Kamis, 06 Maret 2014

IAIN DI TENGAH PARADIGMA BARU PERGURUAN TINGGI

IAIN DI TENGAH PARADIGMA BARU PERGURUAN TINGGI

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan dalam Deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi pada 1998.
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.
Pengembangan IAIN, dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan IAIN sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global. Tulisan ini mencoba mengkaji perubahan-perubahan yang dapat ditempuh IAIN dalam perspektif paradigma baru Perguruan Tinggi yang telah dirumuskan baik pada tingkat pendidikan nasional maupun internasional. Tulisan ini juga berusaha menawarkan sejumlah peluang dan alternatif yang dapat ditempuh IAIN—bukan hanya untuk survive, tetapi lebih-lebih lagi untuk mengembangkan dirinya menjadi Perguruan Tinggi yang dapat memberikan competitive advantage kepada mahasiswanya.

Paradigma Baru Perguruan Tinggi
Dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global—yang disinggung sedikit di atas, namun tidak perlu diuraikan secara rinci—maka konsep “paradigma baru” bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana dikemukakan dalam “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action”,[i] dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Paradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi, IAIN sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu.
Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna Amijaya.[ii] Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya. Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan daya tampung; ketiga keterbatasan kemampuan berkembang; keempat, kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi; dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima, peningkatan kemampuan berkembang.
Harus diakui, program di atas tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai kendala, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi itu sendiri dan kebijakan pendidikan nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku. Sebab itu, sebuah konsep program pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, 1986-1995, yang sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwihardjo.[iii] Beberapa konsep program besar kembali dirumuskan, yakni, pertama, peningkatan kualitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagian besar berdasarkan konsep-konsep ini selanjutnya dirumuskan sebuah “paradigma baru” Perguruan Tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka Panjang Ketiga (1996-2005). Paradigma baru ini mencakup antara lain: peningkatan kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi merupakan komponen-komponen terpenting.[iv]
Rencana jangka panjang terakhir ini sejak semula memang disebut sebagai “paradigma baru” Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain.
Demikian, dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan segala ketentuan secara rinci; atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan kerangka dasar; memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi; dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Harus segera dikemukakan, perumusan kembali (reformulation) paradigma baru Perguruan Tinggi pada tingkat nasional itu mendapatkan daya dorong dengan terjadinya krisis moneter, ekonomi, dan politik di Indonesia sejak akhir 1997. Krisis yang juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada seluruh jenjang tidak terelakkan pula mendorong berkembangnya perluasan konsep paradigma baru Perguruan Tinggi tadi, sehingga tercakup dalam konsep reformasi pendidikan nasional secara menyeluruh. Reformasi sistem pendidikan dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh aspek pendidikan, seperti: filosofi dan kebijakan pendidikan nasional; sistem pendidikan berbasis masyarakat (community-based education); pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan; manajemen berbasis sekolah (school-based management); implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi; dan, sistem pembiayaan pendidikan.[v]
Bagaimanapun, krisis multi dimensi dan multi level yang dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan membuat reformasi pendidikan yang dicanangkan berbagai pihak tidak mudah dicapai, apalagi dalam waktu dekat di awal milenium ketiga. Karena itu para perumus konsep reformasi pendidikan nasional merekomendasikan perlunya adopsi dua strategi; defensive strategy dan recovery strategy. Defensive strategy pada intinya bertujuan untuk mempertahankan prestasi yang telah dicapai di masa silam, dan sekaligus berusaha sedapat mungkin meningkatkan segala sesuatu yang baik. Strategi pemulihan bertujuan untuk memulihkan kembali pendidikan nasional dari berbagai krisis yang masih akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan.
Daya dorong tambahan (impetus) bagi implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi muncul dengan dikeluarkannya “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” oleh UNESCO,[vi] yang sedikit telah dikutip di atas. Dokumen penting yang juga menjadi sumber utama tambahan bagi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia itu memuat pula hal-hal mendasar sejak dari misi dan fungsi Perguruan Tinggi; peranan etis, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif Perguruan Tinggi; perumusan visi baru Perguruan Tinggi; penguatan partisipasi dan peranan perempuan dalam Perguruan Tinggi; pengembangan ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi melalui riset dalam bidang ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan sains dan teknologi, dan penyebaran hasil-hasilnya; pengembangan orientasi jangka panjang Perguruan Tinggi berdasarkan relevansi; penguatan kerjasama Perguruan Tinggi dengan dunia kerja, dan analisis dan antisipasi terhadap kebutuhan masyarakat; diversifikasi pemerataan kesempatan pendidikan; pendekatan baru terhadap pendidikan secara inovatif; pemberdayaan mahasiswa sebagai aktor utama Perguruan Tinggi; pengembangan evaluasi kualitatif terhadap kinerja akademis dan administratif; antisipasi terhadap tantangan teknologi; penguatan manajemen dan pembiayaan Perguruan Tinggi; peningkatan kerjasama dan aliansi antara Perguruan Tinggi dengan berbagai pihak (stakeholders) seperti lembaga keilmuan lain, dunia industri, masyarakat luas, dan sebagainya.
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi dalam abad 21 seperti dirumuskan UNESCO—yang jelas sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia ada baiknya dikutip lebih lanjut beberapa bagian penting Deklarasi UNESCO tersebut.
Pertama, tentang misi dan fungsi Perguruan Tinggi, Deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks itu, misi dan fungsi Perguruan Tinggi secara lebih spesifik adalah: mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia, dengan menawarkan kualifikasi-kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah-matakuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
Kedua, memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewargaan (citizenship) dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang mempribumi (indigenous).
Ketiga, memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset; dan memberikan keahlian (expertise) yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi; mengembangkan penelitian dalam bidang sain dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
Keempat, membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
Kelima, membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewargaan yang demokratis (democratic citizenship). Keenam, memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
Hal tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip di sini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif Perguruan Tinggi. Dalam hal ini Perguruan Tinggi berkewajiban:
Pertama, memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya.
Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan dan sosial secara independen dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggungjawabnya; menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.
Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi, peringatan dan pencegahan.
Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.
Kelima, menikmati kebebasan dan otonomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggungjawab sepenuhnya (fully responsible) dan accountable kepada masyarakat.
Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan masyarakat global.
Akan tetapi penting dicatat, di samping penekanan yang kuat kepada fungsi-fungsi Perguruan Tinggi vis-a-vis masyarakat pada umumnya, Perguruan Tinggi juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai aktor-aktor utama; atau dengan kata lain mengembangkan Perguruan Tinggi yang menjadikan mahasiswa sebagai “pusat” atau “orientasi” (student centered education) dalam seluruh kegiatannya. Para pengambil kebijakan Perguruan Tinggi pada tingkat nasional dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat concern; dan memandang mereka sebagai mitra utama dan merupakan stakeholder yang paling penting dalam pembaharuan dan reformasi Perguruan Tinggi. Paradigma baru Perguruan Tinggi dalam konteks ini adalah pelibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tentang tingkat pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum; dan bahkan dalam perumusan kerangka kerja institusional Perguruan Tinggi, kebijaksanaan dan manajemen Perguruan Tinggi. Lebih-lebih lagi karena mahasiswa-mahasiswa memiliki hak untuk mengorganisasi dan mewakili diri mereka, maka keterlibatan mereka dalam hal-hal tersebut haruslah terjamin.[vii]
Dalam konteks perumusan konsep-konsep, baik pada tingkat nasional maupun global tentang pengembangan Perguruan Tinggi, kita dapat melihat dan menempatkan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia dalam acuan yang telah dirumuskan oleh Departemen Pendidikan Nasional.[viii] Paradigma baru Perguruan Tinggi itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni:
Pertama,  kemandirian lebih besar (greater autonomy) dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya—atau setidaknya “otonomi lebih luas”— adalah otonomi bukan saja dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Dengan demikian Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan pengembangan (research and development).
Dalam kerangka otonomisasi ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 60/1999 yang memberikan wewenang lebih luas kepada Perguruan Tinggi untuk mengembangkan dirinya. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 61/1999 tentang penetapan Perguruan Tinggi negeri sebagai Badan Hukum. Sebagai catatan, PP 60/1999 yang merupakan perubahan PP 30/1990 tentang Perguruan Tinggi, dalam segi-segi tertentu—seperti kategorisasi bentuk-bentuk Perguruan Tinggi, yakni universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik dan akademi—masih belum cukup reformis, sehingga belum banyak memungkinkan terciptanya iklim yang betul-betul kondusif bagi implementasi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi.
Dalam persoalan otonomi ini ada baiknya ditambahkan catatan yang dikemukakan R. Berdahl, misalnya.[ix] Menurut dia, dalam membahas otonomi, sangat bermanfaat membuat sebuah distingsi di antara otonomi prosedural dan otonomi substantif pada satu pihak dan kebebasan akademis (academic freedom) pada pihak lain. Otonomi substantif adalah kekuasaan atau kewenangan Perguruan Tinggi untuk menentukan tujuan-tujuan dan program-program sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan otonomi prosedural adalah kekuasaan atau kewenangan Perguruan Tinggi secara kelembagaan untuk menentukan cara-cara (means) guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada pihak lain, kebebasan akademis adalah kebebasan dosen atau ilmuwan secara personal dalam pengajaran dan penelitian untuk mencapai kebenaran tanpa khawatir atau takut kepada hukuman, pemecatan dan sebagainya.
Persoalan pengembangan otonomisasi lebih luas ini tentu saja harus dikaitkan dengan tanggungjawab (responsibility) dan akuntabilitas (accountability). Harus diakui, dalam hal tanggungjawab ini pihak Perguruan Tinggi dituntut mengggunakan otonomi secara bertanggungjawab. Tetapi, pada pihak lain, pemerintah yang memberikan otonomi, seharusnya pula memberikan otonomi yang tidak ambiguous, seperti tercermin dalam bagian-bagian tertentu PP 60/1999, misalnya saja tentang pengangkatan dosen, pegawai dan lain-lain. Akibatnya, Perguruan Tinggi tetap menghadapi banyak kendala yang sangat menyulitkannya untuk mengaktualisasikan otonomi tersebut.
Kedua, akuntabilitas atau tanggung urai (greater accountability), bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holders lainnya yang memakai dan memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi dan hasil pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
Ketiga, jaminan lebih besar terhadap kualitas (greater quality assurance) melalui evaluasi internal (internal evaluation) yang dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan; dan evaluasi eksternal (external evaluation), yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). Dalam hal terakhir ini, BAN harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih fleksibel dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dan kebutuhan dunia kerja. BAN juga harus melibatkan lebih banyak unsur stakeholders dalam organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya “penilaian” dan “pengakuan” yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.
Dengan ketiga tungku paradigma baru Perguruan Tinggi ini, jelas bahwa satu tungku dengan tungku-tungku lainnya saling berkaitan dan bahkan interdependensi. Ketiga tungku itu mesti diaktualisasikan secara simultan. Sebab, jika tidak demikian, maka Perguruan Tinggi tetap akan menghadapi berbagai kesulitan dalam mewujudkan fungsi-fungsi dan peranannya seperti dirumuskan dalam konsep paradigma baru Perguruan Tinggi.

Visi IAIN Jakarta
Sesuai dengan semangat paradigma baru Perguruan Tinggi, khususnya otonomisasi, visi pengembangan IAIN berikut ini lebih terkontekstualisasi dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini karena kerangka pengembangan itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kondisi dan situasi IAIN Jakarta. Bahwa barangkali ada hal-hal tertentu yang bisa dan cocok untuk diadopsi oleh IAIN-IAIN lain, maka itu bisa dipandang sebagai nilai limpah dari IAIN Jakarta.
Konsep dasar awal pengembangan IAIN Jakarta pada 1990-an adalah perubahan IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta, atau Universitas Islam Syarif Hidayatullah. Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN menjadi UIN bertitiktolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut.
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.[x]
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum IAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan mahasiswa kepada cara berfikir dan pendekatan yang lebih empiris dan kontekstual nampaknya masih belum memadai.
Berdasarkan latarbelakang pokok itu, pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mempunyai alasan yang cukup kuat. Tetapi sejak gagasan pembentukan UIN bergulir beberapa tahun terakhir, terdapat cukup banyak kendala pokok yang harus diatasi, khususnya legal constraints yang berkaitan dengan Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Penerbitan PP 60/1999, sebagaimana dikemukakan di atas, kelihatannya juga belum cukup reformis untuk memungkinkan perubahan IAIN menjadi UIN. Karena itu, jika dalam kerangka transformasi IAIN kepada UIN, setidaknya ada dua opsi yang dapat dipilih. Kedua opsi itu masing-masingnya mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Pertama, langsung mengubah atau mentransformasikan IAIN Jakarta yang mungkin dipandang “cukup siap”, terutama dari segi SDM dan lingkungan akademi, untuk menjadi UIN. Transformasi seperti ini melibatkan perubahan/ penyesuaian atau peningkatan fakultas-fakultas yang ada sekarang, dan pembentukan fakultas-fakultas baru yang sesuai dengan konsep dan kerangka UIN. Langkah transformasi seperti ini mengandung beberapa masalah khususnya dalam penambahan prasarana, sarana dan SDM dalam bidang keilmuan tertentu, khususnya “ilmu umum”.
Kedua, mendirikan atau membentuk jurusan-jurusan dan fakultas-fakultas baru dalam institusi IAIN sekarang sehingga secara substantif sesuai dengan kerangka UIN. Alternati kedua ini nampaknya sesuai dengan saran mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Juwono Sudarsono ketika membalas surat mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Hartarto yang mendukung gagasan transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN yang sebelumnya menerima usul perubahan itu dari mantan Menteri Agama Quraish Shihab. Menurut mantan Mendikbud, pertama, perubahan sebuah institut menjadi universitas harus selaras dengan kebijaksanaan pemerintah tentang pendidikan tinggi untuk memberikan prioritas pada pengembangan jurusan-jurusan dan fakultas-fakultas eksakta. Kedua, bahwa perubahan itu harus dimulai dengan penyiapan SDM dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan, daripada perubahan institusional.
Konsep dan kerangka pengembangan seperti inilah, dalam pandangan IAIN Jakarta disebut dengan “IAIN dengan mandat lebih luas” (IAIN with wider mandate”). Alternatif ini mungkin lebih “realistis” dari segi penyiapan prasarana, sarana dan sumber daya. Dan sesuai dengan konsep dan kerangka “IAIN with wider mandate”, IAIN Jakarta telah dan akan mengembangkan jurusan-jurusan umum, khususnya eksakta, yang dalam tahap selanjutnya di-upgrade menjadi fakultas-fakultas. Pada saat yang sama, sejak tahun anggaran 1998/1999 IAIN Jakarta mulai memberikan prioritas pada rekrutmen dan pengangkatan calon-calon dosen sesuai dengan kerangka dan konsep IAIN dengan mandat lebih luas tersebut.
Bagaimanapun, baik konsep dan kerangka UIN ataupun IAIN dengan mandat lebih luas memerlukan model tertentu, baik dilihat dari secara epistimologis keilmuan maupun kelembagaan. Model itu terasa semakin diperlukan untuk menjaga agar bidang-bidang agama yang selama ini menjadi karakter IAIN tidak terkesampingkan atau termarjinalisasi, seperti terlihat dalam beberapa kasus, karena ekspansi bidang-bidang umum dalam kerangka UIN atau IAIN dengan mandat lebih luas. Karena itu, dalam konsep dan kerangka UIN, terdapat setidaknya tiga pilihan:
Pertama; “Model Universitas al-Azhar”, di mana fakultas-fakultas agama berdiri berdampingan dengan fakultas-fakultas umum. Fakultas-fakultas ini cenderung terpisah satu sama lain, walaupun tetap di bawah satu payung. Kecenderungan dari model ini adalah bahwa fakultas-fakultas umum menjadi fakultas-fakultas favorit, sementara fakultas-fakultas agama menjadi “fakultas-fakultas pilihan kedua”, untuk tidak menyebut “periferal”.
Kedua; Model Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) yang mempunyai fakultas agama yang berdiri terpisah. Dalam model ini, fakultas-fakultas umum berdampingan dengan fakultas agama yang terdiri dari beberapa jurusan, seperti jurusan tarbiyah, jurusan syari‘ah (yang sebelumnya dalam institusi IAIN merupakan fakultas-fakultas tersendiri). Dalam model ini, subyek-subyek agama bisa menjadi periferal, karena hanya ada satu fakultas agama.
Ketiga, “Model Universiti Islam Antarbangsa (UIA)” Kuala Lumpur. Dalam model ini ilmu-ilmu dibagi menjadi “revealed knowledge,” ilmu-ilmu kewahyuan, yang memunculkan fakultas/jurusan agama; dan “acquired knowledge”, ilmu perolehan, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi fakultas-fakultas atau jurusan-jurusan umum, seperti teknik, kedokteran, ekonomi, psikologi, antropologi, dan sebagainya. Bidang-bidang ini selain “diislamisasikan”, ketika dijabarkan ke dalam kurikulum, juga dilengkapi dengan subyek-subyek keislaman dan lainnya yang berkaitan.
Tentang model manakah yang paling tepat di antara ketiga model tersebut untuk diadopsi, disesuaikan, dan diterapkan dalam pengembangan IAIN menjadi UIN nampaknya masih memerlukan pembahasan dan perumusan lebih lanjut. Model pertama dan ketiga kelihatan secara sepintas lebih baik dibandingkan opsi kedua.
Jika pembentukan UIN sulit direalisasikan dalam waktu tahun-tahun mendatang yang disebut-sebut sebagai “masa reformasi” dalam berbagai bidang itu, sehingga kelembagaan IAIN harus tetap dipertahankan, maka ini sebenarnya juga mengandung banyak sisi positif. Salah satu sisi positif terpenting adalah IAIN, yang merupakan semacam “gymnasium” atau “college”, tetap mempunyai kedudukan sejajar dengan universitas. Dengan demikian, ilmu-ilmu agama yang menjadi spesialisasi IAIN tidak “periferal” vis-a-vis Perguruan Tinggi lainnya. Sisi penting lain adalah bahwa IAIN Jakarta, dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya, telah menjadi sebuah “trademark” yang distingtif dan memiliki nilai historis dan politisnya tersendiri, yang tentu saja tidak begitu saja dapat dikesampingkan Mempertimbangan semua pembahasan di atas, alternatif yang dapat dilakukan IAIN Jakarta sesuai dengan latarbelakang pemikiran di atas adalah:
Pertama, mempertahankan kelembagaan IAIN dengan mandat formalnya sekarang, yakni dalam bidang ilmu agama, tetapi tetap mengupayakan pencapaian substansi yang berada di balik gagasan pembentukan UIN, misalnya, reapproachement antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan agar kajian-kajian keilmuan di IAIN lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan zaman. Akan tetapi jelas bahwa IAIN dengan mandat terbatas seperti ini, bukan hanya tidak selaras dengan paradigma baru Perguruan Tinggi, tetapi juga akan membuat IAIN sulit untuk merespon berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat baik pada tingkat lokal, regional maupun global.
Kedua, mempertahankan kelembagaan IAIN Jakarta seperti sekarang ini, tetapi dengan mangadopsi konsep IAIN “with wider mandate”. Dalam konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas ini, pendidikan IAIN tidak lagi terbatas pada mandat formal dalam ilmu-ilmu agama yang termasuk ke dalam bidang humaniora, tetapi juga mengembangkan mandat dalam bidang humaniora lainnya, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta. Dalam kerangka IAIN dengan mandat lebih luas ini, maka “core” IAIN dalam bidang ilmu agama tetap dipertahankan, tetapi pada saat yang sama juga mengkonsolidasikan jurusan-jurusan atau fakultas-fakultas yang sudah ada, seperti Jurusan Tadris Psikologi menjadi Fakultas Psikologi; jurusan Muamalat & Ekonomi Islam menjadi Fakultas Ekonomi Islam, Jurusan Tadris Matematika dan Jurusan Tadris IPA menjadi Fakultas MIPA atau bahkan membentuk jurusan-jurusan, fakultas-fakultas, dan program-program akademis yang baru sama sekali sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Dengan mempertimbangkan berbagai constraint yang ada, pentingnya Islam sebagai core semua ilmu, dan pertimbangan historis, maka alternatif kedua inilah yang dipilih IAIN Jakarta. Sebagaimana dikemukakan dalam RIP IAIN Jakarta 1999/2000-2003-2004 pengembangan IAIN Jakarta pada awal milenium baru ini bertitik tolak pada konsep IAIN dengan mandat lebih luas tadi. Karena itu, pengembangan IAIN Jakarta ditujukan tidak hanya untuk meningkatkan kualitas jurusan dan fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga jurusan dan fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu humaniora lainnya, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta.



CATATAN AKHIR

[i] Lihat, UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century: Vision and Action (Paris: UNESCO, 1998).
[ii] D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976).
[iii] Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985).
[iv] Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005  (Jakarta: Dikti, 1996).
[v] Lihat, Santoso S. Hamidjojo et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998),  dan juga lihat, A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999).
[vi] Lihat, UNESCO Higher Education in the Twenty-First Century.
[vii] Lihat, UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century, dan juga lihat, A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
[viii] Lihat, Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi” (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999).
[ix] Lihat, R, Berdahl, “Academic Freedom, Autonomy and Accountability in British Universities”, Studies in Higher Education, Vol. 15 (2), 1990.
[x] Lihat, IAIN Jakarta, Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).

Kepustakaan
Amijaya, D.A. Tisna, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976).
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
________, Esesi-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999).
________, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: Rosda, 1999).
Berdahl, R., “Academic Freedom, Autonomy and Accountability in British Universities”, Studies in Higher Education, Vol. 15 (2), 1990.
Fadjar, A. Malik et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999).
Gilet, M., “The IAIN in Indonesian Higher Education”, Muslim Education Quarterly, Vol. 8, 1990, 21-32.
Hamidjojo, Santoso S. et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998).
IAIN Jakarta, Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).
IAIN Jakarta, Rencana Induk Pengembangan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 1999/2000-2003/2004 (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1999).
Kelompok Kerja, Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdikbud, 1999).
Leibbrandt, Gottfried, “The Unesco World Conference on Higher Education in the 21st Century and Its Follow-up”, makalah disampaikan pada International Seminar tentang “Managing Higher Education in the Third Millenium” (Jakarta: 25-26 Oktober, 1999).
Maassen, Peter, “University Autonomy in Indonesia”, makalah disampaikan pada International Seminar tentang “Managing Higher Education in the Third Millenium”, Jakarta: 25-26 Oktober, 1999).
Ministry of Religious Affairs, “Project Proposal of Islamic University of IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta under Islamic Development Bank (IDB) Financing Assistance” Jakarta, 1999.
Nakamura, Mitsuo & Setsuo Nishino, “Islamic Higher Education in Indonesia”, Higher Education Policy, Vol. 6 No. 2, 1993, 51-4.
Ranuwihardjo, Sukadji, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985).
Soehendro, Bambang, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005 (Jakarta: Dikti, 1996).
Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi” (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999).
UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century: Vision and Action (Paris: UNESCO, 1998).

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar