KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM
SITEM HUKUM DI INDONESIA
Pendahuluan
Al-Qur’an mengandung seperangkat tata nilai etika dan hukum bernegara
yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bentuk dan sisitim negara diserahkan kepada manusia untuk menetapkan dan
mengaturnya. Al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk negara tertentu
atau suatu sistem yang baku tentang negara dan pemerintahan, yang
penting seperangkat tata nilai etika dan hukum dalam al- Qur’an itu
dijadikan pedoman dalam mengatur negara. Dengan demikian, ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan pemerintahan dan negara dapat menampung
perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Seperangkat nilai tersebut berupa prinsip-prinsip yang memiliki
kelenturan dalam penerapannya. Prinsip-prinsip itu, secara, elastis,
dapat diterapkan di tengah perbedaan kondisi, situasi, zaman, budaya dan
lain-lain. Setiap kelompok manusia mempunyai kebebasan dalam
menterjemahkan dan merinci serta menerapkan nilai dasar itu. Menurut
A.R. Taj yang dikutip oleh Ahmad Sukardja, bahwa setiap umat atau bangsa
boleh mempunyai aturan-aturan dan khusus sesuai dengan adat, susunan
kehidupan dan tingkat kemajuan.
Al-Qur’an telah mentapkan nilai dasar pemerintahan misalnya dalam QS Al-Nisa (4) : 58 – 59.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا(58)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا(59)
Kedua ayat tersebut mengandung tiga prinsip dasar dalam bernegara, 1)
prinsip amanah 2) prinsip penerapan hukum secara adil 3) prinsip
ketaatan.
Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar bahwa
pengertian amanat pada ayat tersebut adalah sesuatu yang dipercayakan
kepada seseorang untuk dilaksanakansebaik-baiknya. Amanat dalam konteks
ini sangat luas yaitu amanat Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang
terhadap sesamanya dan amanat terhadap diri sendiri. Salah satu dari
amanat terhadap manusia adalah sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam
bidang apapun dengan tidak membedakan satu sama lain di dalam
pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri.
Untuk kesempurnaan amanat dan hukum yang sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, diperintahkan untuk taat kepada Allah dan taat kepada
Rasul-Nya serta pemerintah. Ada tiga katagori hukum yang berlaku dalam
pergaulan masyarakt Islam.
1. Syari’at yaitu keetentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan
subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih atau menentukan
sesuatu sebagai syarat, sebab atau penghalang. Syari’at bersifat tetap,
tidak berubah dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat.
2. Fiqh adalah pemahaman tentang hukum-hukum syara yang bersfat
perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Fiqh adalah
hasil kemampuan intelektualitas (Ijtihad) ulama terhadap dalil-dalil
hukum yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadis, yang selalu berkembang dan
selalu terdapat perbedaan pendapat.
3. Siyasah syari’ah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan
kebijakan yang dikehendaki oleh kemaslahantan, melalui aturan yang tidak
bertentangan dangan agama, meskipun tidak adil ada dalil tertentu.
Siyasah syari’ah lebih terbuka dalam menerima perkembangan dan perbedaan
pendapat. Perbedaan kondisi dan zaman berpengaruh besar terhadap
siyasah syari’ah.
Persoalan kapan nilai-nilai etika dan hukum yang terdapat pada syari’at,
fiqh dan siyasah syari’ah diberlakukan di Indonesia. Sedangkan sitim
hukum Indonesia menganut siitem hukum Eropa kontinental yang menganut
aliran legisme, yang memandang hukum adalah suatu kepastian dan tertulis
dalam bentuk UU atau PP, walaupun dalam UU No. 14 Tahun 1970 memberikan
peluang untuk sistim hukum Islam dan adat dapat diberlakukan. Namun,
itu tidak mudah tergantung pada politik hukum yang dianut oleh suatu
kekuasaan.
Realitas Sejarah
Apabila mengkai sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda tentang kedudukan Hukum Islam dapat dibagi atas dua priode.
1. Priode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (pada kejayaan
kerajan-kerajaan Islam di nusantara). Priode ini dikenal dengan teori
reception in complexu.
2. Priode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang dikenal dengan
teori receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye.
Terlepas dari kedua teori tersebut, hukum Islam di zaman Hindia Belanda
masih tetap berlaku, meskipun dalam bidang-bidang hukum perdata tertentu
saja. Hukum Waris misalnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah
Hindia Belanda memberikan kewenangan untuk mengatur kewarisan ke
Pengadilan Negeri dengan Stablat 1937 No. 116 dengan alasan hukum waris
Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum Adat. Namun, peradilan agam
tetap merupakn peradilan yang menyelesaikan sengketa perdata perkawinan
bagi umat Islam dan berdasarkan hukum Islam.
Kedudukan hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia Ismail Suny
membagi atas dua priode 1) priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber
persuasive yaitu sumber hukum yang orang harus diyakini untuk
menerimanya, 2) priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif
itu sumber hukum yang mempunyai kekuatan. Pendapat Ismail Suny
didasarkan pada pembentukan Negara Kesatuan Indonesia di mana Piagam
Jakarta menjiwai UUD 1945, berdasarkan dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 untuk kembali ke UUD 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal II aturan perlaihan dikatakan
segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Di
samping itu, Pasal 29 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya maing-masing dan beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengaskan bahwa segala warga bersamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahandan wajib menjunjung hukum dan
pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (1) menjamin
hak-hak warga negara yang bersifat umum sedangkan Pasal 29 ayat (2)
menjamin hak warga negara di bidang agama. Penafsiran sistimatis Pasal
27 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya
masing-masing adalah hubungan lex general dan lex specialis. Bertolak
dari ketentuan perlihan, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), UUD
1945 nilai-nilai etika dan hukum Islam berpotensi untuk menjadi hukum
Nasional.
Persoalan dalam sistem hukum nasional, hukum Islam adalah hukum tidak
tertulis seperti halnya hukum adat. Kapan hukum tidak tertulis dijadikan
dasar dalam penerapan hukum atau dalam pelaksanaan kenegaraan.
Prospek Hukum Islam di Indonesia
Rakyat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, dapatkah berkehendak
untuk memberlakukan nilai-nilai etika dan hukum Islam dalam praetk
kenegaraan.
Penegakan supremasi hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal
mengalami degradasi. Kondisi tersebut, antara lain disebabkan banyak
peratuan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pada masa lalu
tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang
bersendikan hukum agama dan hukum adat.
Subtansi hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai rtika dan hukum
masyarakat pemberlakuannya kurang efektif, bahkan sikap otiriter
pemerintah untuk memaksakan hukum itu berlaku (teori kekuasaan). Padahal
secara ideal hukum itu akan diterima, apabila subtansi hukum merupakan
adopsi dari nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat.
Umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, hukum Islam
sangat memiliki peluang yang besar mengkontribusi nilai-nilai hukumnya
terhadap hukum nasional.
Negara Indonesia dibentuk atas dasar hukum, syarat sebagai negara hukum,
minimal memenuhi tiga unsur, yaitu adanya 1) kedaulatan rakyat 2)
adanya HAM dan 3) adanya yang bebas dan merdeka.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat),
bukan berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Sumber hukum dari segala
sumber hukum nasional Indonesia adalah Pancasila, karena itu berlaku
hukum agama dan toleransi antara umat beragamadalam masyarakat berbangsa
dan bernegara.
Dalam amandemen UUD 1945 tahap ketiga disebutkan bahwa sebagai negara
demokrasi Indonesia menjunjung kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan pernyataan sebagai
negara hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu negara Indonesia
adalah Negara hukum.
Konsep dasar ini berbeda dengan teori kontrak sosial dan Rousseau
tentang kedaulatan rakyat, di mana hukum berdasarkan kedaulatan rakyat
itu sendiri. Kedaulatan rakyat dalam kontek negara Indonesia adalah
kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yanh Maha Esa
dan sila-sila dari Pancasila.
Berdasarkan teori lingkaran kensentris yang menunjukkan betapa eratnya
hubungan agama, hukum dan negara. Karena itu, dengan penduduk yang
mayoritas Islam, tentu hal tersebut dapat dijadikan paramenter bagaimana
negara Indonesia dalam pembangunan hukum di masa depan. Dengan
demikian, pendapat yang memisahkan agama dengan negara adalah
bertentangan dengan nilai-nilai sunatullah (hukum alam).
Sebagai negara berdasarkan atas hukum yang berfalsafat pancasila
melindungi agama dan memberikan jaminan untuk umat beragama, menjalankan
syari’at agamanya, bahkan berusaha untuk memasukan ajaran dan hukum
agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti pernyataan
proklamator Mohammad Hatta, bahwa peraturan negara hukum RI, syari’at
Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dapat dijadikan peraturan
perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem
syari’at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
H. Muchsen dalam estimasi dan harapannya bahwa di masa akan datang
semakin banyak lagi muatan-muatan Islam bisa masuk dan mewarnai
perundang-undangan. Harapan ini tiak berlebihan dilihat dari beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nu. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan
UU No. 36 tentang Pengelolaan Zakat.
Namun, ke depan harapan tersebut apakah mungkin terwujud? Hal ini dapat
dibuktikan dengan political wiil pemerintah dalam menggali dan memahami
nilai-nilaietika dan hukum Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Islam.
Dalam konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga dapat
dijadikan sebagai sumber hukum nasional. Dalam penjelasan Pasal 27 ayat
(1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dilelaskan bahwa
dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada
dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan
penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat.
Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Hukum Islam masih berada pada tatanan cita-cita (ius cosntituendum)
belum berada pada tatanan aplikasi sebagai hukum positif (ius
costitutum). Agar nilai-nilai etika dan hukum Islam berlaku dalam
masyarakat, maka nilai-nilai etika dan hukum Islam itu harus dituangkan
dalam bentuk UU.
Apabila diikuti perkembangan sidang MPR Tahun 2002 lalu, dari fraksi
Partai Bulan Bintang dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan sangat
tegas untuk memasukan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta (dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) untuk
dimasukan pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Keinginan kedua fraksi
tersebut dengan pertimbangan apabila hukum Islam dapat diberlakukan
sebagai hukum nasional maka telah mempunyai dasar untuk itu.
Tantangan dan Peluang
Harapan untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional
(dipostifkan), tergantung dari konfigurasi sistem pemerintahan. Selama
pemerintahan Orde Baru konfigurasi politik hukum tidak domokratis. Di
mana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan
sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan
kebijaksanan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit
kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka,
dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan
dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik
semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.
Konfigurasi politik seperti itu, dimungkinkan akan berlaku pada masa
pemerintahan 2005-2009 apabila kemenangan presiden berada pada kelompok
Koalisi Kebangsaan. Dalam suatu sistem pemerintahan yang menganut
oposisi terbuka, apabila eksekutif menguasai juga legislatif, tentunya
setiap kebijaksanaan akan diamankan oleh legislatif, padahal untuk
menjaga keseimbangan perlu pengawasan dari legislatif terhadap
eksekutif, berarti membutuhkan di legislatif keseimbangan antara partai
pemerintah dengan partai yang oposisi.
Keadaan ini dikuartirkan akan terjadi tarik menarik antara kepentingan
politik penguasa dan kepentingan umat Islam. Seperti pada masa
sebelumnya, ada dua hal yang menciptakan perbedaan kepentingan tersebut.
Pertama, motivasi pilitik pemerintah legal policy yang mengedepankan
nilai-nilai sekuler, dengan dalih hukum Islam tidak revelan dengan
kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum
dibentuk dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama. Kedua, umat
Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga pendidikan adalah
bagian dari kewajiban agama (panggilan syar’i) yang mesti dan wajib
kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan. Pengabaian terhadap hukum
Islam dan lembaganya, sama saja halnya pengabaian dan durhaka pada
hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, dengan sagala daya dan upaya wajib
dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi pemenang dalam
konteks pergumulan tersebut adalah pihak penguasa karena didukung oleh
kekuatan-kekuatan pemaksa.
Hal ini dapat dibuktikan dengan setiap produk hukum yang dalamnya
mengandung nilai-nilai hukum Islam, selamanya mendapat tantangan
dikalangan yang kelompok tidak menginkan hukum Islam diberlakukan.
Bahkan terlibat polemik baik secara nasional maupun internasional.
Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama dan terakhir UU Pendidikan
Nasional.
Jika hal itu akan terjadi bagaimana dengan posisi hukum Islam. Lembaga
Peradilan selain Peradilan Militer telah menjadi satu atap dalam
lingkungan Mahakamah Agung. Tentunya posisi Peradilan Agama mempunyai
peran dan tugas yang sama dengan peradilan lainnya.
Untuk diberlakukan suatu nilai hukum yang hidup alam masyarakat menjadi
hukum positif melalui legislatif dan yurisprudensi. Hukum Islam dapat
diberlakukan melalui jalur putusan-putusan hakim (yurisprudensi) sangat
mempunyai harapan.
Karena umat Islam adalah umat yang mayoritas di Indonesia, serta
mempunyai satu keyakinan bahwa seluruh perintah dan larangan dalam agama
akan ditaati. Keyakinan ini akan melahirkan suatu kesatuan faham bahwa
ajaran Islam (nilai etika dan hukum) akan diterapkan dalam pelaksanaan
kenegaraan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia
bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional 1978 dan 1979 di
empat belas daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
menunjukkan bahwa peserta 80% dari jumlah responden yang ditanyai
menunjukkan keinginan untuk diberlakukan hukum Islam. Fakta ini
membuktikan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat mereka dipandang sebagai hukum yang dapat
memenuhi rasa keadilan.
Ada empat peluang untuk diberlakukan hukum Islam sebagai hukum nasional.
(1) hukum Islam yang disebutkan dan ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum
adat. (2) Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan
hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi umat Islam, (3)
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan
sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum Islam
juga menjadi sumber hukum pembentukan hukum nasional akan datang di
samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh dan
berkembang dalam negara Indonesia.
Di samping empat peluang tersebut, peluang yang sangat menentukan
keberlakuhan hukum Islam secara nasional adalah keputusan-keputusan
hakim peradilan agama atau keputusan hakim selain peradilan agama yang
menjadikan hukum Islam sebagai dasar putusannya.
Penyatuan peradilan agama dengan Mahakamah Agung, menunjukkan bahwa
nilai-nilai hukum Islam dapat diterima dalam pelaksanaan hukum di
Indonesia. Terbentuknya advokasi Syari’ah yang memberikan bantuan hukum
kepada umat Islam pencari keadilan, walaupun hanya pada lingkungan
Peradilan Agama. Demikian pula pemberian otonomi khusus bagi Daerah
Nangro Aceh Darussalam (NAD), syari’at Islam telah diberlakukan dan
dijadikan sebagai hukum nasional yang berlaku khusus untuk NAD.
Permintaan pemberlakuan hukum Islam juga di daerah Sulawesi Selatan, di
Baten bahkan organisasi massa seperti forum pembela Islam, dan
lain-lain. Makmurnya umat Islam mengamalkan ajaran Islam, pemakaian
jilbab, orientasi pemerintah terhadap pendidikan pesantren, Rumah Sakit
Islam, lembaga-lembaga keuangan, Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah dan
badan ekonomi syari’ah lainnya.
Nilai-nilai etika dan hukum Islam yang diterapkan itu akan pada akhirnya
dapat dijadikan sebagai hukum Nasional dan berlaku untuk semua rakyat
Indonesia.
Penutup
Kedudukan Hukum Islam di Indonesia setera dengan hukum peninggalan
Hindia Belanda dan Hukum adat. Penduduk Indonesia mayoritas beragama
Islam, hukum Islam merupakan sumber dalam pembinaan hukum nasional.
Hukum Islam akan menjadi hukum nasional ditentukan pada kebijaksanaan
pemerintah sebagai legal policy. Politikus, intelek muslim dan praktisi
hukum Islam sangat mempunyai peranan dalam pemberlakuan hukum Islam
menjadi hukum Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridah, Tafsir Al-Manar, Jilid V Mesir: Maktabah Al-Qhirah, t.th
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, cet. IV Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
H. Muchsin, “Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam di
Indonesia” Suara Uldilag, Edisi II, 2003, Jakarta: Pokja Perdata
Peradilan Agama MA-RI, 2003
Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia dari
Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-responsif, cet. I
Jakarta: raja Grafindo Persada, 2000
Khallaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh KH. Noer Iskandar
dengan Judul Kaidah-kaidah Hukum Islam, cet. VII Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet. I Jakarta: Pustaka LP3ES,1998
Sukardja, H. Ahmad, “Al-Qur’an dan Tiga Katagori Hukum Dalam Islam”
Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V, Jakarta: Al-Hikamah dan Direktur Pembinaan
Agama, 1994
Suny, Ismail, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, Jakarta: Unismu Jakarta, 1987
—————-, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia,
Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1991
0 komentar:
Posting Komentar