MENGUNGKAP REALITAS YANG TERKUBUR
PIDATO
KENEGARAAN MOHAMMAD NATSIR
(PIMPINAN
FRAKSI MASYUMI) DALAM SIDANG KONSTITUANTE PADA TANGGAL 12 NOPEMBER 1957
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”
MUKADIMAH
Ada
beberapa hal yang mengiringi setelah membaca buku tipis dan sudah lusuh,
sedikitnya tiga hal utama, yaitu :
1.
Siapa yang memperjuangkan kemerkedaan Indonesia?
2.
Bagaimana kemerdekaan itu di dapat?
3.
Ada apa pra dan paska proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Pertanyaan
pertama tentunya kemerdekaan ini diraih oleh para pejuang, pahlawan yang tidak
mengenal menyerah apalagi putus asa – karena perjuangan ini dilakukan secara
turun temurun dari generasi ke generasi, baik perjuangan dalam
kelompok-kelompok maupun perjuangan dalam skala yang lebih besar. Konon
perjuangan pada awalnya masih bersifat kedaerahan dan kesukuan, kemudian
dimulailah suatu perjuangan baik perjuangan fisik maupun politik dalam skala
nasional. Perjuangan kolektiv bangsa Indonesia dicatat sejarah setelah
berkumpulnya berbagai elemen masyarakat untuk berikrar setia dalam ikatan persatuan
bangsa, bahasa dan tanah air yang satu, yaitu Indonesia, yang kemudian hari
dikenal dengan sebutan sumpah pemuda pada oktober 1928.
Di
tahun yang sama di beberapa daerah di dunia timur, Pergerakan baru Islam juga
muncul di dalam masyarakat modern kemudian berlanjut ke tahun-tahun berikutnya.
Pengikut mereka datang dari unsur-unsur masyarakat modern yang terpelajar,
kepemimpinan mereka tidak mutlak berlatar belakang ulama. Di antaranya yang
paling menonjol dari pergerakan ini adalah Al Ikhwan al Muslimin (Islam
Persaudaraan) didirikan di Mesir 1928m oleh Hasan al-Banna (1906-1949m), dan
Jama'ah al Islami ( Masyarakat Islam), di India 1941 di bawah kepemimpinan
Mawlana Abu al-Ala Mawdudi (1903-1979m). Kelompok ini dan yang sejenisnya,
menentang Islam tradisional, dan ulama konservatif, seperti halnya kritik
terhadap sekularisme berasal dari barat bukan budaya (tsaqofah) Islam.
Argumentasi mereka bahwa Islam adalah jalan hidup utuh dan harus diterapkan di
dalam sistem politik dan ekonomi seperti halnya kewajiban religius individu. (Dari
Encyclopedia Politik dan Agama, ed. Robert Wuthnow. 2 jilid ( Washington,
D.C.: Congressional Triwulanan, Inc., 1998), 383-393
Perjuangan
yang dilakukan adalah perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
imperialis asing baik dari Eropa maupun Asia. Bentuk imperalisme dari
penjajahan tersebut bermula dari keserakahan bangsa (kaum) tertentu akan
perekonomian (kapitalis). Ditandai dengan bersandarnya kapal niaga VOC dari
negeri Belanda di teluk Jakarta di abad ke 15, setidaknya catatan sejarah
Indonesia mencatatnya demikian. Inilah mula pertama, cikal-bakal dari
penjajahan dari kaum imperialis asing – tidak hanya negara Belanda saja yang
mondar-mandir, masuk dan keluar tanah persada nusantara ini hampir
seluruh benua Eropa terwakili untuk menikmati hasil dari nikmat Allah yang
terletak di katulistiwa dan terkenal dengan sebutan nusantara. Karena keindahan
alam serta kekayaannya juga melekat berbagai julukan seprti zamrud katulistiwa,
kalung ratna mutu manikam. Andai saja bumi bisa berbicara dan menjadi saksi,
niscaya bumi akan mengatakan berapa banyak kekayaan bangsa Indonesia yang
di rampok dan di bawa ke negeri mereka untuk kesejahteraan mereka
masing-masing. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang kikir, bangsa Indonesia akan
sangat senang dan merasa bahagia apabila bisa berbagi kekayaan kepada
bangsa-bangsa seluruh dunia, namun bukan dengan paksaan, bukan dengan penipuan,
juga bukan dengan kekerasan
Bangsa
yang lugu, penuh kasih tanpa prasangka telah diperlakukan sewenang-wenang,
dianiaya, diambil hartanya, dipaksa berkerja tanpa upah yang semestinya,
dipisahkan anak dengan orang tua – isteri dengan suaminya, dilecehkan. Semua di
bawah tekanan mulut bayonet yang menakutkan, dibawah ancaman panasnya timah
yang bisa menembus kulit daging manusia.
Kekejian
dan kekerasan itu bukan tanpa perlawanan, semua kemungkaran itu berusaha
dilenyapkan perlawananpun dilakukan, namun kekuatan musuh begitu besarnya.
Dengan modal semangat keyakinan, dan berusaha untuk menegakkan kebenaran serta
memberantas kemungkaran. Perlawanan demi perlawanan dilakukan – meskipun gagal,
semangat perjuangan “Merdeka atau Mati” terus bergelora, perjuangan perlawanan
untuk kemerdekaan menjadi suatu tradisi kebangsaan.
Ternyata
tidak hanya bumi nusantara saja yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, di
banyak tempat di dunia timur juga melakukan hal yang sama. Kebanyakan daerah
yang di jajah dan memperjuangkan kemerdekaannya adalah negeri-negeri yang
tadinya aman tentram, kaya dan bersahabat, negeri-negeri itu adalah
negeri-negeri dimana Islam memimpin, pimpinan di bawah petunjuk wahyu Illahi.
Semua
ini bukan sekedar teori konspirasi, tetapi adalah fakta sejarah yang berusaha
di kubur oleh pelaku-pelaku sejarah yang arogan dan sadis, sehingga sejarah
bukan lagi menceritakan fakta tetapi merupakan sebuah propaganda kepentingan
penguasa.
Jawaban
dari pertanyaan ke dua, jelas setiap manusia ingin merdeka, ingin bahagia, oleh
karena itu perjuangan fisik dan non fisik dilakukan, upaya-upaya perundingan
dan diplomasi kerap kali dilaksanakan. Yang patut menjadi bahan renungan adalah
akankah penguasa yang kuat melepaskan berbagai keuntungan yang telah
berabad-abad diraih dengan mudah, kemilau untaian permata, emas-perak sampai
tembaga, hasil bumi, hutan, dan rempah-rempah semua mengalir menuju
negara-negara yang secara bergantian menjamah nusantara. Akankah mereka, para
penjajah melepaskan berbagai keuntungan yang melimpah begitu saja? Tentu saja
tidak – amat sangat mudah dimengerti, tapi apakah sejarah menorehnya demikian?
Juga tidak, seakan negeri terjajah seperti Indonesia telah benar-benar merdeka,
semua harta kekayaannya diserahkan kepada penguasa yang baru. Negara Republik
Indonesia bebas dari cengkraman Imperialisme Asing! Benarkah semua itu? Lalu
apa yang terjadi kemudian dan bagaimana negeri ini di bangun? Andai saja banyak
manusia yang perduli tentang kebenaran dari bukti sejarah yang hakiki tentulah
beberapa bangsa di dunia ini tidak akan mengalami keadaan seperti yang terlihat
oleh mata telanjang saat ini. Ironi kemerdekaan dan pembangunan tidak hanya
terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negeri terjajah di belahan bumi
lainnya. Ada tiga kesamaan umum yang dimiliki negeri-negeri bekas penjajahan
ini ;
1. negeri itu
kaya, tapi sejak abad ke 14 tidak pernah merasakan kekayaannya,
2. negeri itu
miskin saat ini, padahal harta kekayaan yang masih tersimpan di permukaan dan
perut buminya masih melimpah,
3. negeri itu
adalah bekas di bawah kepemimpinan Islam.
Yang
menjadi jawaban dari pertanyaan berikutnya akan menghabiskan berlembar-lembar
kertas dan segudang pertanyaan yang beranak pinak. Meskipun demikian dapatlah
kiranya menjadi kesimpulan, bahwa sesungguhnya Indonesia, termaksud
negeri-negeri lain yang senasib “TIDAK PERNAH MERDEKA”, akan tetap miskin
karena kekayaannya dibawa lari ke negeri asing.
Setiap
negeri seharusnya sadar dan mengembalikannya kepada fakta sejarah bahwasannya
mereka semua dahulu dipersatukan oleh kepemimpinan Illahi yang kokoh, sistem
yang kuat sehingga mampu bertahan sampai dengan belasan abad. Tidak ada
kepemimpinan yang mampu bertahan sedemikian lamanya, sekalipun tidak dipungkiri
kepentingan penguasa, kelompok dan individu acap kali menjadi ganjalan dalam
kepemimpinan ini. Kesalahan bukan pada aturan dan sistem tetapi kepada manusia
yang bergeser ideologinya kepada ideologi sekuler dan ideologi kafir lainya.
Perang
ideologi antara ideologi kapitalis barat dan ideologi Islam, pernah dilantunkan
oleh Sidney jones dalam perdebatan di salah satu media elektronik Indonesia
(sctv). Seorang Sidney Jones saja sadar akan kenyataan ini, meski sedikit malu
ia menyatakannya, sudah sepantasnya Ummat Islam seluruh dunia juga sadar dan
menghilangkan kecintaanya terhadap dunia, harta dan kekuasaan yang semu. Berapa
banyak saudara kita seiman yang menjadi korban karena ketidak pedulian
saudaranya sendiri. Islam adalah terikat dengan tali persaudaraan akan iman
sebagai mana sabda RasuluLlah SAW.. Saat ini adalah momen yang tepat
untuk mempertanyakan hal itu. Ataukah mereka dan siapa saja sudah tidak takut
akan ancaman Allah SWT. kemudian membenarkan perbuatan keji dengan dalil agama
maupun bukan agama. Meraup pengikut hanya untuk kepentingan dunia semata, untuk
membela kejahatan yang telah diperbuatnya.
Kaum
agama yang “pragmatis”, menggunakan dalil agama yang dapat mendukung
perilakunya dan membuangnya jika dalil agama menyalahkannya. Jika tidak
membuangnya, setidaknya berusaha menafsirkan dalam bentuk pemikiran kufur (non
agama), atau menganggap dalil agama tersebut sudah tidak relevan dengan situasi
dan kindisinya. Pragmatisme dalam agama sudah sering terjadi yang berujung
kepada sekularisme yang kejam – yang terlahir dari pemikiran kapitalis, dimana
imperialis atau penjajahan adalah halal.
Demikian
pula hal nya dengan para pemikir non agama, jika saja pikiran jernihnya mampu
melihat kebelakang, dimana Islam mengalmi perkembangan yang amat dramatis,
tentulah ia akan melihat bagaimana Islam memimpin dunia ; menjaga siapa saja
seluruh alam, Islam ataupun tidak, manusia ataupun bukan, makhluk hidup maupun
benda mati. Islam menjaganya, melindunginya, memberikan kebebasan bagi
pemikiran dan kehendaknya, tanpa memaksa untuk memeluk Islam sebagai agamanya.
Hanya saja realitas tidak secara lengkap diukir dalam prasasti sejarah dunia.
Terlalu banyak kepentingan yang menyangkut kapital (harta) dan power
(kekuasaan) menutupnya atau menyamarkannya, sehingga ummat manusia dunia
termaksud pemeluk Islam sendiri meragukan akan kepemimpinan Islam dalam
memimpin dunia.
Tidak
satupun sejarah mencatat pemaksaan terhadap suatu kaum kepada Islam, malah
sambutan didapat Islam dari siapa saja yang ia datangi, meminta untuk dinaungi.
Sejarah mengenai kejahatan kemanusian adalah berasal dari barat yang kafir,
Islam sama sekali tidak pernah melakukannya. Berbagai pembunuhan secara
besar-besaran adalah produk kafir bukan Islam. Adapun tudingan dan tuduhan yang
datang belakangan tentang terorisme adalah gaya lempar batu sembunyi tangan,
sebuah konspirasi kambing hitam terhadap Islam. Sejarah Islam terlebih ajarannya
Addin Islam tidak mengenal istilah repressive, perang dilakukan hanya jika
dalam keadaan tertindas dimana kemungkaran terjadi, diperbolehkannya membunuh
hanya pada suatu hal yang menyangkut perbuatan yang keji, seperti : pembunuhan
dan zina. Itupun harus melalui suatu proses pengadilan, dimana keputusan
mengacu kepada syariat Islam, berdasarkan pertimbangan hakim dan membutuhkan
bukti-bukti kuat dan saksi. Hukum hudud didalam Islam adalah penghapus dosa,
dosa atas perbuatan keji tersebut, selain dari pada itu juga menimbulkan efek
jera bagi yang melakukan maupun yang menyaksikan. Oleh karena itu
penyelenggaraan hukuman dilakukan di tempat terbuka, diumumkan untuk
disaksikan.
Memang
dalam rentangan kepemimpinan Islam terjadi juga pertumpahan darah, perebutan
kekuasaan bahkan pengkhianatan. Namun hanya sebagian kecil dari rentangan
sejarah kepemimpinan Islam – dan kejadian menyedihkan itupun sedikit yang mau
menyelidiki mengenai keabsahan dan kebenaran fakta dari jalan ceritanya. Jika
saja para ahli dan sejarawan mau membuka mata, akan terlihat jelas kepentingan
musuh-musuh Islam dalam skenario dari kejadian-kejadian tersebut, tidak hanya
sampai di situ mereka juga memasuki wilayah-wilayah di mana mereka bisa dengan
leluasa menyebarkan fitnah dan kebencian, adu domba dan perampokan, semua
dilakukan secara bersamaan, terorganisir rapi dan bersih sehingga fakta-fakta
tersebut sedianya terkubur. Namun kejahatan tidak akan pernah menang, saat ini
semua itu mulai terkuak satu demi satu, kebusukkan musuh-musuh Islam mulai
tercium dan terlihat keburukkannya, masyarakat muslimin semakin sadar dan tahu
bahwasannya mereka sedang berperang dalam suatu pertempuran yang lebih dasyat
dari perang badr.
Dalam
buku yang berisi pidato Muhammad Natsir di dalam sidang konstituate ini
menjelaskan bagaimana Hukum Islam adalah hukum yang universal, agama Islam
adalah Addin yang berarti Nizham / peraturan yang harus dilaksanakan jika
menginginkan keselamatan, kebaikan, keadilan dan kebahagian. Dan melalui buku
ini juga sebenarnya Islam pernah ditawarkan kepada masyarakat Indonesia untuk
menjadi petunjuk jalan, yaitu hukum-hukum Islam (Al Quraan, Sunnah dan Ijma
Ulama berdasarkan Al Quraan dan Sunnah). Islam berasal dari Tuhan Semesta Alam,
Allah SWT., yang di amanahkan penyampainya kepada Muhammad SAW., tidak hanya
untuk dijadikan sebagai nilai-nilai akhlak, tetapi juga mengenai semua segi
pengaturan dari tiap sudut kehidupan yang luas. Tidak ada pengaturan yang
sedemikan lengkapnya kecuali Islam yang menyajikannya.
Setelah
membaca buku pidato kenegaraan ini, kemudian cobalah mengaitkannya,
menghubungkannya dengan realitas masa sekarang, dimana bangsa ini bukannya
bergerak maju kedepan – merealisasikan kemerdekaan yang telah dengan susah
payah di capai pendahulu-pendahulu kita. Tetapi malah sebaliknya, bangsa ini
setapak demi setapak, perlahan namun pasti, bergerak mundur menuju kepada
situasi di masa sebelum kemerdekaan, artinya bangsa ini dan masyarakatnya tetap
terjajah, bahkan semakin kuat kuku-kuku imperialis asing tertancap ke dalam daging
bangsa dan masyarakat Indonesia.
Sebagai
akhir dari mukadimah ini, semoga Allah SWT. mempermudah dan mempercepat langkah
kita kepada kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka dengan sebenar-benarnya –
kemerdekaan yang jelas arah dari mana datangnya dan kemana akan perginya.
Sebuah kemerdekaan yang di dasari kepada kesadaran berpikir masyarakat akan
hakikat dirinya sebagai manusia yang hidup dalam kehidupan yang fana. Kesadaran
yang menenangkan hati kita, menyatukan tiap-tiap jiwa manusia menuju kepada Pencipta
nya melalui aturan-aturan Sang Pencipta.
Bandung,
16 September 2007 / 4 Ramadhan 1428
DARI
HAMKA :
Kepada Saudaraku M. Natsir ;
Meskipun bersilang keris dileher
Berkilat pedang dihadapan matamu
Namun
yang benar kau sebut jugaCita Muhammad biarlah lahirBongkar apinya sampai
bertemuHidangkan diatas persada nusa
Suaramu wai Natsir, suara kaum-mu
Suaramu wai Natsir, suara kaum-mu
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri disebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Kemana lagi, Natsir, kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridla Ilahi
Dan akupun masukkan !
Dalam daftarmu..........
HAMKA
Bandung, 13 November 1957
(dalam sidang konstituante)
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”
1.
Konfrontasi dalam
suasana toleransi.
Saudara.Ketua
!
Terlebiha dulu saya menyatakan penghargaan saya kepada Panitia Persiapan
Konstitusi yang sudah melakukan tugasnya, menjelajah serta merumuskan
pikiran-pikiran yang hidup dalam pelbagai aliran dalam konstituante ini menjadi
masalah pokok, dasar negara, yang hendak sama-sama kita bahas dalam beberapa
hari yang akan datang ini.
Laporan ringkas dari bermacam-macam pendirian dan keinginan yang hidup dalam
negara kita, tercermin dalam laporan P.P.K. tersebut dan dapat memberi bantuan
berharga kepada kita dalam pembahasan masalah pokok yang terpenting dalam UUD
yang sedang kita usahakan pembentukannya itu.
Saudara.
Ketua !
Kemarin dulu, diwaktu kita memperingati hari pelantikan Konstituante Saudara,
Ketua Konstituante, yang terhormat Saudara Wilopo, menerangkan antara
lainbahwa, adalah fungsi dari Konstituante ini untuk menyusun konstitusi yang
definitif pengganti UUDS kita yang bersifat sementara. Saudara Ketua fungsi ini
hanya dapat dipenuhi apabila ia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menjelajah, membahas, membanding pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Tegasnya untuk melakukan orientasi yang sungguh-sungguh, agar hasil
yang hendak dicapai itu nanti benar-benar dapat dipertanggung jawabkan bagi
rakyat dan keturunan kita dimasa datang.
Dalam rangka ini, saya setuju benar dengan anjuran yang berulang-ulang
terdenganr dalam ruang konstituante ini, yaitu, supaya kita senantiasa toleran,
bertoleransi antara satu sama lain.
Dalam pada itu, Saudara Ketua, toleransi itu hanyalah akan berfaedah apabila
didalam taraf pertama ini kita menghasilkan pengertian yang lebih terang
tentang pendirian kita masing-masing. Sebab bagaimanakah Saudara Ketua, usaha
membanding, dan apa yang selalu dianjurkan, “mencari titik pertemuan” akan
berhasil, jika kita belum tahu benar apa sebenarnya yang hendak dibanding dan
yang hendak dipertemu-temukan itu. Tentang ini saya berkata lebih jauh bahwa
justru berbahaya sekali bagi usaha menghasilkan dasar negara kita, jika
pemikiran-pemikiran yang timbul dalam pembahasanan nanti, tidak terang, kabur
serta samar-samar. Malah Saudara Ketua, saya khawatir bahwa baik di dalam
ruangan gedung ini, maupun di luarnya banyak contoh-contoh yang dapat
dikemukakan, bahwa orang belum tahu, mana kawannya dan mana lawannya, yakni,
dalam konfrontasi dari ide dan pemikiran yang dimajukan oleh masing-masing.
Saya berpendapat, Saudara Ketua, bahwa justru lantaran kita bersedia bertoleransi
itu, kita harus berani membuka pendirian kita seterang-terangnya. Toleransi
yang dimaksud adalah untuk membuka ruang dan suasana yang seluas-luasnya bagi
konfrontasi dari ide-ide dan pemikiiran-pemikiran. Toleransi itu sudah dimulai
dalam rapat-rapat komisi yang telah sudah dan dilanjutkan hendaknya dalam
sidang-sidang pleno sekarang dan yang akan datang.
Toleransi tanpa konfrontasi, sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud.
Itu hanya berarti : mengelakkan persoalan. Sehingga mungkin kita
akhirnya hanya mendapat toleransi bukan konstitusi.
Yang kita butuhkan ialah konfrontasi dalam suasana toleran, sehingga dari
pembenturan-pembenturan antara ide-ide dan pemikiran yang kita majukan
masing-masing, kita sampai kepada kebenaran. Du choc des opinions jaillit la
verite. Saya mengharapkan agar suasana toleransi yang demikian itulah yang akan
meliputi ruangan Konstituante ini seterusnya.
2. Konstituante harus bebas
dari tekanan-tekanan
Sekali lagi : adalah kewajiban dan
hak konstituante ini, sebagai lembaga demokrasi, untuk menjelajah, membahas dan
membentuk perumusan baru yang definitive dari semua pokok-pokok soal yang harus
ditentukan oleh UUD. Saudara Ketua Konstituante, Saudara Wilopo, juga telah memperingatkan
kita semua kepada tugas tersebut. Lalu beliau menganjukan agar kita semua sadar
benar akan tanggung jawab kita yang besar itu. Terutama oleh karena kitalah
para anggauta konstituante yang berhak penuh dan bertanggung jawab tentang
keputusan-keputusan yang akan diambil itu. Memanglah demikian. Bukanlah maksud
kita hendak mengganti UUD Sementara kita sekarang sengan suatu UUD yang
sementara pula. Tetapi kita bermaksud dengan sekuat mungkin menciptakan satu
UUD yang akan tahan uji oleh generasi anak cucu yang akan datang.
Maka dengan sendirinya, tak satu hal pun dalam UUDS kita sekarang ini, tentang
bentuk Negara yang sekarang, struktur Negara yang sekarang, ya, falsafat Negara
yang sekarang, dan lain-lain, tidak satupun dari soal-soal semacam itu akan
dapat dibebaskan dari pembahasan dan bandingan yang kritis. Dengan sendirinya
pula dari pembahasan itu mungkinlah timbul pelbagai alternative yang lain, dari
apa yang sekarang dianggap sebagai pendapat tetap (gevestigde mening) atau “rumah-rumah
sakit” (heilige huisjes). Bukankah demikian di maksud dengan konfronjtasi itu,
Saudara Ketua?
Saudara
Ketua,
Maka apabila dalam membahas masalah-masalah,
“struktur Negara” dan “dasar Negara” dan lain-lain umpanya muncul
bermacam-macam alternative seperti alternative “federasi” disamping “kesatuan”
bagi struktur Negara, atau alternative “Islam” atau “sosial ekonomi” bagi dasar
Negara disamping Pancasila yang ada sekarang, dan sebagainya, maka Saudara
Ketua, itu tidaklah mengherankan dan tidak boleh menimbulkan kegusaran atau
yang semacam itu dari pihak manapun juga. Dan tidaklah pada tempatnya, bila
orang buru-buru mempergunakan kualifikasi-kualifikasi seperti “tidak setia
kepada Negara” atau mengkhianat kepada proklamasi dan apa lagi, atau semacam
intimidasi yang terselimut apabila dalam ruangan ini dikemukakan
alternative-alternative tersebut. Sebab, Saudara Ketua orientasi, membahas,
lalu membandingkan alternative-alternative dan akhirnya menentukan pilihan atau
keputusan, itu semua adalah pembawaan dari tugas kita dalam ruangan gedung
Konstituante ini.
Saudara
Ketua,
Kita tahu, bahwa konstituante kita dewasa ini ibaratnya satu pulau ditengah
gelombang pergolakan-pergolakan politik di sekitarnya. Kita sama mengharapkan
agar gedung konstituante ini dapatlah hendaknya merupakan satu “sactuary” yakni
tempat aman dimana dapat diadakan konfrontasi antara ide dengan ide, pendirian
dengan pendirian, yang walaupun berlaku secara tajam dan bebas,
sebagaipembawaan dari tugas kita itu, tetap di dalam suasana ibarat sebuah
pulau yang aman tenteram di tengah-tengah gelombang
Saudara Ketua, hanya selama dalam ruangan konstituante ini tetap hidup dan
terjamin rasa bebas mengutarakan pendapat, tanpa tekanan-tekanan dalam bnetuk apapun,
Saudara Ketua, selama itulah konstituante ini ada artinya bagi Negara dan
bangsa.
3. Dasar Negara harus berurat berakar dalam kalbu
masyarakat
Saudara
Ketua,
Sebelumnya kita membahas tentang dasar Negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan
: Apakah Negara itu?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita tidak memasuki persoalan asas timbulnya
Negara ataupun yang mengenai nasibnya dikemudian hari. Orang-orang Komunis
mengharap agar itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai.
Orang-orang anrkhis ingin menghapuskan Negara selekas mungkin. Kita Ummat Islam
berpendirian harus memelihara Negara selama manusia ada di dunia.
Apa yang dimaksud dengan perkataan “Negara” ataupun dalam bahasa Inggris “State
?” Kita tidak akan memberi definisi yang panjangnya hanya satu kalimat, ini
tidak akan menjelaskan pengertian kita, terlebih lagi oleh karena banyaknya
pandangan yang berlainan mengenai faham apa Negara itu. Ibn Khaldun,
Machiavelly, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen. Demikian pula Plato,
Agustinus, Hobbes dan Rousseau dan yang lain-lain, mempunyai pandangan yang
bermacam-macam tentang Negara.
Mengingat banyaknya tafsiran tentang Negara ini maka baiklah kita membataskan
diri dalam menjelaskan arti “Negara” itu dengan mengemukakan sifat-sifat
ataupun elemen-elemen yang terkandung dalan satu Negara.
Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang
khusus.
Apa institution itu?
Institution dalam arti umum, adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai
tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan
tersendiri, dan diakui oleh umum.
Dapat kita mengambil contoh, umpanya, intstituion perkawinan kita. Kita
mempunyai kadli-kadli dan pegawai-pegawai lainnya untuk melaksanakan
perkawinan. Selain dari itu kita mempunyai alat-alat material seperti gedung,
mesjid, alat-alat administrasi dan lain-lain. Juga kita mempunyai
peraturan-peraturan yang mengurus suatu perkawinan. Ini semua mempunyai fungsi
untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Selain dari itu tujuan dan
peraturan-peraturan perkawinan tersebut berdasarkan atas paham hidup yang
tertentu. Keseluruhannya yang tersebut tadi ialah apa yang dimaksudkan dengan
perkataan “institution”.
Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institution, seperti
institution pengajaran, ekonomi, agama, politik, famili, pergaulan, dagang dan
lain sebagainya. Pendeknya institution- institution ini merupakan bagian-bagian
organisasi-organisasi hidup dalam rangka badan hidup yang besar. Tetapi
institution mempunyai daerah gerak-geriknya yang tertentu, mempunyai
keanggotaan, dan mempunyai kedaulatan atas anggautanya. Ada nilai-nilai atau
norma-norma institution tersebut yang dianggap beradaulat oleh
angauta-angautanya, walaupun tempo-tempo tidak tertulis. Pelanggaran terhadap
norma-norma ini ada kalanya diikuti oleh sangsi-sangsi yang tertentu.
Institution itu adalah suatu badan atau organisasi yang :
a) Bertujuan
untuk memenuhi kepbutuhan masyarakat di lapangan jasmani dan rohani
b) Diakui
oleh masyarakat
c) Mempunyai
alat-alat untuk melaksanakan tujuan
d) Mempunyai
peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu
e) Berdasarkan
atas paham hidup
f)
Mempunyai keanggautaan
g) Mempunyai
daerah berlakunya
h) Mempunyai
kedaulatan atas anggauta-anggautanya dan
i)
Memberikan hukuman terhadap beberapa pelanggaran atas peraturan-peraturan dan
norma-norma.
Maka Negara sebagai satu institution, juga mempunyai ;
1) Wilayah
2) Rakyat
3) Kedaulatan
4) Dan
undang-undang dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak
tertulis
Ia (1) meliputi seluruh masyarakat dan segala institution yang terdapat
dalamnya, (2) ia mengikat ataupun mempersatukan institution- institution itu
dalam suatu peraturan hukum, (3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari
seluruh bagian-bagian masyarakat, (4) mempunyai hak untuk memaksa anggautanya
mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh nya
dan (5) mempunyai tujuan untuk memimpin memberi bimbingan dan memenuhi
kebutuhan masyarakat keseluruhannya.
Saudara
ketua,
Mengingat ini semua maka benar dan tepatlah apa yang dikatakan ibnu Khaldun,
bahwa artinya Negara terhadap masyarakat sama dengan artinya bentuk (form) atau
aradh terhadap benda (matter) atau jauhar ? Yang satu tidak bisa terlepas dari
yang lainnya.
Nyatalah bagi kita bahwa Negara itu harus mempunyai akar yang kuat langsung
tertanam dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar Negarapun harus sesuatu paham
yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti,
pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun
kolektive.
Saudara
Ketua,
Kita sudah mempunyai Negara. Maka teranglah didalam menyusun suatu
Undang-Undang bagi Negara kita ini, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan,
perlulah kita bertolak dari pokok pikiran yang past, yakni bahwa undang-undang
dasar bagi Negara kita itu, harus menempatkan Negara dalam hubungan yang
seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri kita. Tegasnya
Undang-Undang Dasar Negara itu haruslah berurat berakar dalam kalbu, yakni
berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta
falsafah hidup dari rakyat dalam Negara kita ini.
Dasar Negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan
Negara terombang-ambing, lail dan tidak duduk atas sendi-sendi yang kokoh.
4. Alasan yang melanggar prinsip demokrasi
Saudara
Ketua,
Apabila kita mempelajari hasil pekerjaan Komisi I yang mengenai dasar Negara
dalam P.P.K yang sudah ada pada kita masing-masing dengan sepintas lalu saja
kentaralah, satu hal yang menggembirakan. Yakni : semua golongan dan aliran,
tanpa kecualinya, menghendaki berdirinya Negara kita ini atas dasar demokrasi.
Nyatalah bahwa jiwa demokrasi itu merupakan dasar yang hidup kuat merata dalam
kalbu seluruh bangsa kita. Atas ini patut kiranya kita mengucapkan syukur.
Saudara Ketua ! Ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam komisi I yang
dimajukan sebagai dasar Negara : Panca Sila, Islam dan Sosio
Ekonomi.
Kewajiban saya dan kawan-kawan saya dari fraksi Masyumi adalah untuk
menghidangkan kemuka siding pleno yang terhormat, pendirian kami dengan cara
lebih luas dan mendalam dari apa yang kami sudah sampaikan dalam komisi P.P.K.
yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya
Negara Republik Indonesia kita berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan
Islam.
Sebelum saya menguraikan pendirian kami itu, Saudara Ketua, izinkanlah lebih
dahulu saya menghadapi satu dasar berpikir dan argumentasi dari pihak-pihak
yang berlainan pendapat dengan kami itu, yakni yang menghendaki Panca Sila
sebagai dasar Negara.
Saudara
Ketua !
Tak syak lagi, bahwa landasan berpikir yang dipakai oleh pihak yang memajukan
dasar Panca Sila dimajukan demikrasi. Tapi argumentasi yang
dikemukakannya, kalau diselidiki lebih dalam, ternyata tidak sesuai lagi dengan
prinsip-prinsip demikrasi itu. Disini kita berhadapan dengan semacam paradox,
Saudara ketua, saya akan kemukakan salah satu contohnya.
Diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal, adalah ;
1. golongan yang berkuasa harus mendapat
persetujuan dari golongan terbesar (majority),
2. golongan-golongan kecil yang berlainan
pendapat dari majority terjamin hak hidupnya dalam masyarakat.
Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu jika
dipakai untuk membentuk sesuatu Negara, maka tidak bisa lain daripada bahwa
Negara itu harus pertama-tama mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup,
terutama falsafah hidup daripada sebagian besar, majority rakyatnya. Kedua ;
prinsip tadipun mengharuskan, memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang
berpendapat lain daripada majority.
Kedua-duanya prinsip ini berjalin kelindan,
yang satu tak dapat dipisahkan dengan yang lain, sehingga, apabila hanya salah
satu saja dari yang dua itu dipakai, baikpun yang pertama, ataupun yang kedua
saja, - maka itu bukan demokrasi lagi tapi diktatur atau tyranny atau
oligarchie.
Yang aneh ialah, Saudara Ketua, bilamana prinsip demokrasi itu dipergunakan
untuk menghadapi Islam sebagai satu paham yang ada dalam Negara, maka orang
menyimpang daripadanya, lalu berkata :
“Jangan
dipakai Islam sebagai dasar Negara, sebab Islam itu adalah satu paham-hidup
yang didukung oleh hanya salah satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di
Indonesia ada pula lain-lain golongan yang bukan Islam.” Begitu intisari dari
alasan-alasan yang dikemukakan.
Penolakan itu didasarkan, bukan kepada penilaian tentang merites (khasanatnya),
isi, dan sifat dari paham hidup, yakni islam, tidak pula didasarkan kepada soal
berakar atau tidaknya paham hidup itu dalam jiwa rakyat yang terbanyak yang
diakuinya sebagai majority di Indonesia ini. Akan tetapi ditolak lantaran
paham-hidup itu hanya dimiliki oleh satu golongan tetapi TIDAK oleh semua
golongan.
Saudara ketua, kami berpendapat bahwa alasan bagi penolakan yang demikian tidak
dapat dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip demikrasi. Alasan yang demikian
juga Saudara ketua, tidak akan efektif, sebab Saudara ketua, bagaimana
andaikata, pihak Islam yang paham hidupnya ditolak untuk jadi dasar Negara,
lantaran “pahamnya hanya dimiliki oleh satu golongan diantara golongan-golongan
lain”, lalu menjawab pula ; ya dan kita ummat Islam apa alasannya? Apa Ummat Islam
harus menerima Paca-sila? Sebagai dasar Negara, sedangkan Panca-sila itupun
sesungguhnya juga milik satu golongan yang ada di Indonesia itu?Althans, paham
hidup kami Ummat Islam tidaklah tercerminkan oleh Panca-sila itu”.
Dengan demikian perdebatan sebenarnya sudah boleh berhenti disitu saja, tak
akan membuahkan hasil yang dikehendaki.
Begitulah Saudara ketua, jika kita lebih suka mengelakkan persoalan daripada
memecahkannya, jika kita sama-sama “tak suka repot-repot”.
Maka rupanya Saudara ketua, satu-satunya alasan mengemukakan Panca-sila sebagai
dasar Negara itu adalah bahwa Panca-sila dianggap sebagai “titik pertemuan”
untuk semua golongan, yang aneka warna filsafat hidupnya masing-masing, sampai
kepada yang atheis.
Setelahnya
melihat yang demikian itu, saya bertanya Saudara ketua, apakah sebenarnya yang
dimaksudkan dengan istilah “titik pertemuan” itu? Sebab saudara ketua, titik
pertemuan didalam urusan dasar Negara, bukan sembarang titik pertemuan. Tetapi
titik pertemuan didalam meletakkan sendi-sendi bagi kehidupan Negara dan
bangsa, bukan sekedar untuk beberapa waktu, akan tetapi untuk tempat duduk dan
hidup bernaungnya anak cucu kita turun temurun.
Kalau memang ini yang dikehendaki, maka saya ingin bertanya lagi, Saudara
ketua, apakah titik pertemuan dengan berupa Panca-sila itu, tidak akan
merupakan hanya titik pertemuan dalam kata-kata dan rumusan ide-ide? Dan apakah
orang-orang yang bertemu dalam Panca-sila itu harus menerima sila-sila itu
kelimanya atau boleh menerima sebahagian-sebahagian. Sebab Saudara ketua, saya
melihat ada golongan yang terang-terang menolak sila Ketuhanan, bersedia juga
“bertemu” dalam panca-sila itu.
Saudara
ketua,
Maka apabila salatu pihak, umpanya pihak Islam, menolak ajakan untuk menerima
Panca-sila itu, dengan alasan yang dipakai orang untuk menolak paham hidupnya,
seringkali mudahlah pula orang menuduhnya, bahwa mereka “tidak mau bersatu”.
Saudara
ketua,
Saya khawatir, bahwa untuk menegakkan Panca-sila sebagai “titik pertemuan” itu,
maka bukan prinsip demokrasi saja rupanya yang hendak dikorbankan, akan tetapi
mesti dikesampingkan juga salah satu paham hidup dari satu golongan yang
terbesar di Indonesia ini, yakni paham hidup yang mengatur bukan saja hubungan
manusia dengan Tuhannya, tapi juga mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara.
Tidak diperhitungkan sama sekali rupanya berapakah pengorbanan yang diminta
dari pihak yang diharuskan mengesampingkan pandangan yang mempengaruhi seluruh
wilayah Jiwa Ragnya dan menjadi sumber bagi kekuatan mereka. Saya ulangi
Saudara ketua, sumber kekuatan bagi mereka lahir dan bathin.
Lalu semua itu Saudara ketua, diminta ganti dengan suatu alternative berupa
perumusan dari serangkaian ide-ide yang ditafsirkan menurut kehendak
masing-masing. Sedangkan bila mereka Ummat Islam membandingkan dengan
ideology-ideologi yang sudah semenjak berpuluh-puluh keturunan menjadi pegangan
hidup mereka, perumusan serangkai ide-ide yang ada dalam Panca-sila Saudara,
dirasakannya hampa, tak dapat berkata apa-apa kepada jiwa mereka. Orang yang
memiliki satu ideology yang tentu-tentu dapat merasakan yang demikian itu.
Tiap-tiap ideology itu Saudara ketua, bukan hanya suatu rangkaian pikiran atau
ide-ide tetapi juga ia merupakan suatu perpaduan antara ide dan aliran perasaan
dengan gelombang-gelombang yang tertentu. Bukan ideology saja, bahkan pendapat
biasa pun sudah mempunyai dua unsur tadi (thought and attitude) yaitu unsur
pemikiran (fikrah) atau pendapat dan unsur sikap jiwa (‘aqidah) yang ada di
belakangnya.
Hanya gerangan, orang yang tidak merasakan satu ideology yang tentu-tentu yang
hidup mesra dalam jiwa raganyalah, yang tidak mampu menilai beberapa besarnya
korban yang dipinta itu sesungguhnya.
Saudara
ketua,
Saya kulasahkan : bukan semata-mata lantaran Ummat Islam adalah golongan yang
terbanyak dikalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan islam sebagai
dasar Negara kita.
Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang
mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu adalah mempunyai sifat-sifat
yang sempurna bagi kehidupan Negara masyarakat dan dapat menjamin hidup
keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan didalam Negara.
“Kalaupun besar tidak akan melanda “. Kalaupun tinggi, malah akan melindungi.
Hal
ini saya berserta kawan-kawan sefraksi saya akan coba menjelaskannya dalam
rapat Konstituante sekarang dan seterusnya.
5. Pilihan kita satu dari dua : Sekularisme atau
Agama
Saudara
ketua !
Maka bagi penjelasan-penjelasan yang akan diberikan oleh kawan sefraksi saya
seterusnya, izinkanlah saya, Saudara ketua, mengemukakan sedikit pengantar
pikiran kearah itu.
Saudara
ketua !
Sejarah manusia umumnya pada tinjauan terakhirnya, memberikan pada kita pada
final analysis-nya hanya duan alternative untuk meletakkan dasar Negara dalam
sikap azasnya (principle attitudenya), yaitu :
1) Paham
secularisme (la dienyah) tanpa agama, atau
2) Paham
agama (dieny)
Saudara
ketua !
Apa itu secularisme, tanpa agama, la dienyah ?
1) Secularisme
adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya dalam
batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum
secularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak
mengenal : akhirat, Tuhan dan lain sebagainya. Walaupun ada kalanya mereka
mengakui adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorang sehari-hari umpamanya,
seorang secularis tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan,
baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam
arti do’a dan ibadah.
Seorang
secularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan
pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu
ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai moral
itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia
semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan
sekarang ini belaka.
Saudara
ketua !
Untuk melukiskan corak secularisme itu, dengan gambaran yang lebih terang,
baiklah kita mengambil perumpamaan satu perkawinan dimana aliran secularisme
dan agama itu tergabung.
Umpamanya : seorang isteri yang beragama bersuamikan seorang suami seculair.
Bagi si isteri upacara perkawinan dalam gerja mengandung arti yang dalam dan
dirasakan sebagai suatu ikatan yang dirahmati oleh Tuhan. Terhadap itu sang
isteri bersikap penuh khidmat. Bagi si suami upacara ini adalah peraturan
semata-mata, yang tidak mempunyai arti apa-apa sebagaimana juga peraturan
membeli karcis kereta api. Ia tidak merasakan khidmat atau perasaan-perasaan
lainpu, melainkan hanya sekedar mentaati peraturan itu oleh karena kebanyakan
orang berbuat demikian.
Apabila setelah beberapa lama mereka mempunyai beberapa anak, bagi si isteri
anak-anak itu bukan saja untuk mengikuti fithrah kewanitaanya, tapi juga untuk
menjelmakan cita-cita membentuk manusia baru, masyarakat baru, yang akan
membawa manfaat bagi kemanusiaan sesuai dengan perintah Tuhan. Bagi sang suami,
adanya anak-anak itu tidak lebih dari satu kebiasaan umum mengikuti insting
untuk mempunyai turunan. Bagi sang isteri kedudukan yang dicapai mereka dalam
pemerintahan ataupun masyarakat tidak hanya merupakan satu kepuasaan, tetapi
juga suatu kepuasaan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi dengan
menganggap kedudukan itu sebagai alat. Bagi sang suami kedudukan yang dicapai
itu, kalaulah bukan tujuan, adalah satu hal yang menyenangkan dan yang harus
dianggap sebagai sesuatu yag perlu dipertahankan. Demikianlah pengaruh pahjam
secularisme dalam hidup orang perseorangan.;
Dilapangan ilmu pengetahuan saudara ketua, secularisme menjadikan ilmu-ilmu itu
terpisah dari pada nilai-nilai hidup dan peradaban. Etika katanya, harus
dipisahkan daripada ilmu pengetahuan. Timbulah pandangan bahwa ilmu ekonomi
harus dipisahkan dari etika, ilmus ejarah harus dipisahkan daripada ilmu etika.
Ilmu sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan.
Demikian juga ilmu jiwa, falsafah, hokum dan lain sebagainya, tetapi ada
batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan Ilmu pengetahuan dari etika.
Kemajuan ilmu tekhnik dapat membuat bom atom. Apakah ahli-ahloi ilmu
pengetahuan turut menyumbangkan tenaga atas pembikin bom tersebut harus ikut
bertanggung jawab atas pemakaian nya atau tidak ? bagi yang memisahkan etika
dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggung jawab atas pemakaian
bon itu. Disini kita lihat betapa jauhnya pengarus secularisme. Ilmu
pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, “science for the sake science”(
ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan.pen).
Didalam penghidupan perseorangan dan masyarakat sekularisme la-diniyah tidak
memberi petunjuk-petunjuk yang tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekularisme
banyak macamnya. Ada yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan
perempuan tanpa kawin (nikah.pen) tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu Negara
menentukan sikap yang tegas terhadap hal ini adalah penting. Sekularisme dalam
hal ini tidak dapat memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi
keputusan yang terang.
Pengakuan atas hak milik perseorangan, batas-batas yang harus ditentukan antara
hak-hak buruh dan majikan, apa yang kita maksud dengan perkataan “adil dan
makmur” , ini semua ditentukan oleh kepercayaan kita. Sekurlarisme tidak mau
menerima sumber ke Tuhanan untuk menentukan soal-soal ini. Kalau demikian,
terpaksalah kita melihat sumber paham-paham dan nilai-nilai itu semata-mata
dari pertumbuhan masyarakat yang sudah berabad-abad berjalan sebagaimana yang
didorongkan oleh sekularisme. Ini tidak akan memberi pegangan yang teguh. Ada
beribu-ribu masyarakat yang telah menimbulkan bermacam-macam nilai. Ambilah
umpanya, soal bunuh diri.ada masyarakat yang mengizinkan, ada yang melarang.
Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu Negara mengambil sikap yang menentukan
adalah penting karena hokum-hukum mengenai persoalan itu akan dipengaruhi oleh
sikap tersebut. Lagi, disini, sekularisme tidak dapat memberikan pandangan yang
positive.
Jika timbul pertanyaan, apa arti penghidupan ini? Secularisme tidak dapat
menjawab dan tidak merasa perlu menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang
kehidupan, akan mengalami kerontokan ruhani.
Tidaklah heran, bahwa didalam penghidupan perseorangan secularisme menyuburkan
timbulnya penyakit syaraf dan rohani. Manusia membutuhkan suatu pegangan
hidup yang azasnya tidak berobah. Jika ini berubah mudahlah baginya
mengalami taufan ruhani. Demikian akibat pafam sekularisme dalam hidup
perseorangan. Pengaruh agama terhadap kesehatan ruhani ini telah diakui oleh
ilmu jiwa zaman sekarang.
Dalam penghidupan Negara yang secular
dilapangan ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain ditentukan oleh
kepentingan kebendaan manusia dan kalaupun tempo-tempo ada juga kepentingan
kerohanian manusia tetapi tidak melewati batas-batas yang ditentukan oleh
manusia sendiri.
Ada satu pengaruh sekularisme yang akibatnya paling berbahaya dibandingkan
dengan yang saya telah sebut tadi. Sekularisme, sebagaimana kita telah
terangkan, menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari tahap ke Tuhanan
kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih
saying sesame manusia, semuanya itu menurut sekularisme, sumbernya bukanlah
wahyu Illahi, akan tetapi apa yang dinamakan : penghidupan masyarakt
semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insyaf
bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan
semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan
bermusuhan.
Kita akan lihat betapa berbahayanya akibat pandangan yang demikian. Pertama
dengan menurunkan nilai-nilai adab dan kepercayaan ketaraf perbuatan manusia
dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia dalam nilai-nilai tersebut
merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu ! ia
menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tetapi
sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah hasil ciptaan manusia sendiri.
Bahkan Saudara
ketua, seorang sekularis menganggap bahawa ke Tuhanan adalah relative, yakni
berganti-ganti menurut ciptaan manusia belaka, yang menurutnya ditentukan oleh
keadaan masyarakat. Bukan oleh kebenaran wahyu. Baginya agama dan paham tentang
wujudnya Tuhan adalah relative, yakni berganti-ganti menurut ciptaan manusia,
begini boleh, begitu boleh!
Faham
Sekularis tentanng Wujudnya Tuhan
Marilah kita
perhatikan bagaimana pandangan dari pendirian sekulair, la-dienyah itu tentang
wujudnya Tuhan dan sumber agama.
Tatkala ia menerangkan asal usulnya salah satu dari sila-sila yang tercantum
dalam Panca-sila yang hendak dijadikan “titik pertemuan” dalam penyusunan
sendi-sendi ketatanegaraan itu, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa (yang
sekarang dianggap sebagai dasar Negara) Presideng Soekarno berkata :
“Ketuhanan, (Ketuhanan disini saya pakai didalam arti religiusiteit), itu
memang sudah hidup didalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh,
beratus-ratus tahun. Aku menggali didalam buminya rakyat Indonesia, dan
pertma-tama hal yang aku lihat ialah religiusiteit. Apa sebab ? ialah karena
bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup diatas tarafnya agrarian, taraf pertanian.
Semua bangsa yang masih hidup diatas taraf agrarian, tentu religius. (saya
memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saja memakai perkataan
religiusiteit, atau kepercayaan kepada suatu hal yang ghaib yang menguasai
hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup didalam
kalbunya bangsa-bangsa yang masih hidup didalam taraf agrarian. Betapa tidak ?
Orang yang masih becocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk
mencari makan, ini sama sekali tergantung daripada satu hal yang ghaib. Orang
ini bertani supaya turun hujan misalnya. Darimana hujan harus diminta ? kita
mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau
jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak
boleh tidak, lantas berkata :”ah ada satu hal yang ghaib, kepadanya aku mohon
supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya sudah hamper tua,
sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia
berhadapan satu hal yang ghaib. Mungkin dia belum bisa mengatakan bahwa itu
yang dinamakan Allah. Atau Tuhanpun, mungkin belum ada perkataan itu padanya.
Tetapi sekedar kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang ghaib ;
“ya ghaib, yai ghaib, jangan diturunkan hujan, lagi sekarang aku membutuhkan
kering”. Hujan dan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada
sesuatu zat yang ghaib.
Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah, hama belalangkah, hama
baksil-baksilkah. Sama sekali itu diluar perhitungan manusia. Lagi dia mohon
kepada satu hal ghaib ; “ya ghaib, berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu
oleh hama, tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang
dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, masih diatas taraf agrarian, tidak boleh tidak mesti
religius. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme,
banyak sekali yang meninggalkan religiusiteit itu. Aku tidak berkata itu adalah
baik, meninggalkan rekigiusiteit. Tidak lagi-lagi aku sekadar konstateren.
Bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan
religiusiteit. Apa sebab ? sebabnya ialah karena ia berhadapan banyak sekali
dengan kepastian-kepastian. Perlu listrik, tidak perlu “oh ya ghaib”. Dengan
tekan knop sja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu memohon ya ghaib aku
ingin tenaga. Dia punya mesin ; mesin dia gerakan, mesin itu bergerak. Didalam
tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang, aku dapat
mengadakan perang. Ingin tenga aku bisa menggerakan mesin. Oleh karena itulah
rakyat yang sudah hidup didalam alam industialisme banyak yang meninggalkan
religiusiteit itu tadi.
Memang pernah kukupas didalam satu ceramah yang mengenai religiusiteit ini,
bahwa religiusiteit ini melalui beberapa fase pula. Sebab masyarakat dunia
memang dinamis. Dinamis didalam arti selalu bergerak. Masyarakat manusia tidak
berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan
(berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti-ganti.
Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religiusiteit ini berganti-ganti
warna. Tatkala dia masih hidup didalam hutan rimba-raya, belum dia bertani. Dia
hidup dalam rimba raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup didalam
gua-gua, dibawah pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan berburu atau mencari
ikan. Itu sudah religius, tetapi apa yang di sembah ? dia sembah petir, oleh
karena dia mengetahui, kalau memerlukan api : “itu dia, petir itu bisa
menyambar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh
karena sungailah memberikan ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena
batu itulah yang memberikan perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam
pikirannya geledek inilah satu zat yang ghaib yang turun dari satu mega ke lain
mega, dengan mengeluarakan suara gemuruh. Dia adalah religius, dengan cara dia
sendiri.
Tatkala manusia kemudian dari dari itu tidak lagi hidup didalam rimba raya, didalam
gua-gua tetapi hidup dengan berternak, pada waktu itu dia religius, tetapi
ciptaan dari pada zat ghaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi
sungai atau pohon-pohon besar yang rindang-rindang dia sembah, tetapi dia
menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang sekarang ini masih ada
sisa-sisanya dibeberpa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
Tatkala manusia hidup didalam taraf pertanian, makin religius dia, tetapi
ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba raya dengan
berburu dan mencari ikan, daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja.
Tetapi nyata bangsa yang diatas taraf agrarian, bangsa yang demikian itu adalah
religius. Terutama sekali karena tanam-tanaman tergantung sama sekali dari
gerak-gerik iklim.
Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agrarian dan sudah masuk
taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religiusiteit seperti kukatakan
tadi, oleh karena dia hidup didalam alam kepastian. Malah didalam taraf inilah
timbul aliran-aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Didalam taraf inilah
timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi jikalau saudara-saudara bertanya
kepada Bung Karno personalijk : “ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua, bukan tiga. Tuhan yang satu.
Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran
manusia yang berubah-ubah.
Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba raya di bawah pohon-pohon dan di
gua-gua, dia mengira bahwa Tuahan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu
tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa
binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah
kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup dalam taraf agrarian, terutama
sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala
manusia masuk didalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui
kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering
menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat
orang buta semuanya belum pernah melihat gajah. Datanglah seorang kawan yang
hendak menunjukkan kepada mereka itu, apa itu gajah. Si buta yang pertama disuruh
maju kemuka, dia meraba dan dia mendapati belalai gajah. Dia berkata : “Oh aku
sekarang sudah tahu rupanya gajah itu, rupanya sebagai ular besar yang bisa
dibengkok-bengkokkan”.
Si buta nomor dua disuruh tampil kemuka dan dia mencari-cari gajah dan memegang
ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata : “Oh aku sudah tahu rupanya gajah
itu, seperti cambuk.”
Si nomor tiga lagi maju kemuka. Cari-cari gajah dan memegang kaki gajah.
Katanya : “Oh aku sudah tahu gajah, rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor
empat tampil ke muka dia (cebol) pendek sekali dia punya badan, dating di bawah
gajahitu, pegang-pegang tidak dapat apa-apa. Katanya : “Oh aku sudah tahu
rupanya gajah itu seperti hawa. Gajah tidak ada, gajah itu seperti hawa ini.”
Seperti orang di dalam dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada.
Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia
berganti-ganti.”
Demikian Presiden Soekarno.
Saudara
ketua !
Yang saya ulangkan tadi itu dapat dibaca dalam ceramah Presiden Soekarno pada
pertemuan gerakan pembela Panca-sila di Istana, pada tanggal 17 juni 1954 yang
pernah diterbitkan kementrian Penerangan. Saya dapat menggambarkan saudara
ketua, bagamana terasa jatuhnya kata-kata yang demikian itu atas kalbunya
seorang mukmin yang beriman kepada Allah swt., apakah dia kebetulan seorang
agraris atau industrialis. Akan tetapi saudara ketua, bukan disini tempatnya
saya menggambarkan itu.
Saya hanya hendak meneruskan pembahasan saya mengenai sekularisme tadi. Yang
hendak saya kemukakan adalah : bagaimana paham tentang wujud Ketuhanan telah
direlatifkan menurut perkembangan hidup dari satu taraf ke taraf lainnya. Dari
taraf hidup pengembara, agraris, sampai ketaraf industri, dan lain-lain.
Khulasah dari pada paham itu dalam bentuk yang paling simple ialah : seorang
yang masih dalam taraf kehidupan agraris memerlukan Tuhan, tetapi kalau dia
sudah menjadi industrialis tidak perlu lagi terhadap Tuhan. Seperti yang
dibentangkan dalam pidato Presiden Soekarno yang saya kutip tadi.
Dimanakah gerangan, saudara ketua, hendak ditempatkan wahyu sebagai sumber
kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Wahyu yang terbebas dari pada
pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer, seperti p0engaruh agrarian, nomadis
atau industrialisme. Wahyu yang memancar ibarat mata air yang memancarkan al
iksir penawar hidup dan bersifat abadi dan membebaskan manusia dari tersesat
dan terus meraba-raba mencari Tuhan.
Pertanyaan ini mengandung jawabnya sendiri. Bagi seorang sekularis soal
KeTuhanan sampai kepada soal KeTuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya
dengan wahyu ; baginya soal KeTuhanan adalah soal ciptaan manusia yang
berganti-ganti.
Saudara
ketua, !
Baerhubunga dengan terbatasnya waktu, disini saya tidak akan mengemukakan
bantahan-bantahanterhadap paham yang semacam ini. Paham mana sebenarnya
dipelopori oleh kaum Marxis, yang mengatakan bahwa struktur ekonomi dan
masyarakat itulah yang menentukan paham hidupsuatu masyarakat yang mengenai
ajaran agama, filsafat ataupun kultur.
Apabila waktu mengizinkan saya akan kembali pada soal ini.
Akibat
Sekularisme dalam Ketata negaraan
Saudara
ketua !
Ajibat dari pandangan sekularisme, la diniyah itu, dalam ketatanegaraan,
saudara ketua, dalam bentuknya yang lebih terang, antara lain, dapat kita lihat
didalam timbulnya dan tersebarnya paham Nazisme. Ada yang menyangka bahwa
Nazisme itu ditimbulkan oleh Adolf Hitler dan keadaan Negeri Jerman pada waktu
itu. Seorang Jerman yang pada mulanya menyokong, setelah itu menentang Nazisme
dengan sekeras-kerasnya, ialah Herman Raunchning. Ia berpendapat setelah
mempelajari secara mendalam timbulnya Nazisme, bahwa yang menyebabkan itu
bukanlah semata-mata lantaran timbulnya seorang yang bernama Adolf Hitler dan
keadaan di Jerman belaka, akan tetapi adalah keadaan ataupun beberpa
factor-faktor yang terdapat dalam kebudayaan Barat. Factor yang terpenting
kata Raunchning, adalah sikap tidak peduli dan tidak menghormati
tuntutan-tuntutan adab (nilai-nilai hidup) dan menyampingkan ajaran-ajaran
agama. Menghormati ajaran-ajaran moral dianggap Nazisme sebagai suatu
kelemahan. Sikap ini didahului dan dipersiapkan oleh paham secularisme tadi
yang mengatakan bahwa nilai-nilai peradaban itu buatan manusia belaka. Demikian
juga dilapangan hokum dan keadilan, sekularisme telah melemahkan hokum dan
keadilan itu, sehingga mempengaruhi sikap-sikap orang yang menjalankannya.
Sikap netral dan masa bodoh diperlihatkan oleh orang yang menjalankan hokum
(hakim, polisi, dsb) terhadap pelanggaran-pelanggaran kemanusian yang
disebabkan oleh Nazisme, umpamanya : berakar pada maslah BISMARCK bahkan
sebelumnya. Keadaan di Jerman ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan Eropah
Barat pada abad ke-19. inilah sebabnya mengapa Raunchning mengemukakan bahwa yang
bertanggung jawab terhadap timbulnya Nazisme adalah seluruh kebudayaan Barat,
bukanlah hanya Jerman. Yakni pengaruh sekularisme dalam kebudayaan Eropah
Barat.
Raunchning dengan
persetujuan banyak yang lain-lain menganggap gerakan Nazisme ini pada
hakikatnya suatu aliran yang berdasarkan nihilisme. Satu-satunya nilai yang
mereka percaya ialah perlunya kekuasaan untuki berkuasa, perlunya macht untuk
macht. Sikap ini hanya dapat timbul dalam suatu masyarakat dimana sekularisme
dapat hidup dengan subur. Sikap nihilisme ini tampak juga dikalangan
Bolshewick. Mereka penganut sekularisme yang fanatic, mereka telah menjalankan
kebuasan-kebuasan secara besar-besaran.
Saudara
ketua !
Sampai demikian pengaruhnya sekularisme dalam hidup ketatanegaraan yang
sekulair, dalam taraf hidup perkembangannya yang sudah lanjut. Dan dalam taraf
yang demikian pula kita dapat melihat, sifat-sifatnya yang sebenarnya sehingga
dapatlah kita dengan terang mempelajari jalannya pengaruh sekularisme atau
la-diniayah, atau tanpa agama itu.
Oleh karena itulah saudara ketua, dari jaman purbakala dimulai dari Plato
samkpai dewasa ini, ahli-ahli filsafat kenegaraan (politik filosofi) telah
banyak memberikan perhatiannya dalam masalah ini. Pada zaman seorang Perancis
yang mendalam mpandangannya mengenai ilmu kemasyarakatan, Alexis de
tocqueville juga telah memberi sokongannya terhadap dasar ke Agamaan dan
menolak sekularisme, sebagai dasar Negara.
Berkata A. de Tocqueville antara lain :
“Kekuasaan yang terbatas pada hakikatnya adalah suatu hal yang buruk dan
berbahaya, manusia berkerja untuk menjalankan dengna teliti dan bijaksana.
Hanya Tuhanlah Yang maha Kuasa, karena hikmat dan keadilan-Nya senantiasa
seimbang dengan kekuasaanNya. Tetapi tidak ada satupun kekuasaan di dunia ini
yang demikian berhak atas penghormatan atau atas ketaatan yang khidmat kepada
hak-hak yang diwakilinya, sehingga saya dapat menerima kekuasaan diatas segala
lapangan dengan tidak dikendalikan.
Jika saya melihat bahwa hak dan kekuasaan penuh itu diberikan kepada satu
rakyat, ataupun seorang raja, kepada satu aristokrasi, ataupun demokrasi,
kepada satu kerajaan ataupun satu republic, disitulah saya lihat benihnya
tirani, dan pergilah saya terus kepada Negara yang lebih memberi harapan.”
Demikian Alexis de Tocqueville.
Saudara
ketua !
Apakah kita sesungguhnya telah menyadari benar-benar bahaya secularisme
sebagaimana yang saya kemukakan tad, itu, selama kita hidup bernegara yang
sekulair seperti sekarang ini ?
Apakah tidak karena sekularisme tadi maka makin lama, makin terasa adanya
gejala-gejala didalam masyrakat kita dan merosotnya nilai hidup, berlakunya
pelanggaran-pelanggaran atas nilai-nilai hidup oleh orang-orang yang berkuasa
dengan secara sinis, lalu diikuti rakyat banyak ?
Tidakkah paham sekularisme ini yang menyebabkan tambah berkembanganya atheisme
dinegra kita ?
6. Apa kelebihan Agama dari Sekularisme ?
Saudara
ketua !
Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknyapun, maka adalah agama
masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Paham Agama memberikan
tujuan yang paling tinggi. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan
perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari
apa yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang
disebut “humanity” (perikemanusiaan) ! Yang menjadi soal adalah pertanyaan : Dimana
sumber perikemanusiaan itu ? Apa dasarnya ?
Komunisme
umpamanya, mempunyai konsep “perikemanusiaan” yang berlainan dengan kita. Di
dalam Negara yang mereka cita-citakan, adanya hak milik dianggap melanggar
asas-asas perikemanusiaan, karena sesuai dengan fithrah manusia.
Sekularisme, la-diniyah, tanpa agama, saudara ketua, tidak bisa memberi
keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat,
hidup sempurna, dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep kemanusiaan ini
tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekularisme, yang pada hakikatnya
merelativekan semua pandangan-pandangan hidup. Paham agama adalah sebaliknya.
Ia memberikan dasar yang terlepas dari rrelativevisme. Inilah sebabnya mengapa
konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan
lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah.
Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus
mempunyai apa yang dinamakan point of refrence, titik tempat mengembalikan
segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap maka niscaya krisis atau
bencana akan timbul.
Saudara
ketua !
Tidak ada satupun lapangan hidup manusia yang dapat dipisahkan dari agama atau
falsafah hidup. Kita hanya dapat memilih dianatara dua, paham yang berdasarkan
agama atau sekularisme, la diniyah tadi.
Sekularisme sebagaimana kita lihat, tidak memberikan dasar-dasar yang kuat bagi
kehidupan masyarakat, malah menggoyahkan sendi-sendi hiduporang perseorangan
dan masyarakat.
Paham agama mempunyai kelebihannya sendiri. Apa yang dimaksudkan dengan
perkataan agama, ataupun religion ?
Saudara
ketua !
Agama itu adalah satu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung factor-faktor,
antara lain :
Percaya dengan
adanya Tuhan, sebagai sumber daripada hokum dan nilai hidup.
Percaya dengan
wahyu Tuhan kepada RasulNya.
Percaya dengan
adanya hubungan antara Tuhan dan manusia / perseorangan.
Percaya bahwa
hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
Percaya bahwa
dengan matinya seorang, hidup rohnya tidak berakhir.
Percaya dengan
ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
Percaya dengan
Tuhan sebagai sumber dari norma-norma dan nilai hidup
Percaya dengan
keridhaan Tuhan sebagai tujuan didalam dunia ini.
Saudara
ketua !
Apa kelebihan agama dari segala paham yang sekulair ?
Pertama
: Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu
pengetahuan dan kebenaran. Segala falsafat yang sekulair mengakui sebanyak tiga
dasar berpikir, yaitu : empirisme (mazhabul tajribah), ratioanalisme
(mazhabul aqly), dan intuitionisme (mazhabul ilham). Dasar whayu,
revelation ataupun open baring tidak diakuinya. Agama lebih dari pada itu. Ia
mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah
berlakunya masing-masing. Oleh karena itulah, agama lebih luas dan lebih dalam
dari pada paham sekulair.
Kedua :
Paham Agama meliputi seluruh bagian hidup. Seorang yang menderita karena
ditinggal mati oleh seorang yang dikasihi, dapat suatu tafsiran ataupun
penjelasan daripada agama. Matinya seorang ini ada artinya didalam plan hidup
yang dibentangkan oleh agama. Begitu juga penderitaan yang ditinggalkannya.
Segala kejadian itu ada hubungannya dengan yang menguasai alam ini. Perasaan
yang diderita oleh yang ditinggalkan tidak dibiarkan begitu saja. Didalam
keadaan demikian agama memberi pegangan hidup yang harus diikuti. Pendeknya,
didalam segala lapangan hidup, pikiran, perasaan, tindakan dan lain-lain, agama
memberi pimpinan.
Tidak demikian halnya dengan paham sekulair. Seorang Marx atau seorang
Darwin tidak memberi tempat dalam falsafah hidupnya kepada pergolakan yang
terjadi didalam jiwa manusia. Semuanya hanya ditinjau dari sudut proses alam
atau nature semata-mata. Yang dipentingkannya adalah manusia sebagai group
(kolektivity).
Saudara
ketua !
Kembali kepada soal perpaduan antara ide dan perasaan tadi, agama tidak hanya
menguatkan percaya dengan beberapa ajaran-ajaran yang tertentu. Agama oleh
karena beberap sifatnya yang khusus mempunyai kesanggupan untuk menggerakan
jiwa manusia dan dalam hal ini ternyata berlainan pengaruhnya dari falsafat.
Saudara
ketua !
Seorang ahli filsafat dan ilmu jiwa yang ternama, Wiliam James membandingkan
pengaruh kepercayaan atas orang nasrani pada permulaan timbulnya agama Kristen
dengan pengaruh ide-ide humanisme atas falsafah Stoa.
Mereka keduanya percaya dengan adanya Tuhan. Hanya yang satu agama yang satunya
filsafat. Perasaan dan tenaga bathin yang digerakan oleh agamanya bagi seorang
nashrani berlainan daripada pengaruhnya humanisme atas seorang pengikut Stoa.
Sungguhpun pokok-pokok kepercayaan masing-masing banyak yang sesuai. Gerakan
bathin yang khusus ini adalah kelebihan agama karena pengaruhnya itu sangat
mendalam sehingga meninggalkan bekas.
Gerakan bathin ini sebagaimana kita telah kemukakan menguatkan perasaan hidup
manusia lebih dari pada filsafat, oleh karena memang agama lebih cocok dengan
fithrah manusia.
Emile Durkheim seorang
sosiolog ternama menggambarkan hal ini sebagai berikut : “Seorang yang percaya
dengan agama dan telah mengadakan hubugnan dengan
Tuhan nya, bukanlah hanya seorang yang telah melihat kebenaran baru yang diketahui oleh yang tidak percaya. Orang yang percaya itu adalah orang yang lebih kuat untuk menderita percobaan hidup ataupun untuk menaklukannya.”
Tuhan nya, bukanlah hanya seorang yang telah melihat kebenaran baru yang diketahui oleh yang tidak percaya. Orang yang percaya itu adalah orang yang lebih kuat untuk menderita percobaan hidup ataupun untuk menaklukannya.”
7. Tragik Panca Sila yang Sekulair, tanpa Agama
Saudara
ketua !
Di Indonesia paham hidup yang menggerakan jiwanya rakyat adalah agam, agam yang
sifat-sifat umumnya telah saya kemukakan. Dengan sendirinya asas Negara kita
harus berdasar agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap diterima
oelh umum, sebagai Panca Sila. Panca Sila tidak dipercayai sebagai agama,
kalaupun ada terumus di dalamnya “Sila Ketuhanan”, sumbernya, backgroundnya
adalah sekulair, la diniyah, tanpa agama.
Ia bukan bersumber kepada salah satu wahyu Illahi. Ia adalah dan ternyata hasil
penggalian. Penggalian dari masyarakat. Ia bukan satu pengakuan dan penyaksian
akan Kedaulatan Tuhan dengan segala konsekuensinya atas yang mengakui dengan
berupa kedaulatan kepada Hukum Illahy yang positif. Ia hanyalah “rasa adanya
Tuhan” tanpa wahyu, tanpa konsekuensi. Rasa adanya Tuhan, sebagai “ciptaan
manusia yang relative, yang berganti-ganti.”
Terlepas dari soal tempatnya dalam urutan perumusan kelima sila itu, entah di
bawah, entah di atas, yang sudah terang ialah bahwa ia tidak dianggap sebagai
sumber dari 4 sila yang lain. Ia tidak menjadi “point of regrence”, tidak
berkedudukan yang menentukan isi dari 4 sila yang lain, sebab dia sendiri tidka
mempunyai isi yang tentu-tentu. Ia relative, boleh begini, boleh begitu,
menurut seenaknya masing-masing orang yang mau mengisinya, menurut ciptaan
manusia berganti-ganti. Hubungannya dengan 4 sila yang lain sebagaimana juga
hubungan antara 5 sila itu antara satu dengan yang lain, tidaklah terang.
Lahirnya sila-sila itupun tidak serentak, tapi kabar konon nya, satu demi satu,
dan sila KeTuhanan yang dating numpang paling belakang.
Bagaimanakah, saudara ketua, Panca Sila akan mendapat tenaga penggerak jiwa
bagi rakyat Indonesia yang sudah memiliki ideologiAgama yang tegas-tegas dan
meliputi jiwanya.
Ia tidak dapat berkata apa-apa terhadap jiwa rakyat yang beragama. Ia tidak
dapat mencerminkan apa yang hidup bergelora dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Maka Negara yang didasarkan kepada Panca Sila yang terang sudah demikian
sifatnya itu, tidaklah dapat menjadi Negara yang betul-betul mencukupi
kebutuhan hidup Indonesia, bukan suatu Negara yang menjalankan fungsinya yang
sebenarnya, bukan suatu Negara yang sebagai satu institution,
akar-akarnya nyata terhujam dalam sanubari bangsa Indonesia.
Oleh pokoknya sendiri Panca Sila itu dianggap tidak lebih dari “titik
pertemuan” atau “gemene dele”. Apakah saudara ketua yang menguatkan pendirian
saya bahwa Panca Sila tidak mencukupi syarat untuk menjadi state philosophy
dari Negara kita ?
Saudara
ketua !
Apa sebenarnya wujudnya Panca Sila itu ? panca Sila itu sebagaimana juga
yang telah dikemukakan oleh pelopornya yang pertama Presiden Soekarno adalah
lima dasar, ataupun ideen, yang dianggap tersebar diantara golongan-golongan
yang terdapat di Indonesia. Ideen ini menurut kesan kita, dianggap oleh
pendukungnya kalau tidak seluruhnya terdapat di tiap-tiap golongan, sedikitnya
sebagian terdapat disemua golongan. Aliran Komunis umpamanya, tidak percaya
dengan Tuhan, walaupun mereka menerima Panca Sila sebagai asas Negara. Ini sudah
tentu suatu kelemahan yang prinsipil. Tiap-tiap ide, tiap-tiap paham, tiap-tiap
cita-cita, tiap-tiap tujuan, jika dijadikan dasar hidup, - dalam hal ini dasr
hidup bangsa kita, - adalah satu hal yang mha penting, harus dipercaya,
ditaati, diresapkan betul-betul dalam sanubari bangsa kita. Terutama yang
menerima dan yang bergiat menyokongnya untuk dijadikan dasar Negara. Jika tidak
demikian ini berarti kita tidak jujur terhadap asas dasar Negara kita. Menurut
aliran Komunis Tuhan tidak ada. Bagaimana mereka menerima satu dasar yang
adanya dasr itu sendiri tidak dipercayainya.
Bahwa sikap
demikian itu yakni dibiarkannya Panca Sila diterima sebagian dan ditarik yang
lainnya, ataupun hanya diterima tetapi tidak dipercaya, dapat terjadi oleh
karena Panca Sila itu hanya 5 ide yang dikemukakan sebagai titik pertemuan.
Tidak dikemukakan “volgorde” dari sila yang lima ini ! Tidak dikemukakan
“relationship of interdependence” dari sila yang lima ini ! Tidak dikemukakan
yang maqna dari sila-sila itu sumber asal daripada yang lain. Atau apakah
sila-sila yang lima itu mempunyai lima sumber pula ? Tidak pula diterangka apa
norma-norma yang mengisi tiap-tiap sila tadi.
Oleh sebab keadaan yang tidak terang ini, oleh sebab kekurangan-kekurangan
tadi, maka mungkinlah Panca Sila diterima dan disokong oleh suatu golongan yang
sudah terang tidak percaya dengan paling sedikit satu daripada sila-sila itu.
Dengan kata lain dikalangan yang menyokong Panca Sila sendiri belum ada
persetujuan tetang apa Panca Sila itu sebenarnya.
Memang tak seorangpun yang menyangkal bahwa dalam Panca Sila itu terumus
ide-ide yang baik. Tetapi keterangan-keterangan yang kita dapat dari penyokong
Panca Sila itu sendiri menunjukan bahwa mereka itu sendiri tidak menentukan apa
isinya yang sebenarnya, apa urutan (volgordennya), apa asalnya, nucleus
(intinya) dan apa hubungannya, interdependencenya atau sama lain. Oleh karena
ini tidank terang maka kesulitan-kesulitan akan terus menjalar. Oleh karena
asas Negara kita itu harus terang dan tegas agar dapat membimbing bangsa kita,
maka sulitlah bagi golongan kami untuk menerima sesuatu yang tidak tegas.
Sifat tidak tegas ini juga disebabkan oleh Panca Sila sendiri. Panca Sila itu
adalah suatu abstraksi, suatu “pure concept” yang pada kenyataan tidak bisa
berdiri sendiri. Kita dapat membandingkannya dengan angka-angka yang kita
pakai. Angka 5 umpamanya dalam realitet tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataan,
kita hanya dapat menemui umpamanya, 5 kuda, 5 kursi, 5 orang, 5 kapal dan
seterusnya. Jadi angka 5 ini dalam realitet selamanya tergabung dengan suatu
ikatan subtansi. Demikian juga Panca Sila sebagai “pure concept” kalau hendak
menjadi realitet, mesti menjadi satu dengan dan tak dapat dipisahkan dari
norma-norma dan hubungan-hubungan positif yang menjadi subtansinya.
Bila berdiri sendiri, ia bukan realitet, tidak berwujud apa-apa.
Saudara
ketua !
Tetapi Panca Sila tidak mau mencari subtansi atau mengakarkan dirinya pada
salah satu ideology yang sudah ada. Ia mau tetap berdiri sendiri. Sebab kalau
ia mengakarkan diri Panca Sila itu akan mempunyai corak satu ideology yang
tentu-tentu. Entahkah corak Islam atau komunisme. Tapi memilih corak dan isi
itu benarlah yang dipantangkan oleh panca sila.
Panca Sila mau tetap netral.
Memang raison de’etre-nya Panca Sila, alasan untuk mau adanya Panca Sila itu
sendiri adalah mau netral.
Panca Sila mau berdiri netral di atas semua ideology yang ada. Berdiri netral
di demikian tinggi di atas segala-galanya, di atas semua yang bergelora dalam
sanubari manusia Indonesia, sehingga ia tidak mendapat akar sama sekali dalam kalbu
rakyat.
Panca Sila ingin terus netral tanpa warna.
Kalau ia memilih salah satu warna, salah satu ideology ia akan bercorak, ia tak
akan netral lagi, raison de’etrenya sebagai gemene deler sebagai hidupnya tak
ada lagi, ia bukan Panca Sila lagi.
Lantaran itu Panca Sila akan tetap tak mau menanggalkan netralitetnya, tak mau
menerima salah satu subtansi yang positif. Lantaran itu ia tetap mau berdiri
sendiri sebagai “pure concept”. Sebagai “pure concept yang berdiri sendiri ia
tak merupakan satu realitet di alam positif.
Lantaran itu Panca Sila tak dapat berwujud apa-apa.
Rupanya saudara ketua, asal tetap ada sebagai Panca Sila biarlah tak berwujud.
Inilah suatu tragic yang dialami oleh Panca sila yang sekulair (la diniyah)
dan netral.
Jika demikian
bagaimanakah saudara ketua, Panca Sila itu bisa dijadikan dasar Negara.
Itulah sebabnya sebagaimana yang saya katakana pada permulaan keterangan ini,
Panca Sila sebagai fallsafah Negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa
berkata apa-apa kepada jiwa ummat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki
satu ideology yang tegas, terang dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat
Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni
islam.
Dari ideology islam ke Panca Sila bagi ummat Islam adalah ibarat melompat
dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa. Betul demikian
ibaratnya saudara ketua.
Seruan
Kepada Pendukung Panca Sila
Saudara
ketua !
Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang
mendukung Panca Sila.
Sila-sila yang saudara-saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai
“pure concept” yang sterile, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai
subtansi yang real dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah Negara,
saudara-saudara pembela Panca Sila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik
sebagai pendukung Panca Sila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan
memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi, tegas dan
mengandung kekuatan.
Tak ada satupun dari lima sila yang terumus dalam Panca Sila itu, yang terluput
atau gugur, apabila saudara-saudara menrima Islam sebagai dasar Negara.
Dalam Islam terdapat qaidah-qaidah yang tentu-tentu, dimana “pure concept” dari
sila yang lima itu mendapat subtansi yang rela, mendapat jiwa dan roh
penggerak.
Kepada saudara-saudara yang memejukan social ekonomi sebagai dasar, saya
berseru dalam Islam saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep social
yang progressive.
8. Bukan Sekulair, bukan Theokrasi, tapi
“Theistic Demokrasi”
Saudara
ketua !
Islam adalah satu agama.
Satu agam yang hidup dalam sebagian terbesar dari rakyat Indonesia. Bukan itu
saja, Islam itu adalah satu ideology. Islam bukanlah semata-mata satu agama
dalam arti hubungan manusia dengan Tuhan. Islam mengandung dua unsur. Unsur
hubungan manusia dengan TuhanNya, dan unsure hubungan manusia dengan sesama
makhluk. Unsur ibadah dan muamalah.
Unsur yang kedua ini, unsure muamalah meliputi hidup orang perseorangan,
kekeluargaan dan hidup kenegaraan.
Dalam menghadapi soal kenegaraan seperti undang-undang dasar Negara, dengan
sendirinya kita terutama berhadapan dengan ajaran-ajaran Islam yang tersimpan
didalam unsur yang kedua tadi, yakni unsur muamalah.
Orang barangkali bertanya-tanya, bagaimanakah Islam dapat mengatur Negara yang
modern ini yang harus menghadapi 1001 macam soal yang berbelit-belit.
Untuk menghilangkan kewas-wasan yang demikian itu dapat saya tegaskan bahwa
orang tidak usah bertanya, bagaimana kiranya cara membuat begroting menurut
Islam, deviezen-regeling menurut Islam, mengatur lalu lintas dan yang semacam
itu, menurut Islam.
Islam mempunyai satu qaidah, yaitu : Yang mengenai soal ibadah, yakni hubungan
manusia dengan Tuhan, - “semua terlarang, kecuali yang diperintahkan”. Dan apa
yang mengenai hidup keduniaan, “semua boleh, kecuali yang terlarang”. Menurut
istilah juris-prudensi Islam hal itu dinamakan ; “al bara atul ashliyah”.
Islam memberikan dasar-dasar pokok untuk mengatur hidup keduniaan yang bersifat
abadi. Lain daripada itu menerangkan batas-batas (hudud) yang boleh dan tidak
boleh, batas-batas mana tak dapat tidak harus diindahkan oleh manusia untuk
keselamatan dan sejahteraan manusia sendiri, baik pribadi maupun masyarakatnya.
Disamping qaidah-qaidah yang sudah ditetapkan dan beberapa batas-batas yang
perlu diindahkan untuk keselamatan manusia sendiri, maka terbukalah bagi
manusia bidang yang amat luas untuk mengambil inisiatif mempergunakan rasio
atau ijtihadnya dalam semua lapangan hidup sesuai dengan kemajuan serta
tuntutan ruang dan waktu.
Agama, dalam bidang ini baru mencampuri apabila usaha-usaha
tindakan-tindakan atas ijtihad dan rasio itu, akan terbentur kepada batas-batas
moral keadilan, perikemanusiaan, yang sudah digelapkan oleh agama.
Saudara
ketua !
Semua qaidah-qaidah itu akan bertemu satu persatu, tiap-tiap kali kita membahas
sesuatu soal yang harus kita muat dalam UUD kita nanti : tentang soal hak-hak
asasi, bentuk Negara, tentang dasar social dan ekonomi dan lain-lain.
Saudara
ketua, timbul pertanyaan :
Apakah sekarang Negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu Negara theocratie
?
Theokrasi adalah system kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu
prieshood (system kependetaan), yang mempunyai hierarki (tingkat betingkat),
dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak
dikenal priesthood semacam itu.
Jadi Negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu theokrasi.
Ia Negara demokrasi.
Ia bukan pula Negara sekulair seperti yang saya uraikan lebih dulu.
Ia adalah Negara demokrasi Islam
Dan kalaulah saudara ketua, orang hendak memberi nama yang umum juga, maka
barangkali Negara yang berdasarkan Islam itu dapat di sebut Theistic
Democratie.
Saudar
ketua !
Saya mengharapkan, fraksi kami akan mendapat kesempatan yang luas, baik dalam
siding P.P.K dan komisi-komisi selanjutnya, untuk mengintrodusir qaidah-qaidah
yang saya maksudkan tadi itu.
Islam
memeliha nilai-nilai yang ada, menumbuhkan yang belum ada.
Saudara
ketua !
Disini saya mencoba mengintrodusir beberapa hanya saja dari qaidah-qaidah dari
Islam dalam garis besarnya.
Saudara
ketua !
Kita mengatakan bahwa ada pada bangsa kita nilai-nilai yang hidup dan
baik-baik, seperti tolong-menolong. Kalau orang tidak mau mengatakan, bahwa
Islamlah yang mulai mengajarkan nilai-nilai yang baik itu, maka nyatalah bahwa
Islam telah berjasa dalam memeliharanya.
Memang Islam sejak mula lahirnya terswimpul dalam sabda Nabi Muhammad saw. :
bu’istulli utammima makarimal akhlaq, “aku diutus oleh Allah untuk
menyempurnakan nilai-nilai akhlak yang baik”. Nilai-nilai yang baik itupun, ketika
Nabi diutus adalah peninggalan dari ajaran Nabi-nabi yang terdahulu sebagaimana
diwahyukan Tuhan kepada mereka. Oleh sebab itu maka didalam kita sekarang
hendak menentukan dasar Negara, kita memang bermaksud memelihara nilai-nilai
yang baik dalam bangsa kita.
Maka jikalau Islam menjadi dasar Negara, dengan sendirinya dia segera akan
melihat dan memeriksa, apa nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat.
Islam misalnya, segera melihat, bahwa pada bangsa kita ada nilai kesukaan
tolong-menolong. Ini saudara ketua sebagai contoh yang sederhana dan yang mudah
diraba terdapatnya pada bangsa kita. Sebab saudara ketua, ia termaksud ajaran
islam. Saya ingin menegaskan suatu perintah agama sebagaimana disebut didalam
Al Qur’an “Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa”, artinya : bertolong-tolonglah kamu
dalam kewajiban dan dalam berbakti kepada Tuhan”. Ini bahagian yang
positivenya.
Maka manakala timbul gejala-gejala yang negative pada bangsa kita, umpamanya
pada saat-saat sekumpulan manusia sesak nafas sehingga memungkinkan timbulnya
nafsu-nafsu yang angkara murka, dan bersekutu untuk berbuat suatu kemungkaran,
Islampun dating dengan tegurannya, sebagaimana terdapat dalam Al Quraan ;
“wala ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan”. Artinya : “janganlah kamu bertolong-tolongan
atas dosa dan bermusuh-musuhan.”
Satu lagi saudara ketua, misalnya kita dapati pula satu nilai baik yang kita
banggakan adanya didalam diri bangsa kita, yaitu : Nilai demikrasi atau
musyawarah.
Islam berkata : nilai musyawarah ini dalam mengatur hidup, baik dalam
masyarakat ataupun dalam hidup kenegaraan harus dipelihara dan dihidup
suburkan. Sebab, adalah satu ketentuan dalam ajaran Islam supaya dalam mengatur
urusan yang mengenai orang banyak itu si penguasa harus memperoleh keridhaan
dari pada orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatu yang
mengenai perikehidupan dan kepentingan rakyat banyak. Ada peraturan yang tegas
yang berbunyi ; “wa syawirhum fil amri”. (bermusyawarahlah kamu dengan mereka
didalam urusan yang mengenai diri mereka). Ini satu ketentuan, lebih tegas lagi
saudara ketua, suatu perintah agama yang dengan sendirinya dirasakan oleh orang
yang beriman mempunyai sakti agama.
Dan jikalau kita katakana bahwa demokrasi atau musyawarah itu menjadi salah
satu soko guru dalam pembinaan Negara kita, maka justru dalam soal ini pula
terdapat banyak sekali contoh yang diberikan Nabi Besar Muhammad saw. Dan para
sahabatnya, pada masa seluruh dunia pada waktu itu tenggelam didalam alam
despotisme, feodalisme, oligarki dan diktatur. Contoh itu mudah akan didapat
bagi orang-orang yang mau membaca literature Islam.
Saudara
ketua !
Ada lagi satu niali baik yang terdapt pada bangsa kita, yaitu bangsa kita
mencintai tanah airnya. Dan cinta tanah air dan bangsa itu memang fithrah
manusia.
Nilai inipun harus dipelihara dan dipupuk. Apa kata Islam tentang nilai ini ?
Al Quraan menjawab demikian : “wa ja alnakum syu’ban wa qaba ila lita
arafu”, yang maksudnya : Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
bangsa, agar kamu kenal mengenal yang menimbulkan harga-menghargai, memberi dan
menerima serta tolong-menolong.
Ayat ini tegasnya mengakui adanya kebangsaan. Malah lebih teliti, disitu
disebutkan, bahwa kebangsaan itu tidak usah melenyapkan suku-suku bangsa. Dan
malah ayat itu menunjukkan hikmah Tuhan mengadakan bangsa dan suku bangsa.
Yakni supaya dengan demikian terjadi kenal mengenal dan harga menghargai.
Perasaan kebangsaan seperti saya katakana di atas termaksud fithrah manusia.
Islam dalam seluruh ajarannya senantyasa memperhatikan apa yang menjadi fithrah
manusia. Maka tidak heran apabila kita mendengar ayat-ayat tadi dengan sengaja
menegaskan bahwa bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa itu dijadikan untuk tujuan
yang baik, yang ringkasnya : berkerjasama. Dan dengan sendirinya Islam
memelihara cinta tanah air dan bangsa sebagai nilai yang baik dan sesuai
dengan fithrah manusia.
Ini bahagian
positivenya, saudara ketua, yang Islam menghadapinya dengan tegas.
Disamping itu Islampun telah lebih dulu melihat dan mengetahui adanya bahagian
yang negative dari pada nilai tadi. Yaitu cinta bangsa, atau katakanlah,
kebangsaan yang berlebih-lebihan, yang biasanya merosot menimbulkan kecongkakan
dan kesmbongan bangsa, chauvinisme, racialisme, dan xenophoby. ! Sehingga satu
bangsa merasa dirinya lebih tinggi dan lebih mulia dari bangsa atau suku bangsa
yang lain.
Sudah dahulu diketahui itu oleh Islam. Sebab itu maka ayat tadi yang berbunyi
“Waja’alnakum syu’uban waqaba ila lita’arafu”, bukan berhenti sampai disitu
saja, melainkan diikuti dengan peringatan Tuhan yang maksudnya : “walau
berapapun anggapan kamu akan dirinya lebih mulia dari yang lain, pada
hakikatnya yang termulia diantara kamu hanyalah yang paling bertaqwa kepada
Tuhan, dan yang berbuat kebajikan : “inna akramakum ‘indaLlahi atqa’kum.”
013.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al hujuraat (49) ayat 13)
Saudara
ketua !
Satu nilai lagi yang baik juga terdapat pada bangsa kita, yaitu cinta
kemerdekaan. Cinta kemerdekaan ini terutama kentara sekali sesudah kita merdeka
dan berdaulat. Cinta kemerdekaan adalah suatu fithrah yang berjalin dengan
cinta tanah air.
Coba kita melihat saudara ketua, bagaimana cinta kemerdekaan itu tatkala kita
belum merdeka. Tiga ratus tahun lamanya bangsa kita dijajah oleh belanda.
Islam memelihara nilai cinta kemerdekaan ini, membangkitkan serta mengobarkan
nilai itu di mana-mana ia belum tumbuh. Andai kata, ada satu bangsa yang karena
penjajahan menjadi mati jiwanya dan mau tunduk saja diperlakukan
sewenang-wenang, bangsa yang demikian itu akan dibangkitkan jiwanya oleh Islam
untuk melawan, memberontak, berperang terhadap penjajahan kolonialisme. Dengan
tegas Al Quraan mengenai yang demikian ini berkata :
yang
maksudnya : “diizinkan untuk berperang bagi mereka yang diperlakukan
sewenang-wenang. Allah berjanji akan memberi kemenangan kepada mereka, ialah
mereka yang telah disingkirkan dari tanah airnya dengan sewenang-wenang.”(al
hajj (22) ayat 39)
Satu
lagi saudara ketua !
Dan jika kita mau menghitung lagi satu nilai, yang mestinya terdapat pada jiwa
bangsa kita ialah : kesukaan membela yang lemah. Nilai inipun seperti
nilai-nilai baik yang saya sebutkan tadi, dan berbagai lagi nilai yang lain,
mesti dipelihara juga oleh ajaran Islam. Malah Islam dengan ajaran-ajrannya
membangkitkan kemauan yang spontan untuk membela yang lemah. Adakah saudara
ketua ajaran mengenai hal itu lebih tegas dari pada apa yang dikatakan oleh
Quraan.
Begini
Quraan berkata :
075.
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang
lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a:
"Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami
penolong dari sisi Engkau!". (an nisa (4) ayat
75)
Bukan semata-mata menyuruh membela orang yang lemah dengan arti yang biasa,
akan tetapi Islam mengajak mengangkat senjata dan mempertaruhkan jiwa untuk
melepaskan kaum yang lemah daripada tindasan yang tadinya sudah tidak berdaya
dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengeluh, dan merintih dan hanya dapat
berkata : “Ya Tuhan kami, singkirkanlah kami dari negeri tempat kami
diperlakukan oleh sipenguasa dengan sewenang-wenang.”
Saudara
ketua !
Jika sekarang orang sering-sering menyebut memberantas penindasan, atau
pemerasan manusia atas manusia, yaitu yang biasanya olebih popular dikenal
ucapan dalam bahasa lain : “explotation of man by man” itu, maka sejak 14 abad
yang lampau Islam sudah meletakkan nilai membela dan melindungi si lemah,
memberantas “explotation man by man” itu berupa perintah yang setegas-tegasnya
seperti tersebut dalam ayat Quraan di atas
Hati orang yang beriman dengan sendirinya akan bergerak oleh perintah agam tadi
untuk melaksanakan tugas tersebut, walaupun dengan mempertaruhkan jiwanya,
andai katapun tidak ada propaganda dari luar yang mengajaknya.
Maka oleh karenanya ummat yang beriman mustahil akan membiarkan sesuatu
penindasan dan exploitasi atas orang lain, apalagi atas dirinya sendiri.
Perintah yang diajarkan Islam tadi saudara ketua itulah perintah yang tersimpul
dalam kata “al jihad”. Dan kata al jihad ini sudah cukup popular dalam kalangan
bangsa kita, terutama karena andil yang diberikan umat Islam didalam perjuangan
kemerdekaan yang baru lalu. Pemimpin-pemimpin kita saudara ketua sebenarnya
tahu akan pengaruh kalimat “jihad” itu dalam hati sanubari rakyat kita.
Oleh karena itu baik oleh pemimpin-pemimpin yang percaya atau yang tidak
percaya, seruan kalimat jihad itu dipakai untuk menggerakkan jiwa dan raga
rakyat untuk berperang mengusir penjajah dalam revolusi kemerdekaan kita.
Hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Seruan perang tersebut tidaklah akan
sebesar itu hasilnya andaikata semangat berjihad itu tidak sudah berakar lama
dalam kalbu rakyat. Yaitu rakyat yang dibawah pimpinan para ulama, diajar oleh
agamanya : “berjihad fi sabiliLLah.”
Satu
lagi saudara ketua !
Ada satu nilai yang terdapat dalam bangsa kita, yakni : nilai tidak
mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi hidup.
Islam berkata : nilai ini harus dipelihara baik-baik dan dihidup suburkan agar
semua lapisan masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana
bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus dan hendak
memperkaya diri dengan menumpukkan harta, emas dan perak, sekedar untuk dilihat
dan dihitung, untuk kesenangan diri sendiri dengan tidak mengacuhkan masyarakat
disekelilingnya, maka dengan tergas pula Islam mencegah dan memberantas nafsu demikian
itu, yang dalam bahasa lain popular disebut kapitalisme.
Islam
dengan tegas mengancam orang yang demikian :
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, siksa yang pedih,(at
taubah (9) ayat 34)
Islam
berkata : tiap-tiap individu berhak untuk memiliki harta. Hak milik itu adalah
sebahigian fithrah manusia pula. Tetapi Islam menegaskan disamping hak untuk
memiliki harta, terletak kewajiban yang harus dipenuhi pemiliknya.
Yakni : Islam berkata dengan tegas, bahwa harta yang dimiliki harus memancarkan
faedah dan manfaat bagi golongan yang tidak memilikinya (have nots). Harta dan
milik tidak boleh ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri.
Harta itu harus dimasukkan kedalam produksi-proses untuk mempertinggi
kemakmuran sehingga lebih merata untuk rakyat banyak.
Bagi ummat yang beriman tegoran dan petunjuk Islam itu dirasakan sebagai
tuntunan yang langsung dari Illahi, yang harus ditaatinya dan dilaksanakannya
sebagai seorang anggota masyarakat., terhadap kesejahteraan masyarakat mana ia
bertanggung jawab. Oleh karena itu, bila dia mendengar istilah yang lebih
populer seperti istilah-istilah : “hak milik mempunyai fungsi social”, maka
pengertian kata-kata yang demikian itu bagi mereka dirasakan lebih mendalam
dari sekedar perumusan kata-kata dalam undang-undang, sebab sudah lebih dulu
Agamanya sendiri telah mengajarakan demikian kepadanya.
Akhirnya disamping ada banyak nilai-nilai yang lain lagi terdapat pula
dikalangan bngasa kita satu nilai yang berharga, yaitu : nilai toleransi antar
pemeluk-pemeluk agama.”
Dimana ini sudah ada, Islam berkata : ini harus dipelihara dan disuburkan
baik-baik. Ditegaskannya satu kaidah atau prinsip : “tidak ada paksaan dalam
agama”.
256.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al baqarah (2) ayat 256)
Iman dan
kepercayaan itu adalah kurnia Illahi yang dimiliki oleh tiap-tiap perseorangan
yang mencarinya dengan kesungguhan hati.
Maka setelah menegaskan kemerdekaan memeluk agama ini, Islam berkata : bahwa
adalah kewajiban tiap-tiap orang menyembah Tuhan. Malah saudara ketua
mem[ertahankan kemerdekaan menyembah Tuhan ini bagi orang yang beriman bukanlah
sekedar bunga bibir. Toleransi yang diajarakan oleh Al Quraan golongan agama
bukanlah semata-mata toleransi yang negative. Akan tetapi toleransi yang
mewajibkan tiap-tiap pemeluknya untuk berjuang, malah untuk mempertaruhkan jiwa
nya dimana perlu, unutk menjunjung kemerdekaan beragama, bukan bagi agam Islam
saja, akan tetapi juga bagi agam-agama yang lain, agama-agama ahli kitab. Yakni
memperlindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam gereja, biara, sinagog dan
masjid dimana disebut nama Allah.
Demikian ketentuan yang tegas diberikan oleh Islam sebagai pegangan bagi
pengikut-pengikutnya.
040.
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah
Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (al hajj (22) ayat 40)
Kita tahu bahwa kecintaan kepada agama masing-masing itu tempo-tempo bisa
menimbulkan ta’asub agama atau fanatisme yang berlebih-lebihan. Oleh karena
itulah Islam didalam ajarannya tentang ini amat tegas dan terang untuk
menghindarkan yang demikian itu.
Demikian Nabi Muhammad saw. Memberikan contoh yang nyata-nyata bagaimana harus
bersikap toleran terhadap pemeluk-pemeluk agama lain didalam Negara yang dalam
pimpinannya,
Bagaimana kata beliau dihadapkan kaum ahli kitab yakni pemeluk agama nasrani
diwaktu itu :
“Aku diperintah (oleh Tuhan) supaya berlaku adil terhadapmu. Allah adalah Tuhan
kami dan Tuhan mu. Bagi kami amalan kami. Bagi kamu amalan kamu. Tak ada persengketaan
diantara kami dengan kamu. Allah juga yang akan memprtemukan kita dan
kepada-Nya lah kita kembali semuanya.”
Demikian dengan sungguh-sungguh dan nyata Islam meletakkan dasar akhlak yang
baik, dasar toleransi yang positive kepada sesama beragama, malah meletakkan
tanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan beragama itu.
Demikian keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang
yang menganut agama Islam sebagai pedoman hidupnya, yang harus dibuktikannya
dalam kehidupan sehari-hari, sebagai suatu niali yang dianggapnya suci.
Dan kalau dalam Negara kita ini menjadi persoalan, bagaimanakah menjaga
kemerdekaan beragama, dan kalau dalam Negara ini dimana terdapat dua –tiga
alitran-aliran agama hendak ditanamkan dan di hidup suburkan dasar-dasar
keragaman hidup antar agama, maka terang dan nyatalah bahwa yang demikian itu
dapat dicapai dengan menegakkan dan menyuburkan kalimat Allah ini, yang sudah
ditebarkan benihnya didalam kalbu sebahagian besar daripada bangsa kita.
Saudara
ketua !
Nilai ini dirasakan oleh ummat Islam sebagai nilai yang suci yang menjadi
pedoman dan pegangan hidup baginya. Jauh lebih kuat dan berakar dalam kalbu
mereka dan lebih mampu untuk menjaga kemerdekaan beragama dan menghidup
suburkan keragaman hiduip beragama, daripada perumusan satu “pureconcept”, sila
“ketuhanan yang maha esa”, yang dirasakan oleh mereka sebagai satu perumusan
kata-kata yang sterile dan hampa.
Saudara
ketua !
Alangkah banyaknya lagi nilai-nilai baik yang tersimpan dalam tubuh bangsa
kita, yang menurut kami adanya berasal dari ajaran agama Islam yang dipeluk
oleh kebanyakan bangsa kita.
Apa yang saya kemukakan di atas hanya beberapa saja.
Kesimpulan-kesimpulan
Apa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tadi itu ?
Kesimpulan ialah, bahwa :
1. Islam telah lebih dulu menanamkan dan menghidup suburkan
pelbagai nilai baik, dan berakar kuat dalam
keseluruhan ajarannya, yang bersumber pada
tauhid. Tauhid yang berarti percaya akan adanya Tuhan
yang diagungkakan, menyebabkan rakyat kita,
dalam diri masing-masing, menyimpan perasaan taqwa
kepada Tuhan. Tuhan baginya yang paling
berdaulat diatas semua kedaulatan-kedaulatan duniawi.
Saudara ketua !
2. Negara adalah alat atau yang kita namakan institution.
Negara dengan perundang-undangan dan alat
pelengkapnya mengatur berjalannya hukum, untuk
keselamatan dan kesejahteraan Negara dan rakyat.
Adapun yang dinamakan “staatsbewust” itu
sebenarnya ialah ketaatankepada peraturan-peraturan
Negara.
3. Sampai sekarang saudara ketua, kita sudah 12 tahun
bernegara merdeka
Berapakah sesungguhnya banyak jumlah rakyat kita yang sudah mengetahui
peraturan-peraturan
Negara itu, terutama misalnya Undang-undang Hukum Pidana, atau kitab
KUHP, sehingga dapatlah
tercegah rakyat itu melakukan perbuatan pidana.
Tetapi rakyat kita saudar ketua sudah tahu
sebelum adanya KUHP dizaman colonial atau dizaman
kemerdekaan ini, -apa yang didalam bahasa umum
disebutkan dengan istilah “halal dan haram”, satu istilah
yang terang berasal dari ajaran Islam.
Maka saudara ketua, mereka menjauhi suatu perbuatan pidana, bukan
terutama disebabkan oleh karena
mengetahui apa-apa yang disebut dalam KUHP itu. Akan tetapi disebabkan
oleh karena agamanya sudah
lebih dulu menentukan batas antara yang halal dan yang haram, batas
antara yang boleh dan yang tak
boleh, batas antara yang patut dan tak patut. Dan ketaatan mereka kepada
hukum-hukum itu bersumber
kepada Tauhid, kepada pengakuan akan, dan ketaatan kepada Kedaulatan
Tuhan, kedaulatan yang
mutlak.
Kita mesti bersyukur saudara ketua, kita mempunyai rakyat yang telah
memusatkan perikehidupan lahir
dan bathinnya, kepada pengakuan akan dan ketaatan kepada Kedaulatan
Tuhan yang mutlak, yang
mengatasi semua kedaulatan itu. Sehingga mereka itu dapat menuntun
dirinya sendiri sebagai manusia yang
bebas merdeka dan yang bertanggung jawab, atas keselamatan dan
kesejahteraan dirinya sendiri sebagai
manusia yang bebas merdeka dan yang bertanggung jawab atas keselamatan
dan kesejahteraan diri,
keluarga dan masyarakat serta negaranya.
4. Alangkah susahnya saudara ketua, sekiranya untuk menjaga
tingkah laku dan tindakan-tindakan puluhan
milyun rakyat itu, yang bertebaran diseluruh
tanah air, dari pinggir pantai ke gunung-gunung, hanya dapat
dilakukan dengan kekuatan polisi, jaksa dan
penjara-penjara, untuk menegakkan hukum.Pada akhirnya
saudra ketua, yang dinamakan state philosophy,
atau dasar Negara itu ialah satu dasar yang mampu
membangunkan jiwa dan membina rakyat lahir dan
bathin, sehingga menjadi satu bangsa yang berakhlak,
bangsa susila kata orang sekarang, yang dapat
mengatur diri sendiri, tanpa setiap waktu harus ditindaki
oleh aparat-aparat Negara
Maka saudara ketua, hanya satu state
philosophy yang berpusat kepada kepercayaan dan kaetaatan kepada kedaulatan Tuhan
yang mutlak sebagai sumber hukum dan nilai-nilai hidup itulah yang dapat
melakukan fungsi yang demikian.
(Tentang kedaulatan Tuhan ini, sebagai
“gravitional centre” segala-galanya dalam Islam, sudah panjang lebar dikupas
oleh saudara se-fraksi saya saudara Osman Raliby tanggal 21 Mei 1957, dalam
siding pleno yang lalu bahagian pidatonya itu bersama ini saya lampirkan).
Itulah sebenarnya saudara ketua, maka dalam
saya menyebut nilai-nilai tadi, senantiasa saya hubungkan dengan sumber
asalnya, yaitu wahyu Illahy. Zonder adanya sumber itu, tegasnya agama, maka
perumusan-perumusan nilai itu akan hampa dan steril.
Adapun state philosophy atau dasar Negara yang
akan dirumuskan, apabila tidak berpusat dan mendapat nucleus didalam kedaulatan
tuhan yang mutlak, perumusan itu akan merupakan butir-butir pasir yang kering,
yang tidak ada mengandung kekuatan apapun juga.
Tegasnya saudara ketua :
Bukan butir-butir perumusan nilai, tetapi
sumber nilai-nilai itu sendiri, yang harus dijadikan dasar Negara.
Maka oleh karena itulah, saudara ketua, ummat
Islam menghendaki Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia ini.
Penutup
saudara ketua :
Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita
selanjutnya tak dapat melepaskan diri dari poko persoalan yang dihadapi oleh
Ummat Manusia dalam abad ke-20 ini.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnonologi dan industrialisasi yang
luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi yang paling tinggi dalam
sejarah manusia.
Dalam kegiatan menaklukan materi yang ada disekelilingnya, manusia lupa kepada
dirinya sendiri sebagai mahkluk Tuhan.
Maka disamping segala hasil kemajuan materi yang melimpah-limpah itu, disertai
oleh berpalingnya manusia dari tuntunan Illahi, ternyatalah segala sesuatunya
mengakibatkan pula keseimbangan hidup yang amat berbahaya itu justru makin
kelihatan gejala-gejalanya dalam kalangan mereka yang paling maju dalam arti
hidup duniawi itu, dalam alam yang di kusai oleh paham sekularisme, yang hanya
pandai merusakkan nilai-nilai hidup beragama tetapi sama sekali tak mampu
memberi pegangan hidup yang teguh sebagai penggantinya.
Dengan kemampuannya untuk menguasai dan mempergunakan kekuatan alam sekitarnya,
dengan maksud untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dan berbahagia,
makin lama mereka malah makin terkurung didalam lingkaran kekhawatiran dan
ketakutan, mengingatkan bencana yang akan menimpa, menghancur leburkan ummat
manusia, disebabkan oleh hasil ilmu dan buatan tangannya sendiri.
041.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (ar ruum (30) ayat
41)
Meraka yang mulai sadar akan bencana yang mengancam itu, mulailah mencari-cari
dan meraba-raba jalan kembali, untuk memperoleh pegangan hidup dan keseimbangan
hidup. Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan sebagai orang
dipersimpangan jalan : apakah akan meneruskan sekularisme dengan segala
akibat-akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntunan Illahi, sehingga akan
terbuktilah firman Illahi.
053.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al
Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?(fushlihat (41) ayat 53)
Maka saudara ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa
kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siang-siang menyelamatkan
diri dan keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan
sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintiskan jalannya memberikan
dasar-dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fithrah manusia, agar bangsa
kita itu memiliki keseimbangan hidup yang stabil, seimbang akal dan kalbunya,
seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan
kembali kepada tuntunan Illahi.
QUL HADZIHI SABIILII UDZ’UWILALLAHI ALA BASHIRATIN ANA WA MAN TABAANII
FASUBHANALLAHI WA MAA ANA MINALMUSRIKIIN.
Terimakasih.
LAMPIRAN
:
FRAGMEN
DARI PIDATO SAUDARA OSMAN RALIBY DALAM SIDANG PLENO KONSTITUANTE
TANGGAL
21 MEI 1957
Saudara ketua, memang kedaulatan sesungguhnya itu real souvreignty itu, tidak
terdapat dalam masyarakat makhluk manusia.
Kedaulatan yang sesungguhnya itu adalah kepunyaan Allah Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa, sedang kekuasaan atau autoriteit yang seharusnya kita lakukan adalah
satu amanat suci, satu sacred trust, yang sewajarnya berada dalam
batas-batas kehendak Allah.
Walaupun kita tetap menutup mata terhadap kebenaran yang saya katakana ini dan
menyelubungi juga seseorang manusia, atau sejumlah besar ummat manusia, ataupun
sesuatu badan tertentu, dengan pakaian kedaulatan itu, namun saudara ketua,
kita tidak akan dapat melihat satu justifikasi yang sesungguhnya dari usaha
tersebut. Manusia itu baik secara individual, maupun secara kolektive tidak
akan tahan diberikan kedaulatan seperti diinterprestasasikan itu. Watak manusia
sudah demikian, baik individual maupun kolektive, dan jika diberikan juga ia
kedaulatan seperti tersebut secara kunsmatig, maka akibatnya lekas atau lambat
ialah kehancuran bagi ummat itu sendiri, kerubuhan bagi bangsa itu sendiri.
Tuhan telah mengatakan dalam Al Quraan : waman lam yahkum bima anzal Allaahu fa
ulaika humuzzalimun. (barang siapa tidak memakai hukum ciptaan Tuhan, maka
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang melewati batas).
Didalam pandangan kami saudara ketua, sesuai dengan ajaran Islam, segala
kedaulatan de jure adalah kepunyaan Allah, yang kedaulatan de faktonya adalah
inhairent dan jelas tampak didalam segala gerak dan kerja alam semesta. Pun
kedaulatan politik adalah punya Nya.
Segala directiven dan segala perintah dari Yang Maha Esa dan Maha Kuasa itu
telah disampaikan kepada kita lewat seorang manusia sempurna yang bernama
Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.
Didalam Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17
agustus 1945, saudara ketua, ummat Muhammad ini adalah merupakan suatu jumlah
yang terbesar dan bersama-sama saudara sebangsa lainnya telah memberikan
pengorbanan yang banyak untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
Republik Indonesia itu.
Kedaulatan itu adalah penting sekali dan merupakan sumber dari kehidupan
bangsa.
Karena itu, saudara ketua, soal kedaulatan ini haruslah menjadi perhatian kita
bersama yang sungguh-sungguh dan seksama. Mengenai soal kedaulatan ini jangan
lah kita meniru-niru saja pengertian yang berlaku di dunia barat ataupun di
dunia timur. Presiden Soekarno sendiri didalam pidato peresmian pembukaan
siding konstituante kita ini telah mengamanatkan dan meminta, supaya
undang-undang dasar yang akan kita susun itu janganlah hendaknya tiruan dan
saduran dari undang-undang dasar yang telah ada di negeri-negeri lain. Sayapun
berpendirian demikian, saudara ketua.
Sudah terang kita harus belajar dan memperhatikan segala pengalaman dari segala
bangsa di dunia ini yang mengenai pembuatan undang-undang dasar itu. Tetapi
hendaknya sesuai dengan harapan Presiden Soekarno, seyogyanya kita ingat
benar-benar, bahwa undang-undang dasar yang kita susun ini adalah untuk bangsa
Indonesia. Kita tidak boleh lengah dalam memperhatikan keinginan, jiwa, watak
dan pribadi dari bangsa atau rakyat kita itu, yang beraneka ragam adapt
istiadatnya, agama dan kepercayaannya.
Kedaulatan yang seperti saya utarakan tadi sering disalah artikan dan acapkali
pula disalah gunakan didalam masyarakat kita. Susunan kenegaraan dalam mana
“temporal dan spiritual power” itu dipersatukan secara spontan, akan tetapi
salah, selalu disebut theokrasi. Cara berpikir seperti ini hendaknya dapat
lambat laun kita lepaskan. Kalu kita toh harus memberikan nama juga terhadap
pemerintahan seperti itu, maka tepatnyalah kalau dinamakan nomokrasi. Menurut
Oxford Dictionary nomocrasi itu ialah “a system of government based on legal
code” atau “the rule of law in community”.
Dan
karena dalam Islam itu undang-undang atau hukum itu adalah lebih dulu ada dari
Negara dan menajdi dasar dari Negara itu, maka pemerintahan yang berkedaulatan
seperti itu sesungguhnya dapatlah dita namakan nomokrasi, dan bukan theokrasi.