Minggu, 23 Maret 2014

ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA



MENGUNGKAP REALITAS YANG TERKUBUR
PIDATO KENEGARAAN MOHAMMAD NATSIR
(PIMPINAN FRAKSI MASYUMI) DALAM SIDANG KONSTITUANTE PADA TANGGAL 12 NOPEMBER 1957
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”

MUKADIMAH
Ada beberapa hal yang mengiringi setelah membaca buku tipis dan sudah lusuh, sedikitnya tiga hal utama, yaitu    :
1.                  Siapa yang memperjuangkan kemerkedaan Indonesia?
2.                  Bagaimana kemerdekaan itu di dapat?
3.                  Ada apa pra dan paska proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Pertanyaan pertama tentunya kemerdekaan ini diraih oleh para pejuang, pahlawan yang tidak mengenal menyerah apalagi putus asa – karena perjuangan ini dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, baik perjuangan dalam kelompok-kelompok maupun perjuangan dalam skala yang lebih besar. Konon perjuangan pada awalnya masih bersifat kedaerahan dan kesukuan, kemudian dimulailah suatu perjuangan baik perjuangan fisik maupun politik dalam skala nasional. Perjuangan kolektiv bangsa Indonesia dicatat sejarah setelah berkumpulnya berbagai elemen masyarakat untuk berikrar setia dalam ikatan persatuan bangsa, bahasa dan tanah air yang satu, yaitu Indonesia, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan sumpah pemuda pada oktober 1928.
Di tahun yang sama di beberapa daerah di dunia timur, Pergerakan baru Islam juga muncul di dalam masyarakat modern kemudian berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Pengikut mereka datang dari unsur-unsur masyarakat modern yang terpelajar, kepemimpinan mereka tidak mutlak berlatar belakang ulama. Di antaranya yang paling menonjol dari pergerakan ini adalah Al Ikhwan al Muslimin (Islam Persaudaraan) didirikan di Mesir 1928m oleh Hasan al-Banna (1906-1949m), dan Jama'ah al Islami ( Masyarakat Islam), di India 1941 di bawah kepemimpinan Mawlana Abu al-Ala Mawdudi (1903-1979m). Kelompok ini dan yang sejenisnya, menentang Islam tradisional, dan ulama konservatif, seperti halnya kritik terhadap sekularisme berasal dari barat bukan budaya (tsaqofah) Islam. Argumentasi mereka bahwa Islam adalah jalan hidup utuh dan harus diterapkan di dalam sistem politik dan ekonomi seperti halnya kewajiban religius individu. (Dari  Encyclopedia Politik dan  Agama, ed. Robert Wuthnow. 2 jilid ( Washington, D.C.: Congressional Triwulanan, Inc., 1998), 383-393
Perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu imperialis asing baik dari Eropa maupun Asia. Bentuk imperalisme dari penjajahan tersebut bermula dari keserakahan bangsa (kaum) tertentu akan perekonomian (kapitalis). Ditandai dengan bersandarnya kapal niaga VOC dari negeri Belanda di teluk Jakarta di abad ke 15, setidaknya catatan sejarah Indonesia mencatatnya demikian. Inilah mula pertama, cikal-bakal dari penjajahan dari kaum imperialis asing – tidak hanya negara Belanda saja yang mondar-mandir, masuk dan keluar tanah persada nusantara ini   hampir seluruh benua Eropa terwakili untuk menikmati hasil dari nikmat Allah yang terletak di katulistiwa dan terkenal dengan sebutan nusantara. Karena keindahan alam serta kekayaannya juga melekat berbagai julukan seprti zamrud katulistiwa, kalung ratna mutu manikam. Andai saja bumi bisa berbicara dan menjadi saksi, niscaya  bumi akan mengatakan berapa banyak kekayaan bangsa Indonesia yang di rampok dan di bawa ke negeri mereka untuk kesejahteraan mereka masing-masing. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang kikir, bangsa Indonesia akan sangat senang dan merasa bahagia apabila bisa berbagi kekayaan kepada bangsa-bangsa seluruh dunia, namun bukan dengan paksaan, bukan dengan penipuan, juga bukan dengan kekerasan
Bangsa yang lugu, penuh kasih tanpa prasangka telah diperlakukan sewenang-wenang, dianiaya, diambil hartanya, dipaksa berkerja tanpa upah yang semestinya, dipisahkan anak dengan orang tua – isteri dengan suaminya, dilecehkan. Semua di bawah tekanan mulut bayonet yang menakutkan, dibawah ancaman panasnya timah yang bisa menembus kulit daging manusia.
Kekejian dan kekerasan itu bukan tanpa perlawanan, semua kemungkaran itu berusaha dilenyapkan perlawananpun dilakukan, namun kekuatan musuh begitu besarnya. Dengan modal semangat keyakinan, dan berusaha untuk menegakkan kebenaran serta memberantas kemungkaran. Perlawanan demi perlawanan dilakukan – meskipun gagal, semangat perjuangan “Merdeka atau Mati” terus bergelora, perjuangan perlawanan untuk kemerdekaan menjadi suatu tradisi kebangsaan.
Ternyata tidak hanya bumi nusantara saja yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, di banyak tempat di dunia timur juga melakukan hal yang sama. Kebanyakan daerah yang di jajah dan memperjuangkan kemerdekaannya adalah negeri-negeri yang tadinya aman tentram, kaya dan bersahabat, negeri-negeri itu adalah negeri-negeri dimana Islam memimpin, pimpinan di bawah petunjuk wahyu Illahi.
Semua ini bukan sekedar teori konspirasi, tetapi adalah fakta sejarah yang berusaha di kubur oleh pelaku-pelaku sejarah yang arogan dan sadis, sehingga sejarah bukan lagi menceritakan fakta tetapi merupakan sebuah propaganda kepentingan penguasa.
Jawaban dari pertanyaan ke dua, jelas setiap manusia ingin merdeka, ingin bahagia, oleh karena itu perjuangan fisik dan non fisik dilakukan, upaya-upaya perundingan dan diplomasi kerap kali dilaksanakan. Yang patut menjadi bahan renungan adalah akankah penguasa yang kuat melepaskan berbagai keuntungan yang telah berabad-abad diraih dengan mudah, kemilau untaian permata, emas-perak sampai tembaga, hasil bumi, hutan, dan rempah-rempah semua mengalir menuju negara-negara yang secara bergantian menjamah nusantara. Akankah mereka, para penjajah melepaskan berbagai keuntungan yang melimpah begitu saja? Tentu saja tidak – amat sangat mudah dimengerti, tapi apakah sejarah menorehnya demikian? Juga tidak, seakan negeri terjajah seperti Indonesia telah benar-benar merdeka, semua harta kekayaannya diserahkan kepada penguasa yang baru. Negara Republik Indonesia bebas dari cengkraman Imperialisme Asing! Benarkah semua itu? Lalu apa yang terjadi kemudian dan bagaimana negeri ini di bangun? Andai saja banyak manusia yang perduli tentang kebenaran dari bukti sejarah yang hakiki tentulah beberapa bangsa di dunia ini tidak akan mengalami keadaan seperti yang terlihat oleh mata telanjang saat ini. Ironi kemerdekaan dan pembangunan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negeri terjajah di belahan bumi lainnya. Ada tiga kesamaan umum yang dimiliki negeri-negeri bekas penjajahan ini ;
1.      negeri itu kaya, tapi sejak abad ke 14 tidak pernah merasakan kekayaannya,
2.      negeri itu miskin saat ini, padahal harta kekayaan yang masih tersimpan di permukaan dan perut buminya masih melimpah,
3.      negeri itu adalah bekas di bawah kepemimpinan Islam.
Yang menjadi jawaban dari pertanyaan berikutnya akan menghabiskan berlembar-lembar kertas dan segudang pertanyaan yang beranak pinak. Meskipun demikian dapatlah kiranya menjadi kesimpulan, bahwa sesungguhnya Indonesia, termaksud negeri-negeri lain yang senasib “TIDAK PERNAH MERDEKA”, akan tetap miskin karena kekayaannya dibawa lari ke negeri asing.
Setiap negeri seharusnya sadar dan mengembalikannya kepada fakta sejarah bahwasannya mereka semua dahulu dipersatukan oleh kepemimpinan Illahi yang kokoh, sistem yang kuat sehingga mampu bertahan sampai dengan belasan abad. Tidak ada kepemimpinan yang mampu bertahan sedemikian lamanya, sekalipun tidak dipungkiri kepentingan penguasa, kelompok dan individu acap kali menjadi ganjalan dalam kepemimpinan ini. Kesalahan bukan pada aturan dan sistem tetapi kepada manusia yang bergeser ideologinya kepada ideologi sekuler dan ideologi kafir lainya.
Perang ideologi antara ideologi kapitalis barat dan ideologi Islam, pernah dilantunkan oleh Sidney jones dalam perdebatan di salah satu media elektronik Indonesia (sctv). Seorang Sidney Jones saja sadar akan kenyataan ini, meski sedikit malu ia menyatakannya, sudah sepantasnya Ummat Islam seluruh dunia juga sadar dan menghilangkan kecintaanya terhadap dunia, harta dan kekuasaan yang semu. Berapa banyak saudara kita seiman yang menjadi korban karena ketidak pedulian saudaranya sendiri. Islam adalah terikat dengan tali persaudaraan akan iman sebagai mana sabda RasuluLlah SAW.. Saat ini  adalah momen yang tepat untuk mempertanyakan hal itu. Ataukah mereka dan siapa saja sudah tidak takut akan ancaman Allah SWT. kemudian membenarkan perbuatan keji dengan dalil agama maupun bukan agama. Meraup pengikut hanya untuk kepentingan dunia semata, untuk membela kejahatan yang telah diperbuatnya.
Kaum agama yang “pragmatis”, menggunakan dalil agama yang dapat mendukung perilakunya dan membuangnya jika dalil agama menyalahkannya. Jika tidak membuangnya, setidaknya berusaha menafsirkan dalam bentuk pemikiran kufur (non agama), atau menganggap dalil agama tersebut sudah tidak relevan dengan situasi dan kindisinya. Pragmatisme dalam agama sudah sering terjadi yang berujung kepada sekularisme yang kejam – yang terlahir dari pemikiran kapitalis, dimana imperialis atau penjajahan adalah halal.
Demikian pula hal nya dengan para pemikir non agama, jika saja pikiran jernihnya mampu melihat kebelakang, dimana Islam mengalmi perkembangan yang amat dramatis, tentulah ia akan melihat bagaimana Islam memimpin dunia ; menjaga siapa saja seluruh alam, Islam ataupun tidak, manusia ataupun bukan, makhluk hidup maupun benda mati. Islam menjaganya, melindunginya, memberikan kebebasan bagi pemikiran dan kehendaknya, tanpa memaksa untuk memeluk Islam sebagai agamanya. Hanya saja realitas tidak secara lengkap diukir dalam prasasti sejarah dunia. Terlalu banyak kepentingan yang menyangkut kapital (harta) dan power (kekuasaan) menutupnya atau menyamarkannya, sehingga ummat manusia dunia termaksud pemeluk Islam sendiri meragukan akan kepemimpinan Islam dalam memimpin dunia.
Tidak satupun sejarah mencatat pemaksaan terhadap suatu kaum kepada Islam, malah sambutan didapat Islam dari siapa saja yang ia datangi, meminta untuk dinaungi. Sejarah mengenai kejahatan kemanusian adalah berasal dari barat yang kafir, Islam sama sekali tidak pernah melakukannya. Berbagai pembunuhan secara besar-besaran adalah produk kafir bukan Islam. Adapun tudingan dan tuduhan yang datang belakangan tentang terorisme adalah gaya lempar batu sembunyi tangan, sebuah konspirasi kambing hitam terhadap Islam. Sejarah Islam terlebih ajarannya Addin Islam tidak mengenal istilah repressive, perang dilakukan hanya jika dalam keadaan tertindas dimana kemungkaran terjadi, diperbolehkannya membunuh hanya pada suatu hal yang menyangkut perbuatan yang keji, seperti : pembunuhan dan zina. Itupun harus melalui suatu proses pengadilan, dimana keputusan mengacu kepada syariat Islam, berdasarkan pertimbangan hakim dan membutuhkan bukti-bukti kuat dan saksi. Hukum hudud didalam Islam adalah penghapus dosa, dosa atas perbuatan keji tersebut, selain dari pada itu juga menimbulkan efek jera bagi yang melakukan maupun yang menyaksikan. Oleh karena itu penyelenggaraan hukuman dilakukan di tempat terbuka, diumumkan untuk disaksikan.
Memang dalam rentangan kepemimpinan Islam terjadi juga pertumpahan darah, perebutan kekuasaan bahkan pengkhianatan. Namun hanya sebagian kecil dari rentangan sejarah kepemimpinan Islam – dan kejadian menyedihkan itupun sedikit yang mau menyelidiki mengenai keabsahan dan kebenaran fakta dari jalan ceritanya. Jika saja para ahli dan sejarawan mau membuka mata, akan terlihat jelas kepentingan musuh-musuh Islam dalam skenario dari kejadian-kejadian tersebut, tidak hanya sampai di situ mereka juga memasuki wilayah-wilayah di mana mereka bisa dengan leluasa menyebarkan fitnah dan kebencian, adu domba dan perampokan, semua dilakukan secara bersamaan, terorganisir rapi dan bersih sehingga fakta-fakta tersebut sedianya terkubur. Namun kejahatan tidak akan pernah menang, saat ini semua itu mulai terkuak satu demi satu, kebusukkan musuh-musuh Islam mulai tercium dan terlihat keburukkannya, masyarakat muslimin semakin sadar dan tahu bahwasannya mereka sedang berperang dalam suatu pertempuran yang lebih dasyat dari perang badr.
Dalam buku yang berisi pidato Muhammad Natsir di dalam sidang konstituate ini menjelaskan bagaimana Hukum Islam adalah hukum yang universal, agama Islam adalah Addin yang berarti Nizham / peraturan yang harus dilaksanakan jika menginginkan keselamatan, kebaikan, keadilan dan kebahagian. Dan melalui buku ini juga sebenarnya Islam pernah ditawarkan kepada masyarakat Indonesia untuk menjadi petunjuk jalan, yaitu hukum-hukum Islam (Al Quraan, Sunnah dan Ijma Ulama berdasarkan Al Quraan dan Sunnah). Islam berasal dari Tuhan Semesta Alam, Allah SWT., yang di amanahkan penyampainya kepada Muhammad SAW., tidak hanya untuk dijadikan sebagai nilai-nilai akhlak, tetapi juga mengenai semua segi pengaturan dari tiap sudut kehidupan yang luas. Tidak ada pengaturan yang sedemikan lengkapnya kecuali Islam yang menyajikannya.
Setelah membaca buku pidato kenegaraan ini, kemudian cobalah mengaitkannya, menghubungkannya dengan realitas masa sekarang, dimana bangsa ini bukannya bergerak maju kedepan – merealisasikan kemerdekaan yang telah dengan susah payah di capai pendahulu-pendahulu kita. Tetapi malah sebaliknya, bangsa ini setapak demi setapak, perlahan namun pasti, bergerak mundur menuju kepada situasi di masa sebelum kemerdekaan, artinya bangsa ini dan masyarakatnya tetap terjajah, bahkan semakin kuat kuku-kuku imperialis asing tertancap ke dalam daging bangsa dan masyarakat Indonesia.
Sebagai akhir dari mukadimah ini, semoga Allah SWT. mempermudah dan mempercepat langkah kita kepada kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka dengan sebenar-benarnya – kemerdekaan yang jelas arah dari mana datangnya dan kemana akan perginya. Sebuah kemerdekaan yang di dasari kepada kesadaran berpikir masyarakat akan hakikat dirinya sebagai manusia yang hidup dalam kehidupan yang fana. Kesadaran yang menenangkan hati kita, menyatukan tiap-tiap jiwa manusia menuju kepada Pencipta nya  melalui aturan-aturan Sang Pencipta.

Bandung, 16 September 2007 / 4 Ramadhan 1428

 DARI HAMKA :

            Kepada Saudaraku M. Natsir ;

Meskipun bersilang keris dileher
Berkilat pedang dihadapan matamu
Namun yang benar kau sebut jugaCita Muhammad biarlah lahirBongkar apinya sampai bertemuHidangkan diatas persada nusa
Suaramu wai Natsir, suara kaum-mu
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri disebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Kemana lagi, Natsir, kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridla Ilahi
Dan akupun masukkan !
Dalam daftarmu..........

HAMKA
Bandung, 13 November 1957
(dalam sidang konstituante)
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”

1.    Konfrontasi dalam suasana toleransi.

Saudara.Ketua !
            Terlebiha dulu saya menyatakan penghargaan saya kepada Panitia Persiapan Konstitusi yang sudah melakukan tugasnya, menjelajah serta merumuskan pikiran-pikiran yang hidup dalam pelbagai aliran dalam konstituante ini menjadi masalah pokok, dasar negara, yang hendak sama-sama kita bahas dalam beberapa hari yang akan datang ini.
            Laporan ringkas dari bermacam-macam pendirian dan keinginan yang hidup dalam negara kita, tercermin dalam laporan P.P.K. tersebut dan dapat memberi bantuan berharga kepada kita dalam pembahasan masalah pokok yang terpenting dalam UUD yang sedang kita usahakan pembentukannya itu.

Saudara. Ketua !
            Kemarin dulu, diwaktu kita memperingati hari pelantikan Konstituante Saudara, Ketua Konstituante, yang terhormat  Saudara Wilopo, menerangkan antara lainbahwa, adalah fungsi dari Konstituante ini untuk menyusun konstitusi yang definitif pengganti UUDS kita yang bersifat sementara. Saudara Ketua fungsi ini hanya dapat dipenuhi apabila ia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menjelajah, membahas, membanding pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Tegasnya untuk melakukan orientasi yang sungguh-sungguh, agar hasil yang hendak dicapai itu nanti benar-benar dapat dipertanggung jawabkan bagi rakyat dan keturunan kita dimasa datang.
            Dalam rangka ini, saya setuju benar dengan anjuran yang berulang-ulang terdenganr dalam ruang konstituante ini, yaitu, supaya kita senantiasa toleran, bertoleransi antara satu sama lain.
            Dalam pada itu, Saudara Ketua, toleransi itu hanyalah akan berfaedah apabila didalam taraf pertama ini kita menghasilkan pengertian yang lebih terang tentang pendirian kita masing-masing. Sebab bagaimanakah Saudara Ketua, usaha membanding, dan apa yang selalu dianjurkan, “mencari titik pertemuan” akan berhasil, jika kita belum tahu benar apa sebenarnya yang hendak dibanding dan yang hendak dipertemu-temukan itu. Tentang ini saya berkata lebih jauh bahwa justru berbahaya sekali bagi usaha menghasilkan dasar negara kita, jika pemikiran-pemikiran yang timbul dalam pembahasanan nanti, tidak terang, kabur serta samar-samar. Malah Saudara Ketua, saya khawatir bahwa baik di dalam ruangan gedung ini, maupun di luarnya banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan, bahwa orang belum tahu, mana kawannya dan mana lawannya, yakni, dalam konfrontasi dari ide dan pemikiran yang dimajukan oleh masing-masing.
            Saya berpendapat, Saudara Ketua, bahwa justru lantaran kita bersedia bertoleransi itu, kita harus berani membuka pendirian kita seterang-terangnya. Toleransi yang dimaksud adalah untuk membuka ruang dan suasana yang seluas-luasnya bagi konfrontasi dari ide-ide dan pemikiiran-pemikiran. Toleransi itu sudah dimulai dalam rapat-rapat komisi yang telah sudah dan dilanjutkan hendaknya dalam sidang-sidang pleno sekarang dan yang akan datang.
            Toleransi tanpa konfrontasi, sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud. Itu hanya berarti : mengelakkan persoalan. Sehingga mungkin kita akhirnya hanya mendapat toleransi bukan konstitusi.
            Yang kita butuhkan ialah konfrontasi dalam suasana toleran, sehingga dari pembenturan-pembenturan antara ide-ide dan pemikiran yang kita majukan masing-masing, kita sampai kepada kebenaran. Du choc des opinions jaillit la verite. Saya mengharapkan agar suasana toleransi yang demikian itulah yang akan meliputi ruangan Konstituante ini seterusnya.
2.    Konstituante harus bebas dari tekanan-tekanan

            Sekali lagi        : adalah kewajiban dan hak konstituante ini, sebagai lembaga demokrasi, untuk menjelajah, membahas dan membentuk perumusan baru yang definitive dari semua pokok-pokok soal yang harus ditentukan oleh UUD. Saudara Ketua Konstituante, Saudara Wilopo, juga telah memperingatkan kita semua kepada tugas tersebut. Lalu beliau menganjukan agar kita semua sadar benar akan tanggung jawab kita yang besar itu. Terutama oleh karena kitalah para anggauta konstituante yang berhak penuh dan bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang akan diambil itu. Memanglah demikian. Bukanlah maksud kita hendak mengganti UUD Sementara kita sekarang sengan suatu UUD yang sementara pula. Tetapi kita bermaksud dengan sekuat mungkin menciptakan satu UUD yang akan tahan uji oleh generasi anak cucu yang akan datang.
            Maka dengan sendirinya, tak satu hal pun dalam UUDS kita sekarang ini, tentang bentuk Negara yang sekarang, struktur Negara yang sekarang, ya, falsafat Negara yang sekarang, dan lain-lain, tidak satupun dari soal-soal semacam itu akan dapat dibebaskan dari pembahasan dan bandingan yang kritis. Dengan sendirinya pula dari pembahasan itu mungkinlah timbul pelbagai alternative yang lain, dari apa yang sekarang dianggap sebagai pendapat tetap (gevestigde mening) atau “rumah-rumah sakit” (heilige huisjes). Bukankah demikian di maksud dengan konfronjtasi itu, Saudara Ketua?
           
Saudara Ketua,
Maka apabila dalam membahas masalah-masalah, “struktur Negara” dan “dasar Negara” dan lain-lain umpanya muncul bermacam-macam alternative seperti alternative “federasi” disamping “kesatuan” bagi struktur Negara, atau alternative “Islam” atau “sosial ekonomi” bagi dasar Negara disamping Pancasila yang ada sekarang, dan sebagainya, maka Saudara Ketua, itu tidaklah mengherankan dan tidak boleh menimbulkan kegusaran atau yang semacam itu dari pihak manapun juga. Dan tidaklah pada tempatnya, bila orang buru-buru mempergunakan kualifikasi-kualifikasi seperti “tidak setia kepada Negara” atau mengkhianat kepada proklamasi dan apa lagi, atau semacam intimidasi yang terselimut apabila dalam ruangan ini dikemukakan alternative-alternative tersebut. Sebab, Saudara Ketua orientasi, membahas, lalu membandingkan alternative-alternative dan akhirnya menentukan pilihan atau keputusan, itu semua adalah pembawaan dari tugas kita dalam ruangan gedung Konstituante ini.

Saudara Ketua,
            Kita tahu, bahwa konstituante kita dewasa ini ibaratnya satu pulau ditengah gelombang pergolakan-pergolakan politik di sekitarnya. Kita sama mengharapkan agar gedung konstituante ini dapatlah hendaknya merupakan satu “sactuary” yakni tempat aman dimana dapat diadakan konfrontasi antara ide dengan ide, pendirian dengan pendirian, yang walaupun berlaku secara tajam dan bebas, sebagaipembawaan dari tugas kita itu, tetap di dalam suasana ibarat sebuah pulau yang aman tenteram di tengah-tengah gelombang
            Saudara Ketua, hanya selama dalam ruangan konstituante ini tetap hidup dan terjamin rasa bebas mengutarakan pendapat, tanpa tekanan-tekanan dalam bnetuk apapun, Saudara Ketua, selama itulah konstituante ini ada artinya bagi Negara dan bangsa.

3.    Dasar Negara harus berurat berakar dalam kalbu masyarakat

Saudara Ketua,
            Sebelumnya kita membahas tentang dasar Negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan   : Apakah Negara itu?
            Dalam menjawab pertanyaan ini kita tidak memasuki persoalan asas timbulnya Negara ataupun yang mengenai nasibnya dikemudian hari. Orang-orang Komunis mengharap agar itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang-orang anrkhis ingin menghapuskan Negara selekas mungkin. Kita Ummat Islam berpendirian harus memelihara Negara selama manusia ada di dunia.
            Apa yang dimaksud dengan perkataan “Negara” ataupun dalam bahasa Inggris “State ?” Kita tidak akan memberi definisi yang panjangnya hanya satu kalimat, ini tidak akan menjelaskan pengertian kita, terlebih lagi oleh karena banyaknya pandangan yang berlainan mengenai faham apa Negara itu. Ibn Khaldun, Machiavelly, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen. Demikian pula Plato, Agustinus, Hobbes dan Rousseau dan yang lain-lain, mempunyai pandangan yang bermacam-macam tentang Negara.
            Mengingat banyaknya tafsiran tentang Negara ini maka baiklah kita membataskan diri dalam menjelaskan arti “Negara” itu dengan mengemukakan sifat-sifat ataupun elemen-elemen yang terkandung dalan satu Negara.
            Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus.
            Apa institution itu?
            Institution dalam arti umum, adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.
            Dapat kita mengambil contoh, umpanya, intstituion perkawinan kita. Kita mempunyai kadli-kadli dan pegawai-pegawai lainnya untuk melaksanakan perkawinan. Selain dari itu kita mempunyai alat-alat material seperti gedung, mesjid, alat-alat administrasi dan lain-lain. Juga kita mempunyai peraturan-peraturan yang mengurus suatu perkawinan. Ini semua mempunyai fungsi untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Selain dari itu tujuan dan peraturan-peraturan perkawinan tersebut berdasarkan atas paham hidup yang tertentu. Keseluruhannya yang tersebut tadi ialah apa yang dimaksudkan dengan perkataan “institution”.
            Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institution, seperti institution pengajaran, ekonomi, agama, politik, famili, pergaulan, dagang dan lain sebagainya. Pendeknya institution- institution ini merupakan bagian-bagian organisasi-organisasi hidup dalam rangka badan hidup yang besar. Tetapi institution mempunyai daerah gerak-geriknya yang tertentu, mempunyai keanggotaan, dan mempunyai kedaulatan atas anggautanya. Ada nilai-nilai atau norma-norma institution tersebut yang dianggap beradaulat oleh angauta-angautanya, walaupun tempo-tempo tidak tertulis. Pelanggaran terhadap norma-norma ini ada kalanya diikuti oleh sangsi-sangsi yang tertentu.
            Institution itu adalah suatu badan atau organisasi yang :
a)      Bertujuan untuk memenuhi kepbutuhan masyarakat di lapangan jasmani dan rohani
b)      Diakui oleh masyarakat
c)      Mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan
d)     Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu
e)      Berdasarkan atas paham hidup
f)       Mempunyai keanggautaan
g)      Mempunyai daerah berlakunya
h)      Mempunyai kedaulatan atas anggauta-anggautanya dan
i)        Memberikan hukuman terhadap beberapa pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-norma.
            Maka Negara sebagai satu institution, juga mempunyai ;
1)      Wilayah
2)      Rakyat
3)      Kedaulatan
4)      Dan undang-undang dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis
            Ia (1) meliputi seluruh masyarakat dan segala institution yang terdapat dalamnya, (2) ia mengikat ataupun mempersatukan institution- institution itu dalam suatu peraturan hukum, (3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat, (4) mempunyai hak untuk memaksa anggautanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh nya dan (5) mempunyai tujuan untuk memimpin memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhannya.

Saudara ketua,

            Mengingat ini semua maka benar dan tepatlah apa yang dikatakan ibnu Khaldun, bahwa artinya Negara terhadap masyarakat sama dengan artinya bentuk (form) atau aradh terhadap benda (matter) atau jauhar ? Yang satu tidak bisa terlepas dari yang lainnya.
            Nyatalah bagi kita bahwa Negara itu harus mempunyai akar yang kuat langsung tertanam dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar Negarapun harus sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti, pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun kolektive.

Saudara Ketua,
           
            Kita sudah mempunyai Negara. Maka teranglah didalam menyusun suatu Undang-Undang bagi Negara kita ini, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah kita bertolak dari pokok pikiran yang past, yakni bahwa undang-undang dasar bagi Negara kita itu, harus menempatkan Negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri kita. Tegasnya Undang-Undang Dasar Negara itu haruslah berurat berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam Negara kita ini.
            Dasar Negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan Negara terombang-ambing, lail dan tidak duduk atas sendi-sendi yang kokoh.

4.    Alasan yang melanggar prinsip demokrasi

Saudara Ketua,
            Apabila kita mempelajari hasil pekerjaan Komisi I yang mengenai dasar Negara dalam P.P.K yang sudah ada pada kita masing-masing dengan sepintas lalu saja kentaralah, satu hal yang menggembirakan. Yakni : semua golongan dan aliran, tanpa kecualinya, menghendaki berdirinya Negara kita ini atas dasar demokrasi.
            Nyatalah bahwa jiwa demokrasi itu merupakan dasar yang hidup kuat merata dalam kalbu seluruh bangsa kita. Atas ini patut kiranya kita mengucapkan syukur.
            Saudara Ketua ! Ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam komisi I yang dimajukan sebagai dasar Negara  :  Panca Sila, Islam dan Sosio Ekonomi.
            Kewajiban saya dan kawan-kawan saya dari fraksi Masyumi adalah untuk menghidangkan kemuka siding pleno yang terhormat, pendirian kami dengan cara lebih luas dan mendalam dari apa yang kami sudah sampaikan dalam komisi P.P.K. yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya Negara Republik Indonesia kita berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan Islam.
            Sebelum saya menguraikan pendirian kami itu, Saudara Ketua, izinkanlah lebih dahulu saya menghadapi satu dasar berpikir dan argumentasi dari pihak-pihak yang berlainan pendapat dengan kami itu, yakni yang menghendaki Panca Sila sebagai dasar Negara.

Saudara Ketua !
            Tak syak lagi, bahwa landasan berpikir yang dipakai oleh pihak yang memajukan dasar Panca Sila  dimajukan demikrasi. Tapi argumentasi yang dikemukakannya, kalau diselidiki lebih dalam, ternyata tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demikrasi itu. Disini kita berhadapan dengan semacam paradox, Saudara ketua, saya akan kemukakan salah satu contohnya.
            Diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal, adalah ;
1.    golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (majority),
2.    golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari majority terjamin hak hidupnya dalam masyarakat.

Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu jika dipakai untuk membentuk sesuatu Negara, maka tidak bisa lain daripada bahwa Negara itu harus pertama-tama mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup daripada sebagian besar, majority rakyatnya. Kedua ; prinsip tadipun mengharuskan, memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang berpendapat lain daripada majority.
Kedua-duanya prinsip ini berjalin kelindan, yang satu tak dapat dipisahkan dengan yang lain, sehingga, apabila hanya salah satu saja dari yang dua itu dipakai, baikpun yang pertama, ataupun yang kedua saja, - maka itu bukan demokrasi lagi tapi diktatur atau tyranny atau oligarchie.
            Yang aneh ialah, Saudara Ketua, bilamana prinsip demokrasi itu dipergunakan untuk menghadapi Islam sebagai satu paham yang ada dalam Negara, maka orang menyimpang daripadanya, lalu berkata :
“Jangan dipakai Islam sebagai dasar Negara, sebab Islam itu adalah satu paham-hidup yang didukung oleh hanya salah satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di Indonesia ada pula lain-lain golongan yang bukan Islam.” Begitu intisari dari alasan-alasan yang dikemukakan.
            Penolakan itu didasarkan, bukan kepada penilaian tentang merites (khasanatnya), isi, dan sifat dari paham hidup, yakni islam, tidak pula didasarkan kepada soal berakar atau tidaknya paham hidup itu dalam jiwa rakyat yang terbanyak yang diakuinya sebagai majority di Indonesia ini. Akan tetapi ditolak lantaran paham-hidup itu hanya dimiliki oleh satu golongan tetapi TIDAK oleh semua golongan.
            Saudara ketua, kami berpendapat bahwa alasan bagi penolakan yang demikian tidak dapat dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip demikrasi. Alasan yang demikian juga Saudara ketua, tidak akan efektif, sebab Saudara ketua, bagaimana andaikata, pihak Islam yang paham hidupnya ditolak untuk jadi dasar Negara, lantaran “pahamnya hanya dimiliki oleh satu golongan diantara golongan-golongan lain”, lalu menjawab pula ; ya dan kita ummat Islam apa alasannya? Apa Ummat Islam harus menerima Paca-sila? Sebagai dasar Negara, sedangkan Panca-sila itupun sesungguhnya juga milik satu golongan yang ada di Indonesia itu?Althans, paham hidup kami Ummat Islam tidaklah tercerminkan oleh Panca-sila itu”.
            Dengan demikian perdebatan sebenarnya sudah boleh berhenti disitu saja, tak akan membuahkan hasil yang dikehendaki.
            Begitulah Saudara ketua, jika kita lebih suka mengelakkan persoalan daripada memecahkannya, jika kita sama-sama “tak suka repot-repot”.
            Maka rupanya Saudara ketua, satu-satunya alasan mengemukakan Panca-sila sebagai dasar Negara itu adalah bahwa Panca-sila dianggap sebagai “titik pertemuan” untuk semua golongan, yang aneka warna filsafat hidupnya masing-masing, sampai kepada yang atheis.
Setelahnya melihat yang demikian itu, saya bertanya Saudara ketua, apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah “titik pertemuan” itu? Sebab saudara ketua, titik pertemuan didalam urusan dasar Negara, bukan sembarang titik pertemuan. Tetapi titik pertemuan didalam meletakkan sendi-sendi bagi kehidupan Negara dan bangsa, bukan sekedar untuk beberapa waktu, akan tetapi untuk tempat duduk dan hidup bernaungnya anak cucu kita turun temurun.
            Kalau memang ini yang dikehendaki, maka saya ingin bertanya lagi, Saudara ketua, apakah titik pertemuan dengan berupa Panca-sila itu, tidak akan merupakan hanya titik pertemuan dalam kata-kata dan rumusan ide-ide? Dan apakah orang-orang yang bertemu dalam Panca-sila itu harus menerima sila-sila itu kelimanya atau boleh menerima sebahagian-sebahagian. Sebab Saudara ketua, saya melihat ada golongan yang terang-terang menolak sila Ketuhanan, bersedia juga “bertemu” dalam panca-sila itu.
           
Saudara ketua,
            Maka apabila salatu pihak, umpanya pihak Islam, menolak ajakan untuk menerima Panca-sila itu, dengan alasan yang dipakai orang untuk menolak paham hidupnya, seringkali mudahlah pula orang menuduhnya, bahwa mereka “tidak mau bersatu”.

Saudara ketua,
            Saya khawatir, bahwa untuk menegakkan Panca-sila sebagai “titik pertemuan” itu, maka bukan prinsip demokrasi saja rupanya yang hendak dikorbankan, akan tetapi mesti dikesampingkan juga salah satu paham hidup dari satu golongan yang terbesar di Indonesia ini, yakni paham hidup yang mengatur bukan saja hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara.
            Tidak diperhitungkan sama sekali rupanya berapakah pengorbanan yang diminta dari pihak yang diharuskan mengesampingkan pandangan yang mempengaruhi seluruh wilayah Jiwa Ragnya dan menjadi sumber bagi kekuatan mereka. Saya ulangi Saudara ketua, sumber kekuatan bagi mereka lahir dan bathin.
            Lalu semua itu Saudara ketua, diminta ganti dengan suatu alternative berupa perumusan dari serangkaian ide-ide yang ditafsirkan menurut kehendak masing-masing. Sedangkan bila mereka Ummat Islam membandingkan dengan ideology-ideologi yang sudah semenjak berpuluh-puluh keturunan menjadi pegangan hidup mereka, perumusan serangkai ide-ide yang ada dalam Panca-sila Saudara, dirasakannya hampa, tak dapat berkata apa-apa kepada jiwa mereka. Orang yang memiliki satu ideology yang tentu-tentu dapat merasakan yang demikian itu.
            Tiap-tiap ideology itu Saudara ketua, bukan hanya suatu rangkaian pikiran atau ide-ide tetapi juga ia merupakan suatu perpaduan antara ide dan aliran perasaan dengan gelombang-gelombang yang tertentu. Bukan ideology saja, bahkan pendapat biasa pun sudah mempunyai dua unsur tadi (thought and attitude) yaitu unsur pemikiran (fikrah) atau pendapat dan unsur sikap jiwa (‘aqidah) yang ada di belakangnya. 
            Hanya gerangan, orang yang tidak merasakan satu ideology yang tentu-tentu yang hidup mesra dalam jiwa raganyalah, yang tidak mampu menilai beberapa besarnya korban yang dipinta itu sesungguhnya.

Saudara ketua,
            Saya kulasahkan : bukan semata-mata lantaran Ummat Islam adalah golongan yang terbanyak dikalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan islam sebagai dasar Negara kita.
            Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu adalah mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan Negara masyarakat dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan didalam Negara.
            “Kalaupun besar tidak akan melanda “. Kalaupun tinggi, malah akan melindungi.
Hal ini saya berserta kawan-kawan sefraksi saya akan coba menjelaskannya dalam rapat Konstituante sekarang dan seterusnya.
           
5.    Pilihan kita satu dari dua : Sekularisme atau Agama

Saudara ketua !
            Maka bagi penjelasan-penjelasan yang akan diberikan oleh kawan sefraksi saya seterusnya, izinkanlah saya, Saudara ketua, mengemukakan sedikit pengantar pikiran kearah itu.

Saudara ketua !
            Sejarah manusia umumnya pada tinjauan terakhirnya, memberikan pada kita pada final analysis-nya hanya duan alternative untuk meletakkan dasar Negara dalam sikap azasnya (principle attitudenya), yaitu :
1)      Paham secularisme (la dienyah) tanpa agama, atau
2)      Paham agama (dieny)

Saudara ketua !
            Apa itu secularisme, tanpa agama, la dienyah ?

1)      Secularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya dalam batas hidup keduniaan.  Segala sesuatu dalam penghidupan kaum secularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal : akhirat, Tuhan dan lain sebagainya. Walaupun ada kalanya mereka mengakui adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorang sehari-hari umpamanya, seorang secularis tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti do’a dan ibadah.

Seorang secularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan sekarang ini belaka.

Saudara ketua !
            Untuk melukiskan corak secularisme itu, dengan gambaran yang lebih terang, baiklah kita mengambil perumpamaan satu perkawinan dimana aliran secularisme dan agama itu tergabung.
            Umpamanya : seorang isteri yang beragama bersuamikan seorang suami seculair. Bagi si isteri upacara perkawinan dalam gerja mengandung arti yang dalam dan dirasakan sebagai suatu ikatan yang dirahmati oleh Tuhan. Terhadap itu sang isteri bersikap penuh khidmat. Bagi si suami upacara ini adalah peraturan semata-mata, yang tidak mempunyai arti apa-apa sebagaimana juga peraturan membeli karcis kereta api. Ia tidak merasakan khidmat atau perasaan-perasaan lainpu, melainkan hanya sekedar mentaati peraturan itu oleh karena kebanyakan orang berbuat demikian.
            Apabila setelah beberapa lama mereka mempunyai beberapa anak, bagi si isteri anak-anak itu bukan saja untuk mengikuti fithrah kewanitaanya, tapi juga untuk menjelmakan cita-cita membentuk manusia baru, masyarakat baru, yang akan membawa manfaat bagi kemanusiaan sesuai dengan perintah Tuhan. Bagi sang suami, adanya anak-anak itu tidak lebih dari satu kebiasaan umum mengikuti insting untuk mempunyai turunan. Bagi sang isteri kedudukan yang dicapai mereka dalam pemerintahan ataupun masyarakat tidak hanya merupakan satu kepuasaan, tetapi juga suatu kepuasaan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi dengan menganggap kedudukan itu sebagai alat. Bagi sang suami kedudukan yang dicapai itu, kalaulah bukan tujuan, adalah satu hal yang menyenangkan dan yang harus dianggap sebagai sesuatu yag perlu dipertahankan. Demikianlah pengaruh pahjam secularisme dalam hidup orang perseorangan.;
            Dilapangan ilmu pengetahuan saudara ketua, secularisme menjadikan ilmu-ilmu itu terpisah dari pada nilai-nilai hidup dan peradaban. Etika katanya, harus dipisahkan daripada ilmu pengetahuan. Timbulah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus dipisahkan dari etika, ilmus ejarah harus dipisahkan daripada ilmu etika. Ilmu sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan. Demikian juga ilmu jiwa, falsafah, hokum dan lain sebagainya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan Ilmu pengetahuan dari etika.
            Kemajuan ilmu tekhnik dapat membuat bom atom. Apakah ahli-ahloi ilmu pengetahuan turut menyumbangkan tenaga atas pembikin bom tersebut harus ikut bertanggung jawab atas pemakaian nya atau tidak ? bagi yang memisahkan etika dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggung jawab atas pemakaian bon itu. Disini kita lihat betapa jauhnya pengarus secularisme. Ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, “science for the sake science”( ilmu pengetahuan demi  ilmu pengetahuan.pen).
            Didalam penghidupan perseorangan dan masyarakat sekularisme la-diniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekularisme banyak macamnya. Ada yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan perempuan tanpa kawin (nikah.pen) tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu Negara menentukan sikap yang tegas terhadap hal ini adalah penting. Sekularisme dalam hal ini tidak dapat memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang.
            Pengakuan atas hak milik perseorangan, batas-batas yang harus ditentukan antara hak-hak buruh dan majikan, apa yang kita maksud dengan perkataan “adil dan makmur” , ini semua ditentukan oleh kepercayaan kita. Sekurlarisme tidak mau menerima sumber ke Tuhanan untuk menentukan soal-soal ini. Kalau demikian, terpaksalah kita melihat sumber paham-paham dan nilai-nilai itu semata-mata dari pertumbuhan masyarakat yang sudah berabad-abad berjalan sebagaimana yang didorongkan oleh sekularisme. Ini tidak akan memberi pegangan yang teguh. Ada beribu-ribu masyarakat yang telah menimbulkan bermacam-macam nilai. Ambilah umpanya, soal bunuh diri.ada masyarakat yang mengizinkan, ada yang melarang. Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu Negara mengambil sikap yang menentukan adalah penting karena hokum-hukum mengenai persoalan itu akan dipengaruhi oleh sikap tersebut. Lagi, disini, sekularisme tidak dapat memberikan pandangan yang positive.
            Jika timbul pertanyaan, apa arti penghidupan ini? Secularisme tidak dapat menjawab dan tidak merasa perlu menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang kehidupan, akan mengalami kerontokan ruhani.
            Tidaklah heran, bahwa didalam penghidupan perseorangan secularisme menyuburkan timbulnya penyakit syaraf dan rohani. Manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang azasnya tidak berobah. Jika ini berubah mudahlah baginya mengalami taufan ruhani. Demikian akibat pafam sekularisme dalam hidup perseorangan. Pengaruh agama terhadap kesehatan ruhani ini telah diakui oleh ilmu jiwa zaman sekarang.
Dalam penghidupan Negara yang secular dilapangan ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain ditentukan oleh kepentingan kebendaan manusia dan kalaupun tempo-tempo ada juga kepentingan kerohanian manusia tetapi tidak melewati batas-batas yang ditentukan oleh manusia sendiri.
            Ada satu pengaruh sekularisme yang akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sebut tadi. Sekularisme, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari tahap ke Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih saying sesame manusia, semuanya itu menurut sekularisme, sumbernya bukanlah wahyu Illahi, akan tetapi apa yang dinamakan : penghidupan masyarakt semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insyaf bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan bermusuhan.
            Kita akan lihat betapa berbahayanya akibat pandangan yang demikian. Pertama dengan menurunkan nilai-nilai adab dan kepercayaan ketaraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia dalam nilai-nilai tersebut merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu ! ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tetapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah hasil ciptaan manusia sendiri.
            Bahkan Saudara ketua, seorang sekularis menganggap bahawa ke Tuhanan adalah relative, yakni berganti-ganti menurut ciptaan manusia belaka, yang menurutnya ditentukan oleh keadaan masyarakat. Bukan oleh kebenaran wahyu. Baginya agama dan paham tentang wujudnya Tuhan adalah relative, yakni berganti-ganti menurut ciptaan manusia, begini boleh, begitu boleh!

Faham Sekularis tentanng Wujudnya Tuhan
            Marilah kita perhatikan bagaimana pandangan dari pendirian sekulair, la-dienyah itu tentang wujudnya Tuhan dan sumber agama.
            Tatkala ia menerangkan asal usulnya salah satu dari sila-sila yang tercantum dalam Panca-sila yang hendak dijadikan “titik pertemuan” dalam penyusunan sendi-sendi ketatanegaraan itu, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa (yang sekarang dianggap sebagai dasar Negara) Presideng Soekarno berkata :
            “Ketuhanan, (Ketuhanan disini saya pakai didalam arti religiusiteit), itu memang sudah hidup didalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun. Aku menggali didalam buminya rakyat Indonesia, dan pertma-tama hal yang aku lihat ialah religiusiteit. Apa sebab ? ialah karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup diatas tarafnya agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup diatas taraf agrarian, tentu religius. (saya memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saja memakai perkataan religiusiteit, atau kepercayaan kepada suatu hal yang ghaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup didalam kalbunya bangsa-bangsa yang masih hidup didalam taraf agrarian. Betapa tidak ?
            Orang yang masih becocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari makan, ini sama sekali tergantung daripada satu hal yang ghaib. Orang ini bertani supaya turun hujan misalnya. Darimana hujan harus diminta ? kita mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas berkata :”ah ada satu hal yang ghaib, kepadanya aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya sudah hamper tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan satu hal yang ghaib. Mungkin dia belum bisa mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah. Atau Tuhanpun, mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekedar kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang ghaib ; “ya ghaib, yai ghaib, jangan diturunkan hujan, lagi sekarang aku membutuhkan kering”. Hujan dan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat yang ghaib.
            Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah, hama belalangkah, hama baksil-baksilkah. Sama sekali itu diluar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal ghaib ; “ya ghaib, berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama, tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
            Bangsa yang demikian, masih diatas taraf agrarian, tidak boleh tidak mesti religius. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religiusiteit itu. Aku tidak berkata itu adalah baik, meninggalkan rekigiusiteit. Tidak lagi-lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religiusiteit. Apa sebab ? sebabnya ialah karena ia berhadapan banyak sekali dengan kepastian-kepastian. Perlu listrik, tidak perlu “oh ya ghaib”. Dengan tekan knop sja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu memohon ya ghaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin ; mesin dia gerakan, mesin itu bergerak. Didalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang, aku dapat mengadakan perang. Ingin tenga aku bisa menggerakan mesin. Oleh karena itulah rakyat yang sudah hidup didalam alam industialisme banyak yang meninggalkan religiusiteit itu tadi.
            Memang pernah kukupas didalam satu ceramah yang mengenai religiusiteit ini, bahwa religiusiteit ini melalui beberapa fase pula. Sebab masyarakat dunia memang dinamis. Dinamis didalam arti selalu bergerak. Masyarakat manusia tidak berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti-ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religiusiteit ini berganti-ganti warna. Tatkala dia masih hidup didalam hutan rimba-raya, belum dia bertani. Dia hidup dalam rimba raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup didalam gua-gua, dibawah pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan berburu atau mencari ikan. Itu sudah religius, tetapi apa yang di sembah ? dia sembah petir, oleh karena dia mengetahui, kalau memerlukan api : “itu dia, petir itu bisa menyambar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberikan ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberikan perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam pikirannya geledek inilah satu zat yang ghaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarakan suara gemuruh. Dia adalah religius, dengan cara dia sendiri.
            Tatkala manusia kemudian dari dari itu tidak lagi hidup didalam rimba raya, didalam gua-gua tetapi hidup dengan berternak, pada waktu itu dia religius, tetapi ciptaan dari pada zat ghaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon-pohon besar yang rindang-rindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang sekarang ini masih ada sisa-sisanya dibeberpa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
            Tatkala manusia hidup didalam taraf pertanian, makin religius dia, tetapi ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba raya dengan berburu dan mencari ikan, daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang diatas taraf agrarian, bangsa yang demikian itu adalah religius. Terutama sekali karena tanam-tanaman tergantung sama sekali dari gerak-gerik iklim.
            Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agrarian dan sudah masuk taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religiusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia hidup didalam alam kepastian. Malah didalam taraf inilah timbul aliran-aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Didalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi jikalau saudara-saudara bertanya kepada Bung Karno personalijk : “ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua, bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran manusia yang berubah-ubah.
            Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba raya di bawah pohon-pohon dan di gua-gua, dia mengira bahwa Tuahan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup dalam taraf agrarian, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk didalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang buta semuanya belum pernah melihat gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu, apa itu gajah. Si buta yang pertama disuruh maju kemuka, dia meraba dan dia mendapati belalai gajah. Dia berkata : “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah itu, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok-bengkokkan”.
            Si buta nomor dua disuruh tampil kemuka dan dia mencari-cari gajah dan memegang ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata : “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu, seperti cambuk.”
            Si nomor tiga lagi maju kemuka. Cari-cari gajah dan memegang kaki gajah. Katanya : “Oh aku sudah tahu gajah, rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka dia (cebol) pendek sekali dia punya badan, dating di bawah gajahitu, pegang-pegang tidak dapat apa-apa. Katanya : “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti hawa. Gajah tidak ada, gajah itu seperti hawa ini.”
            Seperti orang di dalam dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti.”
            Demikian Presiden Soekarno.

Saudara ketua !
            Yang saya ulangkan tadi itu dapat dibaca dalam ceramah Presiden Soekarno pada pertemuan gerakan pembela Panca-sila di Istana, pada tanggal 17 juni 1954 yang pernah diterbitkan kementrian Penerangan. Saya dapat menggambarkan saudara ketua, bagamana terasa jatuhnya kata-kata yang demikian itu atas kalbunya seorang mukmin yang beriman kepada Allah swt., apakah dia kebetulan seorang agraris atau industrialis. Akan tetapi saudara ketua, bukan disini tempatnya saya menggambarkan itu.
            Saya hanya hendak meneruskan pembahasan saya mengenai sekularisme tadi. Yang hendak saya kemukakan adalah : bagaimana paham tentang wujud Ketuhanan telah direlatifkan menurut perkembangan hidup dari satu taraf ke taraf lainnya. Dari taraf hidup pengembara, agraris, sampai ketaraf industri, dan lain-lain.
            Khulasah dari pada paham itu dalam bentuk yang paling simple ialah : seorang yang masih dalam taraf kehidupan agraris memerlukan Tuhan, tetapi kalau dia sudah menjadi industrialis tidak perlu lagi terhadap Tuhan. Seperti yang dibentangkan dalam pidato Presiden Soekarno yang saya kutip tadi.
            Dimanakah gerangan, saudara ketua, hendak ditempatkan wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Wahyu yang terbebas dari pada pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer, seperti p0engaruh agrarian, nomadis atau industrialisme. Wahyu yang memancar ibarat mata air yang memancarkan al iksir penawar hidup dan bersifat abadi dan membebaskan manusia dari tersesat dan terus meraba-raba mencari Tuhan.
            Pertanyaan ini mengandung jawabnya sendiri. Bagi seorang sekularis soal KeTuhanan sampai kepada soal KeTuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan wahyu ; baginya soal KeTuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.

Saudara ketua, !
            Baerhubunga dengan terbatasnya waktu, disini saya tidak akan mengemukakan bantahan-bantahanterhadap paham yang semacam ini. Paham mana sebenarnya dipelopori oleh kaum Marxis, yang mengatakan bahwa struktur ekonomi dan masyarakat itulah yang menentukan paham hidupsuatu masyarakat yang mengenai ajaran agama, filsafat ataupun kultur.
            Apabila waktu mengizinkan saya akan kembali pada soal ini.

           
Akibat Sekularisme dalam Ketata negaraan

Saudara ketua !
            Ajibat dari pandangan sekularisme, la diniyah itu, dalam ketatanegaraan, saudara ketua, dalam bentuknya yang lebih terang, antara lain, dapat kita lihat didalam timbulnya dan tersebarnya paham Nazisme. Ada yang menyangka bahwa Nazisme itu ditimbulkan oleh Adolf Hitler dan keadaan Negeri Jerman pada waktu itu. Seorang Jerman yang pada mulanya menyokong, setelah itu menentang Nazisme dengan sekeras-kerasnya, ialah Herman Raunchning. Ia berpendapat setelah mempelajari secara mendalam timbulnya Nazisme, bahwa yang menyebabkan itu bukanlah semata-mata lantaran timbulnya seorang yang bernama Adolf Hitler dan keadaan di Jerman belaka, akan tetapi adalah keadaan ataupun beberpa factor-faktor yang terdapat dalam kebudayaan Barat. Factor yang terpenting  kata Raunchning, adalah sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntutan-tuntutan adab (nilai-nilai hidup) dan menyampingkan ajaran-ajaran agama. Menghormati ajaran-ajaran moral dianggap Nazisme sebagai suatu kelemahan. Sikap ini didahului dan dipersiapkan oleh paham secularisme tadi yang mengatakan bahwa nilai-nilai peradaban itu buatan manusia belaka. Demikian juga dilapangan hokum dan keadilan, sekularisme telah melemahkan hokum dan keadilan itu, sehingga mempengaruhi sikap-sikap orang yang menjalankannya. Sikap netral dan masa bodoh diperlihatkan oleh orang yang menjalankan hokum (hakim, polisi, dsb) terhadap pelanggaran-pelanggaran kemanusian yang disebabkan oleh Nazisme, umpamanya : berakar pada maslah BISMARCK bahkan sebelumnya. Keadaan di Jerman ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan Eropah Barat pada abad ke-19. inilah sebabnya mengapa Raunchning mengemukakan bahwa yang bertanggung jawab terhadap timbulnya Nazisme adalah seluruh kebudayaan Barat, bukanlah hanya Jerman. Yakni pengaruh sekularisme dalam kebudayaan Eropah Barat.
            Raunchning dengan persetujuan banyak yang lain-lain menganggap gerakan Nazisme ini pada hakikatnya suatu aliran yang berdasarkan nihilisme. Satu-satunya nilai yang mereka percaya ialah perlunya kekuasaan untuki berkuasa, perlunya macht untuk macht. Sikap ini hanya dapat timbul dalam suatu masyarakat dimana sekularisme dapat hidup dengan subur. Sikap nihilisme ini tampak juga dikalangan Bolshewick. Mereka penganut sekularisme yang fanatic, mereka telah menjalankan kebuasan-kebuasan secara besar-besaran.

Saudara ketua !
            Sampai demikian pengaruhnya sekularisme dalam hidup ketatanegaraan yang sekulair, dalam taraf hidup perkembangannya yang sudah lanjut. Dan dalam taraf yang demikian pula kita dapat melihat, sifat-sifatnya yang sebenarnya sehingga dapatlah kita dengan terang mempelajari jalannya pengaruh sekularisme atau la-diniayah, atau tanpa agama itu.
            Oleh karena itulah saudara ketua, dari jaman purbakala dimulai dari Plato samkpai dewasa ini, ahli-ahli filsafat kenegaraan (politik filosofi) telah banyak memberikan perhatiannya dalam masalah ini. Pada zaman seorang Perancis yang mendalam mpandangannya mengenai ilmu kemasyarakatan, Alexis de tocqueville juga telah memberi sokongannya terhadap dasar ke Agamaan dan menolak sekularisme, sebagai dasar Negara.
            Berkata A. de Tocqueville antara lain :
            “Kekuasaan yang terbatas pada hakikatnya adalah suatu hal yang buruk dan berbahaya, manusia berkerja untuk menjalankan dengna teliti dan bijaksana. Hanya Tuhanlah Yang maha Kuasa, karena hikmat dan keadilan-Nya senantiasa seimbang dengan kekuasaanNya. Tetapi tidak ada satupun kekuasaan di dunia ini yang demikian berhak atas penghormatan atau atas ketaatan yang khidmat kepada hak-hak yang diwakilinya, sehingga saya dapat menerima kekuasaan diatas segala lapangan dengan tidak dikendalikan.
            Jika saya melihat bahwa hak dan kekuasaan penuh itu diberikan kepada satu rakyat, ataupun seorang raja, kepada satu aristokrasi, ataupun demokrasi, kepada satu kerajaan ataupun satu republic, disitulah saya lihat benihnya tirani, dan pergilah saya terus kepada Negara yang lebih memberi harapan.” Demikian Alexis de Tocqueville.

Saudara ketua !
            Apakah kita sesungguhnya telah menyadari benar-benar bahaya secularisme sebagaimana yang saya kemukakan tad, itu, selama kita hidup bernegara yang sekulair seperti sekarang ini ?
            Apakah tidak karena sekularisme tadi maka makin lama, makin terasa adanya gejala-gejala didalam masyrakat kita dan merosotnya nilai hidup, berlakunya pelanggaran-pelanggaran atas nilai-nilai hidup oleh orang-orang yang berkuasa dengan secara sinis, lalu diikuti rakyat banyak ?
            Tidakkah paham sekularisme ini yang menyebabkan tambah berkembanganya atheisme dinegra kita ?

6.    Apa kelebihan Agama dari Sekularisme ?

Saudara ketua !
            Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknyapun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Paham Agama memberikan tujuan yang paling tinggi. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut “humanity” (perikemanusiaan) ! Yang menjadi soal adalah pertanyaan : Dimana sumber perikemanusiaan itu ? Apa dasarnya ?
            Komunisme umpamanya, mempunyai konsep “perikemanusiaan” yang berlainan dengan kita. Di dalam Negara yang mereka cita-citakan, adanya hak milik dianggap melanggar asas-asas perikemanusiaan, karena sesuai dengan fithrah manusia.
            Sekularisme, la-diniyah, tanpa agama, saudara ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna, dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep kemanusiaan ini tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekularisme, yang pada hakikatnya merelativekan semua pandangan-pandangan hidup. Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari rrelativevisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dinamakan point of refrence, titik tempat mengembalikan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap maka niscaya krisis atau bencana akan timbul.

Saudara ketua !
            Tidak ada satupun lapangan hidup manusia yang dapat dipisahkan dari agama atau falsafah hidup. Kita hanya dapat memilih dianatara dua, paham yang berdasarkan agama atau sekularisme, la diniyah tadi.
            Sekularisme sebagaimana kita lihat, tidak memberikan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan masyarakat, malah menggoyahkan sendi-sendi hiduporang perseorangan dan masyarakat.
            Paham agama mempunyai kelebihannya sendiri. Apa yang dimaksudkan dengan perkataan agama, ataupun religion ?

Saudara ketua !
            Agama itu adalah satu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung factor-faktor, antara lain :
         Percaya dengan adanya Tuhan, sebagai sumber daripada hokum dan nilai hidup.
         Percaya dengan wahyu Tuhan kepada RasulNya.
         Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia / perseorangan.
         Percaya bahwa hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
         Percaya bahwa dengan matinya seorang, hidup rohnya tidak berakhir.
         Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
         Percaya dengan Tuhan sebagai sumber dari norma-norma dan nilai hidup
         Percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan didalam dunia ini.

Saudara ketua !
            Apa kelebihan agama dari segala paham yang sekulair ?
Pertama           : Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala falsafat yang sekulair mengakui sebanyak tiga dasar berpikir, yaitu : empirisme (mazhabul tajribah), ratioanalisme (mazhabul aqly), dan intuitionisme (mazhabul ilham). Dasar whayu, revelation ataupun open baring tidak diakuinya. Agama lebih dari pada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Oleh karena itulah, agama lebih luas dan lebih dalam dari pada paham sekulair.
            Kedua             : Paham Agama meliputi seluruh bagian hidup. Seorang yang menderita karena ditinggal mati oleh seorang yang dikasihi, dapat suatu tafsiran ataupun penjelasan daripada agama. Matinya seorang ini ada artinya didalam plan hidup yang dibentangkan oleh agama. Begitu juga penderitaan yang ditinggalkannya. Segala kejadian itu ada hubungannya dengan yang menguasai alam ini. Perasaan yang diderita oleh yang ditinggalkan tidak dibiarkan begitu saja. Didalam keadaan demikian agama memberi pegangan hidup yang harus diikuti. Pendeknya, didalam segala lapangan hidup, pikiran, perasaan, tindakan dan lain-lain, agama memberi pimpinan.
            Tidak demikian halnya dengan paham sekulair. Seorang  Marx atau seorang Darwin tidak memberi tempat dalam falsafah hidupnya kepada pergolakan yang terjadi didalam jiwa manusia. Semuanya hanya ditinjau dari sudut proses alam atau nature semata-mata. Yang dipentingkannya adalah manusia sebagai group (kolektivity).

Saudara ketua !
            Kembali kepada soal perpaduan antara ide dan perasaan tadi, agama tidak hanya menguatkan percaya dengan beberapa ajaran-ajaran yang tertentu. Agama oleh karena beberap sifatnya yang khusus mempunyai kesanggupan untuk menggerakan jiwa manusia dan dalam hal ini ternyata berlainan pengaruhnya dari falsafat.

Saudara ketua !
            Seorang ahli filsafat dan ilmu jiwa yang ternama, Wiliam James membandingkan pengaruh kepercayaan atas orang nasrani pada permulaan timbulnya agama Kristen dengan pengaruh ide-ide humanisme atas falsafah Stoa.
            Mereka keduanya percaya dengan adanya Tuhan. Hanya yang satu agama yang satunya filsafat. Perasaan dan tenaga bathin yang digerakan oleh agamanya bagi seorang nashrani berlainan daripada pengaruhnya humanisme atas seorang pengikut Stoa. Sungguhpun pokok-pokok kepercayaan masing-masing banyak yang sesuai. Gerakan bathin yang khusus ini adalah kelebihan agama karena pengaruhnya itu sangat mendalam sehingga meninggalkan bekas.
            Gerakan bathin ini sebagaimana kita telah kemukakan menguatkan perasaan hidup manusia lebih dari pada filsafat, oleh karena memang agama lebih cocok dengan fithrah manusia.
            Emile Durkheim seorang sosiolog ternama menggambarkan hal ini sebagai berikut : “Seorang yang percaya dengan agama dan telah mengadakan hubugnan dengan
Tuhan nya, bukanlah hanya seorang yang telah melihat kebenaran baru yang diketahui oleh yang tidak percaya. Orang yang percaya itu adalah orang yang lebih kuat untuk menderita percobaan hidup ataupun untuk menaklukannya.”
           
7.    Tragik Panca Sila yang Sekulair, tanpa Agama

Saudara ketua !
            Di Indonesia paham hidup yang menggerakan jiwanya rakyat adalah agam, agam yang sifat-sifat umumnya telah saya kemukakan. Dengan sendirinya asas Negara kita harus berdasar agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap diterima oelh umum, sebagai Panca Sila. Panca Sila tidak dipercayai sebagai agama, kalaupun ada terumus di dalamnya “Sila Ketuhanan”, sumbernya, backgroundnya adalah sekulair, la diniyah, tanpa agama.
            Ia bukan bersumber kepada salah satu wahyu Illahi. Ia adalah dan ternyata hasil penggalian. Penggalian dari masyarakat. Ia bukan satu pengakuan dan penyaksian akan Kedaulatan Tuhan dengan segala konsekuensinya atas yang mengakui dengan berupa kedaulatan kepada Hukum Illahy yang positif. Ia hanyalah “rasa adanya Tuhan” tanpa wahyu, tanpa konsekuensi. Rasa adanya Tuhan, sebagai “ciptaan manusia yang relative, yang berganti-ganti.”
            Terlepas dari soal tempatnya dalam urutan perumusan kelima sila itu, entah di bawah, entah di atas, yang sudah terang ialah bahwa ia tidak dianggap sebagai sumber dari 4 sila yang lain. Ia tidak menjadi “point of regrence”, tidak berkedudukan yang menentukan isi dari 4 sila yang lain, sebab dia sendiri tidka mempunyai isi yang tentu-tentu. Ia relative, boleh begini, boleh begitu, menurut seenaknya masing-masing orang yang mau mengisinya, menurut ciptaan manusia berganti-ganti. Hubungannya dengan 4 sila yang lain sebagaimana juga hubungan antara 5 sila itu antara satu dengan yang lain, tidaklah terang. Lahirnya sila-sila itupun tidak serentak, tapi kabar konon nya, satu demi satu, dan sila KeTuhanan yang dating numpang paling belakang.
            Bagaimanakah, saudara ketua, Panca Sila akan mendapat tenaga penggerak jiwa bagi rakyat Indonesia yang sudah memiliki ideologiAgama yang tegas-tegas dan meliputi jiwanya.
            Ia tidak dapat berkata apa-apa terhadap jiwa rakyat yang beragama. Ia tidak dapat mencerminkan apa yang hidup bergelora dalam jiwa masyarakat Indonesia.
            Maka Negara yang didasarkan kepada Panca Sila yang terang sudah demikian sifatnya itu, tidaklah dapat menjadi Negara yang betul-betul mencukupi kebutuhan hidup Indonesia, bukan suatu Negara yang menjalankan fungsinya yang sebenarnya, bukan suatu Negara yang sebagai satu institution, akar-akarnya nyata terhujam dalam sanubari bangsa Indonesia.
            Oleh pokoknya sendiri Panca Sila itu dianggap tidak lebih dari “titik pertemuan” atau “gemene dele”. Apakah saudara ketua yang menguatkan pendirian saya bahwa Panca Sila tidak mencukupi syarat untuk menjadi state philosophy dari Negara kita ?

Saudara ketua !
            Apa sebenarnya wujudnya Panca Sila itu ?  panca Sila itu sebagaimana juga yang telah dikemukakan oleh pelopornya yang pertama Presiden Soekarno adalah lima dasar, ataupun ideen, yang dianggap tersebar diantara golongan-golongan yang terdapat di Indonesia. Ideen ini menurut kesan kita, dianggap oleh pendukungnya kalau tidak seluruhnya terdapat di tiap-tiap golongan, sedikitnya sebagian terdapat disemua golongan. Aliran Komunis umpamanya, tidak percaya dengan Tuhan, walaupun mereka menerima Panca Sila sebagai asas Negara. Ini sudah tentu suatu kelemahan yang prinsipil. Tiap-tiap ide, tiap-tiap paham, tiap-tiap cita-cita, tiap-tiap tujuan, jika dijadikan dasar hidup, - dalam hal ini dasr hidup bangsa kita, - adalah satu hal yang mha penting, harus dipercaya, ditaati, diresapkan betul-betul dalam sanubari bangsa kita. Terutama yang menerima dan yang bergiat menyokongnya untuk dijadikan dasar Negara. Jika tidak demikian ini berarti kita tidak jujur terhadap asas dasar Negara kita. Menurut aliran Komunis Tuhan tidak ada. Bagaimana mereka menerima satu dasar yang adanya dasr itu sendiri tidak dipercayainya.
            Bahwa sikap demikian itu yakni dibiarkannya Panca Sila diterima sebagian dan ditarik yang lainnya, ataupun hanya diterima tetapi tidak dipercaya, dapat terjadi oleh karena Panca Sila itu hanya 5 ide yang dikemukakan sebagai titik pertemuan. Tidak dikemukakan “volgorde” dari sila yang lima ini ! Tidak dikemukakan “relationship of interdependence” dari sila yang lima ini ! Tidak dikemukakan yang maqna dari sila-sila itu sumber asal daripada yang lain. Atau apakah sila-sila yang lima itu mempunyai lima sumber pula ? Tidak pula diterangka apa norma-norma yang mengisi tiap-tiap sila tadi.
            Oleh sebab keadaan yang tidak terang ini, oleh sebab kekurangan-kekurangan tadi, maka mungkinlah Panca Sila diterima dan disokong oleh suatu golongan yang sudah terang tidak percaya dengan paling sedikit satu daripada sila-sila itu. Dengan kata lain dikalangan yang menyokong Panca Sila sendiri belum ada persetujuan tetang apa Panca Sila itu sebenarnya.
            Memang tak seorangpun yang menyangkal bahwa dalam Panca Sila itu terumus ide-ide yang baik. Tetapi keterangan-keterangan yang kita dapat dari penyokong Panca Sila itu sendiri menunjukan bahwa mereka itu sendiri tidak menentukan apa isinya yang sebenarnya, apa urutan (volgordennya), apa asalnya, nucleus (intinya) dan apa hubungannya, interdependencenya atau sama lain. Oleh karena ini tidank terang maka kesulitan-kesulitan akan terus menjalar. Oleh karena asas Negara kita itu harus terang dan tegas agar dapat membimbing bangsa kita, maka sulitlah bagi golongan kami untuk menerima sesuatu yang tidak tegas.
            Sifat tidak tegas ini juga disebabkan oleh Panca Sila sendiri. Panca Sila itu adalah suatu abstraksi, suatu “pure concept” yang pada kenyataan tidak bisa berdiri sendiri. Kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita pakai. Angka 5 umpamanya dalam realitet tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataan, kita hanya dapat menemui umpamanya, 5 kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal dan seterusnya. Jadi angka 5 ini dalam realitet selamanya tergabung dengan suatu ikatan subtansi. Demikian juga Panca Sila sebagai “pure concept” kalau hendak menjadi realitet, mesti menjadi satu dengan dan tak dapat dipisahkan dari norma-norma dan hubungan-hubungan positif yang menjadi subtansinya.
            Bila berdiri sendiri, ia bukan realitet, tidak berwujud apa-apa.

Saudara ketua !
            Tetapi Panca Sila tidak mau mencari subtansi atau mengakarkan dirinya pada salah satu ideology yang sudah ada. Ia mau tetap berdiri sendiri. Sebab kalau ia mengakarkan diri Panca Sila itu akan mempunyai corak satu ideology yang tentu-tentu. Entahkah corak Islam atau komunisme. Tapi memilih corak dan isi itu benarlah yang dipantangkan oleh panca sila.
            Panca Sila mau tetap netral.
            Memang raison de’etre-nya Panca Sila, alasan untuk mau adanya Panca Sila itu sendiri adalah mau netral.
            Panca Sila mau berdiri netral di atas semua ideology yang ada. Berdiri netral di demikian tinggi di atas segala-galanya, di atas semua yang bergelora dalam sanubari manusia Indonesia, sehingga ia tidak mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat.
            Panca Sila ingin terus netral tanpa warna.
            Kalau ia memilih salah satu warna, salah satu ideology ia akan bercorak, ia tak akan netral lagi, raison de’etrenya sebagai gemene deler sebagai hidupnya tak ada lagi, ia bukan Panca Sila lagi.
            Lantaran itu Panca Sila akan tetap tak mau menanggalkan netralitetnya, tak mau menerima salah satu subtansi yang positif. Lantaran itu ia tetap mau berdiri sendiri sebagai “pure concept”. Sebagai “pure concept yang berdiri sendiri ia tak merupakan satu realitet di alam positif.
            Lantaran itu Panca Sila tak dapat berwujud apa-apa.
            Rupanya saudara ketua, asal tetap ada sebagai Panca Sila biarlah tak berwujud.
            Inilah suatu tragic yang dialami oleh Panca sila yang sekulair (la diniyah) dan netral.
            Jika demikian bagaimanakah saudara ketua, Panca Sila itu bisa dijadikan dasar Negara.
            Itulah sebabnya sebagaimana yang saya katakana pada permulaan keterangan ini, Panca Sila sebagai fallsafah Negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa ummat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideology yang tegas, terang dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni islam.
            Dari ideology islam ke Panca Sila bagi ummat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa. Betul demikian ibaratnya saudara ketua.

Seruan Kepada Pendukung Panca Sila

Saudara ketua !
            Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Panca Sila.
            Sila-sila yang saudara-saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai “pure concept” yang sterile, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai subtansi yang real dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah Negara, saudara-saudara pembela Panca Sila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Panca Sila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi, tegas dan mengandung kekuatan.
            Tak ada satupun dari lima sila yang terumus dalam Panca Sila itu, yang terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menrima Islam sebagai dasar Negara.
            Dalam Islam terdapat qaidah-qaidah yang tentu-tentu, dimana “pure concept” dari sila yang lima itu mendapat subtansi yang rela, mendapat jiwa dan roh penggerak.
            Kepada saudara-saudara yang memejukan social ekonomi sebagai dasar, saya berseru dalam Islam saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep social yang progressive.

8.    Bukan Sekulair, bukan Theokrasi, tapi “Theistic Demokrasi”

Saudara ketua !
            Islam adalah satu agama.
            Satu agam yang hidup dalam sebagian terbesar dari rakyat Indonesia. Bukan itu saja, Islam itu adalah satu ideology. Islam bukanlah semata-mata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan Tuhan. Islam mengandung dua unsur. Unsur hubungan manusia dengan TuhanNya, dan unsure hubungan manusia dengan sesama makhluk. Unsur ibadah dan muamalah.
            Unsur yang kedua ini, unsure muamalah meliputi hidup orang perseorangan, kekeluargaan dan hidup kenegaraan.
            Dalam menghadapi soal kenegaraan seperti undang-undang dasar Negara, dengan sendirinya kita terutama berhadapan dengan ajaran-ajaran Islam yang tersimpan didalam unsur yang kedua tadi, yakni unsur muamalah.
            Orang barangkali bertanya-tanya, bagaimanakah Islam dapat mengatur Negara yang modern ini yang harus menghadapi 1001 macam soal yang berbelit-belit.
            Untuk menghilangkan kewas-wasan yang demikian itu dapat saya tegaskan bahwa orang tidak usah bertanya, bagaimana kiranya cara membuat begroting menurut Islam, deviezen-regeling menurut Islam, mengatur lalu lintas dan yang semacam itu, menurut Islam.
            Islam mempunyai satu qaidah, yaitu : Yang mengenai soal ibadah, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, - “semua terlarang, kecuali yang diperintahkan”. Dan apa yang mengenai hidup keduniaan, “semua boleh, kecuali yang terlarang”. Menurut istilah juris-prudensi Islam hal itu dinamakan ; “al bara atul ashliyah”.
            Islam memberikan dasar-dasar pokok untuk mengatur hidup keduniaan yang bersifat abadi. Lain daripada itu menerangkan batas-batas (hudud) yang boleh dan tidak boleh, batas-batas mana tak dapat tidak harus diindahkan oleh manusia untuk keselamatan dan sejahteraan manusia sendiri, baik pribadi maupun masyarakatnya.
            Disamping qaidah-qaidah yang sudah ditetapkan dan beberapa batas-batas yang perlu diindahkan untuk keselamatan manusia sendiri, maka terbukalah bagi manusia bidang yang amat luas untuk mengambil inisiatif mempergunakan rasio atau ijtihadnya dalam semua lapangan hidup sesuai dengan kemajuan serta tuntutan ruang dan waktu.
            Agama, dalam bidang ini baru mencampuri apabila usaha-usaha tindakan-tindakan atas ijtihad dan rasio itu, akan terbentur kepada batas-batas moral keadilan, perikemanusiaan, yang sudah digelapkan oleh agama.

Saudara ketua !
            Semua qaidah-qaidah itu akan bertemu satu persatu, tiap-tiap kali kita membahas sesuatu soal yang harus kita muat dalam UUD kita nanti : tentang soal hak-hak asasi, bentuk Negara, tentang dasar social dan ekonomi dan lain-lain.

Saudara ketua, timbul pertanyaan :
            Apakah sekarang Negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu Negara theocratie ?
            Theokrasi adalah system kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu prieshood (system kependetaan), yang mempunyai hierarki (tingkat betingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu.
            Jadi Negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu theokrasi.
            Ia Negara demokrasi.
            Ia bukan pula Negara sekulair seperti yang saya uraikan lebih dulu.
            Ia adalah Negara demokrasi Islam
            Dan kalaulah saudara ketua, orang hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali Negara yang berdasarkan Islam itu dapat di sebut Theistic Democratie.

Saudar ketua !
            Saya mengharapkan, fraksi kami akan mendapat kesempatan yang luas, baik dalam siding P.P.K dan komisi-komisi selanjutnya, untuk mengintrodusir qaidah-qaidah yang saya maksudkan tadi itu.

Islam memeliha nilai-nilai yang ada, menumbuhkan yang belum ada.

Saudara ketua !
            Disini saya mencoba mengintrodusir beberapa hanya saja dari qaidah-qaidah dari Islam dalam garis besarnya.


Saudara ketua !
            Kita mengatakan bahwa ada pada bangsa kita nilai-nilai yang hidup dan baik-baik, seperti tolong-menolong. Kalau orang tidak mau mengatakan, bahwa Islamlah yang mulai mengajarkan nilai-nilai yang baik itu, maka nyatalah bahwa Islam telah berjasa dalam memeliharanya.
            Memang Islam sejak mula lahirnya terswimpul dalam sabda Nabi Muhammad saw. : bu’istulli utammima makarimal akhlaq, “aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan nilai-nilai akhlak yang baik”. Nilai-nilai yang baik itupun, ketika Nabi diutus adalah peninggalan dari ajaran Nabi-nabi yang terdahulu sebagaimana diwahyukan Tuhan kepada mereka. Oleh sebab itu maka didalam kita sekarang hendak menentukan dasar Negara, kita memang bermaksud memelihara nilai-nilai yang baik dalam bangsa kita.
            Maka jikalau Islam menjadi dasar Negara, dengan sendirinya dia segera akan melihat dan memeriksa, apa nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat.
            Islam misalnya, segera melihat, bahwa pada bangsa kita ada nilai kesukaan tolong-menolong. Ini saudara ketua sebagai contoh yang sederhana dan yang mudah diraba terdapatnya pada bangsa kita. Sebab saudara ketua, ia termaksud ajaran islam. Saya ingin menegaskan suatu perintah agama sebagaimana disebut didalam Al Qur’an “Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa”, artinya : bertolong-tolonglah kamu dalam kewajiban dan dalam berbakti kepada Tuhan”. Ini bahagian yang positivenya.
            Maka manakala timbul gejala-gejala yang negative pada bangsa kita, umpamanya pada saat-saat sekumpulan manusia sesak nafas sehingga memungkinkan timbulnya nafsu-nafsu yang angkara murka, dan bersekutu untuk berbuat suatu kemungkaran, Islampun dating dengan tegurannya, sebagaimana  terdapat dalam Al Quraan ; “wala ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan”. Artinya : “janganlah kamu bertolong-tolongan atas dosa dan bermusuh-musuhan.”
            Satu lagi saudara ketua, misalnya kita dapati pula satu nilai baik yang kita banggakan adanya didalam diri bangsa kita, yaitu : Nilai demikrasi atau musyawarah.
            Islam berkata : nilai musyawarah ini dalam mengatur hidup, baik dalam masyarakat ataupun dalam hidup kenegaraan harus dipelihara dan dihidup suburkan. Sebab, adalah satu ketentuan dalam ajaran Islam supaya dalam mengatur urusan yang mengenai orang banyak itu si penguasa harus memperoleh keridhaan dari pada orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatu yang mengenai perikehidupan dan kepentingan rakyat banyak. Ada peraturan yang tegas yang berbunyi ; “wa syawirhum fil amri”. (bermusyawarahlah kamu dengan mereka didalam urusan yang mengenai diri mereka). Ini satu ketentuan, lebih tegas lagi saudara ketua, suatu perintah agama yang dengan sendirinya dirasakan oleh orang yang beriman mempunyai sakti agama.
            Dan jikalau kita katakana bahwa demokrasi atau musyawarah itu menjadi salah satu soko guru dalam pembinaan Negara kita, maka justru dalam soal ini pula terdapat banyak sekali contoh yang diberikan Nabi Besar Muhammad saw. Dan para sahabatnya, pada masa seluruh dunia pada waktu itu tenggelam didalam alam despotisme, feodalisme, oligarki dan diktatur. Contoh itu mudah akan didapat bagi orang-orang yang mau membaca literature Islam.

Saudara ketua !
            Ada lagi satu niali baik yang terdapt pada bangsa  kita, yaitu bangsa kita mencintai tanah airnya. Dan cinta tanah air dan bangsa itu memang fithrah manusia.
            Nilai inipun harus dipelihara dan dipupuk. Apa kata Islam tentang nilai ini ? Al Quraan menjawab demikian : “wa ja alnakum syu’ban wa qaba ila lita arafu”, yang maksudnya : Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu kenal mengenal yang menimbulkan harga-menghargai, memberi dan menerima serta tolong-menolong.
            Ayat ini tegasnya mengakui adanya kebangsaan. Malah lebih teliti, disitu disebutkan, bahwa kebangsaan itu tidak usah melenyapkan suku-suku bangsa. Dan malah ayat itu menunjukkan hikmah Tuhan mengadakan bangsa dan suku bangsa. Yakni supaya dengan demikian terjadi kenal mengenal dan harga menghargai.
            Perasaan kebangsaan seperti saya katakana di atas termaksud fithrah manusia. Islam dalam seluruh ajarannya senantyasa memperhatikan apa yang menjadi fithrah manusia. Maka tidak heran apabila kita mendengar ayat-ayat tadi dengan sengaja menegaskan bahwa bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa itu dijadikan untuk tujuan yang baik, yang ringkasnya : berkerjasama. Dan dengan sendirinya Islam memelihara cinta tanah air dan bangsa sebagai nilai yang baik dan sesuai dengan fithrah manusia.
            Ini bahagian positivenya, saudara ketua, yang Islam menghadapinya dengan tegas.
            Disamping itu Islampun telah lebih dulu melihat dan mengetahui adanya bahagian yang negative dari pada nilai tadi. Yaitu cinta bangsa, atau katakanlah, kebangsaan yang berlebih-lebihan, yang biasanya merosot menimbulkan kecongkakan dan kesmbongan bangsa, chauvinisme, racialisme, dan xenophoby. ! Sehingga satu bangsa merasa dirinya lebih tinggi dan lebih mulia dari bangsa atau suku bangsa yang lain.
            Sudah dahulu diketahui itu oleh Islam. Sebab itu maka ayat tadi yang berbunyi “Waja’alnakum syu’uban waqaba ila lita’arafu”, bukan berhenti sampai disitu saja, melainkan diikuti dengan peringatan Tuhan yang maksudnya : “walau berapapun anggapan kamu akan dirinya lebih mulia dari yang lain, pada hakikatnya yang termulia diantara kamu hanyalah yang paling bertaqwa kepada Tuhan, dan yang berbuat kebajikan : “inna akramakum ‘indaLlahi atqa’kum.”

013. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al hujuraat (49) ayat 13)

Saudara ketua !
            Satu nilai lagi yang baik juga terdapat pada bangsa kita, yaitu cinta kemerdekaan. Cinta kemerdekaan ini terutama kentara sekali sesudah kita merdeka dan berdaulat. Cinta kemerdekaan adalah suatu fithrah yang berjalin dengan cinta tanah air.
            Coba kita melihat saudara ketua, bagaimana cinta kemerdekaan itu tatkala kita belum merdeka. Tiga ratus tahun lamanya bangsa kita dijajah oleh belanda.
            Islam memelihara nilai cinta kemerdekaan ini, membangkitkan serta mengobarkan nilai itu di mana-mana ia belum tumbuh. Andai kata, ada satu bangsa yang karena penjajahan menjadi mati jiwanya dan mau tunduk saja diperlakukan sewenang-wenang, bangsa yang demikian itu akan dibangkitkan jiwanya oleh Islam untuk melawan, memberontak, berperang terhadap penjajahan kolonialisme. Dengan tegas Al Quraan mengenai yang demikian ini berkata :

yang maksudnya : “diizinkan untuk berperang bagi mereka yang diperlakukan sewenang-wenang. Allah berjanji akan memberi kemenangan kepada mereka, ialah mereka yang telah disingkirkan dari tanah airnya dengan sewenang-wenang.”(al hajj (22) ayat 39)

Satu lagi saudara ketua !
            Dan jika kita mau menghitung lagi satu nilai, yang mestinya terdapat pada jiwa bangsa kita ialah : kesukaan membela yang lemah. Nilai inipun seperti nilai-nilai baik yang saya sebutkan tadi, dan berbagai lagi nilai yang lain, mesti dipelihara juga oleh ajaran Islam. Malah Islam dengan ajaran-ajrannya membangkitkan kemauan yang spontan untuk membela yang lemah. Adakah saudara ketua ajaran mengenai hal itu lebih tegas dari pada apa yang dikatakan oleh Quraan.
Begini Quraan berkata :

075. Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (an nisa (4) ayat 75)          
            Bukan semata-mata menyuruh membela orang yang lemah dengan arti yang biasa, akan tetapi Islam mengajak mengangkat senjata dan mempertaruhkan jiwa untuk melepaskan kaum yang lemah daripada tindasan yang tadinya sudah tidak berdaya dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengeluh, dan merintih dan hanya dapat berkata : “Ya Tuhan kami, singkirkanlah kami dari negeri tempat kami diperlakukan oleh sipenguasa dengan sewenang-wenang.”

Saudara ketua !
            Jika sekarang orang sering-sering menyebut memberantas penindasan, atau pemerasan manusia atas manusia, yaitu yang biasanya olebih popular dikenal ucapan dalam bahasa lain : “explotation of man by man” itu, maka sejak 14 abad yang lampau Islam sudah meletakkan nilai membela dan melindungi si lemah, memberantas “explotation man by man” itu berupa perintah yang setegas-tegasnya seperti tersebut dalam ayat Quraan di atas
            Hati orang yang beriman dengan sendirinya akan bergerak oleh perintah agam tadi untuk melaksanakan tugas tersebut, walaupun dengan mempertaruhkan jiwanya, andai katapun tidak ada propaganda dari luar yang mengajaknya.
            Maka oleh karenanya ummat yang beriman mustahil akan membiarkan sesuatu penindasan dan exploitasi atas orang lain, apalagi atas dirinya sendiri.
            Perintah yang diajarkan Islam tadi saudara ketua itulah perintah yang tersimpul dalam kata “al jihad”. Dan kata al jihad ini sudah cukup popular dalam kalangan bangsa kita, terutama karena andil yang diberikan umat Islam didalam perjuangan kemerdekaan yang baru lalu. Pemimpin-pemimpin kita saudara ketua sebenarnya tahu akan pengaruh kalimat “jihad” itu dalam hati sanubari rakyat kita.
            Oleh karena itu baik oleh pemimpin-pemimpin yang percaya atau yang tidak percaya, seruan kalimat jihad itu dipakai untuk menggerakkan jiwa dan raga rakyat untuk berperang mengusir penjajah dalam revolusi kemerdekaan kita. Hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Seruan perang tersebut tidaklah akan sebesar itu hasilnya andaikata semangat berjihad itu tidak sudah berakar lama dalam kalbu rakyat. Yaitu rakyat yang dibawah pimpinan para ulama, diajar oleh agamanya : “berjihad fi sabiliLLah.”

Satu lagi saudara ketua !
            Ada satu nilai yang terdapat dalam bangsa kita, yakni : nilai tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi hidup.
            Islam berkata : nilai ini harus dipelihara baik-baik dan dihidup suburkan agar semua lapisan masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus dan hendak memperkaya diri dengan menumpukkan harta, emas dan perak, sekedar untuk dilihat dan dihitung, untuk kesenangan diri sendiri dengan tidak mengacuhkan masyarakat disekelilingnya, maka dengan tergas pula Islam mencegah dan memberantas nafsu demikian itu, yang dalam bahasa lain popular disebut kapitalisme.
Islam dengan tegas mengancam orang yang demikian :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi  dari jalan Allah. Dan orang-orang  yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,  siksa yang pedih,(at taubah (9) ayat 34)
Islam berkata : tiap-tiap individu berhak untuk memiliki harta. Hak milik itu adalah sebahigian fithrah manusia pula. Tetapi Islam menegaskan disamping hak untuk memiliki harta, terletak kewajiban yang harus dipenuhi pemiliknya.
            Yakni : Islam berkata dengan tegas, bahwa harta yang dimiliki harus memancarkan faedah dan manfaat bagi golongan yang tidak memilikinya (have nots). Harta dan milik tidak boleh ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri. Harta itu harus dimasukkan kedalam produksi-proses untuk mempertinggi kemakmuran sehingga lebih merata untuk rakyat banyak.
            Bagi ummat yang beriman tegoran dan petunjuk Islam itu dirasakan sebagai tuntunan yang langsung dari Illahi, yang harus ditaatinya dan dilaksanakannya sebagai seorang anggota masyarakat., terhadap kesejahteraan masyarakat mana ia bertanggung jawab. Oleh karena itu, bila dia mendengar istilah yang lebih populer seperti istilah-istilah : “hak milik mempunyai fungsi social”, maka pengertian kata-kata yang demikian itu bagi mereka dirasakan lebih mendalam dari sekedar perumusan kata-kata dalam undang-undang, sebab sudah lebih dulu Agamanya sendiri telah mengajarakan demikian kepadanya.
            Akhirnya disamping ada banyak nilai-nilai yang lain lagi terdapat pula dikalangan bngasa kita satu nilai yang berharga, yaitu : nilai toleransi antar pemeluk-pemeluk agama.”
            Dimana ini sudah ada, Islam berkata : ini harus dipelihara dan disuburkan baik-baik. Ditegaskannya satu kaidah atau prinsip : “tidak ada paksaan dalam agama”.

256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al baqarah (2) ayat 256)
            Iman dan kepercayaan itu adalah kurnia Illahi yang dimiliki oleh tiap-tiap perseorangan yang mencarinya dengan kesungguhan hati.
            Maka setelah menegaskan kemerdekaan memeluk agama ini, Islam berkata : bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang menyembah Tuhan. Malah saudara ketua mem[ertahankan kemerdekaan menyembah Tuhan ini bagi orang yang beriman bukanlah sekedar bunga bibir. Toleransi yang diajarakan oleh Al Quraan golongan agama bukanlah semata-mata toleransi yang negative. Akan tetapi toleransi yang mewajibkan tiap-tiap pemeluknya untuk berjuang, malah untuk mempertaruhkan jiwa nya dimana perlu, unutk menjunjung kemerdekaan beragama, bukan bagi agam Islam saja, akan tetapi juga bagi agam-agama yang lain, agama-agama ahli kitab. Yakni memperlindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam gereja, biara, sinagog dan masjid dimana disebut nama Allah.
            Demikian ketentuan yang tegas diberikan oleh Islam sebagai pegangan bagi pengikut-pengikutnya.

040. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (al hajj (22) ayat 40)
            Kita tahu bahwa kecintaan kepada agama masing-masing itu tempo-tempo bisa menimbulkan ta’asub agama atau fanatisme yang berlebih-lebihan. Oleh karena itulah Islam didalam ajarannya tentang ini amat tegas dan terang untuk menghindarkan yang demikian itu.
            Demikian Nabi Muhammad saw. Memberikan contoh yang nyata-nyata bagaimana harus bersikap toleran terhadap pemeluk-pemeluk agama lain didalam Negara yang dalam pimpinannya,
            Bagaimana kata beliau dihadapkan kaum ahli kitab yakni pemeluk agama nasrani diwaktu itu :
            “Aku diperintah (oleh Tuhan) supaya berlaku adil terhadapmu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan mu. Bagi kami amalan kami. Bagi kamu amalan kamu. Tak ada persengketaan diantara kami dengan kamu. Allah juga yang akan memprtemukan kita dan kepada-Nya lah kita kembali semuanya.”
           
            Demikian dengan sungguh-sungguh dan nyata Islam meletakkan dasar akhlak yang baik, dasar toleransi yang positive kepada sesama beragama, malah meletakkan tanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan beragama itu.
            Demikian keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang menganut agama Islam sebagai pedoman hidupnya, yang harus dibuktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai suatu niali yang dianggapnya suci.
            Dan kalau dalam Negara kita ini menjadi persoalan, bagaimanakah menjaga kemerdekaan beragama, dan kalau dalam Negara ini dimana terdapat dua –tiga alitran-aliran agama hendak ditanamkan dan di hidup suburkan dasar-dasar keragaman hidup antar agama, maka terang dan nyatalah bahwa yang demikian itu dapat dicapai dengan menegakkan dan menyuburkan kalimat Allah ini, yang sudah ditebarkan benihnya didalam kalbu sebahagian besar daripada bangsa kita.
           
Saudara ketua !
            Nilai ini dirasakan oleh ummat Islam sebagai nilai yang suci yang menjadi pedoman dan pegangan hidup baginya. Jauh lebih kuat dan berakar dalam kalbu mereka dan lebih mampu untuk menjaga kemerdekaan beragama dan menghidup suburkan keragaman hiduip beragama, daripada perumusan satu “pureconcept”, sila “ketuhanan yang maha esa”, yang dirasakan oleh mereka sebagai satu perumusan kata-kata yang sterile dan hampa.

Saudara ketua !
            Alangkah banyaknya lagi nilai-nilai baik yang tersimpan dalam tubuh bangsa kita, yang menurut kami adanya berasal dari ajaran agama Islam yang dipeluk oleh kebanyakan bangsa kita.
            Apa yang saya kemukakan di atas hanya beberapa saja.

Kesimpulan-kesimpulan

            Apa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tadi itu ?
            Kesimpulan ialah, bahwa :
1. Islam telah lebih dulu menanamkan dan menghidup suburkan pelbagai nilai baik, dan berakar kuat dalam  
    keseluruhan ajarannya, yang bersumber pada tauhid. Tauhid yang berarti percaya akan adanya Tuhan  
    yang diagungkakan, menyebabkan rakyat kita, dalam diri masing-masing, menyimpan perasaan taqwa 
    kepada Tuhan. Tuhan baginya yang paling berdaulat diatas semua kedaulatan-kedaulatan duniawi.

Saudara ketua !
2. Negara adalah alat atau yang kita namakan institution. Negara dengan perundang-undangan dan alat   
    pelengkapnya mengatur berjalannya hukum, untuk keselamatan dan kesejahteraan Negara dan rakyat. 
    Adapun yang dinamakan “staatsbewust” itu sebenarnya ialah ketaatankepada peraturan-peraturan 
    Negara.
3. Sampai sekarang saudara ketua, kita sudah 12 tahun bernegara merdeka
    Berapakah sesungguhnya banyak jumlah rakyat kita yang sudah mengetahui peraturan-peraturan      
    Negara itu, terutama misalnya Undang-undang Hukum Pidana, atau kitab KUHP, sehingga dapatlah 
    tercegah rakyat itu melakukan perbuatan pidana.
    Tetapi rakyat kita saudar ketua sudah tahu sebelum adanya KUHP dizaman colonial atau dizaman 
    kemerdekaan ini, -apa yang didalam bahasa umum disebutkan dengan istilah “halal dan haram”, satu istilah 
    yang terang berasal dari ajaran Islam.
    Maka saudara ketua, mereka menjauhi suatu perbuatan pidana, bukan terutama disebabkan oleh karena 
    mengetahui apa-apa yang disebut dalam KUHP itu. Akan tetapi disebabkan oleh karena agamanya sudah 
    lebih dulu menentukan batas antara yang halal dan yang haram, batas antara yang boleh dan yang tak 
    boleh, batas antara yang patut dan tak patut. Dan ketaatan mereka kepada hukum-hukum itu bersumber 
    kepada Tauhid, kepada pengakuan akan, dan ketaatan kepada Kedaulatan Tuhan, kedaulatan yang 
    mutlak.
    Kita mesti bersyukur saudara ketua, kita mempunyai rakyat yang telah memusatkan perikehidupan lahir 
    dan bathinnya, kepada pengakuan akan dan ketaatan kepada Kedaulatan Tuhan yang mutlak, yang 
    mengatasi semua kedaulatan itu. Sehingga mereka itu dapat menuntun dirinya sendiri sebagai manusia yang 
    bebas merdeka dan yang bertanggung jawab, atas keselamatan dan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai 
    manusia yang bebas merdeka dan yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan diri, 
    keluarga dan masyarakat serta negaranya.
4. Alangkah susahnya saudara ketua, sekiranya untuk menjaga tingkah laku dan tindakan-tindakan puluhan 
    milyun rakyat itu, yang bertebaran diseluruh tanah air, dari pinggir pantai ke gunung-gunung, hanya dapat 
    dilakukan dengan kekuatan polisi, jaksa dan penjara-penjara, untuk menegakkan hukum.Pada akhirnya 
    saudra ketua, yang dinamakan state philosophy, atau dasar Negara itu ialah satu dasar yang mampu 
    membangunkan jiwa dan membina rakyat lahir dan bathin, sehingga menjadi satu bangsa yang berakhlak, 
    bangsa susila kata orang sekarang, yang dapat mengatur diri sendiri, tanpa setiap waktu harus ditindaki 
    oleh aparat-aparat Negara

Maka saudara ketua, hanya satu state philosophy yang berpusat kepada kepercayaan dan kaetaatan kepada kedaulatan Tuhan yang mutlak sebagai sumber hukum dan nilai-nilai hidup itulah yang dapat melakukan fungsi yang demikian.
(Tentang kedaulatan Tuhan ini, sebagai “gravitional centre” segala-galanya dalam Islam, sudah panjang lebar dikupas oleh saudara se-fraksi saya saudara Osman Raliby tanggal 21 Mei 1957, dalam siding pleno yang lalu bahagian pidatonya itu bersama ini saya lampirkan).
Itulah sebenarnya saudara ketua, maka dalam saya menyebut nilai-nilai tadi, senantiasa saya hubungkan dengan sumber asalnya, yaitu wahyu Illahy. Zonder adanya sumber itu, tegasnya agama, maka perumusan-perumusan nilai itu akan hampa dan steril.
Adapun state philosophy atau dasar Negara yang akan dirumuskan, apabila tidak berpusat dan mendapat nucleus didalam kedaulatan tuhan yang mutlak, perumusan itu akan merupakan butir-butir pasir yang kering, yang tidak ada mengandung kekuatan apapun juga.
Tegasnya saudara ketua :
Bukan butir-butir perumusan nilai, tetapi sumber nilai-nilai itu sendiri, yang harus dijadikan dasar Negara.
Maka oleh karena itulah, saudara ketua, ummat Islam menghendaki Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia ini.

Penutup saudara ketua :
            Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita selanjutnya tak dapat melepaskan diri dari poko persoalan yang dihadapi oleh Ummat Manusia dalam abad ke-20 ini.
            Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnonologi dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi yang paling tinggi dalam sejarah manusia.
            Dalam kegiatan menaklukan materi yang ada disekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai mahkluk Tuhan.
            Maka disamping segala hasil kemajuan materi yang melimpah-limpah itu, disertai oleh berpalingnya manusia dari tuntunan Illahi, ternyatalah segala sesuatunya mengakibatkan pula keseimbangan hidup yang amat berbahaya itu justru makin kelihatan gejala-gejalanya dalam kalangan mereka yang paling maju dalam arti hidup duniawi itu, dalam alam yang di kusai oleh paham sekularisme, yang hanya pandai merusakkan nilai-nilai hidup beragama tetapi sama sekali tak mampu memberi pegangan hidup yang teguh sebagai penggantinya.
            Dengan kemampuannya untuk menguasai dan mempergunakan kekuatan alam sekitarnya, dengan maksud untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dan berbahagia, makin lama mereka malah makin terkurung didalam lingkaran kekhawatiran dan ketakutan, mengingatkan bencana yang akan menimpa, menghancur leburkan ummat manusia, disebabkan oleh hasil ilmu dan buatan tangannya sendiri.

041. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (ar ruum (30) ayat 41)
            Meraka yang mulai sadar akan bencana yang mengancam itu, mulailah mencari-cari dan meraba-raba jalan kembali, untuk memperoleh pegangan hidup dan keseimbangan hidup. Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan sebagai orang dipersimpangan jalan : apakah akan meneruskan sekularisme dengan segala akibat-akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntunan Illahi, sehingga akan terbuktilah firman Illahi.

053. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?(fushlihat (41) ayat 53)
            Maka saudara ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siang-siang menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintiskan jalannya memberikan dasar-dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fithrah manusia, agar bangsa kita itu memiliki keseimbangan hidup yang stabil, seimbang akal dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan Illahi.

            QUL HADZIHI SABIILII UDZ’UWILALLAHI ALA BASHIRATIN ANA WA MAN TABAANII FASUBHANALLAHI WA MAA ANA MINALMUSRIKIIN.

Terimakasih.



LAMPIRAN :

FRAGMEN DARI PIDATO SAUDARA OSMAN RALIBY DALAM SIDANG PLENO KONSTITUANTE
TANGGAL 21 MEI 1957

            Saudara ketua, memang kedaulatan sesungguhnya itu real souvreignty itu, tidak terdapat dalam masyarakat makhluk manusia.
            Kedaulatan yang sesungguhnya itu adalah kepunyaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, sedang kekuasaan atau autoriteit yang seharusnya kita lakukan adalah satu amanat  suci, satu sacred trust, yang sewajarnya berada dalam batas-batas kehendak Allah.
            Walaupun kita tetap menutup mata terhadap kebenaran yang saya katakana ini dan menyelubungi juga seseorang manusia, atau sejumlah besar ummat manusia, ataupun sesuatu badan tertentu, dengan pakaian kedaulatan itu, namun saudara ketua, kita tidak akan dapat melihat satu justifikasi yang sesungguhnya dari usaha tersebut. Manusia itu baik secara individual, maupun secara kolektive tidak akan tahan diberikan kedaulatan seperti diinterprestasasikan itu. Watak manusia sudah demikian, baik individual maupun kolektive, dan jika diberikan juga ia kedaulatan seperti tersebut secara kunsmatig, maka akibatnya lekas atau lambat ialah kehancuran bagi ummat itu sendiri, kerubuhan bagi bangsa itu sendiri.
            Tuhan telah mengatakan dalam Al Quraan : waman lam yahkum bima anzal Allaahu fa ulaika humuzzalimun. (barang siapa tidak memakai hukum ciptaan Tuhan, maka sesungguhnya mereka itu orang-orang yang melewati batas).
            Didalam pandangan kami saudara ketua, sesuai dengan ajaran Islam, segala kedaulatan de jure adalah kepunyaan Allah, yang kedaulatan de faktonya adalah inhairent dan jelas tampak didalam segala gerak dan kerja alam semesta. Pun kedaulatan politik adalah punya Nya.
            Segala directiven dan segala perintah dari Yang Maha Esa dan Maha Kuasa itu telah disampaikan kepada kita lewat seorang manusia sempurna yang bernama Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.
            Didalam Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945, saudara ketua, ummat Muhammad ini adalah merupakan suatu jumlah yang terbesar dan bersama-sama saudara sebangsa lainnya telah memberikan pengorbanan yang banyak untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu.
            Kedaulatan itu adalah penting sekali dan merupakan sumber dari kehidupan bangsa.
            Karena itu, saudara ketua, soal kedaulatan ini haruslah menjadi perhatian kita bersama yang sungguh-sungguh dan seksama. Mengenai soal kedaulatan ini jangan lah kita meniru-niru saja pengertian yang berlaku di dunia barat ataupun di dunia timur. Presiden Soekarno sendiri didalam pidato peresmian pembukaan siding konstituante kita ini telah mengamanatkan dan meminta, supaya undang-undang dasar yang akan kita susun itu janganlah hendaknya tiruan dan saduran dari undang-undang dasar yang telah ada di negeri-negeri lain. Sayapun berpendirian demikian, saudara ketua.
            Sudah terang kita harus belajar dan memperhatikan segala pengalaman dari segala bangsa di dunia ini yang mengenai pembuatan undang-undang dasar itu. Tetapi hendaknya sesuai dengan harapan Presiden Soekarno, seyogyanya kita ingat benar-benar, bahwa undang-undang dasar yang kita susun ini adalah untuk bangsa Indonesia. Kita tidak boleh lengah dalam memperhatikan keinginan, jiwa, watak dan pribadi dari bangsa atau rakyat kita itu, yang beraneka ragam adapt istiadatnya, agama dan kepercayaannya.
            Kedaulatan yang seperti saya utarakan tadi sering disalah artikan dan acapkali pula disalah gunakan didalam masyarakat kita. Susunan kenegaraan dalam mana “temporal dan spiritual power” itu dipersatukan secara spontan, akan tetapi salah, selalu disebut theokrasi. Cara berpikir seperti ini hendaknya dapat lambat laun kita lepaskan. Kalu kita toh harus memberikan nama juga terhadap pemerintahan seperti itu, maka tepatnyalah kalau dinamakan nomokrasi. Menurut Oxford Dictionary nomocrasi itu ialah “a system of government based on legal code” atau “the rule of law in community”.
Dan karena dalam Islam itu undang-undang atau hukum itu adalah lebih dulu ada dari Negara dan menajdi dasar dari Negara itu, maka pemerintahan yang berkedaulatan seperti itu sesungguhnya dapatlah dita namakan nomokrasi, dan bukan theokrasi.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda