Senin, 23 September 2013

Pembidangan Fiqh Siyasah

Bidang fiqh siyasah meliputi siyasah dusturiyyah, maliyyah dan dauliyyah, uraian tersbut :
1. Siyasah Dusturiyyah; Makna dustur adalah asas, dasar atau pembinaan. Secara istilah diartikan kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuiah negara, baik tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan dalam pembuatan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa membedakan status manusia. Atjep Jazuli mengupas ruang lingkup bidang ini, menyangkut masalah hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat maupun lembaga-lembaga yang berada di dalamnya. Karena terlalu luas, kemudian di arahkan pada bidang pengaturan dan perundang-undangan dalam persoalan kenegaraan. Lebih jauh Atjep Jazuli mempetakan bidang siyasah dusturiyah dalam persoalan; a). imamah, hak dan kewajibannya b). rakyat, hak dan kewajibannya c). bai’at d). waliyu al-’ahdi e). perwakilan f). ahlu halli wa al-’aqdi dan g). wuzarah dan perbandingannya.
Ada juga yang membidangkan kajian siyasah dusturiyah menjadi empat macam:
  1. Konstitusi; konstitusi disebut juga dusturi. Dalam konstitusi dibahas sumber-sumber dan kaedah perundang-undangan disuatu negara, baik berupa sumber material, sumber sejarah, sumber perundang-undangan maupun penafsiran. Sumber material adalah materi pokok undang-undang dasar. Inti sumber konstitusi ini adalahperaturan antara pemerintah dan rakyat. Latar belakang sejarah tidak dapat dilepaskan karena memiliki karakter khas suatu negara, dilihat dari pembentukan masyarakatnya, kebudayaan maupun politiknya, agar sejalan dengan aspirasi mereka. Pembentukan undang-undang dasar tersebut harus mempunyai landasan yang kuat, supaya mampu mengikat dan mengatur semua masyarakat. Penafsiran undang-undang merupakan otoritas ahli hukum yang mampu menjelaskan hal-hal tersebut. Misalnya UUD 1945.
  2. Legislasi; atau kekuasaan legislatif, disebut juga al-sulthah al-tasyri’iyyah; maksudnya adalah kekuasaan pemerintah Islam dalam membentuk dan menetapkan hukum. Kekuasaan ini merupakan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Disamping itu ada kekuasaan lain seperti al-sulthah al-tanfidziyyah; kekuasaan eksekutif dan al-sulthah al-qadhaiyyah; kekuasaan yudikatif. Di Indonesia menggunakan model trias politica (istialah ini dipopulerkan oleh Montesquieu- Perancis, dan model kedaulatan rakyat yang dipopulerkan oleh JJ Rousseau- Swiss; suatu model kekuasaan yang didasari oleh perjanjian masyarakat, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang. Tiga kekuasaan legislatif, yudikatif dan ekssekutif yang secara imbang menegaggkan teori demokrasi. Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut : a). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarkat Islam b). Masyarakat Islam yang akan melaksnakan c). Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari’at Islam.
  3. Ummah; disebut juga umat. Dalam konsep Islam, ummah diartikan dalam empat macam, yaitu a). bangsa, rakyat, kaum yang bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan b). penganut suatu agama atau pengikut Nabi c) khalayak ramai dan d) umum, seluruh umat manusia. Orientalis Barat menganggap kata ummah tidak memiliki kata-kata yang sebanding dengannya, bukan nation (negara) atau nation state (negara-kebangsaan) lebih mirip dengan communuity (komunitas). Akan tetapi Abdul Rasyid Meton, guru besar dari Malaysia tetap menggap bahwa komunitas dengan ummah tidak sama. Community merupakan sekelompok masyarakat yang komunal memeliki persamaan kekerabatan, suku, budaya, wilayah dan bangsa, sedangkan ummah berlaku universal yang didasarkan persamaan agama, sehingga menembus ras, suku, bahasa maupun batas-batas geografis. Ummah diaktualisasikan melalui kesamaan ideologis yang disandarkan pada ke Esaan Allah yangterarah pada pencapaian kebahagiaan dunia akhirat. Kata-kata ummah yang bertumpu pada ajaran Al-Qur’an. Kata um berarti ibu sedangkan imam artinya pemimpin. Ibu dan pemimpin merupakan dua sosok yang menjadi tumpuan bagi seseorang ? masyarakat. Menurut ’Ali Syari’ati; ummah memiliki tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Makna selanjutnya adalah sekelompok orang yang berjuang menuju suatu tujuan yang jelas. Jika dikontekstualisasikan dengan makna ummah dalam terminologi makiyyah dan madaniyyah mempunyai arti sekelompok agama tawhid, orang-orang kafir dan manusia seluruhnya. Quraisy Shihab mengartikan ummah, sekelompok manusia yang mempunyai gerak dinamis, maju dengan gaya dan cara tertentu yang mempunyai jalan tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya. Dalam jangkauannya makna ummah juga berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisme sering diartikan ikatan yang berdasar atas persamaan tanah air, wilayah, ras-suku, daerah dan hal-hal lain yang sempit yang kemudian menumbuhkan sikap tribalisme (persamaan suku – bangsa) dan primodialisme (paling diutamakan). Makna ummah lebih jauh dari itu. Abdul Rasyid kemudian membandingkan antara nasionalisme dan ummah.
1)        Ummah menekankan kesetiaan manusia karena sisi kemanusiannya, sedangkan nasionalisme hanya kepada negara saja.
2)        Legitimasi nalsionalisme adalah negara dan institusi-institusinya, sedangkan ummah adalah syari’ah.
3)        Ummah diikat dengan tawhid (keesaan Allah), adapun nasionalisme berbasisetnik, bahasa, ras dll.
4)        Ummah bersifat universal, sedangkan nasionalisme didasarkan teritorial.
5)        Ummah berkonsep persaudaraan kemanusiaan, adapun nasionalisme menolak kesatuan kemanusiaan.
6)        Ummah menyatukan ummat seluruh dunia Islam, sedangkan nasionalisme memisahkan manusia pada bentuk negara-negara kebangsaan.
  1. Syuro dan Demokarasi. Kata syuro akar kata dari syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur’an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat. Dalam QS [2] al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam ’Ali ’Imran [3]:159 Nabi disuruh untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS al-Syura [42]:38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam berbagai persoalan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis, diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang diajak musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada ’Ali : Hai ’Ali, jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai ’Ali, sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka kepada Allah.
Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-’Imran [3]: 159 kira-kira dapat disimpulan; a) bersikap lemah lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah swt.
Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adalah bentuk kekuasaan yang berasal dar rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial. Sadek kemudian memerinci norma-norma demokrasi sebagai berikut :
1)   Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat.
2)   Pelaksanaan pemilu (seperti di Indonesia Luber dan Jurdil).
3)   Kekuasaan dipegang oleh mayoritas dengan tidak mengenyampingkan minoritas.
4)   Parpol memainkan peranan penting dalam negara, rakyat bebas menyalurkan aspirasi politiknya.
5)   Memisahkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang berdiri sejarar, sehingga cheks and balance dapat diwujudkan.
6)   Setiap individu menjunjung tinggi supremasi ( tunduk dan taat dibawah) hukum, tanpa memandang status sosial/kedudukan.
7)   Individu atau kelompok bebas melakukan melakukan perbuatan, bebas mempuinyai hak milik, tidak boleh diganggu pihak lain.
2. Siyasah Dawliyyah; Siyasah dawliyah adalah bagin dari fiqh siyasah yang membahas tentang hubungan satu negara dengan negar lain. Perjanjian antar negara dan adat kebiasaan menjadi dua sumber yang terpenting dalam hubungan damai antar negara tersebut. Dalam kajian selanjutnya, hal ini dikenal dengan hubungan internasional. Pada mulanya hubungan ini terjadi akibat perang, karena setiap negara wajib mempertahankan eksistensinya dari serangan musuh. Di Cina dikenal dengan The great wall (tembok besar). Menurut Ameer ’Ali; terdapat perjanjian antara Fir’aun raja Mesir dengan raja Kheta di Asia kecil, tentang pemberhentian peperangan dan ekstradisi. Kekuasaan Ramawi menampilkan sikap bahwa keturunan mereka lebih unggul. Dalam bidang hukum lahir istilah ius civil dan ius gentium (rakyat dan bangsawan). Dalam dunia Islam dikenal orang yang dianggap ahli dibidang hukum internasional, yaitu Muhammad ibn Hasan Al-Syaibaini (132 H ? 189 H) murid Abu Hanifah dan guru Al-Syafi’I menyusun buku Al-siyar Al-Kabir, diantara isinya : a) status orang asing dan perlakuannya b) para duta besar c) negara dibagi menjadi damai, netral dan negera yang menyerang. d) wajib mentaati perjanjian e) etika dalam perang f) hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata internasional.
Dasar-dasar siyasah dawliyah adalah :
  1. Kesatuan umat manusia, sesuai aspirasi QS Al-Baqarah : 213, Al-Nisa : 1 Al-Hujurat : 13 dll.
  2. Al-’Adalah (keadilan) , keadilan dapat diwujudkan jika didasari oleh pemahaman manusia tentang perlunya hidup berdampingan antar manusia maupun antar berbagai negara QS Al-Maidah: 8, Al-Nisa : 135.
  3. Kehormatan manusia (karomah insaniyyah), dipahami sebagai bentuk penghormatan kepada setiap manusia dengan tidak membeda-bedakan yang lain QS al-Isra : 70 dan Al-Hujarat : 11.
  4. Toleransi (Tasamuh), sikap bijaksana, pemaaf dan menghindari sikap dendam QS Fushshilat : 34 dan al-Nahl : 126-127.
  5. Kerjasama, hal ini diperlukan karena manusia memilki sifat ketergantungan kepada orang lain (negara lain).
  6. Al-Hurriyah (kemerdekaan), kemerdekaan yang diawali oleh individu yang selalu dibimbing keimanan. Bukan bebas mutlak, akan tetapi bertanggung jawab terhadap Allah, untuk keselamatan manusia di muka bumi. Islam memberi ruang yang cukup luas untuk bebas berfikir, beragama, menyampaikan pendapat, menuntut ilmu serta mempunyai harta ? benda.
  7. Al-Akhlaq Al-Karimah (moralitas yang baik); hubungan baik antar manusia, antar ummat, antar bangsa bahkan bersikap baik terhadap semua makhluk Allah seperti flora dan fauna.
Pembagian Dunia menurut Prof. Atjep Jazuli dibagi dua macam:
1. Al-’Alam Islami (dunia Islam) dibagi dua macam a) Dawlah Islmiyah/ Islamic States b) Daldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam / Muslim Countries).
2. Al-’alam al-ahdi; negara-negara yang mengikat perdamaian dengan negara Islam. Dalam konsep Islam perang dianjurkan karena terpaksa, yang paling diutamakan adalah siyasah dawliyah yaitu penerapan fungsi-fungi kebersamaan dalam hidup bertetangga dalam antar negara. Jihad diarahkan pada perjuangan pemperdalam sains dan ilmu pengetahuan.
3. Siyasah Maliyah; siyasah maliyah merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pemerintahan Islam yang mengatur anggaran pendapat dan belanja negara. Dalam kajian ini dibahas sumber-sumber pendapatan negara dan pos-pos pengeluarannya. Menurut Hasbi, sumber-sumber yang ditetapkan syara’ adalah khumus al-ghanaim (seperlima rampasan perang), sedekah dan kharaj. Abu Yusup menggunakan istilah dalam hal ini, zakat, khumus al-ghanaim, al-fai’, jizyah, ’usyur al-tijarah, pajak dan sumber-sumber lainnya.
a. Zakat, adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemilik yang memiliki persyaratan, diberikan kepada yang berhak menerimanya. Salah satunya untuk fi sabi lil Allah.
b. Khumus al-Ghanaim 1/5 rampasan perang. Islam membolehkan umatnya untuk merampas harta musuh. Pengaturannya diatur berdasarkan Al-Qur’an maupun hadits Nabi.
c. Fai’ adalah harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan, seperti kewajiban dari kafir dzimi yang harus dikeluarkan berdasarkan perjanjian. Pos yang harus disantuni hampir sama dengan ghanimah.
d. Jizyah adalah pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam. Ini adalah wujud loyalitas mereka serta perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam.
e. ’Usyur al-Tijarah, sepersepuluh dari pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non muslim yang melakukan bisnis di negara Islam. Model ini pernah dilakukan pada masa ’Umar ibn Khattab.
f. Kharaj, dapat diartikan pajak tanah. Dibebankan kepada pemilik non muslim dalam hal-hal tertentu. Juga dapat dibebankan kepada umat Islam. Kharaj hampir sama dengan upeti. Kharaj pertama dilakukan setelah terjadi Perang Khaibar. Yahudi Khaibar harus mengeluarkan kharaj dari sebagian hasil tanah mereka kepada muslimin.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar