Senin, 23 September 2013

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SITEM HUKUM DI INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM
SITEM HUKUM DI INDONESIA

Pendahuluan
Al-Qur’an mengandung seperangkat tata nilai etika dan hukum bernegara yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Bentuk dan sisitim negara diserahkan kepada manusia untuk menetapkan dan mengaturnya. Al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk negara tertentu atau suatu sistem yang baku tentang negara dan pemerintahan, yang penting seperangkat tata nilai etika dan hukum dalam al- Qur’an itu dijadikan pedoman dalam mengatur negara. Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pemerintahan dan negara dapat menampung perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Seperangkat nilai tersebut berupa prinsip-prinsip yang memiliki kelenturan dalam penerapannya. Prinsip-prinsip itu, secara, elastis, dapat diterapkan di tengah perbedaan kondisi, situasi, zaman, budaya dan lain-lain. Setiap kelompok manusia mempunyai kebebasan dalam menterjemahkan dan merinci serta menerapkan nilai dasar itu. Menurut A.R. Taj yang dikutip oleh Ahmad Sukardja, bahwa setiap umat atau bangsa boleh mempunyai aturan-aturan dan khusus sesuai dengan adat, susunan kehidupan dan tingkat kemajuan.
Al-Qur’an telah mentapkan nilai dasar pemerintahan misalnya dalam QS Al-Nisa (4) : 58 – 59.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا(58)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Kedua ayat tersebut mengandung tiga prinsip dasar dalam bernegara, 1) prinsip amanah 2) prinsip penerapan hukum secara adil 3) prinsip ketaatan.
Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar bahwa pengertian amanat pada ayat tersebut adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakansebaik-baiknya. Amanat dalam konteks ini sangat luas yaitu amanat Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang terhadap sesamanya dan amanat terhadap diri sendiri. Salah satu dari amanat terhadap manusia adalah sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak membedakan satu sama lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri.
Untuk kesempurnaan amanat dan hukum yang sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, diperintahkan untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya serta pemerintah. Ada tiga katagori hukum yang berlaku dalam pergaulan masyarakt Islam.
1. Syari’at yaitu keetentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab atau penghalang. Syari’at bersifat tetap, tidak berubah dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat.
2. Fiqh adalah pemahaman tentang hukum-hukum syara yang bersfat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Fiqh adalah hasil kemampuan intelektualitas (Ijtihad) ulama terhadap dalil-dalil hukum yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadis, yang selalu berkembang dan selalu terdapat perbedaan pendapat.
3. Siyasah syari’ah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki oleh kemaslahantan, melalui aturan yang tidak bertentangan dangan agama, meskipun tidak adil ada dalil tertentu. Siyasah syari’ah lebih terbuka dalam menerima perkembangan dan perbedaan pendapat. Perbedaan kondisi dan zaman berpengaruh besar terhadap siyasah syari’ah.
Persoalan kapan nilai-nilai etika dan hukum yang terdapat pada syari’at, fiqh dan siyasah syari’ah diberlakukan di Indonesia. Sedangkan sitim hukum Indonesia menganut siitem hukum Eropa kontinental yang menganut aliran legisme, yang memandang hukum adalah suatu kepastian dan tertulis dalam bentuk UU atau PP, walaupun dalam UU No. 14 Tahun 1970 memberikan peluang untuk sistim hukum Islam dan adat dapat diberlakukan. Namun, itu tidak mudah tergantung pada politik hukum yang dianut oleh suatu kekuasaan.
Realitas Sejarah
Apabila mengkai sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda tentang kedudukan Hukum Islam dapat dibagi atas dua priode.
1. Priode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (pada kejayaan kerajan-kerajaan Islam di nusantara). Priode ini dikenal dengan teori reception in complexu.
2. Priode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang dikenal dengan teori receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye.
Terlepas dari kedua teori tersebut, hukum Islam di zaman Hindia Belanda masih tetap berlaku, meskipun dalam bidang-bidang hukum perdata tertentu saja. Hukum Waris misalnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan untuk mengatur kewarisan ke Pengadilan Negeri dengan Stablat 1937 No. 116 dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum Adat. Namun, peradilan agam tetap merupakn peradilan yang menyelesaikan sengketa perdata perkawinan bagi umat Islam dan berdasarkan hukum Islam.
Kedudukan hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia Ismail Suny membagi atas dua priode 1) priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive yaitu sumber hukum yang orang harus diyakini untuk menerimanya, 2) priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif itu sumber hukum yang mempunyai kekuatan. Pendapat Ismail Suny didasarkan pada pembentukan Negara Kesatuan Indonesia di mana Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, berdasarkan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal II aturan perlaihan dikatakan segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Di samping itu, Pasal 29 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya maing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengaskan bahwa segala warga bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahandan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (1) menjamin hak-hak warga negara yang bersifat umum sedangkan Pasal 29 ayat (2) menjamin hak warga negara di bidang agama. Penafsiran sistimatis Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing adalah hubungan lex general dan lex specialis. Bertolak dari ketentuan perlihan, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), UUD 1945 nilai-nilai etika dan hukum Islam berpotensi untuk menjadi hukum Nasional.
