MENIMBANG
KURIKULUM IAIN:
Kasus Kurikulum 1995 dan 1997
Kurikulum
adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran
yang diberikan kepada peserta didik. Definisi lain,
"suatu rencana yang disusun untuk melancarkan
proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab
sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya."l
Ralp Tayler dalam Basic Principles of Curriculum and
Instruction, berpendapat ada empat faktor penentu
dalam perencanaan kurikulum, yakni faktor filosofis,
sosiologis, psikologis dan epistimologis.2 Faktor-faktor
ini, terutama faktor sosiologis, mengalami perkembangan
sangat dinamis, sehingga menuntut evaluasi untuk melakukan
pengembangan serta perubahan kurikulum secara periodik.
Namun, karena aspek sosiologis ini juga berbeda antara
satu tempat dengan tempat lain, maka di samping penyeragaman
kurikulum secara nasional, perlu juga pengembangan
kurikulum sesuai dengan kondisi dan potensi lokal
masing-masing lembaga pendidikan.
Dalam
konteks Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang memiliki
spesialisasi dalam studi Islam, faktor filosofis di
atas bisa dilihat dari tujuan pendidikan dan pengajaran
di IAIN sendiri, yakni sebagai sarana untuk melakukan
transfer nilai-nilai Islam dan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia (transfer of values); transfer pengetahuan
(transfer of knowledge), terutama bidang studi agama
Islam; dan transfer keterampilan (transfer of skills).
Bentuk transfer nilai dan pengetahuan memang sudah
cukup mapan, tetapi bentuk transfer keterampilan yang
memang berkaitan dengan lapangan pekerjaan, nampaknya
masih dalam proses pencarian. Hanya beberapa jurusan
yang sudah memiliki bentuk agak jelas, seperti bidang
pendidikan Islam dan peradilan agama. Meskipun secara
esensial tidak ada perubahan dalam tujuan IAIN, rumusannya
mengalami beberapa perkembangan atau perubahan, yang
umumnya mengacu kepada tujuan pendidikan tinggi sebagaimana
terdapat dalam PP No. 30/ 1990.
Semula
pendirian IAIN (PTAIN) hanya merupakan kelanjutan
dari pendidikan Islam tradisional; dan dalam konteks
ketenagakerjaan hanya dimaksudkan untuk mempersiapkan
tenaga-tenaga yang dapat mengisi tugas-tugas di bidang
keagamaan. Kini rumusan tujuan tersebut sudah berkembang
dimaksudkan agar IAIN/ Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN)- di samping dapat mengembangkan ilmu
agama yang kajiannya sejajar dan bahkan terintegrasi
dengan ilmu umum dapat pula menghasilkan alumni yang
tidak hanya bisa memasuki pekerjaan yang berkaitan
dengan tugas-tugas di bidang keagamaan, tetapi juga
bidang-bidang non-keagamaan.
Masing-masing
IAIN dan (STAIN) 3 pun diberi kebebasan untuk merumuskan
tujuan ini. IAIN Syarif Hidayatullah misalnya, merumuskan
tujuannya: "(1) menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan
dan atau menciptakan ilmu pengetahuan agama Islam,
dan (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan
agama Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional."4 Sedangkan STAIN Pekalongan
merumuskan tujuannya "menyiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian yang bernafaskan Islam."5
Tujuan yang dirumuskan oleh IAIN Jakarta ini memang
tepat, tetapi tujuan yang dirumuskan oleh STAIN Pekalongan
tidak tepat, karena IAIN/STAIN, yang hanya memiliki
spesialisasi dalam bidang ilmu agama Islam, tidak
mungkin mampu menghasilkan alumni yang dapat mengembangkan
dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Faktor
sosiologis merupakan dinamika masyarakat, terutama
keinginan dan kecenderungan mereka untuk semakin maju,
meskipun dalam beberapa hal juga disertai dengan sejumlah
ekses yang tidak diharapkan, baik di bidang ekonomi
maupun sosial budaya. Di antara kecenderungan paling
menonjol adalah tuntutan ekonomi yang semakin besar
sejalan dengan proses modernisasi dan industrialisasi
yang semakin pesat, sehingga pendidikan sering diidentikkan
dengan pembangunan sumber daya manusia yang siap terjun
di bidang ekonomi. Sedangkan faktor psikologis adalah
peserta didik yang menjadi obyek dari proses belajar
mengajar. Dalam konteks IAIN/STAIN peserta didik adalah
mahasiswa yang nota bene sudah memasuki usia dewasa,
yang berarti sudah mengalami kematangan emosional
dan intelektual, sehingga mereka tidak hanya perlu
diisi materi pelajaran saja, tetapi juga diberi kesempatan
untuk dapat mengembangkan diri.6 Adapun faktor epistimologi
berkaitan dengan hakekat ilmu yang diajarkan yang
dalam hal ini adalah bidang studi ilmu agama.
Fenomena
saat ini menunjukkan bahwa bidang studi ilmu pengetahuan
umum dan teknologi, yang didasarkan hanya pada rasionalisme
dan empirisme, mengalami perkembangan atau perubahan
secara cepat. Di sisi lain, meskipun juga mengalami
perkembangan (al-tathawwur), bidang studi ilmu agama
yang dasar utamanya adalah wahyu di samping rasionalisme
dan empirisme nampak berjalan lambat, karena ada dimensi
tertentu dalam ilmu agama yang bersifat abadi atau
tetap (al-tsubut).
Kemajuan
cepat dalam ilmu pengetahuan umum dan teknologi mengakibatkan
adanya kesenjangan antara ilmu pengetahuan agama yang
bersifat normatif dan berdimensi ubudiyah dengan ilmu
pengetahuan umum dan teknologi yang bersifat rasional,
dinamis dan berdimensi ekonomis. Hal ini selanjutnya
menuntut adanya upaya mengintegrasikan ilmu agama
dan ilmu pengetahuan umum, dan bahkan menuntut adanya
keterkaitan antara materi pendidikan dengan dunia
ketenagakerjaan yang merupakan salah satu kebutuhan
dasar setiap orang. Dalam kenyataannya, kurikulum
IAIN 1995 belum sepenuhnya mampu merespons perkembangan
ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat yang
semakin modern. Hal ini disebabkan karena kurikulum
1995 menunjukkan kakunya kompartementalisasi (pengkotakan)
sejak semester-semester awal serta terlalu banyaknya
pencabangan ilmu sehingga beban yang dipikul peserta
didik terlalu berat. 7 Di samping itu, dalam kurikulum
1995 belum ada keterpaduan antara program S1, S2 dan
S3, sehingga terkadang muncul ketidakserasian antara
program-program tersebut. Seperti terkesan selama
ini, program S1 mengarah kepada spesialisasi, sementara
program S2 dan S3 justru mengarah kepada kajian yang
lebih bersifat general. Semua ini membawa kesulitan
bagi pengelola dan dosen IAIN untuk mengembangkannya
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Termasuk
faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah berlangsungnya
proses belajar mengajar di IAIN yang masih menitikberatkan
pada bentuk pengajaran dengan pendekatan normatif.
Ini tentu saja kurang menunjang proses pembentukan
mahasiswa yang memiliki kemampuan analitis dan mampu
memberi pemecahan masalah. Meskipun pada dasawarsa
90-an perkembangan kegiatan akademik IAIN sudah menunjukkan
kemajuan yang berarti, --yang antara lain dapat dilihat
dari semakin banyaknya dosen, alumni dan mahasiswa
IAIN yang menulis buku dan artikel di media massa--
secara umum orientasi IAIN sebagai lembaga dakwah
masih lebih besar daripada sebagai lembaga akademis.
Akibatnya, iklim akademis pun belum terwujud sepenuhnya
sesuai dengan yang diinginkan. Di sisi lain, bidang
studi agama yang menjadi spesialasi IAIN sedikit banyak
membatasi upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama
dengan iptek, dan sekaligus upaya untuk menghasilkan
lulusan IAIN yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang terkait dengan tuntutan dunia ekonomi. Lebih
jauh, hal ini berakibat pada sempitnya kiprah alumni
dalam memasuki dunia pekerjaan, karena umumnya mereka
hanya bisa mengisi pasar kerja (formal) pada instansi-instansi
yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Padahal bidang
ini sangat terbatas, tidak semua lulusan IAIN terserap
ke lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan bidang
keagamaan.
Pengembangan
kurikulum
Menyadari
perlunya revisi kurikulum secara periodik, maka pada
30 Juni 1997 Menteri Agama, H. Tarmizi Taher, telah
meresmikan kurikulum nasional baru IAIN/STAIN. Peresmian
kurikulum baru ini dimaksudkan untuk menyempurnakan
kurikulum 1995 yang dinilai sudah kurang relevan dengan
perkembangan dan pembangunan nasional yang cukup dinamis.
Ada beberapa hal baru yang terdapat dalam kurikulum
1997 ini, terutama yang terpenting adalah dekompartementalisasi,
penekanan pada penguasaan metodologi kajian Islam,
bahasa Inggris, serta penekanan kurikulum lokal yang
berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan.
Pengembangan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas keberadaan
dan peran IAIN terutama dalam dunia akademik, yang
sekaligus dapat berpengaruh pada keberadaanya dalam
masyarakat. Peningkatan peran dalam dunia akademik
ini berarti menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan
tinggi negeri yang bergengsi secara akademik dan setara
dengan lembaga pendidikan tinggi negeri lain, dengan
tanpa meninggalkan kekhasan bidang kajiannya.8 Peningkatan
ini diharapkan berdampak pada peningkatan kemampuan
IAIN dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional terutama di
bidang keagamaan; dan sekaligus pada kepercayaan pengguna
jasa akan kemampuan alumni IAIN untuk mengisi lapangan
pekerjaan di luar bidang keagamaan.
Namun
demikian, masih ada beberapa hal yang menentukan efektivitas
kurikulum tersebut, terutama silabus dan tenaga pengajar.
Dalam kenyataannya, adanya silabus ini telah menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaannya. Misalnya tentang metodologi
studi Islam, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mata
kuliah baru ini. Penyusunan silabus dengan berdasarkan
pemikiran di atas tentu tidak sederhana. Hal ini memerlukan
wawasan yang luas bagi penyusunnya, tidak hanya berkaitan
dengan ajaran-ajaran (teks-teks) Islam tetapi juga
konteks historis, baik pada masa klasik, pertengahan
maupun kontemporer. Oleh karena itu, kerja penyusunan
ini tentu saja tidak cukup dilakukan secara sambil
lalu, tapi perlu melibatkan para ahli, baik di bidang
ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Pelibatan para ahli
ilmu umum juga berkaitan dengan beberapa bidang studi
ilmu umum yang masuk dalam kurikulum IAIN, seperti
sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat,
ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu komunikasi dsb.
Kualitas
tenaga pengajar juga tidak kalah pentingnya dalam
menentukan efektivitas kurikulum baru ini. Betapapun
baiknya kurikulum dan silabus, jika tidak didukung
tenaga pengajar yang berkualitas akan sulit mencapai
hasil yang optimal. Selama ini Departemen Agama telah
banyak mengupayakan peningkatan kualitas tenaga pengajar
IAIN, misalnya dengan menetapkan kualifikasi minimal
S2 dan dorongan agar mereka memiliki ijazah S3, baik
melalui program pasca sarjana di dalam mapun luar
negeri ataupun melalui program doktor bebas terkendali.
Namun menurut data statistik Ditbinperta, jumlah dosen
IAIN yang telah menempuh program pasca sarjana masih
sangat sedikit; Pada 1994/1995 dosen IAIN seluruh
Indonesia yang berijazah S2 (magister) berjumlah 288
orang (8,57%) dari jumlah keseluruhan dosen 3.007
orang, sedangkan yang berijazah S3 (doktor) jumlahnya
hanya 71 orang (2, 36 %). Memang statistik ini belum
memasukkan perkembangan lima tahun terakhir ini, tetapi
dapat diperkirakan bahwa prosentase dosen yang menyelesaikan
pendidikan S2 dan S3 itu masih belum memadai.
Di
samping itu, telah dilakukan pula upaya verifikasi
rekrutmen tenaga pengajar, tidak hanya bagi mereka
yang memiliki disiplin ilmu agama Islam, tapi juga
tenaga pengajar yang memiliki disiplin ilmu sosial
dan humaniora. Termasuk di dalamnya pengiriman tenaga-tenaga
pengajar IAIN untuk melanjutkan S2 di universitas
umum atau dalam bidang studi umum. Bentuk rekruitmen
tenaga pengajar bidang umum ini semakin penting dengan
adanya keinginan pengembangan kurikulum lokal yang
lebih berorientasi pada dunia kerja, serta keinginan
untuk mengembangkan beberapa IAIN sebagai universitas.
Keinginan ini tentu tidak dapat dipenuhi dengan dosen-dosen
yang berlatarbelakang pendidikan ilmu agama.
Dekompartementalisasi
Kalau
menurut kurikulum 1995 sejak semester-semester awal
mahasiswa sudah dikotakkan ke dalam jurusan masing-masing,
maka kurikulum 1997 berusaha untuk menghilangkan pengkotakan
yang kaku ini. Menurut kurikulum terakhir ini, pada
tahun pertama dan kedua semua mahasiswa dari semua
fakultas (Adab, Da'wah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin)
harus mengkaji doktrin-doktrin dan peradaban Islam
secara komprehensif, walaupun masih bersifat garis
besar, yakni dengan pemberian mata kuliah komponen
institut, yang masing-masing disebut mata kuliah umum
(MKU) dan mata kuliah dasar keahlian (MKDK). MKU yang
berjumlah 24 SKS itu terdiri atas mata kuliah Pancasila,
Kewiraan, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia,
Ilmu Alam Dasar (IAD), Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan
Ilmu Budaya Dasar (IBD), dan Metodologi Studi Islam.
Sedangkan MKDK yang berjumlah 30 SKS itu tediri atas
mata kuliah Ushul Fiqh, Ulumul Hadits, Ulumul Quran,
Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Filsafat Umum, Metode Penelitian,
Fiqh, Hadits, Tafsir, serta Sejarah dan Peradaban
Islam.
Baru
pada tahun berikutnya diberikan spesialisasi dalam
fakultas dan jurusan masing-masing, yakni dengan pemberian
mata kuliah keahlian (MKK) yang berjumlah 33 SKS.
MKK tersebut memberikan arah masing-masing jurusan/program
studi secara jelas. Kalau dalam kurikulum lama beberapa
fakultas tertentu, seperti Fakultas Syari'ah dan Fakultas
Dakwah tidak banyak berbeda antara satu jurusan dengan
jurusan lain, maka dalam kurikulum baru ini tampak
sekali perbedaannya, meskipun sekaligus juga membawa
dilema tersendiri. Dalam kasus di Fakultas Syari'ah,
misalnya, menurut kurikulum lama semua jurusan mempelajari
mata kuliah yang berkaitan dengan peradilan agama.
Di samping itu, setiap jurusan juga mengajarkan mata
kuliah yang menjadi spesialisasi bagi jurusan lain,
seperti Jurusan Al-Ahwal al-Syakhshiyah (AH) yang
disamping mendalami hukum perkawinan (munakahat),
juga mempelajari fiqh mu`amalah dan fiqh siyasah yang
masing-masing sebenarnya merupakan spesialisasi bagi
Jurusan Mu'amalat dan Jurusan Jinayah Siyasah. Menurut
kurikulum 1997, bidang-bidang studi ini hanya diajarkan
di jurusan masing-masing. Materi kuliah yang berkaitan
dengan peradilan agama pun hanya diajarkan di jurusan
AH, yang berarti hanya alumni dari jurusan inilah
yang bisa menjadi hakim agama. Hal ini menimbulkan
dilema: apakah akan tetap konsisten dengan penjurusan,
dengan konsekuensi alumni jurusan lain tidak berhak
menjadi hakim agama, atau memberikan mata kuliah tambahan
tentang peradilan agama agar mereka bisa menjadi hakim
agama.
Namun
demikian, dalam kurikulum yang lebih baru ini belum
juga memuat arah masing- masing strata (S1,S2 dan
S3). Memang, saat ini Departemen Agama terus mengupayakan
penataan kembali program pascasarjana yang terintegrasi
dengan program S1. Ada isyarat yang jelas akan penataan
arah, yakni kompartementalisasi sejak mulai masuk
program pascasarjana, ini merupakan kelanjutan dari
perkuliahan tahun-tahun akhir program S1 dengan menekankan
mata kuliah dasar keahlian. Arah masing-masing strata
bisa dirumuskan, misalnya, program S1 diarahkan untuk
menghasilkan peserta didik yang mengetahui Islam secara
komprehensif dan mendalami suatu bidang ilmu agama
Islam tertentu; program S2 diarahkan untuk menghasilkan
peserta didik yang menguasai suatu bidang ilmu agama
Islam dan mampu mengajarkannya di Program S1; sedangkan
program S3 diarahkan untuk menghasilkan peserta didik
yang menguasai suatu bidang ilmu agama Islam dan mengajarkannya
serta mampu melakukan penelitian secara mandiri, dan
bahkan mampu merumuskan ide-ide baru dalam salah satu
bidang ilmu agama Islam. Dalam bahasa agama, seorang
alumni Program S3 diharapkan mampu menjadi seorang
majtahid di bidangnya.
Sejalan
dengan upaya dekompartementalisasi ini adalah pengembalian
beberapa bidang studi "pecahan" ke "ilmu
induknya." Misalnya, kalau dalam kurikulum tercantum
tafsir I, II, III, IV pada Jurusan Tafsir Hadits (E)
dengan bobot 8 SKS, maka kini cukup disebutkan tafsir
dengan jumlah SKS yang agak besar (6 SKS). Contoh
lain adalah tafsir ahkam pada semua jurusan di Fakultas
Syari`ah. Menurut kurikulum lama ia terdiri atas tafsir
ahkam I,II, III dengan bobot 6 SKS atau tiga semester,
tetapi dalam kurikulum baru hanya diberikan bobot
3 SKS atau satu semester. Dosenlah yang menerjemahkan
mata kuliah ini dan membagi-bagi materi perkuliahan
secara rinci dengan mengacu kepada silabus nasional
serta dinamika masyarakat. Pemadatan memang bisa membawa
pengaruh berkurangnya materi yang diberikan jika dosen
kurang mampu melakukan pemadatan isi.
Di
segi lain, dekompartementalisasi ini bisa membawa
konsekuensi penting lain. Pada semester-semester awal
mahasiswa kini belum didaftarkan di fakultas dan jurusan,
sebagaimana terjadi selama ini. Baru pada tahun kedua
atau ketiga mahasiswa dipersilakan memilih fakultas
dan jurusan masing-masing, sesuai dengan minat mereka
setelah mengikuti perkuliahan selama setahun. Memang
pengaturannya rumit, tetapi mahasiswa dapat memilih
bidang studi yang diminatinya setelah mereka mengetahui
secara jelas arah masing-masing fakultas atau jurusan.
Kalau secara teknis hal ini menyulitkan, maka bisa
dicarikan jalan keluar, misalnya mahasiswa diberi
hak pindah fakultas atau jurusan, meskipun disertai
juga dengan persyaratan tertentu.
Penguasaaan
metodologi
Salah
satu kritik yang dialamatkan pada kajian Islam di
IAIN adalah lemahnya penguasaan metodologi, terutama
metodologi kajian historis-empiris.9 Oleh karena itu,
kurikulum 1997 ini memuat beberapa mata kuliah yang
berkaitan dengan metodologi. Dalam komponen MKU, Mata
Kuliah Metodologi Studi Islam, MKDK, mata kuliah metodologi
penelitian, maupun MKK, metode penelitian khusus sesuai
jurusan atau program studi masing-masing: seperti
metodologi penelitian sejarah, hukum, dsb. Mata kuliah
Metode Studi Islam merupakan pengantar tentang metodologi
kajian Islam, baik secara doktriner maupun secara
historis. Hal ini sangat penting, karena pada umumnya
metodologi kajian doktriner dan empiris diberikan
secara terpisah yang tidak ada hubungannya satu sama
lain.
Dalam
studi ilmu agama (Religionswissenschaft) terdapat
dua bentuk kajian Islam: secara substantif dan fungsional,
atau dalam istilah lain secara doktriner dan historis-empiris.
Bila metodologi kajian doktriner, adalah ulumul Qur'an,
ulumul Hadits dan ushul fiqh, maka metodologi kajian
historis-empiris, adalah metode penelitian sosial
dan sejarah. Dengan pengintegrasian kedua metodologi
ini diharapkan ada kemajuan dalam studi Islam di Indonesia.
Selama ini kajian Islam di Indonesia lebih menekankan
aspek doktriner dan normatif, maka perlu diimbangi
dengan kajian historis-empiris.10 Untuk mendukung
hal ini, perlu juga diupayakan kedekatan (reapproachement)
antara ilmu-ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu sosial
dan humaniora. Hal ini bisa dilakukan dengan menjadikan
ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai bidang studi
pelengkap (minor) bagi kajian Islam.11 Di samping
itu, mata kuliah filsafat umum yang dimasukkan dalam
MKDK juga sangat menunjang bagi pengembangan metodologi
studi Islam.
Untuk
lebih detail, metodologi kajian bidang tertentu diberikan
di tiap jurusan atau program studi, agar mahasiswa
di masing-masing jurusan dapat mengetahui lebih dalam
metodologi penelitian di bidangnya. Namun, sayangnya,
ada beberapa jurusan yang tidak memberikan mata kuliah
tersebut, seperti Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan
Islam (BPI) Fakultas Dakwah, Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) dan Jurusan Profesi Kependidikan Islam
(KI) di Fakultas Tarbiyah. Padahal akan lebih baik
kalau di Jurusan BPI itu diberikan juga mata kuliah
metodologi penelitian agama, sedang di Jurusan PAI
dan KI metodologi penelitian pendidikan. Sementara
di Fakultas Syari`ah muncul istilah yang berbeda-beda
tentang metodologi penelitian, yakni metodologi penelitian
mu`amalat untuk Jurusan Mu`amalat (M) dan metodologi
penelitian siyasah untuk Jurusan Siyasah-Jinayah (SJ).
Di Jurusan Al-Ahawal al-Syahshiyah (AH) terdapat metodologi
penelitian hukum, dan untuk Jurusan Perbandingan Hukum
dan Mazhab (PMH) bahkan hanya metodologi penelitian.
Padahal akan lebih jelas jika semua itu disatukan
dalam metodologi penelitian hukum dengan mengambil
contoh atau kasus sesuai masing-masing jurusan atau
program studi.
Penguasaan
Bahasa Asing
Dalam
kurikulum 1997, bahasa asing (Arab dan Inggris) kembali
menjadi perhatian penting, masing-masing berjumlah
6 SKS. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
pengembangan kemampuan akademik bidang agama Islam
tidak mungkin tanpa penguasaan kedua bahasa tersebut.
Pada tahun ajaran 1997/1998 sudah direncanakan untuk
memakai bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar
dalam perkuliahan di program S2 dan S3 IAIN, namun
pelaksanaan perkuliah bahasa asing ini belum berjalan
sesuai dengan harapan. Barangkali di masa mendatang
akan lebih baik kalau perkuliahan bahasa asing didasarkan
pada placement test karena tingkat kemampuan mahasiswa
tidak sama. Sehingga, sangat mungkin seorang mahasiswa
tidak wajib mengikuti perkuliahan bahasa jika ia memang
sudah memiliki kemampuan yang disyaratkan program
S1.
Untuk
menggalakkan kemampuan dua bahasa di atas nampaknya
perlu diberikan berbagai dorongan. Misalnya dengan
mewajibkan mahasiswa yang menyelesaikan program S1
memiliki nilai TOEFL 450 dan nilai bahasa Arab setara
dengan nilai 450. Nilai ini ditetapkan sebagai persyaratan
pengambilan ijazah. Demikian dalam pembuatan paper
atau skripsi mahasiswa bisa diharuskan menggunakan
rujukan buku-buku berbahasa asing minimal 50 persen.
Di samping, bisa juga diberikan insentif berupa hadiah
bagi mahasiswa yang menulis artikel dalam bahasa asing
di media massa yang diakui (misalnya memiliki ISSN).
Persyaratan serupa juga akan lebih baik kalau diberlakukan
bagi mahasiswa yang memasuki program S2 dan S3, misalnya
dengan nilai 475 untuk program S2, dan nilai 500 untuk
program S3.
Kurikulum
lokal
Tampaknya
Kurikulum 1997 tetap mempertahankan adanya kurikulum
nasional, sebanyak 60% (87 SKS), dan kurikulum lokal
sebanyak 40% (57 SKS). Ini dimaksudkan agar masing-masing
IAIN/STAIN dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengar
potensi yang ada di daerahnya. Hanya saja, bedanya,
dalam kurikulum baru ini kurikulum lokal sangat ditekankan
untuk memiliki keterkaitan dengan pasar kerja. Meskipun,
dalam kenyataannya, hal tersebut tidak mudah direalisasikan,
terutama pada pengembangan kurikulum yang terkait
dengan dunia ketenagakerjaan. Penanaman kurikulum
demikian memang dapat memberikan keuntungan ganda.
Di satu segi ia dapat mempersiapkan mahasiswa memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan dunia
kerja, di segi lain ia bisa menjadi cikal bakal berdirinya
fakultas umum di lingkungan IAIN, jika kelak IAIN
menjadi universitas.
Ada
beberapa alternatif untuk menerapkan kurikulum lokal
ini. Pertama, pemberian mata kuliah yang dianggap
penting untuk menunjang bidang studi di jurusan tetapi
tidak terdapat dalam kurikulum nasional. Sebagai misal,
mata kuliah metodologi penelitian pendidikan untuk
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Jurusan Kependidikan
Islam (KI) dalam Fakultas Tarbiyah, atau mata kuliah
fiqh al- mawarits untuk Jurusan Al-Ahwal al-Syakhsyiyah
(AH) di Fakultas Syari`ah.l2 Kedua, pemberian mata
kuliah yang mengarah kepada profesi tertentu dan menjadi
spesialisasi jurusan lain tetapi masih dalam satu
fakultas, seperti mata kuliah pendidikan agama Islam,
yang sebenarnya menjadi spesialisasi Jurusan PAI-bisa
diberikan di Jurusan KI. Sehingga, alumni KI nantinya
dapat menjadi guru agama. Contoh lain adalah mata
kuliah yang berkaitan dengan peradilan agama, yang
menjadi spesialisasi Jurusan AH. Ia bisa diberikan
di Jurusan Perbandingan Hukum dan Mazhab (PHM) dan
Jurusan Siyasah Jinayah (SJ) agar alumni kedua jurusan
ini bisa menjadi hakim agama.
Ketiga,
pemberian mata kuliah yang memang sejalan dengan jurusan
atau program studi tertentu dan terkait dengan dunia
kerja. Dalam hal ini misalnya mata kuliah tentang
ilmu-ilmu komunikasi atau jurnalistik bagi Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Ia diberikan agar
alumni jurusan ini bisa memasuki lapangan kerja yang
terkait dengan komunikasi atau jurnalistik. Contoh
lain, mata kuliah perbankan Islam bagi Jurusan Mutamalat
(M) untuk mencetak alumni yang bisa memasuki lapangan
kerja perbankan Islam. Keempat, pemberian mata kuliah
yang sama sekali tidak terkait dengan jurusan, tetapi
terkait dengan dunia kerja, misalnya mata kuliah tentang
informatika (komputer), manajemen kesekretariatan,
dst. Dengan demikian, pada alternatif ketiga dan keempat
ini seluruh kurikulum lokal (57 SKS) diisi dengan
ilmu-ilmu yang terkait dengan dunia kerja. Namun,
bentuk alternatif ketiga dan keempat ini memerlukan
kerjasama dengan para pengguna jasa di bidang-bidang
dimaksud. Dan kelima, pengisian kurikulum lokal sepenuhnya
dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora-meskipun tidak
terkait secara langsung dengan dunia kerja. Hal ini
dimaksudkan untuk menjadikan mahasiswa mampu mengembangkan
kajian Islam dalam berbagai pendekatan ilmu sosial.
Penutup
Penyempurnaan
kurikulum IAIN/STAIN 1997 merupakan jawaban terhadap
dinamika internal IAIN serta tantangan yang berkembang
dalam masyarakat, baik dalam konteks nasional maupun
global. Penyempurnaan ini memiliki sasaran ganda:
meningkatkan kualitas akademik IAIN setara dengan
pendidikan tinggi negeri lainnya, dan sekaligus mengkaitkan
pendidikan di IAIN dengan dunia ketenagakerjaan. Namun
kurikulum 1997 ini tidak akan efektif jika tidak dibarengi
dengan ketersediaan silabus yang komprehensif, yang
berfungsi memberikan arahan tentang pelaksanaan kurikulum
ini.Penyusunan silabus, dengan demikian merupakan
hal yang urgen untuk lebih dimatangkan. Di samping
itu, kurikulum baru ini memberikan ruang kepada para
pengelola maupun pengajarnya untuk melakukan improvisasi
terutama dalam hal pengembangan kurikulum lokal. Namun,
melihat latar belakang sumber daya manusia dilingkungan
IAIN/STAIN, baik latar belakang bidang pendidikan
maupun tingkat pendidikan, tampaknya perlu ada acuan
umum dalam pengembangan kurikulum lokal ini. Masalah
lain yang mungkin tidak kalah penting adalah kemauan
politik (political will) pemerintah untuk memperbaiki
mutu akademik IAIN --khususnya pendanaan yang memadai
sebagaimana yang diberikan pada Perguruan Tinggi Negeri
lain--dan kesediaan menerima alumni IAIN di lapangan
pekerjaan termasuk dalam sektor pelayanan umum, sehingga
bisa mengisi tidak hanya terbatas di bidang keagamaan.
Jika faktor-faktor pendukung tetap tidak memadai,
makna perubahan dan perbaikan yang dikandung dalam
Kurikulum 1997 tidak akan ada bedanya dengan Kurikulum
1995, bahkan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Catatan
akhir
- S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara cet. II, 1995), halaman 5.
- S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran.
- STAIN merupakan nama baru dari IAIN- IAIN cabang, yang kini berjumlah 33 buah. Peresmian nama baru dilakukan pada 30 Juni 1997 oleh Menteri Agama RI, H. Tarmizi Tahir bersamaan dengan peresmian kurikulum nasional program S1 IAIN/STAIN.
- Buku Pedoman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1995/1996), halaman 8.
- Leaflet Sekolah Ttnggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan (1997/1998).
- Karena melihat tingkat kematangan emosional dan intelektual mahasiswa yang dianggap sudah cukup tinggi, maka ada beberapa Perguruan Tinggi di Barat, seperti Goddard College yang memberikan kebebasan kepada para mahasiswa untuk merumuskan sendiri kebutuhan dan program-program pendidikannya. Meskipun sistem ini mendapatkan dukungan dari para ahli, tetapi banyak juga mereka yang mengkritiknya jika sistem ini diterapkan di program sarjana muda atau program S1 (undergraduate program), karena mereka sebenarnya masih memerlukan bimbingan dari pada kebebasan. Lihat Cliffon F. Conrad, The Undergraduate Curriculum: A Guide to Innavation and Reform (Boulder, Colorado: Westview Press, 1978), halaman 24-27.
- Lihat "kronologi Penyusunan Penyempurnaan Kurikulum Nasional IAIN/STAIN" yang merupakan lampiran Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 383/1997 tentang Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) IAIN/STAIN.
- Dalam beberapa kali kesempatan, antara lain pada acara Dies Natalis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 29 Juli 1997, Menteri Agama RI, H. Tarmizi Taher menegaskan tekadnya untuk menjadikan posisi IAIN, yang kini dianggap sebagai Perguruan Tinggi Negeri kelas III di bawah universitas negeri dan IKIP negeri, sebagai Perguruan Tinggi Negeri kelas II.
- Menteri Agama 1983-1993, H. Munawir Sjadzali, dalam berbagai kesempatan sering mengatakan kelemahan ini, sehingga salah satu argumentasinya terhadap kritik tentang pengiriman dosen-dosen IAIN ke negara-nagara Barat adalah agar mereka mempelajari metodologi kajian Islam yang baik, sejajar dengan metodologi kajian ilmu-ilmu lainnya.
- Kalau kajian Islam di Timur Tengah lebih menekankan pada kajian doktriner, dan kajian di Barat lebih menekannya kajian historis empiris, maka kajian Islam di Indonesia ideal menggabungkan kedua pendekatan ini.
- Dalam mata kuliah umum (MKU) memang diberikan mata kuliah ilmu alamiah dasar (IAD) ilmu sosial dasar (ISD) dan ilmu budaya dasar (IBD) yang berjumlah 3 SKS. Kata "dan" disini ternyata menimbulkan kesulitan tersendiri, karena tidak mungkin dengan 3 SKS (satu semester) saja dapat diberikan tiga macam ilmu dasar. Di samping itu, juga merupakan kesulitan mencari dosen yang menguasai ketiga bidang ini. Oleh karena itu, mungkin akan lebih mudah kalau "dan" diinterpretasikan sebagai "atau." Artinya masing-masing jurusan dapat mengambil salah satu dari ketiga ilmu dasar ini, sesuai dengan bidang studinya, misalnya, Fakultas Adab lebih dekat dengan IBD, sedangkan Fakultas Syari`ah lebih dekat dengan ISD.
- Mat
0 komentar:
Posting Komentar