik dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah
tindakan Abu bakar untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah
tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk
watak negara pada saat itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu
agar mereka taat pada otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam
pernyataannya mengenai zakat yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi
Tuhan, jika mereka menolak untuk memberikan meski hanya sekerat daging unta
yang dulu pernah diberikan kepada Nabi, saya akan bertarung dengan mereka
karenanya." Apa sebetulnya alasan sikap ini? mengapa tindakan ini
diinterpretasi sebagai sebuah bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah?
Apakah cara keputusan untuk memerangi suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang
melatarbelakanginya, maupun peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa itu
mengindikasikan adanya model penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik
dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang kesulitan
dan kontradiski yang terdapat dalam pandangan semacam itu?
Sebagai
contoh, pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi oleh Abu
Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka
yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen
bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama
dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita bisa juga
melihat penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara sebagai
institusi politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan kekuatan militer.
Dengan mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa menyelesaikan
kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan kemarahan bahkan
hingga abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan
implikasi kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam tersebut,
terlepas dari apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abu
Bakar. Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha yang
dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang
murtad merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya sebagai
khalifah? apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya
di kalangan ummat Islam saat itu?
Beberapa
pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat ini.
Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan apakah
zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat
lokal? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan yang terus
dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa Nabi,
zakat bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi untuk menjadi
seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain
tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum
dikodifikasi hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam mengumpulkan zakat. Beberapa sahabat terkemuka
seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu Bakar supaya "menghapuskan
pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan suku-suku yang loyal kepada Islam
dengan lunak agar mereka memberikan dukungan kepadanya dalam melakukan tindakan
terhadap mereka yang mengabaikan Islam". Sahabat lain seperti Ali
bahkan tidak berpartisipasi dalam kampanye tersebut. Adanya ketidaksepakatan
sahabat terhadap masalah tersebut merupakan hal yang penting bagi kita untuk
memahami dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya terhadap watak negara pada
saat itu.
Hal
kontroversial lain yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar untuk
menunjuk kalangan aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang riddah, padahal mereka baru masuk Islam
setelah bertahun-tahun memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian. Keputusan itu
memperlihatkan sisi politis kampanye yang dilakukan Abu Bakar karena
"penyerahan zakat bisa berarti tanda penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan
terhadap pajak resmi sekaligus pengakuan terhadap hak negara untuk memaksa
pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut terhadap penguasa
atau pemerintah. Hal-hal tersebut,
justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka. Apreasiasi terhadap
ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis
dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang barangkali
menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan. "Ketika
pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan kepada Bakar dan
didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan mengatakan bahwa dengan
melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak bermaksud menjadi orang kafir,
melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan kekayaan mereka."
Peristiwa lain yang menyebabkan
kontroversi adalah perintah Abu Bakar terhadap Khalid bin al-Walid untuk
membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang menjadi anggota
federasi Bani Tamim. Perintah ini muncul karena Malik bin Nuwayra menolak untuk
menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia kumpulkan untuk diberikan sebagai
zakat kaumnya kepada Nabi. Walaupun Malik menyatakan kesetiannya kembali kepada
Islam, ia bersama-sama dengan anggota suku lainnya tetap dibunuh oleh Khalid.
Khalid kemudian mengambil istri Malik dan nampaknya memperlakukannya sebagai
"rampasan perang".
Para sahabat terkemuka mengecam
perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah memecatnya dan Ali menetapkan
hukuman had terhadapnya karena Khalid
dianggap telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri Malik), Namun Abu bakar sebagai
Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu. Tuntutan-tuntutan itu akan
nampak tidak masuk akal jika kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai bagian
dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat
terkemuka, tentu, tidak akan berselisih dengannya, karena mereka memahami bahwa
keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan merupakan bagian dari ajaran
Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar,
mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap
benar, mungkin karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai
khalifah. Ulama-ulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad
bin Handal dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik
dengan memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi. Barulah kemudian pada
masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan
memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal tersebut.
Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan
terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman
terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan sunni.
Karena saya tidak bermaksud untuk
menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kita melihat
ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan kursif negara untuk mengimplementasikan pendapat seseorang
tentang agama. Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jika kita memahami isu
tersebut dalam konteks peran Abu Bakar sebagai pemimpin politik dan bukan
sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten dengan
motivasi Abu bakar yang mungkin saja religius, karena ia percaya bahwa ia
sedang mempertahankan Islam pada saat itu, dan bukan sekedar menjaga integritas
negara sebagai institusi politik. Bahkan mungkin dia belum mengerti apa yang
dimaksud negara dalam konteks pembicaraan kita. Di samping itu, kerelaan para
sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar meskipun mereka yakin bahwa
keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh oleh faktor-faktor politik,
terutama kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan mengamankan komunitas selama
periode-periode kritis itu. Namun alasan religius juga bisa dikemukakan untuk
memperkuat faktor-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59 yang biasa digunakan untuk
menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah, Rasul-Nya dan penguasa. Dengan
kata lain, seorang muslim memiliki kewajiban untuk menaati khalifah, walaupun
ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun kemudian kewajiban ini bisa
berbenturan dengan kewajiban muslim untuk menegakkan keadilan dan melawan
kemunkaran (al-amr bil ma'ruf wa l-nahy
an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak ada seorang manusia
pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat kepada Allah (la ta'ata li makhluq fi ma'siyat al-khaliq).
Dengan demikian, dengan justifikasi
apapun, nampaknya memisahkan agama dari politik tetap merupakan hal yang sulit:
ummat Islam akan selalu tidak sepakat dengan dua hal tersebut dan alasan-alasan
keagamaan selalu berisi pertimbangan-pertimbangan politik dan sebaliknya.
Terkait dengan perang terhadap orang-orang murtad, mungkin saja tindakan yang
dilakukan Abu Bakar itu sah dalam pandangan Islam karena keputusannya
berdasarkan alasan bahwa mereka sudah murtad atau memberontak terhadap negara.
Kedua hal ini merupakan kejahatan besar (hadd
al-haraba dalam Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan hukuman mati.
Apapun alasannya dan meskipun ada sejumlah keberatan dari para sahabat yang
lain, Abu bakar tetap bisa menjalankan keputusannya karena ia seorang khalifah,
tapi bukan karena ia memiliki keputusan yang benar atau tepat dalam kacamata
Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena tidak ada
otoritas yang independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi
ketidaksepahamannya dengan sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau
Ali yang menjadi khalifah tentu hasilnya akan sangat berbeda.
Kesimpulannya bagi kita adalah
membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan
politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub bisa
berguna dalam memahami beberapa sahabat besar yang tidak setuju dengan Abu
Bakar karena mereka juga bisa memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan
ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat
lain, karena tindakan seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya.
Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit diterapkan oleh ummat Islam untuk
membaca sejarah periode Madinah karena, pada saat itu, sifat otoritas
politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap sebagai sebuah
institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai faktor termasuk
masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan pendirian negara di
daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan
menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap
peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa
dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa
saat ini.
Ketidakjelasan otoritas politik dan
agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah
pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah
berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa
otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang
dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat allah, amin allah,
na'ib allah menunjukkan besar dan
agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu
diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka
kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini,
tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan
terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras
yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya, padahal
Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid
menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan yang
ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim,
ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang
membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi kualifikasinya
yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga
dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama, sekitar tahun 681 M,
Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka lainnya,
dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan lain dan ia mengklaim dirinya
sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
tentara dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah,
hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan
dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.
Paradoks permanen yang dihadapi oleh
dinasti Umayah dan rezim sesudahnya adalah karena mereka berusaha untuk
memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan legitimasi keagamaan dengan
berusaha mereflikasi model pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa
al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh keinginan
penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru
malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah
sukses menentang dinasti Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu
tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem
yang ideal bagi ummat Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah
terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan
garis keturunan, yang tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya
dinasti Sasanid dan Byzantium.
Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan,
keberadaannya relatif tidak terlalu pelik, karena aparatur negara dan
penerusnya biasanya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat
yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi
keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada
periode-periode awal, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu
agama dan menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya. Ironisnya, mereka membuat atau memunculkan
ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka pada hubungan
kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan
kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti Abbasiyah berusaha
untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk
hakim (qadi), menguasai lembaga dan
ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan
Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas
politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa
tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah.
Implikasi Mihnah
terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam
untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah
ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah.
Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah
merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi
tidak cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para
pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan
diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte
seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam.
Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal
sebagai mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas
khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok
yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan aparat
administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa
Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah.
Penting juga untuk membedakan antara
kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah
pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra
Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan
otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas
kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat
jelas dalam patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan
perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang
lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah
meniru model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi
dan filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama
periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas,
dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau
mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki
pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah.
"Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah
berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat
Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi
terintegrasikan." Kemunculan otoritas
keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut
Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah
masyarakat Islam.
Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat
anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang
bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan
Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah
atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan
bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai
pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam
(Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut
pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun
melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu
agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat,
inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun.
Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama yang
tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan
beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya.
Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan
perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan
anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam
al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai
penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah
yang terus berlanjut pada saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada
formulasi orisinalnya sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi
warna hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan
segera setelah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke
Baghdad yang saat itu sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan
teologi tertentu kepada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya,
malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di
Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan
kekuasaan dan juga tentara yang marah dan tidak
puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat.
Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin
mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi
relevan untuk dipraktikkan.
Sebagai contoh, Sahl bin Salama
al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai
salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil
menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota yang berasal dari latar belakang yang
berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan
lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal
mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa
oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang
memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal
untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah
harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi slogan
'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq).
Pengikutnya di berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka
yang berfungsi membentengi mereka dalam kota." Dengan demikian,
organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan
sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas
khalifah secara terbuka.
Dengan menggunakan bahasa-bahasa
keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada di luar
batas-batas pemerintahan khalifah
menjadi konsepsi komunal tentang Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan
di luar sistem seperti ini merepresentasikan konsepsi yang revolusioner
mengenai struktur masyarakat Islam." Kewajiban untuk
melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar'
pada dasarnya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung
oleh banyak ulama yang percaya bahwa kewajiban itu juga merupakan kewajiban
semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas
religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh
penguasa yang tidak kompeten. Salah satu ulama terkemuka yang terlibat dalam
gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di
salah satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya
sendiri. Dengan demikian, kekuatan
sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya muncul bersamaan dengan kemerdekaan
teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya seperti Ahmad bin
Nasr bin Malik (keduanya adalah penduduk kota Baghdad yang diwakili oleh Sahl
dan penentang khalifah lainnya).
Ahmad bin Nasr lah yang memimpin
gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah
selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan kembali gerakan
Sahl yang meredup setelah al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode
berikutnya, slogan yang sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan
terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi perekrutan
masa untuk gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu terhenti karena
buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan karena ia
sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting untuk dicatat
bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan keagamaannya dan bukan
karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi dan kepalanya dipajang di
hadapan publik untuk memperingatkan yang lain tentang hukuman yang akan
diterima jika membangkang kepada khalifah.
Inkuisisi yang berlarut-larut
memperlihatkan adanya konfrontasi antara ulama dan khalifah dalam mengklaim
otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk menerima klaim keagamaan khalifah
yang kemudian membuatnya dipenjara hingga akhir hayatnya, membenarkan penolakan
terhadap penyatuan otoritas negara dan agama. seperti yang Lapidus ungkapkan:
"perdebatan tentang status makhluk
al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas,
pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memberikan peran yang berbeda
kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki oleh Nabi. Dengan demikian,
berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang menjadi
institusi kerajaan dan militer yang disahkan dengan cara Byzantium dan Sasanid,
sementara para pemuka agama mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap
aspek komunal, personal, keagamaan dan doktrin dalam Islam."
Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai
dengan tujuan diskusi kita adalah mengenai hubungan antara komunitas muslim
dengan negara muslim. Bagaimana hubungan itu dibentuk dalam rezim dan lokasi
yang berbeda? Bagaimana ia berubah sepanjang waktu? Seberapa besar pengaruh
ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap
ulama dan komunitas keagamaan? Namun penting pula untuk
menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal
oleh mayoritas ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata
mendapat dukungan dari sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu
Taimiah. "Hasil terorisasi mereka adalah, negara bukanlah ekspresi
langsung Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan
Islam; komunitas ummat Islam yang sebenarnya adalah komunitas ulama dan orang
suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras
dengan saran saya untuk menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang
menjaga netralitas negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan
keterhubungan antara Islam dan politik.
Nampaknya kita perlu mempertimbangkan
kembali dinamika sosial dan implikasi mihnah
dalam kerangka teori Habermas tentang "ruang publik" tempat
ide-ide diperdebatkan dalam ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat
mengakses dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah,
al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus
massa yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif
ini, jelas bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang pengaruh yang berbeda dan
kedua pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan adalah wilayah ulama…mihnah dengan demikian merupakan akibat
perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah
yang ingin membentuk doktrin." Relevansi pandangan ini
untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya otonomi "public reason" dari otoritas
negara, seperti yang nanti akan kita diskusikan dalam buku ini.
Pembedaan antara Islam dan negara
terkonsolidasikan dengan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap
kekhalifahan pada saat yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah dalam
mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas
dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan di Baghdad. Untuk merespon
pemberontakan Syi'ah dan Khawarij di hampir
seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak
untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk sebagai tentara dimulai
pada masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode setelah pecahnya kekacauan
pada masa al-Ma'mun berkuasa sebagai khalifah. Tentara non Arab dan para
komandan militer hanya memiliki sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai
sebuah institusi, dan cenderung menganggap jabatannya sebagai sumber kekuatan
politik dan keuntungan ekonomi. Karena diharapkan menjadi mesin militer yang
efektif, Mamluk memang didorong untuk tidak berinteraksi dengan penduduk sipil
dan tetap diposisikan sebagai kekuatan asing.
Sebagai contoh, para komandan dari suku
Buwaihi yang berasal dari daerah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun
945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung dan berpihak kepada khalifah
al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan di
Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas
negara untuk mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan membuat
peringatan idul ghadir secara resmi,
peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari
ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga
mempertahankan toleransi yang penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung
lembaga-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin
yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi
kekhalifahan tetap dipertahankan hingga karakter sunni yang melekat pada
kerajaan dan rezim pun tetap ada. Namun kurang dari satu abad kemudian, setelah
konflik internal di kalangan Buywaihi
mengganggu kemampuan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk dengan ambisi
mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni dan ulamanya
untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.
Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas
politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah,
Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap
institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan model negosiasi
kemudian menguat dengan dua institusi besar yang bekerja dalam hubungan yang
saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara
melindungi daerah-daerah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil
terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf
sekolah-sekolah agama, masjid, dan lembaga-lembaga komunitas muslim lainnya.
Model ini terus berlanjut hingga masa pra kolonial, dan sisa-sisanya masih
tetap ada hingga saat ini seperti
terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim.
Sementara model seperti tadi berlaku di
Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku di Afrika
Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia ketika
Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai
satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl
al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yang
nanti akan kita diskusikan, berusaha untuk menegakkan kembali penyatuan
kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu
contoh kecendrungan yang berlaku umum di kawasan Afrika Utara saat itu karena
kawasan ini telah didominasi dengan model kepemimpinan seperti itu sejak
jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari berbagai rezim di Afrika Utara
seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, dan al-Muwahhidun
mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa berdasarkan kualifikasi individu
dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah adalah penganut syi'ah dan
sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di
sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah
Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid
dari Islam.
Namun dalam kasus Afrika Selatan itu,
usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan agama
berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam beragama, dan hilangnya
stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan
Afrika menuju Spanyol pada masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di
timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi
geografis dan demografis negerinya, dimana keluarga dan suku merupakan faktor
penting untuk organisasi sosial di tingkat lokal. Selain itu, koalisi bersama
yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yang sama nampaknya menjadi
komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-daerah tersebut. Tetapi,
mereka juga melindungi kelompok-kelompok persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada
ulama profesional yang ada di pusat kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut
sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-modern.
Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas
bahwa model hubungan antara otoritas agama dan negara beragam baik dari
tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga
hubungan yang lebih independen namun kooperatif, dan otonomi penuh bahkan
oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha
mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada
pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi.
III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu,
saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan
Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode
dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai
ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian
bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti
Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk
berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta
menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa
klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak
mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan
negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada
bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan
hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas
keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi
lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.
Selayang Pandang tentang
Dinasti Fatimiyah di Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama
kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang
dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti
Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah
Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki
ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun
berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996,
yang kemudian diikuti oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021).
Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh
atas perintah saudara perempuannya, Sitt
al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun
berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang
(1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya
militer dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh
para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk meluaskan
kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun
berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang otoritasnya
terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan
disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani
Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya
kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1171.
Pencitraan diri dinasti Fatimiyah
sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk
menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki Nabi
karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa
kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi." Kualitas yang harus
dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki otoritas ketuhanan tidak bisa
dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi
a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari
siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti matahari
dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang awam, imam adalah sosok yang
sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad,
mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan memutuskan pelaksanaan
hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi." Karena imam juga dianggap
mendapatkan posisi istimewa dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga
dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin
ummat Islam untuk selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil
dan sempurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang
dideskripsikan dalam al-Qur'an.
Namun dalam praktiknya, upaya
mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam sikap
Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap materialitik di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa
selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival
ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya
dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk
emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di
hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi
mutiara.” Citra kemakmuran dan
kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang
digunakan untuk menegakkan otoritas keagamaan khalifah.
Sebagai contoh, dalam prosesi idul
fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim yang berpakaian mewah layaknya
sedang melakukan peragaan busana, keluar dari istana ke lapangan dimana shalat
idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi,
takbir tak henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki tempat shalat.
Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan untuk
melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan, tapi cukup dengan takbir, “maka
dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah
dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun menjadi bagian dari perayaan shalat
id.” Qadi al-Nu’manlah yang
pertama kali membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian
dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia
mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri,
idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap
klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah
dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri
seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama.
Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan
otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk
mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci.
Aspek lain yang membuat asosiasi
seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa
untuk mengakumulasi kekayaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan
patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti
Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang
disewakan bulanan di Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan,
lebih dari 8.000 bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber
itu, tentu saja, hanya merupakan bagian dari perdagangan milik pribadi imam
yang meliputi seluruh pelabuhan dan armada laut. Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam
Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.” Tanggung jawab ini tidak sejalan dengan
posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem militer yang mempekerjakan
budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada biaya
untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus
membayar gaji pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa
militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus
kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif
sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan
budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial
dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya
masyarakat umum.
Sekedar penjelasan singkat,
institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim),
pengadilan publik (hisbah), dan
polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah
pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat).
Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga
yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah.
Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti
Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di
bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga
tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung
yurisdiksi mazalim, jika dianggap
akuntabel. “Tanggung jawab hakim
agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam
shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti
mengepalai kantor percetakan uang (dar
al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar),
dan mengurusi baitul mal.” Penyatuan peran peradilan
dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara
untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk
menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan,
kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan
keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku.
Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang
juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan
kepada pejabat negara terkait.
Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara
setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang
ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan
hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo
(pelaksana hukuman) dan pengelola penjara. Meskipun kepala polisi
seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang
cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda
itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.
Insitusi kenegaraan lain yang terdapat
pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib.
Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang
di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa
institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi
aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga
sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar
ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana hukum
hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang
sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas
keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan
muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili
seluruh kehidupan sosial.
Muhtasib merupakan bagian dari pegawai
lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian,
muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan
Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini
memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun karena kekuasaan
muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai
muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi. Ia berkewajiban dan diberi
otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan
besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri
untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin
al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Namun fakta ini juga
mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa
institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik.
Dengan demikian, peran muhtasib dalam
sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek
yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia
tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan
sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas
perdagangan masyarakat Mesir saat itu. Pemerintah mendapatkan
gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang
pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus
berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya. Karena hal itulah,
membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit. Peran muhtasib sebagai agen negara bagi
publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan
gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk
mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.
Seperti yang terlihat dalam fungsi
muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang
potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah
ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan
tanggung jawab muhtasib meliputi
penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan
moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang
publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu
diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada pula hukum resmi yang
berkaitan dengan warga dzimma seperti
larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk
memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki
tempat mandi umum (hammam). Saya akan mengulang
penjelasan mengenai hal ini di bagian lain.
Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan
Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan
institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk
penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas
agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad,
mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan
kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa
konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan
otoritas agama dan politik yang dipakainya?
Pada saat penaklukkan Jawhar
al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan
keamanan (aman) kepada para bangsawan
kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk
memuluskan jalan bagi terlaksananya program-program politik rezim baru,
termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat. Referensinya kepada sunnah dan persatuan
Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh
Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang
saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid
Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan
rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi
kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah
al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru,
merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas
keagamaan dan politik dan menentang
dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan
membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga
Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim
Agung membagikan infak kepada warga di
masid Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan
keberadaan rezim Fatimiyah baru.
Selain model ini, ada pula model
penyatuan institusi agama dan politik yang lebih tingi tingkatnya yaitu ketika
2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan administratif sementara
pada saat yang sama istana khalifah atau imam dipandang sebagai tempat yang
tepat untuk proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin
an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di
Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar. Khalifah atau Imam sering
menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan
seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan
rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.
Dalam proses perdebatan dan
perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara
untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan
mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama." Prestise negara
dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu . Adapula majlis keilmuan
(majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan,
pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, misalnya,
didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai
sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran,
astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi
sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang
diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah
Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian
diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi
kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama
mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh
al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar
al-Ilm pun ditutup." Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin
oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri
kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.
Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan
penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara bertahap termasuk
dengan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun sejak awal,
nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan sunni. Sebagai contoh,
dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar,
penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz,
Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk
menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk
mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat yang sama, ia pun menolak
otoritas spiritual." Imam-lokal dengan demikian
mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai
otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.
Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih
menyukai menggunakan hisab untuk menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun
masyarakat dan ulama sunni tidak ikut
dalam tradisi itu sampai setahun kemudian. Ada laporan yang
menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena
melakukan observasi ru'yah untuk menentukan awal puasa Ramadlan, daripada
dengan menggunakan perhitungan astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam. Seorang laki-laki juga
dihukum karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih. Namun hukuman-hukuman ini
nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan
politik dengan kalangan mayoritas sunni.
Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id
al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi lebih publik dan provokatif bagi
kalangan sunni, juga menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya
baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya,
seperti sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai
diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan
komunitas sunni. Selama perayaan ashura 1005, mereka yang
mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat
juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi.
Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan
mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan bagi
siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi. Walaupun perayaan Ashura
dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus
menimbulkan kerusuhan di dalam kota. In 1009, al-Hakim melarang
perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali untuk
menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun, beberapa
perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan
maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara.
Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya
infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk
mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini
biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama.
Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti
mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi
peradilan. Seperti yang terlihat dalam kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab
Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri
ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha untuk menerapkan hukum syi'ah
Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung
mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk menjabat sebagai hakim di Fustat
karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir juga
bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man
datang dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus
mazalim. Namun, qadi berikutnya, Ali bin
Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa
menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yang menjabat
sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad,
sebagai deputi dan mereka bersama-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di
Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang
ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai
dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan
sunni. Dengan demikian, pada
masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite
agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika
mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini,
kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni
tindakan politis.
Watak otoriter kekuasaan Imam dalam
dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yang berpangkat
tinggi sekalipun, harus mencari dukungan dari jaringan personal dan
profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan
nepotisme. Strategi yang umum
digunakan, seperti yang sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian
dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya
dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan
baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang
berpartisipasi dalam berbagai forum-forum munazharat. Namun penting untuk
diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak jelas,
apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam
posisinya sebagai menteri? Para khalifah tentu saja
mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yang dilakukan
al-Hakim dengan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang
bagi dua masjid agung dan masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak
memberi pemasukan. Al-Hakim juga membangun masjid al-Hakim yang
berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan keagungan Sang Imam dan dianggap
setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada di Mekah, Madinah dan
Jerussalem. Inovasi keagamaan yang
dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis
syi'ah Ismailiyah yang sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba
memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak,
seperti dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap
orang untuk menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah. Namun usaha-usaha semacam
itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti
dalam kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri
sunni yaitu Ridwan dan Sallar.
Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari
para budak mendapatkan prestise yang cukup besar pada masa dinasti Fatimiyah
dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah mendapatkan kekuasaan untuk diri mereka
sendiri. prestise tertinggi dicapai pada tahun 1260 ketika mereka mengalahkan
pasukan Mongol di Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan dan
status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki dominan yang bertanggung
jawab atas pembelian, pelatihan dan pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan
mesin militer yang efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah untuk
menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri dari serangan luar. Namun
status mereka sebagai budak juga menimbulkan ketegangan sosial serta kerusakan
struktur politik dan ekonomi di negara-negara tempat mereka mengabdi.
Pasukan mamluk adalah pendukung setia
ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yang
membuat mereka menjadi simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik
independen. Mereka juga menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni
Islam bahkan pada saat mereka menjadi penguasa. Serdadu Turki misalnya
digunakan oleh Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni dari ancaman
Syi'ah yang terus meningkat ketika berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman,
Fatimiyah dan Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan
militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni
dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma dan pengikut Syi'ah. Namun pada
1517, seluruh kesultanan Mamluk berakhir oleh serangan militer Dinasti
Utsmaniyah. Dalam bagian ini, saya
akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan keagamaan Dinasti Mamluk
Bahri di Mesir untuk menekankan adanya ketegangan hubungan antara otoritas dan
institusi politik dan agama dalam salah satu periode sejarah Islam.
Kesultanan Mamluk dikuasai oleh
beberapa komandan (amir) dengan oligarki yang esklusif dan memiliki kekuasaan
politik/militer berdasarkan kekuatan resimen militer Mamluk yang dimilikinya.
Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan, bahkan semua elite militer
berasal dari budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak
kemudian dilatih sebagai tentara dan tenaga administratif. Karena mereka tidak
mempunyai keluarga atau hubungan apapun di daerah tersebut, maka mereka sangat
setia kepada tuannya dan mengabdi dengan sangat baik di kemiliteran. Rezim
mamluk mengandalkan sumber keuangannya dari sistem iqta dimana mereka bisa mendapatkan hasil tanah namun tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi dan Seljuk, dinasti
Mamluk juga tidak mempunyai justifikasi lain untuk berkuasa selain kekuatan
militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan
untuk dinasti mereka berasal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam.
Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad dan di beberapa
daerah Islam lain diikuti dengan berkuasanya Turki Utsmani yang membuat
institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri.
Kampanye militer terhadap tentara
salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan perlindungan terhadap tanah-tanah
ummat Islam merupakan simbol-simbol publik yang sengaja ditampilkan untuk
menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi,
diajari di institusi-institusi tersebut dan dijamin kehidupannya dari waqaf-waqaf
yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu memiliki
tujuan-tujuan keagamaan, namun ada motivasi politik yang jelas terlihat dalam
wakaf-wakaf tersebut terutama untuk mendapatkan legitimasi keagamaan bagi elite
yang sedang berkuasa dan jajaran aparatnya. Selain memberikan wakaf
kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk juga menekankan
pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah dengan
menyelenggarakan festival haji tahunan dan berperan sebagai pelindung utama Ka'bah.
Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah
yang saat itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah untuk memasangkan
kelambu khusus yang dikirim dari Mesir pada Ka'bah dan memasang lambang-lambang
kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.
Karena Mamluk tidak mempunyai klaim
yang independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin
untuk mengontrol negara. Tahun 1261 setelah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada
tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti
Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai
Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai
sultan. Sultan kemudian mengirim
khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam
tersebut. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan
kemudian menggantinya dengan melantik al-Hakim sebagai khalifah pada tahun
tersebut. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya merupakan kegiatan
seremonial dan lebih banyak diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun
sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para
Khalifah yang mereka angkat dan memperlakukan mereka hanya sebagai pelengkap
acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik dan
ancaman yang mungkin muncul dari khalifah-khalifah tersebut. Karena mereka
tidak memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk
menggunakan simbol keagamaan Khalifah untuk maksud-maksud politik mereka
melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka.
Perkembangan hubungan antara institusi
politik dan agama yang cukup signifikan terjadi pada saat transformasi lembaga
peradilan yang dilakukan oleh Sultan
al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tersebut pada periode
1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yang biasanya diisi hanya oleh
seorang hakim agung yang bermazhab syafi'I dengan memberikan tempat yang sama
kepada hakim dari tiga mazhab lain, dengan demikian majelis hakim terdiri dari
4 orang hakim dari empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan
beberapa hal termasuk keinginan Baybars untuk mendapatkan dukungan dari
kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang memang menjadi
mayoritas pada saat ia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud
untuk mengarahkan mereka untuk berkonfrontasi dengan hakim bermazhab Syafi'i
yang saat itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya
ungkapkan untuk memperlihatkan peran negara untuk menegosiasikan kekuasaannya
dengan institusi keagamaan dalam rangka mendapat legitimasi dan juga peran
negara untuk memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.
Kompetisi antara para ulama untuk
mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara memperlihatkan betapa
kompleksnya hubungan antara institusi agama dan negara. Walaupun berbagai
mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan masalah-masalah
fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk
mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke dalam
dua kategori yaitu hakim ketua dan hakim deputi. Hakim ketua memberikan
otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tersebut bisa dicatat
dalam daftar hukum pengadilan (diwan
al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara. namun bila deputi yang
mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama dengan hakim ketua, maka
hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan keputusan itu. Namun
minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal tersebut karena itu
berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, bila seorang hakim
bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia
tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh hakim dari
mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang
oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang tersebut di
atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain yang mewakili
kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya. Kebijakan ini memberikan
keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan
kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu
bisa membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi juga
mereka bisa mempengaruhi khalayak banyak untuk menerima keberadaan mereka
sebagai penguasa yang berasal dari tentara budak asing. Pada saat perang, rezim
Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk memberikan mereka izin untuk memungut
pajak baru dan mengalihkan dana wakaf untuk kepentingan perang.
Mari berbalik sejenak untuk melihat
kewenangan muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi
yang sama di bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik,
pengawas pasar dan sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib juga memperlihatkan adanya
negosiasi yang sama antara institusi politik dan agama seperti yang terjadi
pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan
muhtasib lebih dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang biasanya dipegang oleh para fuqaha, ulama,
pengajar madrasah, dan praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun.
Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yang saling bermusuhan menguasai jabatan ini
untuk kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, dan berakhir dengan
konsekuensi ekonomi yang buruk. Perubahan posisi jabatan ini juga
terrefleksikan dalam perubahan hubungannya dengan negara dan persepsi
masyarakat umum.
Kasus Ibnu Taimiyah bisa menjadi contoh
intervensi rezim Mamluk dalam masalah diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum,
Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang lima kali selama hidupnya pada zaman
kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dianggap tidak mendapat dukungan dari
kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama dan para pembuat
hukum (hakkam) yang hidup pada zamannya.
Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat kekhawatiran di kalangan masyarakat
awam". Pendapat Ibnu Taimiyah
yang kontroversi itu diantaranya adalah pemisahan antara kelompok masyarakat ahl al-dzimma dengan muslim dan
penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh dari dalam seperti komunitas
syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan
aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa melihat bahwa dinasti Mamluk
memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu
Taimiyah memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat Islam dan
amir-amir Syiria. Namun Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani
pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah
ia setuju dengan pandangan dan kebijakan mereka atau tidak.
Sebaliknya, para ulama, terutama ulama
Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka kepada rezim
militer manapun yang memasuki kota tersebut agar ketertiban segera bisa
dikembalikan secepat mungkin. Sikap seperti ini berdasarkan pada pendapat bahwa
negara, seperti apapun bentuknya, lebih baik daripada perang dan pentingnya
penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan
para ulama itu tidak mereka dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang kota itu
pada tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi pada saat Timur Lenk
menginvasi kota itu satu abad setelahnya pada tahun 1400. Sementara ulama-ulama
lain bersedia untuk bertahan dan melawan dengan mempersiapkan blokade atau
perang gerilya, ahli fiqih Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah
memperingatkan masa untuk menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada
penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri menjadi Sultan setelah berhasil
memblokade kota selama 2 hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih menjadi qadi dan agen
Timur Lenk, namun kota tetap saja dihancurkan.
Peran para Qadi dalam kekuasaan Mamluk
terintegarasi dan terpenetrasi oleh aparat negara. ada 4 jabatan qadi di setiap
kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi memiliki jaringan deputi yang memiliki kekuasaan politik yang setara
dengan menempatkan diri mereka sebagai penengah antara ulama dan rezim Mamluk
yang menuntut pajak yang tinggi untuk membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter
otoritas dan wilayah kewenangan peradilan ketika tidak ada satupun prinsip
pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun pada saat itu telah ada pembedaan
institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, dan lain
sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk
mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan oleh aparat negara,
sekaligus menjadi tempat bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh
untuk memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-kasus wakaf dan
properti individu sering menjadi kasus dalam pengadilan mazalim karena semasa
rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik
orang lain.
Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk
Dinasti Fatimiya sangat menekankan peran
pemimpin dalam membangun masyarakat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya
menjadi platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah untuk mendapatkan legitimasi.
Secara teoritis, semua urusan negara, masyarakat, dan agama harus berada di
bawah pengawasan imam yang maksum yang mengatur masyarakat berdasarkan otoritas
ketuhanan yang komprehensif. Berbeda dengan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk
tidak mempunyai klaim ideologis dari ajaran lama. Mereka mendasarkan diri pada
klaim yang mereka buat sendiri untuk mempertahankan dan mendukung ajaran Islam.
Selama pejabat dinasti Mamluk tidak menyalahi tatanan Islam di depan publik,
kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama.
Status dan peran ahl al-dzimmah dalam
masyarakat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara
teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami untuk merefleksikan sikap toleransi
kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis menunjukkan bahwa
permusuhan lebih banyak mewarnai hubungan antara muslim dan non muslim daripada
hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir misalnya yang merupakan negara yang
mayoritas penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada
masyarakat Mesir koptik atas keahlian yang mereka miliki untuk mengelola
ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan masyarakat Mesir.
Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki oleh
komunitas Koptik dalam kegiatan ekonomi lokal sering menyebabkan
terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yang beragama Islam yang
walaupun menjadi elite penguasa namun tetap tergantung pada minoritas luar.
Cara bagaimana ketegangan seperti ini dinegosiasikan dalam kasus-kasus yang
akan saya paparkan nanti memperlihatkan adanya pola perlakuan yang berbeda
terhadap ahl al-dzimmah dalam masyarakat muslim.
Selama periode Fatimiyah, kita bisa
melihat adanya pola yang toleran dimana tidak adanya pembatasan bagi penduduk
beragama Kristen atau Yahudi untuk mendapatkan kesempatan bekerja atau
kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial. Bahkan orang-orang Kristen dan
Yahudi berkerja di pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa
Dinasti Ayyubi, meskipun pada dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat
terjadi. Namun praktik ini tidak
boleh kita besar-besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada di Mesir tidak
memiliki sistem yang bisa menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam masyarakat
yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Yang ia miliki hanyalah seorang imam
yang memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah
sendiri juga merupakan kelompok minoritas di Mesir yang mengelola kelompok
minoritas muslim lain yang mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas
mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen masyarakat Fatimiyah dan
Mamluk di Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan
kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tak terdeteksi oleh negara.
Walaupun rezim dinasti Fatimiyah
nampaknya agak sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah
(terutama kristen Koptik) karena berbagai alasan, penduduknya yang mayoritas
sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada rezim Fatimiyah karena
mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang keberadaan kristen Koptik dan
yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah
yang tidak sah dan tidak bisa diterima dalam masyarakat Islam. dengan demikian,
tekanan negara kepada kelompok dzimmi harus dilihat sebagai konsesi terhadap
kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada kelompok ini dan sebagai sikap
politik yang layak diambil untuk mencegah konfrontasi serius antara kelompok
ini dengan masyarakat muslim. Dengan demikian,
Posisi orang kristen dan Yahudi di negara Islam (selama
dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun tidak cukup aman. Hukum Islam
melindungi hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa
pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum Islam juga
menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan mengharuskan mereka
untuk tunduk pada aturan. Jika aturan-aturan itu dijalankan di bawah
pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini dapat dan pasti mengarah
pada absennya hukum dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah
ini selaras dengan karakter umum periode saat itu dimana… perdagangan
internasional yang cepat dibuat untuk interaksi bebas antara kelompok yang
berbeda dalam masyarakat disamping karena perilaku tertentu yang dianggap masuk
akal.
Debat akademis mengenai status dzimmah
di kalangan ummat Islam sering merujuk pada apa yang disebut "perjanjian
Umar", sebuah teks yang berasal dari perjanjian antara Umar bin Khatab
dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun dianggap oleh sebagian sarjana baru
muncul pada beberapa masa berikutnya. Kondisi yang nampaknya
telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya berpakaian (ghiyar),
larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan kegiatan ibadah yang
dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah
bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja merupakan
tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah).
Aturan-aturan tersebut nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik
sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan
pengaruhnya masih terlihat dalam berbagai kasus.
Praktiknya, memang, beragam tergantung
faktor politik dan faktor-faktor lainnya. Negara bisa saja mengizinkan
pendirian gereja dan sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama, tetapi ia
juga bisa saja menyerah pada tuntutan ulama dan masyarakat untuk menolak
permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan
gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam
Fustat saat itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah
gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas pengaruh mereka kepada
masyarakat non-muslim dengan mewakafkan tanah untuk gereja, melindungi hak-hak
lembaga biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di
Yerussalem. Namun kompleksitas masalah ini bisa dilihat dari kasus Muhammad bin
Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yang menghadapi
tekanan yang sangat besar dari masyarakat muslim yang sangat marah untuk
melarang perbaikan gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak.
Dua dari tiga ahli hukum yang ditunjuk untuk memeriksa legalitas perbaikan
gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj
lebih suka mengambil pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas perbaikan
tersebut. Namun setelah ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di
jalanan dan bahkan menimbulkan kerusuhan yang melibatkan pasukan bersenjata,
jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak bisa mengimplementasikan kebijakannya
itu karena akan menimbulkan ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj
akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja tidak diizinkan
untuk diteruskan.
Pada tingkat lokal, wazir, amir dan
ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi, memeras dan
menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi di Yerussalem
kadang-kadang harus membayar untuk mendapatkan izin penyelenggaraan kegiatan
agama. Pada masa wazir al-Yazuri
berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan dan
perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya bisa
diselesaikan setelah komunitas Kristen koptik di wilayah itu membayar sejumlah
besar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan.
Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim
dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu peran
komunitas koptik yang cukup besar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung
Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap
sejumlah gereja dan pembunuhan sejumlah pendeta yang terjadi sepuluh tahun
berikutnya pada perang sipil di masa al-Mustansir. Meskipun ada banyak contoh perlakukan buruk
terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah saya kemukakan tadi dan adanya
kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi dan memberikan toleransi kepada
kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada kasus diskriminasi
yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada masa Khalifah
al-Hakim.
Sejarawan periode ini umumnya setuju
bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan kelompok
non-muslim dan non-syiah Ismailiyah dengan baik. Namun, pada masa al-Hakim bi
Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama agama, terror
yang disponsori negara dan tumbuhnya semangat keagamaan yang tidak terkontrol.
Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan
penghancuran gereja, al-Hakim juga melakukan kampanye sistematis untuk
menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa
terburuk pemerintahannya, 1004-1012,
gereja dan biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah
dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan
non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, dan
tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah
gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan
sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada
masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa
kebijakannya setahun sebelum ia meninggal (menghilang), kerusakan, terutama
yang disebabkan oleh hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi
masjid, bisa dikatakan permanen. Namun pada pemerintahan khalifah Fatimiyah
berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium
pada masa al-Hakim, mulai kembali ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga
hubungan antar agama mulai kembali membaik.
Tidak seperti rezim Fatimiyah, rezim
Mamluk tidak memandang dirinya sebagai pemimpin agama atau berusaha menempatkan
diri mereka dalam urusan-urusan yang dianggap urusan ulama. Malah, mereka
tergantung pada ulama dan pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas
politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih buruk daripada di masa
Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat untuk menyulut
permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah tertentu,
namun mereka cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin agama yang
menekan mereka untuk memperlakukan ahl al-dzimmah dengan buruk.
Hampir di seluruh negeri-negeri Muslim,
ahl al-dzimmah sering dipekerjakan
oleh Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan
kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru
tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh
itu jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini
nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang tinggal di Mesir
menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya dan
menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil saja bisa
menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan
biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan kalangan
dzimmi untuk menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat
semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada kalangan Kristen
Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan dan pembunuhan. Namun ketika
Mamluk berusaha untuk menegakkan otoritas mereka dan mengembalikan perdamaian,
mereka juga berusaha untuk tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, hingga
Mamluk terpaksa menjatuhkan hukuman ekstra judicial kepada mereka dan memecat
mereka dari pekerjaan. Namun perlakuan buruk ini
tidak terjadi pada kristen Koptik yang menjadi pejabat tinggi negara. Mereka
biasanya ditawari untuk masuk Islam, namun hanya beberapa orang di antara
mereka yang merespon tawaran itu dengan serius.
Kadang-kadang tuntutan untuk
memperlakukan ahl-dzimmah dengan buruk itu datang dari luar. Misalnya ketika
seorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada
tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti
Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada di Mesir karena di
negerinya orang-orang ini diperlakukan dengan sangat buruk. Akibatnya, beberapa
Amir mamluk yang oportunis berusaha untuk melaksanakan tuntutan umum masyarakat
ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan
menutup atau merubuhkan gereja-gereja di daerah kekuasaan Mamluk bahkan hingga
mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu
tahun, setelahnya sejumlah gereja kembali dibuka. Protes massa Muslim terhadap
peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung menyebabkan
negara bertindak keras kepada mereka hingga banyak di antara mereka yang masuk
Islam. Nampaknya ada hasutan dan sejenis koordinasi antara kerusuhan yang
melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah
Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan oleh massa di Kairo
dan pada hari yang sama, sekitar 60 gereja di daerah lainnya juga dihancurkan.
Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo.
Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan untuk mengamankan
suasana.
Pada tahun 1354, Negara beberapa kali
menggunakan kekerasan untuk meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yang
disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil. Seperti pada masa sebelunya,
pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar kembali diberlakukan.
Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat dari
jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan dibunuh di jalanan kota
Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang diberikan kepada
gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada
para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga kristen kehilangan sumber
utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan sumber-sumber keuangan lembaga
itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam jumlah
besar.
IV. Negosiasi AntarLembaga
Pengalaman sejarah yang saya ungkapkan
tadi hanya merupakan contoh pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai
negosiasi konstan antara institusi negara dan politik. Seperti yang sudah saya
tekankan di awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan
dengan cara yang berbeda untuk mendukung pandangan yang berbeda bahkan yang
saling bertentangan. Karena itulah saya sadar bahwa cara pembacaan terhadap
sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah dan
penjelasan mengenai implikasinya yang saya lakukan di sini harus ditolak atau
diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan
sejarah yang saya lakukan bisa masuk akal dan berguna bagi ummat Islam sekarang
yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk tetap berpegang
teguh kepada syariat dalam konteks mereka saat ini baik dalam konteks lokal maupun
global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif
yang saya dapat dari kilas balik sejarah yang saya lakukan tadi dan
mengaitkannya dengan proposisi utama yang saya ajukan dalam buku ini, tanpa
membuat kesimpulan apapun.
Bab ini saya mulai dengan menyatakan
bahwa saya setuju dengan padangan Ira Lapidus tentang adanya pembedaan antara institusi agama dan
negara dalam sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, saya berusaha
untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini dan menghubungkannya
dengan ide mengenai pemisahan antara lembaga keagamaan dan negara dengan tetap
mengakui keterhubungan antara agama dan politik dalam masyarakat Islam saat
ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama bisa
dilakukan melalui teori dan dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut
ini.
Pembedaan instituisonal ini bisa
didukung secara teoritis dengan memperlihatkan perbedaan karakter otoritas
politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting
yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang harus sekuler dan
politis karena kekuasaan dan institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk
kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh otoritas keagamaan.
Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan
kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka tidak punya kekuasaan maupun
kewajiban untuk bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan
relasi ekonomi dan sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi
ini membutuhkan adanya kontrol yang efektif atas wilayah dan penduduk, serta
kemampuan untuk menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus
dimiliki oleh pejabat negara, namun tidak oleh pemimpin agama.
Seperti yang sudah disebutkan di awal,
beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan
beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari
kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun yang perlu kita perhatikan di sini
adalah ada dua tipe otoritas yang berbeda, bahkan meskipun keduanya dipegang
oleh yang sama. Keduanya memiliki kriteria yang berbeda dan mendapatkan
perlakuan yang berbeda dari orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat
pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dinilai oleh yang menerima
otoritasnya berdasarkan penilaian pribadinya yang subjektif di luar interaksi
personal rutinnya dengan orang itu.
Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan kualitas yang bisa
dinilai secara lebih objektif seperti kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan
dan mengelola administrasi yang efektif untuk kemaslahatan ummat. Bahwa ada
seseorang yang bisa mengkombinasikan otoritas politik dan keagamaan, tidak
berarti bahwa kedua otoritas ini sama atau kemampuan tersebut harus dimiliki
oleh orang lain yang akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan.
Pentingnya pembedaan otoritas ini juga
bisa dilihat dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh keinginan untuk
memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap
orang-orang murtad di masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya
perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap
bisa melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para sahabat utama
karena ia adalah seorang khalifah dan bukan karena ia mengambil keputusan yang
benar dan tepat menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau
sah. Ummat Islam memang akan terus
berbeda pendapat mengenai hal ini tanpa adanya kemungkinan untuk mendapatkan
kepastian yang independen dan bisa diterima oleh semua pihak. Namun menurut
saya, akan lebih konstruktif bila kita membedakan antara pandangan keagamaan
Abu Bakar dengan kebijakan dan tindakan politiknya sebagai khalifah. Seperti
Umar dan Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang sahabat
yang memiliki justifikasi religius untuk posisi mereka. Namun ini tidak berarti
keputusannya untuk menyerang suku-suku Arab yang memberontak adalah keputusan
agama dan bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan tidak boleh ditentukan
oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat
Islam untuk melihat periode Madinah karena otoritas politik pada masa itu masih
sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi
karena berbagai faktor diantaranya
contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di wilayah Arabia
sebelumnya dan cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan kekuasaannya.
Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk melihat
peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa
dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat
ini.
Pentingnya pemisahan otoritas agama dan
negara dalam masyarakat Islam juga bisa dipahami dengan melihat konsekuensi
kebijakan mihnah yang dikeluarkan
oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun setelah
perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam
sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini karena peristiwa mihnah jelas memperlihatkan bahayanya
penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus menandai runtuhnya dominasi model
ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka dari negara dengan sukses
walaupun beberapa di antara mereka harus membayar mahal. Pengalaman ini juga
menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor masyarakat sipil, termasuk
otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan hal penting bagi suksesnya
pemisahan antara Islam dan negara dengan tetap mengatur keterhubungan antara
Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama dan negara
berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan sumber keuangan yang
mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas
pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tersebut.
Sejak periode awal sejarah Islam, ummat
Islam yang mampu telah berusaha untuk mewakafkan tanah atau harta milik mereka
yang lain untuk mendukung masjid, madrasah dan apapun yang bisa bermanfaat bagi
komunitas. Alasan mereka melakukannya adalah layanan publik yang disediakan
oleh waqaf terus mengalir manfaatnya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif
saat dia hidup mauopun setelah mati. Waqaf memang telah memainkan peran yang
sangat besar dan cukup kompleks dalam masyarakat Islam, lebih dari pernah
diperkirakan. Regulasi mengenai wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam
hukum Islam karena ia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting seperti
warisan termasuk di dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan
penerima waris, dan etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga
memperhatikan aturan mengenai wakif karena institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi
oleh orang-orang yang menghindari aturan zakat dan waris. Namun, karena wakaf
sangat penting dari segi praksis maupun keagamaan, memiliki konsekuensi sosial
dan politik serta kompleksitas teknis, ia menjadi rentan terhadap manipulasi
yang dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara. dan ini bisa menjadi indikasi bahayanya penyatuan otoritas politik
dan keagamaan dalam masyarakt Islam.
Selain memiliki implikasi hukum, wakaf
atau donasi semacamnya yang ditujukan untuk kepentingan publik atau kelompok
tertentu, juga memiliki implikasi sosial dan politik. Wakaf memang telah
menjadi bagian yang penting dalam ruang publik masyarakat Islam karena wakaf
menyediakan tempat bagi penumbuhan norma-norma dan etika Islam dalam bentuk
institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial.
"meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, namun pengguna
wakaf selalu berada di ruang publik". karena itulah, "dengan
mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya
dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang
dianut komunitas itu."
Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan
wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yang didapat dari benda hak milik untuk
tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap mempertahankan wujud bendanya". Namun insitusi atau
bagian—bagian wakaf yang tidak ditujukan untuk mencari penghasilan seperti
sekolah agama, madrasah, masjid, tempat-tempat para sufi, dan
institusi-institusi keagamaan lainnya biasanya didanai dari hasil aset wakaf
yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai
balasannya, para pewakaf akan terus didoakan oleh orang-orang yang memanfaatkan
institusi-institusi yang didirikan di atas properti yang mereka wakafkan baik
dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu
biasanya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan,
pedagang dan pemuka masyarakat berusaha untuk mewakafkan harta mereka
sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang
soleh di mata masyarakat. Namun bisa saja sikap itu didorong oleh tujuan untuk
mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf untuk terus
diingat dan didoakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun di samping itu,
tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi untuk melayani masyarakat.
Besarnya fungsi sosial dan keagamaan
yang dimiliki oleh wakaf jelas mempunyai implikasi politik tertentu. Wakif bisa
menjamin kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus
menjamin lingkaran jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yang
ditujukan untuk keperluan kegiatan keagamaan seperti untuk madrasah dan masjid
banyak bermunculan pada saat taruhan politik sedang meninggi. Sebagai contoh, Sekolah
agama Dar al-Ilmi merupakan wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti
Fatimiyah al-Hakim untuk memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya
kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah
di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, ia mewakafkan sekolah pada saat Baghdad
sedang dalam suasana tidak menentu.
Akhirnya, wakaf menjadi tempat bagi
penguasa dan ulama untuk menegosiasikan dan memediasi hubungan antara keduanya.
Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan
mereka untuk memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang
sudah dijelaskan oleh para ulama. pada saat yang sama, ulama dan institusi
keagamaan juga tidak berfungsi tanpa dukungan penguasa yang tidak hanya melindungi
batas-batas negara Islam dan menjaga
stabilitas dan perdamaian domestik, tetapi juga memberikan wakaf kepada
institusi-institusi keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf.
Namun, seperti yang sudah saya
jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama karena para ulama
mempunyai kredibilitas untuk memberikan legitimasi keagamaan bagi negara.
Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat
tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka dan negara. Wakaf
menyediakan mekanisme hukum dan sosial untuk menjaga keseimbangan antara
otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk
mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi
hubungan yang tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur.
Namun dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain
dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.
Aturan mengenai wakaf memberikan
perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering memiliki hak untuk menunjuk
dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk mengurus aset wakaf. Ia juga
mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari hasil
pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi dari prinsip
bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf dan
bisa terus mendapatkan keuntungan dari pengelolaan wakaf tersebut. Sebagai
prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukan aturan-aturan tertentu
terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini sudah sangat sering diulang-ulang
dalam fatwa dan kajian mengenai wakaf
bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan
pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat).
Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif
terhadap harta yang diwakafkannya dianut oleh semua mazhab fiqih sunni kecuali
oleh mazhab Maliki yang menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak
kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini
menurunkan minat penganut mazhab ini untuk mewakafkan hartanya hingga
popularitas mazhab ini di Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, sementara
mazhab lainnya mengail keuntungan pada saat itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya
tidak pernah memiliki madrasah di Baghdad maupun di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter
ini menyebabkan lembaga-lembaga mazhab Maliki memiliki otonomi yang sangat
tinggi. Dengan tidak mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan
penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak
mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap
institusi-institusi keagamaan untuk tujuan-tujuan politik.
Pemberi wakaf bisa saja memiliki motif
berbeda ketika mewakafkan hartanya kepada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin
misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika
hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya pemberian wakaf
kepada mazhab Maliki bertujuan untuk menenangkan penduduk lokal yang telah
menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii
didirikan untuk menunaikan ambisi mereka untuk mengikatkan dirinya dan
kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini.
Salahuddin juga membangun madrasah di lokasi-lokasi yang bagus yang dulunya
digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti
istana dan stasiun polisi.
Tingkat otonomi wakaf kemudian
memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan
penguasa. Karena ditujukan untuk untuk tujuan atau komunitas tertentu, wakaf
boleh diberikan kepada kelompok otonom yang memiliki tingkat pengaruh dan
partisipasi tertentu dalam ruang publik. Lembaga-lembaga yang memainkan peran
dan sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, mengembangkan dan
mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal
membuat para pemberi wakaf dan penerimanya penghormatan yang cukup tinggi dari
masyarakat. Wakaf merupakan alat penting bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan
kekuasaan mereka dari otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di
tengah-tengah masyarakat. Wakaf juga merupakan alat pendukung yang penting jika
mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat dengan menentang kebijakan
pemerintah."
Namun, otonomi penuh tidak bisa diraih
melalui wakaf dan malah bisa dikompromikan karena berbagai faktor. Misalnya,
jika pemberi wakaf adalah pejabat terkemuka, kita tidak akan menemukan
resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang bisa kita temukan dari
institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari
institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin bisa meningkatkan
kredibilitasnya, namun bisa juga menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat
terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, Ibnu
Hanbal, yang sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa
inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian dari institusi-institusi negara
atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan negara. posisi seperti ini
mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang ulama memiliki otonomi yang lebih
tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada lembaga-lembaga negara daripada
mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Namun sikap seperti ini tidak
selalu menghasilan kebijakan yang lebih plural
dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan pengaruh
konservatif atau ortodoks.
Dengan demikian, madrasah-madrasah yang
ada di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf dari para menteri dan sultan
dinasti Saljuk yang juga "membayar gaji para guru dan memberikan biaya
kepada para siswa." Setelah itu Baghdad
dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung
penyelengaraan ritual-ritual syi'ah di ruang publik. Sikap ini kemudian
memprovokasi massa sunni di Baghdad dan di daerah lainnya. Dengan kata lain,
munculnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama
Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain
dalam hubungan antara institusi negara dan agama yaitu peran sektarianisme.
Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara dua jenis institusi ini secara
ekslusif, tetapi di dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara
aktor-aktor negara yang mempunyai kepentingan berbeda dan bersaing satu sama
lain dengan institusi agama yang terdiri dari berbagai kelompok yang bersaing
dan bertentangan satu sama lain. Selama peristiwa mihnah, kalangan Syi'ah
adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase
yang berlaku saat itu.
Jelaslah bahwa ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa ditarik
dari beberapa penggal sejarah Islam. aspek-aspek yang telah saya terangkan dan
diskusikan, yang mungkin kadang-kadang terlalu mendetil, ditujukan untuk
memperlihatkan adanya beberapa peristiwa dalam sejarah yang bisa mendukung
argumen utama yang saya bangun dalam buku ini. selain elemen dan implikasi yang
disebutkan di bagian akhir, saya juga telah menekankan posisi kritis ahl al-dzimmah, yang seharusnya
dilindungi oleh syari'at. Bagian tersebut ditujukan untuk menunjukkan bahwa
aspek normatif Syari'ah bisa menjadi lemah karena faktor-faktor ekonomi, sosial
dan politik dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mekanisme kelembagaan
yang tepat. Karena itulah konstitusionalisme menjadi penting untuk memberikan
landasan yang kuat bagi berjalannya mekanisme tersebut dalam masyarakat Islam
saat ini. Saya juga berharap bahwa bagian yang menerangkan tentang ahl al-dzimmah di masa Fatimiyah dan
Mamluk bisa memberikan landasan historis untuk menjawab pertanyaan ini terutama
dalam hubungannya dengan pentingnya prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan kewarganegaraan yang akan kita diskusikan dalam bab
selanjutnya.
Akhirnya, nampaknya masih terlalu dini
untuk menyimpulkan argumen saya dalam bab ini karena kita tidak mungkin
mengaitkan analisis historis dengan proposisi utama yang saya bangun mengenai
Islam, negara dan politik sebelum mengklarifikasi karakter negara pasca
kolonial. Kemungkinan yang dihasilkan dari dimensi historis dan tantangan masa
depan syariah dalam masyarakat Islam hanya bisa dipahami lebih baik dengan
membaca bab-bab berikutnya dalam buku ini.