Persoalan dalam sistem hukum nasional, hukum Islam adalah hukum tidak tertulis seperti halnya hukum adat. Kapan hukum tidak tertulis dijadikan dasar dalam penerapan hukum atau dalam pelaksanaan kenegaraan.
Prospek Hukum Islam di Indonesia
Rakyat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, dapatkah berkehendak untuk memberlakukan nilai-nilai etika dan hukum Islam dalam praetk kenegaraan.
Penegakan supremasi hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal mengalami degradasi. Kondisi tersebut, antara lain disebabkan banyak peratuan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pada masa lalu tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum adat.
Subtansi hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai rtika dan hukum masyarakat pemberlakuannya kurang efektif, bahkan sikap otiriter pemerintah untuk memaksakan hukum itu berlaku (teori kekuasaan). Padahal secara ideal hukum itu akan diterima, apabila subtansi hukum merupakan adopsi dari nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat.
Umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, hukum Islam sangat memiliki peluang yang besar mengkontribusi nilai-nilai hukumnya terhadap hukum nasional.
Negara Indonesia dibentuk atas dasar hukum, syarat sebagai negara hukum, minimal memenuhi tiga unsur, yaitu adanya 1) kedaulatan rakyat 2) adanya HAM dan 3) adanya yang bebas dan merdeka.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Sumber hukum dari segala sumber hukum nasional Indonesia adalah Pancasila, karena itu berlaku hukum agama dan toleransi antara umat beragamadalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam amandemen UUD 1945 tahap ketiga disebutkan bahwa sebagai negara demokrasi Indonesia menjunjung kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan pernyataan sebagai negara hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu negara Indonesia adalah Negara hukum.
Konsep dasar ini berbeda dengan teori kontrak sosial dan Rousseau tentang kedaulatan rakyat, di mana hukum berdasarkan kedaulatan rakyat itu sendiri. Kedaulatan rakyat dalam kontek negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yanh Maha Esa dan sila-sila dari Pancasila.
Berdasarkan teori lingkaran kensentris yang menunjukkan betapa eratnya hubungan agama, hukum dan negara. Karena itu, dengan penduduk yang mayoritas Islam, tentu hal tersebut dapat dijadikan paramenter bagaimana negara Indonesia dalam pembangunan hukum di masa depan. Dengan demikian, pendapat yang memisahkan agama dengan negara adalah bertentangan dengan nilai-nilai sunatullah (hukum alam).
Sebagai negara berdasarkan atas hukum yang berfalsafat pancasila melindungi agama dan memberikan jaminan untuk umat beragama, menjalankan syari’at agamanya, bahkan berusaha untuk memasukan ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti pernyataan proklamator Mohammad Hatta, bahwa peraturan negara hukum RI, syari’at Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syari’at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
H. Muchsen dalam estimasi dan harapannya bahwa di masa akan datang semakin banyak lagi muatan-muatan Islam bisa masuk dan mewarnai perundang-undangan. Harapan ini tiak berlebihan dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nu. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 36 tentang Pengelolaan Zakat.
Namun, ke depan harapan tersebut apakah mungkin terwujud? Hal ini dapat dibuktikan dengan political wiil pemerintah dalam menggali dan memahami nilai-nilaietika dan hukum Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam.
Dalam konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum nasional. Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dilelaskan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Hukum Islam masih berada pada tatanan cita-cita (ius cosntituendum) belum berada pada tatanan aplikasi sebagai hukum positif (ius costitutum). Agar nilai-nilai etika dan hukum Islam berlaku dalam masyarakat, maka nilai-nilai etika dan hukum Islam itu harus dituangkan dalam bentuk UU.
Apabila diikuti perkembangan sidang MPR Tahun 2002 lalu, dari fraksi Partai Bulan Bintang dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan sangat tegas untuk memasukan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) untuk dimasukan pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Keinginan kedua fraksi tersebut dengan pertimbangan apabila hukum Islam dapat diberlakukan sebagai hukum nasional maka telah mempunyai dasar untuk itu.
Tantangan dan Peluang
Harapan untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional (dipostifkan), tergantung dari konfigurasi sistem pemerintahan. Selama pemerintahan Orde Baru konfigurasi politik hukum tidak domokratis. Di mana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.
Konfigurasi politik seperti itu, dimungkinkan akan berlaku pada masa pemerintahan 2005-2009 apabila kemenangan presiden berada pada kelompok Koalisi Kebangsaan. Dalam suatu sistem pemerintahan yang menganut oposisi terbuka, apabila eksekutif menguasai juga legislatif, tentunya setiap kebijaksanaan akan diamankan oleh legislatif, padahal untuk menjaga keseimbangan perlu pengawasan dari legislatif terhadap eksekutif, berarti membutuhkan di legislatif keseimbangan antara partai pemerintah dengan partai yang oposisi.
Keadaan ini dikuartirkan akan terjadi tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan umat Islam. Seperti pada masa sebelumnya, ada dua hal yang menciptakan perbedaan kepentingan tersebut. Pertama, motivasi pilitik pemerintah legal policy yang mengedepankan nilai-nilai sekuler, dengan dalih hukum Islam tidak revelan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama. Kedua, umat Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga pendidikan adalah bagian dari kewajiban agama (panggilan syar’i) yang mesti dan wajib kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan. Pengabaian terhadap hukum Islam dan lembaganya, sama saja halnya pengabaian dan durhaka pada hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, dengan sagala daya dan upaya wajib dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi pemenang dalam konteks pergumulan tersebut adalah pihak penguasa karena didukung oleh kekuatan-kekuatan pemaksa.
Hal ini dapat dibuktikan dengan setiap produk hukum yang dalamnya mengandung nilai-nilai hukum Islam, selamanya mendapat tantangan dikalangan yang kelompok tidak menginkan hukum Islam diberlakukan. Bahkan terlibat polemik baik secara nasional maupun internasional. Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama dan terakhir UU Pendidikan Nasional.
Jika hal itu akan terjadi bagaimana dengan posisi hukum Islam. Lembaga Peradilan selain Peradilan Militer telah menjadi satu atap dalam lingkungan Mahakamah Agung. Tentunya posisi Peradilan Agama mempunyai peran dan tugas yang sama dengan peradilan lainnya.
Untuk diberlakukan suatu nilai hukum yang hidup alam masyarakat menjadi hukum positif melalui legislatif dan yurisprudensi. Hukum Islam dapat diberlakukan melalui jalur putusan-putusan hakim (yurisprudensi) sangat mempunyai harapan.
Karena umat Islam adalah umat yang mayoritas di Indonesia, serta mempunyai satu keyakinan bahwa seluruh perintah dan larangan dalam agama akan ditaati. Keyakinan ini akan melahirkan suatu kesatuan faham bahwa ajaran Islam (nilai etika dan hukum) akan diterapkan dalam pelaksanaan kenegaraan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional 1978 dan 1979 di empat belas daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa peserta 80% dari jumlah responden yang ditanyai menunjukkan keinginan untuk diberlakukan hukum Islam. Fakta ini membuktikan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat mereka dipandang sebagai hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan.
Ada empat peluang untuk diberlakukan hukum Islam sebagai hukum nasional. (1) hukum Islam yang disebutkan dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat. (2) Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi umat Islam, (3) Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum Islam juga menjadi sumber hukum pembentukan hukum nasional akan datang di samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Indonesia.
Di samping empat peluang tersebut, peluang yang sangat menentukan keberlakuhan hukum Islam secara nasional adalah keputusan-keputusan hakim peradilan agama atau keputusan hakim selain peradilan agama yang menjadikan hukum Islam sebagai dasar putusannya.
Penyatuan peradilan agama dengan Mahakamah Agung, menunjukkan bahwa nilai-nilai hukum Islam dapat diterima dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Terbentuknya advokasi Syari’ah yang memberikan bantuan hukum kepada umat Islam pencari keadilan, walaupun hanya pada lingkungan Peradilan Agama. Demikian pula pemberian otonomi khusus bagi Daerah Nangro Aceh Darussalam (NAD), syari’at Islam telah diberlakukan dan dijadikan sebagai hukum nasional yang berlaku khusus untuk NAD.
Permintaan pemberlakuan hukum Islam juga di daerah Sulawesi Selatan, di Baten bahkan organisasi massa seperti forum pembela Islam, dan lain-lain. Makmurnya umat Islam mengamalkan ajaran Islam, pemakaian jilbab, orientasi pemerintah terhadap pendidikan pesantren, Rumah Sakit Islam, lembaga-lembaga keuangan, Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah dan badan ekonomi syari’ah lainnya.
Nilai-nilai etika dan hukum Islam yang diterapkan itu akan pada akhirnya dapat dijadikan sebagai hukum Nasional dan berlaku untuk semua rakyat Indonesia.
Penutup
Kedudukan Hukum Islam di Indonesia setera dengan hukum peninggalan Hindia Belanda dan Hukum adat. Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, hukum Islam merupakan sumber dalam pembinaan hukum nasional.
Hukum Islam akan menjadi hukum nasional ditentukan pada kebijaksanaan pemerintah sebagai legal policy. Politikus, intelek muslim dan praktisi hukum Islam sangat mempunyai peranan dalam pemberlakuan hukum Islam menjadi hukum Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridah, Tafsir Al-Manar, Jilid V Mesir: Maktabah Al-Qhirah, t.th
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. IV Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
H. Muchsin, “Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam di Indonesia” Suara Uldilag, Edisi II, 2003, Jakarta: Pokja Perdata Peradilan Agama MA-RI, 2003
Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-responsif, cet. I Jakarta: raja Grafindo Persada, 2000
Khallaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh KH. Noer Iskandar dengan Judul Kaidah-kaidah Hukum Islam, cet. VII Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet. I Jakarta: Pustaka LP3ES,1998
Sukardja, H. Ahmad, “Al-Qur’an dan Tiga Katagori Hukum Dalam Islam” Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V, Jakarta: Al-Hikamah dan Direktur Pembinaan Agama, 1994
Suny, Ismail, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, Jakarta: Unismu Jakarta, 1987
—————-, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar