Senin, 30 September 2013

SIYASAH (POLITIK ISLAM)

SIYASAH (POLITIK ISLAM)

2.1 Politik Islam
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah.
2.2 Bagian-bagian Fiqh Siyasah
Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai bidang-bidang Fiqh Siyasah. Dan Fiqh Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Siyasah Dusturiyah
2. Siyasah Maliyah
3. Siyasah Dauliyah
4. Siyasah Harbiyah
2.2.1 Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.
Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya.
2.2.2 Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
2.2.3 Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
2.2.4 Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian (Pulungan, 2002. hal:41).

A. Pengertian Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}[1][3], yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.[2][4]
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari “ساس – يسوس – سياسة” yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “القيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki berbagai arti:
1. Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”.
2. Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.
3. Menurut Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:

Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.

Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. [Ini juga dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:

“Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of government, the state, and other political organizations, and any other factors which influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within society.”

Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.

Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.[3][15]

B. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[4][16]
1. Siyâsah Dustûriyyah;
2. Siyâsah Mâliyyah;
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
4. Siyâsah Harbiyyah;
5. Siyâsah `Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[5][17]
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah `Idâriyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
4. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:[6][18]
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah Dauliyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:[7][19]
1. Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2. Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4. Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional);
7. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[8][20]
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.[9][21]
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.[10][22]
Politik Rasulullah Saw di Mekkah
Masa kenabian merupakan masa yang awal dari sejarah Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya sampai beliau wafat yang dinamakan masa itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri yang membedakannya dari masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak berwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua.
Di dalam periode yang pertama, timbulah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.
Hijrah Rasulullah merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau. Biasanya disebut dengan Al-Ahad al-Madani atau periode Madinah (Elwa, :19).
Secara umum politik Rasulullah Saw di Mekkah adalah sebagai berikut: Pertama, Mempusatkan gerakan Islam pada satu tempat (Darul Arqam) agar aktivitas dan gerakan dapat berjalan dengan optimal tanpa mendapat gangguan dari kelompok-kelompok lain (Quraisy). Kedua, melakukan hijrah ke Habsy dan Thaif demi menyelamatkan para pengikut dari kekejaman dan penindasan kafir Quraisy, serta menjalin kerjasama dengan pemimpin-pemimpin setempat untuk mendapatkan bala bantuan. Ketiga, mengadakan perjanjian dengan para pemuda Yatsrib (Madinah) di Aqabah I dan II yang esensinya mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah Swt yang ditugaskan untuk menyebarkan pesan-pesan ilahiyah kepada masyarakat.
Politik Rasulullah Saw di Madinah
Penduduk kota Yatsrib terdiri atas bangsa Arab dan Yahudi. Suku-suku arab terkemuka adalah Aus dan Khazraj yang bermigrasi dari Arabia Selatan (Yaman) di samping suku Arab Pribumi. Sedangkan golongan Yahudi mempunyai dua puluh suku yang menetap di wilayah itu dan sekitarnya. Seperti Taima’, Khaibar, dan Fadak. Mereka adalah Yahudi imigran yang terusir dari Palestina oleh Jenderal Titus dan Kerajaan Romawi Timur. Dengan demikian, masyarakat Yahudi dari segi etnis bercorak majemuk. Begitu juga dari segi keyakinan dan agama. Komunitas Yahudi beragama Yahudi, komunitas Arab terdiri atas penganut Paganisme (musyrik), Yahudi dan Kristen minoritas dikalangan bangsa Arab. Heteroginitas bertambah kompleks setelah sebagian orang Arab memeluk Islam (disebut kaum Anshar) dan Nabi Muhammad Saw bersama pengikutnya (Muhajirin) berhijrah ke kota itu serta muncul pula golongan baru, yaitu golongan munafik yang sering berperilaku sebagai provokator (Pulungan, 2001: 16).
Masyarakat yang bercorak pluralistik seperti Yastrib di atas menyebabkan setiap golongan memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya menurut filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan, kultur, dan tuntutan situasi. Karakter manusia yang demikian menyebabkan mudah timbul konflik. Karena masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya sehingga cenderung terjadi konflik dalam mewujudkan kepentingan.
Nabi Muhammad Saw sangat memahami corak masyarakat Yatsrib yang mempunyai potensi timbulnya konflik. Karena itu, Nabi Muhammad Saw mengadakan penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Untuk itu ia melakukan tiga langkah politik. Pertama, membangun masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah, pusat pengajaran dan penyiaran Islam, pembinaan akhlak dan kultur umat Islam dan sarana mempererat ikatan di antara sesama jamaah. Berdirinya Masjid juga menjadi tonggak terbentuknya masyarakat Islam serta merupakan titik awal pembangunan kota. Sebagai pemimpin masyarakat Nabi Muhammad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan perdagangan. Pembangunan jalan serta tempat khusus untuk mempermudah transaksi perdagangan. Sehingga akhirnya Madinah tampil sebagai salah satu kota besar sekaligus pusat perdagangan di Jazirah Arabia (Yatim, 2002: 119-120). Kedua, mewujudkan persaudaraan nyata dan efektif antara kaum Muhajirin dan Anshar. Ketiga, ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah dengan cara membuat perjanjian tertulis yang menekankan pada persatuan yang erat di antara kaum muslimin dan Yahudi serta sekutunya dalam kehidupan sosial politik (Pulungan, 2001: 17-18).




Ibn ‘Arabi dalam Sorotan
Tasawuf merupakan salah satu labirin dari berbagai dimensi keberagamaan. Sering diperhadapkan dengan syariat yang lebih berorientasi pada fomalisme beragama, tasawuf merupakan sebuah upaya menyelami relung terdalam religiusitas.
Karenanya, tasawuf setidaknya terbentuk karena dua modus: (1) untuk mendalami dan menyelami makna agama, dan (2) untuk mencari nilai-nilai dan format-format baru dalam beragama. Meski, respon sosial-politik terhadap lahirnya sufisme juga tak bisa kita abaikan begitu saja.
Jamak dimafhumi, bahwa dunia tasawuf dikejutkan sekaligus diramaikan oleh kehadiran sosok sufi yang sangat kontroversial, Ibn ‘Arabi. Kekhasannya terletak pada ikhtiar menggabungkan antara imajinasi, rasio, dan religi, sehingga menghasilkan buah pemikiran yang nyentrik, dan karenanya keselamatan nyawa pun menjadi ancaman baginya.

Karya masterpiece-nya, al-Futuhat al-Makiyyah, dianggap sebagai referensi utama kajian tasawuf Islam. Dilahirkan pada 17 Ramadhan H (bertepatan dengan 28 Juli 1165 M), di Murcia, Andalusia (Spanyol). Ibn ‘Arabi tumbuh dalam lingkungan spiritual yang kental. Ini yang mendorongnya untuk belajar agama sejak usia masih belia. Ia belajar ilmu fikih, hadis, qiraat, dan ilmu-ilmu lain dari para guru besar di zamannya.

Karyanya mencapai 400 buku dan artikel pendek. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa karyanya mencapai 1000 buku dan artikel. Ciri khas yang bisa ditemukan dalam karyanya adalah tema tasawuf dan ilmu relung hati (‘ilm al-asrar).

Menurut Ibn ‘Arabi, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh orang yang mempelajari tasawuf: lapar, kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakal, sabar, tekun, dan yakin. Sementara yang harus ditolak dalam tasawuf adalah empat hal: hasrat, dunia, nafsu, dan setan.

Pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi dipengaruhi oleh rangkaian panjang pergulatan tradisi yang melingkupi zaman dan lingkungannya. Mulai dari tradisi Timur, hellenistik, Persia, India, Yunani, Kristen, hingga tradisi Yahudi. Tak heran, bila pemikirannya bersifat eklektis dan justru lebih bersifat filosofis ketimbang islami.

Buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan: Menyingkap Kode & Menguak Simbol di Balik Paham Wihdat al-Wujud, adalah sebuah buku yang mencoba memotret sosok Ibn ‘Arabi secara menyeluruh, namun ringkas dan bernas, dalam berbagai dimensi pemikirannya. Potret Ibn ‘Arabi dilihat dari berbagai faktor dan pengaruh yang berkontribusi bagi lahirnya pemikirannya.

Diawali dengan pro-kontra dan kritik di seputar karya-karyanya, kemudian pembahasan mengenai berbagai buah tangan yang lahir dari pemikirannya, serta tema-tema penting seputar pemikirannya yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan. Lantas, diakhiri oleh penilaian dan pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap sosok Ibn ‘Arabi. Dan, sebagai penutup, dicantumkan beberapa nukilan hikmah yang terdapat dalam karya besar Ibn ‘Arabi: al-Futuhat al-Makkiyyah.

Ibn ‘Arabi menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar aliran wahdatul wujud. Dalam kritiknya, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mazhab Ibn ‘Arabi, secara esensial, mengatakan bahwa makhluk itu “sama” dengan keberadaan al-Khaliq. Implikasinya, penyembahan kaum Musa terhadap anak sapi (‘ijl) misalnya, sama dengan penyembahan kepada Allah. Penyembahan berhala juga sama dengan penyembahan kepada Allah.

Maka, menanggapi pemikiran Ibn ‘Arabi yang kontroversial dan melawan mainstream itu, setidaknya ada tiga pendapat terhadap Ibn ‘Arabi. Satu golongan berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi adalah orang yang infidel (kafir). Sebagian lain menganggapnya sebagai orang yang mencapai makrifat, sementara golongan terakhir bersikap netral atau abstein.

Ya, buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan, setidaknya dapat menjadi pengantar yang jenial, bagi siapa saja yang ingin memasuki alam pikiran Ibn ‘Arabi yang dikelompokkan dalam aliran tasawuf-filosofis itu, yang penuh dengan gagasan-gagasan yang mengejutkan. Testriono
Piagam Madinah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622.[1][2] Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
Ibnu AL-Farabi

Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) atau Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi), juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir adalah seorang filsuf Islam yang menjadi salah satu ilmuwan dan filsuf terbaik di zamannya. Ia berasal dari Farab, Kazakhstan. Sampai umur 50, ia tetap tinggal di Kazakhstan. Tetapi kemudian ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Lalu ia pergi ke Alepo (Halib), Suriah untuk mengabdi kepada sang raja di sana.

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al_farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did (892-902M), Al-farabi dan Yhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi (902-908M) dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932M) Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama dealapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.

Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama)yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
AL MAWARDI : PENCETUS TEORI POLITIK ISLAM
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). “Al Khatib of Baghdad” tulis seorang orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi’i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘’negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.’
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, “Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya.”
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna’. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ’tab Al Igna’, dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang ‘perumpamaan’ dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, “Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu ‘ibarat’ atau ‘umpama’.” []
Gagasan-gagasan Ilmu Ushul Fiqh AL-GHOZALI
Karya-karya Ghazali telah banyak diedit oleh banyak para ulama, baik ulama yang sezaman maupun ulama belakangan. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa karya-karya Ghazali mempunyai makna yang sangat berarti bagi kalangan intelektual. Bahkan belakangan muncul karya-karya ilmiah berkenaan dengan rihlah ilmiah selama Ghazali hidup, seperti yang ditulis oleh Abdurrahman Badawi.
Beberapa karya yang telah diedit, dielaborasi atau diringkas antara lain dalam bidang ushul fiqh. Dari empat karya ushul fiqh Ghazali, hanya tiga buku yang sempat diperbanyak oleh para penulis muslim, yakni al-Mankhul, Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul.
Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul
Sebagai salah satu karya besar Ghazali, kitab ini ditulis pada masa akhir hayatnya, yakni setelah Ghazali kembali dari Baghdad ke temapt asalnya, Tus. Meskipun sebelum sampai Tus, Ghazali lebih dulu merantau Naisabur.25) Diberbagai tempat perantauannya selama di Baghdad, Ghazali banyak mempelajari ilmu filsafat, khususnya mengkaji filsafat Ibn Sina dan al Farabi, serta karya-karya Aristoteles. Baginya filsafat merupakan salah satu metode untuk mencari kebenaran yang rasionalis. Namun setelah Ghazali mendalami filsafat secara penuh, Ghazali memberikan kritik-kritik tajam terhadap filosuf yang kerangka fikirnya melenceng, dengan karyanya Maqhashid al-Faiasifah dan Tahaful al-Falasifah.
Dengan latar belakang filsafat yang mapan, mainstream pemikiran Ghazali bertambah dinamis. Dalam bidang pemikiran hukum Islam (ushul fiqh), warna filsafatnya lebih dominan bila dibandingkan dengan sebelum Ghazali bergelimang dengan ilmu filsafat. Corak kitab al-Mustashfa banyak dipengaruhi oleh filsafat.26) Bahkan dalam satu tulisannya Ghazali menyatakan barang siapa yang tidak menggunakan mantiq, maka ilmunya tidak tsiqah (tajam).
Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-isridlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab al arba’ah.
Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad.27)
Sistematika penulisan yang demikian ini sesuai dengan tahapan aspek-aspek kajian dalam ushul fiqh yang harus diketahui oleh orang yang akan melakukan pencarian hukum (istinbath al-ahkam). Disini keunggulan Ghazali dalam menyusun materi kajian dalam sebuah kitab ilmiah. Bahkan Wael B. Haliaq sangat kagum dengan kajian yang dilakukan Ghazali dalam menjelaskan ushul fiqh yang sangat sistematis. Dalam sebuah tulisannya Hallaq pernah menyatakan bahwa Ghazali adalah tokoh pendiri ilmu ushul al-fiqh ternyata karyanya al-Risalah sudah banyak ditamu oleh para pengikutnya.28)
Memang dapat dimaklumi bila dalam kitab al-Mustashfa Ghazali kelihatan lebih independen dari pengaruh luar, karena ia sudah menjadi penulis yang mandiri (Imam Mustaqillan) yang mempunyai kecenderungan kritis. Imam Haramain yang pernah ikut membentuk pola pikir Ghazali juga mulai ditinggalkan. Ghazali ingin mencari trade mark sendiri sesuai dengan kualitas dan integritas kepribadiannya.
Dari keterangan diatas dapat dimengerti bahwa kitab al-Mustashfa ini mencerminkan nilai-nilai pemikiran al-Ghazali yang cerdas. Untuk itu dalam kitab ini Ghazali tidak mengambil atau mengintrodusir ide-ide para ulama pendahulunya. Beberapa pola yang mengindikasikan kepribadiannya dalam kitab ini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan kepribadiannya dalam kitabini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan pendapat dirinya; wa al-mukhtar indana (pendapat yang terpilih menurut saya), wa shalih indana (pendapat yang benar menurut saya), dan wa hadza ghairu mardiyyin indana (pendapat ini yang menurut saya tidak layak).
Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa catatan akhir yang mesti harus diperhatikan dengan pokok masalah yang diangkat. Pertama, dua tulisan Ghazali yang pertama, al-Mankhul dan Syifa al-Ghalil, Ditulis sebelum Ghazali memperdalam ilmu filsafat, yakni sebelum Ghazali mengadakan rihlah ilmiah di Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Dengan kondisi Ghazali yang masih pemula maka dua kitab yang pertama kali dikarang lebih diharapkan untuk mempermudah dalam mengkaji ilmu ushul fiqh, yang diperoleh dari para ulama ushul terdahulu. Untuk itu bahasa yang dipakai juga menggunakan bahasa yang mudah dan lugas. Bahkan dalam kitab al-Mankhul, Ghazali menggunakan sistematika penulisan dengan cara tanya jawab yang dijawab sendiri oleh Ghazali.
Disamping itu Ghazali sebagai murid Imam Haramain masih banyak mengintrodusir apa yang pernah disampaikan Imam Haramain khususnya dalam hampir sama dengan al-Burhan fi Ilm ushul fiqh. Materi yang dibahas dalam al-Mankhul dari dua jilid, dibagi menjadi tujuh kitab yaitu : kitab pertama tentang al-bayan (alkitab dan assunah) yang meliputi pembahasan tentang amr, hani, amm, khash, af’al Rasul, Syari'ah, ta’wil serta hal-hal yang berkaitan dengan ijma’. Ketiga tentang qiyas, yang pada kitab syifa al-Ghalil dijelaskan dengan tuntas yang meliputi lima syarat-syarat qiyas versi Ghazali. Keempat adalah istidlal. Dilanjutkan dengan kitab tentang tarjih dan kitab al-Ijtihad. Pada kitab ketujuh yang terakhir, Ghazali mengakhiri dengan persoalan fatwa.29)
Sedangkan untuk al-Mustashfa min ilm al-ushul dikarang oleh Ghazali yang sudah tercurahkan yakni telah mendalami ilmu filsafat. Disini perlu dijelaskan bahwa disaat mendalami ilmu filsafat, bukan berarti Ghazali sama sekali meninggalkan disiplin ilmu-ilmu yang lain seperti tasawuf, ilmu fiqih maupun yang lain. Karena sebelum Ghazali belajar filsafatpun, Ghazali kecil sudah belajar ilmu fiqh maupun ilmu tasawuf.30) Merupakan suatu kewajaran apabila Ghazali sangat antusias untuk belajar filsafat yang sangat beragam, juga karena tuntutan ilmiah karena filsafat dalam Islam pasca ibn Sina (w. 1037) mengalami kemunduran,31) dan baru 1092 Ghazali menulis percikan tulisan tentang filsafat.
Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya sebelumnya, sehingga Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman maupun Muhammad Hasan Haitu memasukkan al-Mustashfa dalam rumpun ilmu ushul fiqh yang empat.32

silahkan download disini untuk menu selengkapnya http://www.4shared.com/file/iSqYx_b7/FIQH_SIYASYAH.html

piqh siyasah pertemuan ke-2

OBJEK KAJIAN FIQH SIYASAH (MATERI KULIAH 2)

Filed under: Fiqih Siyasah
Selasa, 1 Oktober 2013
Oleh: Asep Waspada, M. Ag

1.       Menurut Abdul Wahab Khallaf; objek kajian fiqh siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhan mereka.

2.       Menurut Hasbi Ashshiddiqie; objek kajian fiqh siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan pentadbirannya, dengan mengingat persesuaian pentadbiran itu dengan jiwa syari’ah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syari’ah ’ammah yang tetap.

Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tersebut. Hasbi kemudian membidangkan objek kajian fiqh siyasah pada delapan bidang, yaitu :

1.       Siyasah Dusturiyah Syar’iyyah (Pengaturan Perundang-undangan).

2.       Siyasah Tasyri’iyyah Syar’iyyah.( Pengaturan penetapan hukum sesuai syariat)

3.       Siyasah Qadhaiyyah Syar’iyyah. (Pengaturan peradilan  yang sesuai dengan syariat)

4.       Siyasah Maliah Syar’iyyah.(Pengaturn hak-hak fakir, sumber-sumber keuangan dan irigasi)

5.       Siyasah Idariyah Syar’iyyah.( Pengaturan administrasi sesuai dengan syariat)

6.       Siyasah Kharijiyyah Syar’iyyah/Dawliyyah (Pengaturan Hubungan  Luar Negeri).

7.       Siyasah Tanfidziyyah Syar’iyyah. (Pengaturan pelaksanaan syariat)

8.       Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah. (Pengaturan tentang  peperangan sesuai syariat)

Pembidangan yang beragam ini  dibagi dalam empat macam :
Fiqh siyasah Dustury, mencakup; siyasah Tasyri’iyyah Syar’iyyah, Siyasah Qadhaiyyah Syar’iyyah, Siyasah Idariyah Syar’iyyah, dan Siyasah Tanfidziyyah Syar’iyyah. Fiqh siyasah Dustury adalah siyasah yang berhubngan dengan peraturan dasa tentang bentuk pemerintahan, dan batasan kekuasaan,  cara pemilihan  kepala negara, ketetapan hak-hak yang wajib bagi individu dan masyarakat, serta hubungan penguasa dan  rakyat.
Fiqh Malliy (Dep. Keuangan), adalah siyasah yang mengatur hak-hak orang-orang miskin , mengatur sumber mata air,  dan perbankan
Fiqh Dawliy ( Dep. LuarNegeri), yaitu siayasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antar negara-negara Islam  dan non Islam
Fiqh Harbiy (Departemen Petahanan dan Keamanan), yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.

Tentu saja pembidangan tersebut di atas belum dianggap selesai dan hal ini akan berhubungnan dengan perubahan dan penambahan bidang-bidang yang diperlukan.

Selasa, 24 September 2013

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Berbicara tentang sebuah kepemimpinan, khususnya mengenai kepemimpinan Islam adalah merupakan suatu masalah yang sangat menarik untuk dikaji. Karena berawal dari adanya sebuah system kepemimpinan yang baik, maka akan dapat terwujud sebuah tatanan
masyarakat yang baik pula.
Sejak 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum
perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki. Diantaranya
dalam masalah kepemimpinan Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk laki-laki berdasarkan dalil-dalil syara’.
Dari uraian diatas terdapat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana dasar hukum Islam mengenai kepemimpinan perempuan?
2.      Bagaimana pendapat ulama’ tentang kepemimpinan perempuan?

BAB II
PEMBAHASAN
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan mengkoordinasikan aktifitas groupnya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan membutuhkan staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang dikenal dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau pengikut-pengikutnya sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. (Abu Ahmadi, 1999: 123).
Dalam agama Islam terkenal dengan sebutan imamah yang menurut bahasa berarti “kepemimpinan”, seperti ketua atau yang lainnya baik ia memberi petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat.

B.     Kepemimpinan Wanita sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah system pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa laki-laki dibolehkan.
Kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi juga bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan bahkan jika perempuan itu mampu dan memenuhi kriteria maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala Negara). Masalah ini disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
Artinya:”Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari munkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT mempergunakan kata ‘Auliya’ (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bias menjadi pemimpin, yang penting dia mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena menurut tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Manar, bahwa jata ‘Auliya’ mencakup wali dalam arti penolong solidaritas dan kasih
sayang.
Dari surat at-Taubah ayat 71 tersebut dapat disimpulkan, bahwa al-Qur’an tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, pengusaha, menteri, hakim bahkan kepala Negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya,
haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negative terhadap diri dan agama.
C.    Dasar Hukum Islam Mengenai Kepemimpinan perempuan
Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Turmudzi. Bahwa Rasulullah bersabda:
Artinya:’tidak akan sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan (menguasakan)
urusan mereka kepada seorang perempuan”.
Hadits ini daru segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna) hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk ikhbar dilihat dari sighatnya hadits ini tidak otomatis menunjukkan hokum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuahkhitab berhukum wajib, sunnah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasinya), bukan sighatnya (bentuk
kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim didalamnya. Sedangkan latar belakang turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi diatas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukumnya. Oleh karena latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil.
Adapun hukum yang terkandung didalam pembahasanya sebagai berikut. Meski,
hadts ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun didalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.
Sementara al-Qur’an justru mengatakan sebaliknya. Al-Qur’an memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’, hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15:
Artinya:”sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan) : “makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.
Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah, bersikap hati-hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak gegabah dan buru-buru dalam memutuskan sesuatu, sehingga ketika ditanya tentang singgasananya yang telah dipindahkan itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis, tidak dengan jawaban vilgar yang dapat menjebak. Bahkan kecerdasan Balqis dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat
keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang berkilauan laksana air. Dalam ketakjuban itu, Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia mengatakan:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah, tuhan semesta alam”
Ini hanyalah sebuah ungkapan yang hanya dapat diucapkan oleh orang yang cerdas.
Dikala ia dalam kondisi tetapi ia merangkul lawannya dan menundukan diri kepada zat yang lebih tinggi daripada Sulaiman (Surah an-Naml: 40).
Demikian al-Qur’an bercerita tentang kepemimpinan seorang perumpuan dengan menceritakan contoh histories Ratu Balqis di negeri Saba’ yang merupakn gambaran perempuan yang mempunyai kecemerlangan pemikiran. Ketajaman pandangan, kebijaksanan dalam mengambil keputusan, dan stategi politik yang baik. Waktu ia mendapat surat
dari nabi Sulaiman ia bermusyawarah dengan para pembesarnya. Walaupun mersa
kuat dan siap menghadapi perang melawan Sulaiman, namun ia mempunyai pandangan
yang jauh. Ia tidak ingin negerinya hancur dan rakyat menjadi korbannya. Karena
ia mempunyai intuisi, bahwa Sulaiman itu seorang nabi. Maka tidaklah bijaksana
melawan Sulaiman itu kebenaran yang tentu dijamin oleh tuhan dengan kemenangan.
Juga tidaklah bijaksana mengahalangi kaum dan rakyatnya untuk menikmati
kebenaran tersebut dengan berperang melawannya untuk mempertahankan kebatilan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum
laki-laki, bila mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai pemimpin.
Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas mengatakan bahwa: Tidah bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan, al-Qur’an justru menyebutkan
sebaliknya. Al-Qur’an telah menceriatakan bagaimana kepemimpinan ratu Balqis
yang dapat mempin negerinya dengan baik dan sangat memperhatikan kemashlatan
rakyatnya.
Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung makna implicit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu Muhamad Jarir ath-Thabary dan ibnu Hazm berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah tersebut
hanya melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala Negara Islam atau
khalifah.
D.    Pendapat ulama tentang kepemimpinan perempuan
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhalifaan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin Negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’li Ahkam Al-Qur’an, Juz 1.
hal. 270, menyatakan bahwa: “Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi mberdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”. Namun kalau ath-Thabari dan Ibnu Hazm masih membolehkan jika wanita menjadi perdana Menteri atau Hakim.
Faktor-faktor tabiat wanita, orang-orang yang melarang pecalonan wanita juga mengemukakan alasan bahwa wanita itu juga menghadapi kendala yang sudah merupakan tabiat atau pembawan mereka, seperti menstruasi setiap bulan beserta keluh-keluhnya, mengandung dengan segala penderitaannya, melahirkan dengan segala resikonya, menyusui dengan segala penderitaannya melahirkan dengan segala resiko, menyusui dengan seala bebannya, dan sebagai ibu dengan segala tugasnya. Semua itu menjadikan mereka secara piskis, fisik, dan pemikiran tidak mampu mengemban tugas sebagai pemimpin ataupun anggota Dewan yang bertugas mengawasi pemerintah dan membuat Undang-Undang.
Hal diatas memang benar. Wanita yang sibuk sebagai ibu dan segala dengan segala
tugasnya tidak akan menceburkan dirinya mengemban tugas-tugas penting itu. Dan
jika ikut maka naka-naka dan urusannya tidak ada yang memperhatikan. Yang
dimaksud dalam konteks ini ialah wanita yang memiliki kelebihan yang berupa
kecerdasan, kemampuan, kesempatan, ilmu, serta kecerdasan dan tidak direpotkan
oleh urusan diatas.
Para Ulama telah sepakat akan terlarangnya wanita memegang kekuasaan tertinggi atau al-imamah al-Uzhma. Ketentuan ini berlaku bagi wanita bila ia menjadi raja atau kepala Negara yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kaumnya, yang segala kehendaknya harus dijalankan, semua hukumnya tidak boleh ditolak dan selain perintahnya tidak
boleh ditolak dan selain perintahnya tidak boleh dikukuhkan dengan demikian
berarti mereka benar-benar menyerahkan segala urusan kepadanya. Dengan demikian
wanita bisa saja menjadi menteri, hakim, atau menjadi muhtasib yang melakukan
pengawasan umum.
Pada masyarakat moderen dibawah system Demokrasi, apabila memberi kedudukan umum kepada wanita, seperti pada kementrian, perkantoran atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak berarti bahwa mereka menyerahkan segala urusan mereka kepada wanita, pada praktiknya tanggungjawab tersenut bersifat kolektif, dijalankan secara bersama-sama oleh sejumlah orang dalam lembaga terkait, dan si wanita hanya menanggung sebagian saja bersama yang lain.


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kseimpulan, bahwa perempuan diperbolehkan menjadi kepala Negara atau kepala pemerintahan (perdana menteri). Selama dalam suatu Negara, dimana system pemerintahan berdasarkan musyawarah. Seorang kepala Negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi di Bantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang masing-masing menteri dan staf ahlinya). Karena itu tidak ada halangan bagi seorang perempuan untuk menjadi kepala Negara atau kepala pemerintahan (perdana menteri) yang penting adalah perempuan yang diangkat untuk menduduki jabatan itu, mampu untuk menjalankan tugas-tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Gibtiah,M.Ag, 2006, Fiqih Kontemporer, IAIN Raden Fatah Press, cet. 1, Palembang.
Hawi, Akmal, 2007, kepemimpinan Dalam Islam, IAIN Raden Fatah       Press, cet. 1, Palembang
http://www.gaulislam .com/keemimpinan perempuan dalam pandangan islam

Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam

Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam 

(By. Asep Wthea)

Kontroversi seputar boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit di  atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.

Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana  laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.

Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:

“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :

“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan 1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan
untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.

4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.

Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda