Kamis, 19 Desember 2013

Hukum, Moral dan Agama : Sebuah Risalah Hukum Alam Sampai Positivisme



Hukum, Moral dan Agama : Sebuah Risalah
Hukum Alam Sampai Positivisme
Pendahuluan
Barangkali untuk mempermudah pemahaman hubungan antara Hukum dan moral dan agama kita dapat membayangkanya sebagai kisah polemik dua insan manusia yang saling mencintai. Kedua insan tersebut dapat diandaikan saling berebut untuk dapat menyalurkan cintanya pada yang lain, dan sebagaimana pula kisah-kisah cinta yang lain, cinta selalu menyertakan konflik. Seperti epos Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, perjumpaan dari satu insan diiringi dengan perpisahan dilain waktu saat .
Hukum dan moral dan agama juga memiliki kisahnya sendiri. Hukum yang kita terima pada hari ini tidak terlepas dari kisah pergulatan hukum dengan yang lain serta tidak lepas pula dari perkembangan zaman yang mengawalnya. Abad pertengahan misalnya, dimana gereja kala itu memiliki kekuasaan absolut sehingga waktu itu hanya ada dua kata ganti yang meunjukkan status manusia: warga atau umat. Disusul kemudian munculnya humanisme dan pencerahan dimana di masa itu manusia mencoba untuk keluar dari dogma gereja dalam terang akal budi ilmu-ilmu pengetahuan yang ditandai oleh para kaum copernican dan newtonian. Seiring perkembangan zaman, modernisme dianggap tidak lagi dapat menjawab masalah hari ini yang kian kompleks sehingga melahirkan generasi pengkritiknya: postmodern yang berusaha membunuh totalitas kebenaran demi merengkuh keberagaman. Kisah-kisah tersebut bukanlah sebuah kejadian yang terjadi secara tunggal melainkan memiliki korelasi dengan kisah perkembangan hukum dengan moral dan agama.    
Melihat hukum dalam suatu refleksi bukanlah hal yang mudah tapi memiliki nilai lebih tersendiri sebgaimana dikatakan oleh Mensky “If law students can, from the start, develop sensitivity for how different concepts of law have been historically growing within a spesific socio-cultural environment, they have also benn thaught to function as humans, not just to think as lawyers”[1]. Dengan demikian maka mempelajari kisah panjang perjalanan hukum dan berbagai lingkup disekitarnya merupakan suatu tindakan dalam memahami manusia dan berpikir sebagai manusia.
            Sebelumnya harus diakui bahwa kekurangan dalam tulisan ini adalah sempitnya ruang lingkup perihal perkembangan hukum dengan memfokuskan pada sejarah perkembangan hukum dengan moral dan agama di Eropa. Padahal tiap sudut dunia tiap kebudayaan memiliki kisah perkembanganya dan sistem hukum sendiri yang unik dan khas.

Hukum Alam yang Universal dan Abadi
Ada perdebatan yang sengit dalam mempertautkan hukum dan moral, dari Kelsen, Hart, maupun Austin dan para tokoh lainya. Namun apabila kita runut lebih awal perdebatan tersebut telah terjadi semenjak berlakunya Hukum alam. Hukum alam digunakan dan menyebar luas di Eropa dari Yunani hingga pudar pada abad 19. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hukum Alam adalah hukum yang berlaku Universal yang mengikat semua manusia dn berlaku sepanjang waktu[2] dalam perjalananya, Hukum Alam nantinya juga mendapat pengaruh dari keagamaan dan proses sekularisasi. Bagaimanapun juga, Hukum alam  mengandaikan adanya keadilan absolut yang mengatasi semua permasalahan manusia/
 Pada filsafat hukum Yunani, beranggapan bahwa hukum buatan manusia adalah hukum yang cacat, para filsuf ynani kuno beranggapan bahwa ada yang lebih “mulia” dari keambiguan hukum buatan manusia. Seiring dengan filsafat alam, filsuf Yunani Kuno percaya bahwa hukum alam merupakan suatu hukum yang inheren dalam kehidupan sosial dan keberadaan manusia dalam alam kosmos.Hal tersebut tampak pada moral keagamaan masyarakat yunani yang mempercayai adanya hukum dan keadilan yang berasal dari Themis[3] yang diterima oleh raja melalui Zeus.
 Anggapan adanya ambiguitas dalam hukum manusia juga dikatakan oleh kaum sofis. Para sofis berpendapat bahwa pembuat dan penegak hukum hanya mencari keuntungan demi kepentingan pribadi. Jadi terdapat dua hal yang menarik disini. Pada satu sisi hukum merupakan pemberian dari para dewa namun disisi lain manusia yang menegakkan dan mengaplikasikan hukum kedalam bahasa manusia cenderung korup. Bagi Socrates dan muridnya, Plato, mengatakan bahwa ada sebuah basis moral yang tak tergantikan pendapat ini kemudian diteruskan oleh murid Plato, Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa diantara manusia keadilan berdasarkan hukum alam tidaklah tergantikan[4] pemikiran Aristoteles memberikan pengaruh yang besar pada corak pemikiran Eropa sampai abad pertengahan melalui dua karakter manusia sebagai bagian sekaligus tuan atas alam, maka manusia selain menjadi subyek dari hukum alam juga memiliki potensi untuk mendominasi alam dengan membedakan antara yang baik dan buruk melalui kehendak bebasnya. Filsafat Aristoteles ini hendak mengatakan bahwa dibandingkan hukum negara, hukum alam memiliki statius yang lebih tinggi.
Mengadopsi pemikiran dari Aristoteles, kaum Stoic berpendapat bahwa hukum alam merupakan jalan hidup yang sejalan dengan akal budi dimana hukum alam merupakan sebuah kewajiban moral..”Nature was synonymous with Reason and reason was synonymous with God...”[5]. Para Stoik percaya bahwa negara kota atau polis juga merupakan polis para dewa sehingga hukum polis juga merupakan hukum alam, menurut kaum stoik, hukum alam yang tadinya mengacu para ‘perihal yang mengatur segalanya’ menjadi lebih identik dengan akal budi manusia. Maka ditangan para Stoik Hukum alam menjadi lebih relatif dengan menyerahkan proses legislasi pada akal budi dengan berusaha mendekati sedekat mungkin hukum alam yang absolut. Kerajaan Romawi kemudian menagdopsi para pemikir Yunani, terutama Stoik. Hukum alam mengalami sekularisasi di era Kerajaan Romawi, Cicero seorang ahli hukum Romawi  mengkonfrontasikan hukum positif dengan hukum alam dengan membaginya menjadi ius natura, ius naturae dan lex naturae. Pada akhirnya, menuyusul pengaruh kuat dari agama Kristen, hukum Romawi juga mendapat pengaruh yang signifikan darinya. Pada masa awal bercokolnya pengaruh Kristen, Hukum Romawi mendasarkan parapendapat bahwa alam termasuk manusia didalamnya adalah buruk maka melalui hukum agama gereja berhak mengintervensi negara dan hukum negara[6].Bersamaan dengan hal tersebut, lahit pula eurosentrisme dengan berpendapat bahwa masyarakat lain bukanlah masalah yang beradab termasuk pula hukumnya.
Memasuki abad pertengahan, seiring dengan suksesnya proses Kristenisasi di Eropa Pengaruh Gereja menjadi semakin kuat. Tokoh yang menonjol disini adalah St Augustine dan Gregory. Pemisahan antara Hukum alam ideal dan Hukum alam relatif ala Stoik masih digunakan oleh Gereja dengan membedakanya satu sama lain. Hukum alam ideal adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan sementara yang kedua merupakan hukum yang tidak sempurna mengingat dikeluarkanya manusia dari surga dan dosa asal. Maka memperbolehkan manusia membuat hukum bisa menimbulkan kerusakan pada hukum alam yang absolut[7]
Figur lain yang menonjol pada era ini adalah St. Thomas Aquinas yang membagi hukum menjadi empat tingkatan berturut-turut adalah: Lex Aeterna, Lex Natura, Lex Divina, dan Lex Humana. Masing-masing memiliki tingkatnya dengan Lex Aeterna sebagai hukum Tuhan sampai dengan Lex Humana yang merupakan buatan manusia dari konsepsi atas “kebaikan” yang berasal dari Lex Natura.  Nantinya Filsafat hukum Eropa akan meninggalkan Lex Aeterna dalam kajian mereka yang menjadi lebih sekular dan positivis. Dengan banyaknya kritik atas Gereja yang tadinya begitu dominan dengan berada lebih superior dibanding negara dengan berlindung dibalik filsafat Thomisme. Lahirnya abad pencerahan yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh gereja membuat posisi politik Gereja berada dalam posisi yang sulit. Hukum alam yang digadang-gadang memberikan jaminan akan keadilan absolut dan universal mulai banyak dipertanyakan.
Hukum Positif : Perceraian Antara Moral dan Hukum
 Ada dua faktor yang memberi kritik keras terhadap dominasi gereja kala itu; sekularisasi politik dan keinginan agar pasar bebas dari intervensi dengan kedaulatan negara sebagai jaminan atas hak personal dan munculnya Protestantisme yang memisahkan diri dari Gereja nasional. Satu hal yang patut dicatat adalah gerakan sekularisasi ini bukan berarti merupakan upaya untuk menafikkan keberadaan Tuhan, melainkan memberi tempat yang lebih bagi akal budi manusia mengenai standar kebaika berdasar kehendak bebas[8]. Gelombang pencerahan melahirkan suatu tren baru dalam teori negara yaitu munculnya beragam teori kontrak mulai dari Locke, Hobbes, Rousseau hingga Montesquieu. Hobbes misalnya menolak otoritas gereja dalam menerjemahkan hukum-hukum Tuhan, disisi lain Locke berpendapat bahwa kekuasaan yang tidak terbatas merupakan pelanggaran terhadap hukum alam, dapat dicermati disini teori hukum alam mengalami kecenderungan untuk menjadi semakin bercorak akademis,.
David Hume, seorang filsuf empirisme inggris mengatakan bahwa hukum alam mengandung tiga kelemahan : yang pertama mereka bersikap naif dengan menganggap bahwa perilaku manusia sebagaimana yang diharapkan oleh hukum dapat dapat muncul. Kedua bahwa hubungan sebab dan akibat yang mereka klaim sebagai fakta-fakta dari observasi dan pengamatan tidaklah lebih dari sekumpulan realitas yang diseleksi dan bersifat subyektif. Ketiga hukum alam telah secara salah dalam memahami perilaku manusia yang rasiona yag didasarkan atas prinsip-prinsip rasional memiliki validitas yang universal[9]. Hukum alam terus menerus digempur dan perlahan menjadi out of fashion di abad 19 sebelum mulai dihidupkan kembali pada abad 20.
Sebagaimana sedikit diulas diatas, kini para kaum positivis hendak memisahkan diri dari doktrin hukum alam, untuk memfokuskan dirinya -dalam istilah Aquinas- pada lex humana dan tidak lagi menengok ke ius natura.
Pada masa awalnya, Positifisme berusaha menggabungkan antara agama dan otoritas yang sifatnya sementara, disini masih dapat kita lihat corak religius belumlah hilang sepenuhnya, belum dapat memisahkan diri dari bayang-bayang kekuasaan gereja. Melalui sekularisasi, legal positifisme kemudian berkembang dengan memisahkan diri dari moral sebagaimana dikatakan Bix yang dikutip oleh Mensky “Through secular methods of enquiry, it became possible to develop legal positivisme,’based on the simple assertion that the proper description of law is a worthy objective, and a task that need be kept separate from moral judgement”[10] Perkembangan pencarahan eropa yang memuncak pada August Comte dengan manusia positivnya juga mempengaruhi perkembangan ilmu hukum, yaitu dengan digunakanya standar-standar ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial[11].
Mensky kemudian mengambil lima elemen dari positifisme yang disarikan oleh Friedman dari Hart bahwa: Pertama, hukum adalah perintah dari manusia bukan dari tuhan, Kedua, Isi dari hukum tidak membutuhkan suatu hubungan dengan moral melainkan dari hukum itu sendiri, Ketiga, Pengembangan analisa konsep-konsep hukum dengan membedakanya dari sejarah dan sosiologi Keempat, Legal sistem harus dibuat sedekat mungkin dengan sistem logika sehingga dapat berlaku obyektif dan Kelima, bahwa penilaian secara argumen moral tidak dapat diperdamaikan dengan argumen rasional[12]. Meski Legal Positifisme sendiri memiliki banyak definisi, namun secara umum dapat ditarik dua proposisi dasar : Bahwa moral tidaklah bergantung pada validitas moral dan hukum seharusnya hanya di identifikasi secara formal. Demikian maka hukum menjadi terpisah sama sekali dari moral dan netral (yang kemudian banyak dikritik sebagai great positivist fallacy).
Jeremy Bentham seorang Utilitaris dan Positifis dari Inggris mengtakan bahwa layaknya apa yang telah dilakukan oleh Luher terhadap agama Kristiani, Bentham hendak melakukan hal yang serupa pada hukum. Bentham mengatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah kebahagiaan milik mayoritas (greatest happines is greatest number) dengan semboyan Laissez Faire libertarian, Bentham melihat bahwa ilmu hukum adalah eksperimen ilmiah yang didapatkan dalam penilitian legal realitas secara cermat[13]. Twinning kemudian menggolongkan Bentham sebagai seorang “soft positivism”, positifisme kemudian mengalami puncaknya ditangan murid Bentham; John Austin meski dalam catatan kakinya, Mensky mengutip Morrison bahwa sesunhgguhnya Austinpun bukanlah seorang positivis murni. Austin mempertahankan pemisahan yang ketat antara hukum dan moral yang merupakan ciri khas bagi akademisi hukum di Inggris. Meski pendekatan ini lebih banyak merujuk pada hukum sebagaimana yang seharusnya dan tidak dapat menjelaskan kenyataan[14].
Hukum yang benar-benar murni dapat kita temukan dalam teori Hans Kelsen, sebagai seorang Neo-Kantian Kelsen hendak melanjutkan “rasio murni” Kant dalam hukum. Dengan memusatkan teorinya semata-pada hukum sebagai aturan, Kelsen menolak Legal Positivisme karena memiliki hubungan ambigu antara hukum dengan fakta maupun Hukum Alam yang mengacaukan hubungan antara hukum denga moral. Atas tujuan mencapai ‘teori murni’ Kelsen kemudian mengisolasi total hukum dari etika, politik, sosiologi, sejarah dan agama dan hanya terfokus pada undang-undang dengan hirarkinya. Hirarki hukum tersebut mendapatkan validitasnya dari norma dasar yang disebut sebagai Grundnorm.Pemisahan hukum dan moral yang lain juga dilakukan oleh H.L.A Hart, yang membagi dua model aturan; primary rules dan secondary rules. Yang pertama adalah nilai-nilai moral sementara yang kedua adalah hukum dimana nilai-nilai moral sudah terinstitusi kedalam undang-undang.
Seiring berkembangnya waktu mulai muncul kesadaran akan adanya keterkaitan antara hukum dengan keberagaman dalam fenomena-fenomena global. Meski demikian, pendekatan yang pluralistik masih belum menjadi bahan kajian yang utama[15]. Pada titik ini hubungan antara hukum dan moral yang sebelumnya dipisahkan oleh para penganut positifisme kini mualai dipertemukan kembali. Pertemuan tersebut dapat ditemukan pada kajian-kajian socio-legal yang memandang hukum dalam konteks sosialnya. Para penganut socio-legal daripada mengkaji hukum dari segi peraturan lebih terfokus pada bagaimana peraturan tersebut berjalan (law in action). Socio Legal hadir setelah adanya perkembangan dalam bidang sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang kemudian turut mengkaji hukum dalam kajian sosiologi. Kajian tersebut berawal dari sociological jurisprudence dan sociology of law dan kemudian berkembang dalam ranah ilmu hukum menjadi socio-legal.
Di Amerika kajian sociology of law dipopulerkan oleh Roscoe Pound. Pound melihat hukum sebagai kajian interdisipliner dan merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang digunakan untuk memberikan solusi atas permasalahan keadilan[16]. Pada belahan lain dari dunia, para realis skandinavia memiliki corak yang lebih filosofis dengan menganggap hukum sebagai fenomena psikologis sehingga peraturan tidaklah inheren dengan otoritas dan hukum harus dikaji sebagai fakta sebagaimana dikatakan oleh Dias dan Hughes yang dikutip oleh Mensky: “..reality of law are matters of personal evaluation and not suspectible to any scientific processes of examination in this waymany of the traditional problems of legal philosophy become illusory, and must be replaced by an examination of the actual use of legal therms and concept and a psychological analysis of the mental atitudes that are involved[17]”.
Kajian sosiologi pada ranah hukum kemudian semakin diakuit dengan tumbuhnya kesadaran akan subyektifitas dalam hukum  dan kajian tersebut daat ditemukan terutama pada gerakan Critical Legal Studies, Feminist Jurisprudence dan para postmodernis.





[1] Werner Mensky. Comparative Law In A Global Context, The Legal System of Asia and Africa. Cambridge University Press. 2006. Hlm 18
[2] “....It binding over all the globe in all countries and at all times..” Sir William Blacstone dalam Ibid Hlm 132
[3]There is no Legislature. The King does not make laws....Instead there is a themis: a word whose force is difficult to grasp but which is applied to an area at the centre of which is perhaps the idea of a god-inspired or directive or finding” Kelly dalam Ibid hlm 135
[4] ..among men, even natural justice was not unchanging” Freeman dalam Ibid hlm 137
[5] Ibid hlm 138
[6] “..that nature including mankind , had become corrupted and that, as the expoent of divine law; church could interferee with the state and override its laws”Dias & Hughes dalam ibid hlm 141
[7]“ ...allowed for human law-making, which could potentially wiolate all the ideal principle of the absolute Law of Nature” Ibid hlm 142
[8] This new practical approach did not deny the existece of God , but asserted that there was a higher standard of goodness to which man, through reason, could appeal. Ibid hlm 147
[9] Ibid hlm 150
[10] Ibid hlm 151
[11] ...however positivist theories substitute for the articulate idealism of the theories which they fight an inarculate idealism of teir own, which is presented as a scietific fact based on observations” Ibid hlm 152
[12] Lok Cit
[13]He saw jurisprudence as ‘an experimental science founded upon the careful observaton of legal realities”. Ibid hlm 155
[14] This approach does not recommended itself as a useful tool for understanding law and remains essentially an idealist search for absoluetruth in the realm of values” Ibid hlm 156
[15] “...that pluralist approaches are not yet accepted as mainstream legal methodology” ibid hlm 160
[16] ..American society facoured an interdicipinary approach of law that sought to understand how law as a form of social control could be used effectively to solve old and new problems over justice and distribution.” Ibid hlm 164
[17] Ibid hlm 167

HUBUNGAN AGAM DAN MORAL

HUBUNGAN AGAM DAN MORAL
Asep W. M. Ag
  
A.     Pengertian agama.
Secara Etimologis, istilah Agama berasal dari bahasa Sangskerta (a+gama/gam) A berarti tidak dan gama berarti kocar-kacir atau berantakan atau teratur.
1.      Sedangkan Secara Terminologis, agama dapat dipahami sebagai:
1)      Hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang dianggapnya lebih tinggi untuk dipuja dan dimintai pertolongan (Endang Saefuddin Anshary).
2)      Ajaran-ajaran yang diwujudkan Tuhan kepada manusia melalui para rasul-Nya (Harun Nasution).
3)      Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan dengan kehendaknya sendiri, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Taib Tahir Abdul Muin).         
2.      Secara etimologis, agama juga dapat dipahami sebagai:
1)      Kata moral sering diidentikkan dengan kata etika”, akhlak”, dan karakter”.
2)      Kata-kata tersebut secara detail memiliki makna atau pengertian yang berbeda.
3)      Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak dari mores), yang berarti kebiasaan, adat (K. Bertens).
4)      Moralitas: etiket, integritas, kebaikan, atau kebajikan                  (Tesaurus).  
5)      Moralitas: perbuatan dan tingkah laku yang baik; kesusilaan         (KBBI, 2009).
Agama memberikan aturan kepada manusia sehingga hidupnya teratur, tidak berantakan.
Agama merupakan sesuatu yang penting bagi semua orang, bahkan bisa dikatakan jikalau semua orang butuh agama. Seseorang yang tidak memiliki agama seakan hidup tanpa tujuan dan tidak tahu untuk apa ia ada di dunia ini. Mungkin agama di dunia ada banyak sekali, mulai dari agama Islam, Kristen, Budha, dan sebagainya. Dalam memilih suatu agama tentunya seseorang akan memilih agama yang sesuai dengan apa yang ia yakini dan ia percayai. Selain itu, ada juga faktor lain yang membuat seseorang memilih suatu agama, seperti faktor keturunan, dan faktor lingkungan (masyarakat sekitar). Misalnya saja ada seseorang yang terlahir dalam keluarga yang beragama Islam, maka kemungkinan besar orang tersebut juga akan beragama Islam seperti keluarganya. Di dalam beragama tentunya kita harus mengetahui apa saja yang terkandung dalam agama yang kita pilih, seperti apa saja yang diajarkan dalam agama tersebut, bagaimana cara peribadatannya, hingga sejarah dari agama tersebut.
Islam adalah agama samawi yang diturunkan oleh Allah SWT melalui uturan-Nya, Muhammad SAW, yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat (Abdul Karim, 26).
“Ad Dien ( agama ) adalah: “Keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu zat-gaib yang mahatinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan nasib manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk memuja Zat itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan.”  (Muhammad Abdullah Darraz).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu agama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
B.     Pengertian Moral
K. Bertens, mengungkapkan bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Mansur).  Makna yang hampir sama untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain, menyangkut kegiatan­kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Dari definisi diungkap di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut.
Adanya norma-norma atau nilai-nilai di dalam makna moral seperti diungkap di atas merupakan sesuatu yang mutlak. Hal ini dikarenakan norma-norma atau nilai-nilai ini di dalam moral selain sebagai standar ukur normatif bagi perilaku, sekaligus sebagai perintah bagi seseorang atau kelompok untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tersebut. (Paul W. Taylor, hal. 3).
Dalam berbicara tentang konsep moral, ini juga terkait dengan konsep moralitas, karena konsep moral itu pada awalnya yang memunculkan adanya teori perkembangan moral, seperti yang dikemukakan oleh Hill (1991: 53-58) mengidentifikasi empat konsep yang berbeda satu sama lain mengenai moralitas. Dari empat konsepsi inilah kemudian muncul berbagai teori tentang perkembangan moral. Keempat konsepsi tersebut ialah kepatuhan pada hukum moral (obedience to the moral law), konformitas pada aturan-aturan sosial (conformity to social rules), otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi (rational autonomy in interpersonal dealings), dan otonomi eksistensial dalam pilihan seseorang (existential autonomy in one’s choices). (Darmiyati zuchdi, hal. 2).
Menurut Ronald satya surya, dalam agama Budha Sila (aturan moralitas budhis) merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama budha. Menurut kosa kata bahasa Pali, istilah Aturan-moralitas Budhis (sila) mempunyai beberapa arti yaitu:
1.      “Sifat, karakter, watak, kebiasaan, perilaku, kelakuan” sila biasanya berfungsi sebagai kata sifat, misalnya susila (perilaku baik), dusila (perilaku buruk), adanasila (perilaku kikir), parisuadhasila (watak luhur), dll.
2.      Latihan moral, pelaksanaan moral, prilaku baik, etika Budhis, dan kode-kode moralitas.
Moral adalah kesadaran jiwa terdalam dari tiap-tiap manusia, kesadaran hati nurani untuk menghormati dan mencintai sesame, membela kaum tertindas, bersikap altrulistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme. (Musa sofiandi).
Moral adalah akar-akar normative (dalam agama Islam Akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. (Amin Abdullah). Senada dengan itu moral juga diartikan sebagai keadaan batin yang menentukan perilaku manusia dalam menentukan sikap, tingkah laku, dan perbuatannya. (Abdul karim, Double, hal. 31).
C.     Hubungan Agama dan Moral
Ketika kita berbicara masalah agama, maka kita tidak terlepas dari berbagai aturan dan tatanan yang terdapat dalam setiap agama, tidak terkecuali dalam agama Islam.  
Dalam agama Islam, terdapat berbagai hukum atau aturan-aturan yang harus dipegang teguh oleh setiap pemeluknya. Setiap pemeluk agama Islam harus belajar berbagai hukum dan aturan dalam agama Islam, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kandungan isi dari ajaran agama Islam adalah tentang akhlak (moral) baik itu menyangkut bagaimana manusia itu berakhlak terhadap hubungannya dengan sang pencipta (Allah SWT), akhlak kepada sesama, dan akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar.
Menurut Syekh Zainuddin Abdul Madjid dalam wasiatnya renungan masa (hal. 37) beliau menyatakan bahwa “Agama bukan sekedar ibadah, puasa sembahyang di atas sajadah, tapi agama mencakup aqidah mencakup syari’ah mencakup hukumah”. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa agama itu bukan hanya menyangkut ibadah kepada Tuhan tapi juga menyangkut syari’at (jalan menuju kebenaran yang diaarkan agama untuk mencapai keridoan Tuhan) yang berlaku di kalangan sesama masyarakat. Seperti berbuat kebaikan kepada semua orang, melaksanakan dakwah, melaksanakan ajaran agama sesuai keyakinan.
Agama Islam tidak memaksakan kepada umat manusia untuk masuk mengikuti ajaran Islam. Kejelasan telah ada, masing-masing individu pun sesungguhnya telah ada pada dirinya hidayah (petunjuk), tergantung pribadinya, apakah ia mau menerima hidayah itu atau tidak. Seperti firman Allah swt, yang artinya:
“Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Islam dan Al Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". ( QS Yunus: 108 )
Dari paparan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya agama telah memberikan sebuah pegangan tentang kebenaran baik dalam bertindak maupun dalam melakukan berbagai pilihan hidup. Agama disini juga menegaskan bahwa apa yang menjadi pilihan manusia itu akan kembali pada dirinya sendiri, setiap apa yang dikerjakan akan mendatangkan hasil dari perbuatan tersebut, entah itu perbuatan yang baik maupun yang tidak bermoral.
Agama Islam pada intinya mengajarkan atau mensyari’atkan kepada ummat manusia untuk berbuat kebaikan, baik untuk dirinya sendiri dan orang lain yang ada disekitarnya. Seperti firman Allah swt yang artinya:
Agama Islam disyariatkan untuk kemashalatan atau kebaikan manusia dan melindunginya dari segala mudharat atau kesulitan. Karena itu Allah membuat syariat ini mudah, baik untuk dipahami maupun diamalkan. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan. ( QS. Al Baqarah : 185 ).
Dari paparan arti ayat tersebut, dapat dipahami bahwa agama islam selalu menekankan kepada umat manusia untuk selalu berusaha berbuat yang mendatangkan kemaslahatan atau kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ini ditekankan dengan adanya syari’at yang ditekankan agar dapat dilaksanakan oleh manusia untuk dapat melaksanakan dan berusaha untuk dapat berusaha berbuat berbagai tindakan yang bernilai positif dalam artian mendatangkan kebaikan bagi kemaslahatan seluruh manusia.
Trilogi Agama (Islam) sebagai inti dari ajaran yang terkandung dalam agama islam yaitu:
1)      Iman-Islam-Ihsan
2)      Aqidah-Syariah-Akhlak
3)      Sistem keyakinan-sistem ritus-etika/moral/moralitas/karakter.
Ketika kita akan berbicra mengenai hubungan agama dan moral, maka disini kita bisa lihat bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara agama dan moral. Hal ini tercermin dari hubungan yang ditimbulkan oleh Aqidah, syari’ah dan akhlak yang sangat erat satu dengan lainya, dan ketiga konsep ini memiliki lingkup masing-masing atau dapat dibedakan satu dengan lainnya. Hubungan ketiganya yaitu: Aqidah sebagai konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan elemen-elemen dasar iman, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syari’ah sebagai konsep atau sistem hukum berisi peraturan-peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Akhlak sebagai sistem nilai etika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh agama. (Marzuki, hal. 10).
Dalam tataran aplikasi dari ketiga hubungan konsep tersebut, maka dapat dilihat dalam tataran aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syari’ah yang hanya dirujukan kepada Allah SWT sehingga tergambar akhlak yang mulia dalam dirinya. Hal ini juga dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an yang artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di anara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan mengeukuhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengukur (keadaan) mereka, sesudah mereka mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa ” (QS. Al-Nur; 25: 55).
Dalam kaitannya antara agama dan moral, sering kita mempertanyakan Apakah agama diperlukan untuk menemukan kaidah-kaidah moral?, Apakah iman juga diperlukan untuk menjaga kepatuhan terhadap kaidah-kaidah moral?
Sebagai umat beragama khususnya Islam, tentu kita akan menyikapi pertanyaan tersebut dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam yang. Seperti yang terdapat dalam Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
”sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Malik)
Dalam agama Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting, sehingga setiap  aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlaq al-karimah. Iman juga sangat diperlukan dalam kepatuhan terhadap kaidah-kaidah moral. Orang yang baik keimanannya akan selalu menjalankan kaidah-kaidah moral yang diajarkan agama dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu benar-benar sesuatu yang baik dan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Seperti yang diterangkah dalam Hadits Rasulullah SAW.
”Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik adalah sesuatu yang paling banyak membawa manusia ke dalam surga”.(HR. Tirmizi)
Dalam Islam akhlak yang baik atau mulia sering dicontohkan oleh Rasulullah SAW, baik dalam perbuatan, ucapan, maupun ketetapannya. Akhlak Rasulullah SAW juga sering disebut Akhlak Islam. Menurut Quraish Shihab, ciri-ciri akhlak yang diajarkan rasulullah tersebut yaitu:
1)      Kebaikannya bersifat mutlak, yaitu kebakan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu, dan tempat apapun.
2)      Kebaikan bersifat menyeluruh, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan di semua tempat.
3)      Tetap, langgeng, dan mantap, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap, tidak berubah oleh oleh perubahan waktu dan tempat atau perubahan kehidupan masyarakat.
4)      Kewajiban yang harus dipatuhi, yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan sehinga ada sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya.
5)      Pengawasan yang menyeluruh. Karena akhlak Islam bersumber dari Tuhan, maka pengaruhnya akan lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia, sehingga seseorang tidak akan berani melanggarnya kecuali setelah ragu-ragu dan kemudian akan menyesalinya dan bertobat. (Bisri M. Djaelani, hal. 39).
Setiap orang yakin akan adanya standar moral yang berlaku untuk masyarakat umum, misalnya membantu orang yang membutuhkan pertolongan, member makan orang yang lapar, membuat orang senang, semuanya ini tentu berlaku secara umum dan diterima di masyarakat. Dan setiap orang juga yakin bahwa kalu perbuatannya iu akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan orang yang ditolongnya. Hal ini juga dinyatakan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Baqarah: 195).
1)      Agama adalah sumber ajaran moral yang paling benar
Para ilmuan percaya bahwa Agama adalah sumber ajaran moral yang paling benar. Menurut John Stuart Mill dalam The Utility of Religion, mengatakan bahwa, Agama senantiasa menerima kepercayaan yang luas untuk mempertahankan moralitas. Ini menunjukkan bahwa peran agama dalam menunjang terbentuknya moral masyarakat sangat penting, karena bagaimana pun kita ketahui bahwa tiap agama itu mengajarkan umatnya untuk berbuat kebaikan.
Kita ketahui bahwa dalam setiap ajaran agama pada intinya mengajak umatnya untuk berbuat kebaikan, baik itu dari cara berhubungan dengan sang penciptanya, sesame manusia, bahkan dengan alam sekitarnya. Namun kadang kita sering salah kaprah tentang kebenaran yang dianut setiap agama. Kita cenderung melihat perbedaan yang ada di tiap-tiap agama sehingga seolah agama yang lain adalah salah. Dan agama kitalah yang paling benar, ini kalau pada tataran internal agama masing-masing pemeluknya sudah pasti agama yang dianut adalah agama yang paling benar, namun kalau berkaitan dengan hubungan eksternal dengan agama lain maka harus juga menghormati kebenaran agama lain yang tentunya terdapat pada batasan-batasan yang tidak mengganggu kesejahteraan pemeluk agama lain.
Kaitannya dengan moral terhadap antar umat beragama lebih ditekankan kepaa bagaimana masing-masing umat beragama saling menghormati dan saling menghargai, bukankah dalam setiap agama sudah ada batasan-batasan yang bisa dinegosiasi, seperti dalam agama islam harus menghormati pemeluk agama lain selama itu tidak menyangkut masalah keyakinan. Misalnya dalam hal bergaul dalam kehidupan sehari-hari sebagai tetangga atau sesama anggota masyarakat, namun kalu kaitannya sampai pada tataran keyakinan seperti masalah ibadah itu sudah harus kembali kepada ajaran agama masing-masing. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Al-Ayah)
Moral dalam ajaran Islam, sering diidentikkan dengan tingkah laku atau akhlak, baik akhlak terhadap Tuhan, maupun akhlak terhadap sesama dan lingkungan. Orang dianggap bermoral apabila dia berakhlak mulia (al-karimah) seperti mengerjakan soholat lima waktu tepat waktu, melaksanakan sunnah Rasulullah saw, menunaikan zakat, membantu orang fakir miskin, berbuat baik pada orang lain, tidak berbuat kerusakan, dll. hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw, beliau mengatakan bahwa “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (al-hadits). Dengan demikian, dalam agama Islam, moral dan agama itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
2)      Sumber ajaran moral yang lain adalah akal, nurani, adat/kebiasaan.
Setiap orang yang berakal pasti tau mana yang baik dan tidak baik untuk dikerjakan, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral, kemudian hal tersebut juga akan diikuti dengan nurani yang akan menguatkannya. Namun dalam masyarakat keputusan atas sebuah tindakan moral yang dilakukan dengan hasil pemikiran akal dan didukung dengan nurani, ini tentu harus disesuaikan lagi dengan adat/kebiasaan yang berlaku dimana tempat dia berada.
3)      Agama yang dianut seseorang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap moralitasnya.
“Manusia yang bermoral akan melakukan tindakan yang dikehendaki Tuhan” sebagai seorang yang beragama tentu hal demikian itu sudah seharusnya terjadi. Orang yang betul-betul menyakini dan menjalankan ajaran agamanya akan menegakkan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Keyakinan akan kebenaran yang diperintahkan Tuhan kepadanya akan membuat seseorang berbuat, bahkan tidak pemikiran tidak diperlukan dalam hal ini. Karena tiap agama tidak ada yang mengajarkan untuk berbuat amoral yang akan mencelakakan umatnya.
Umat islam, dipeintahkan untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat, membantu pakir miskin, dll. Bagi umat yang bermoral tentu hal ini akan dilakukan dan sebaliknya orang yang tidak bermoral tentunya tidak akan mau melakukan hal yang demikian, mungkin saja dengan berbagai alasan, misalnya itu tidak ada maatnya bagi dirinya. Tidak demikian halnya dengan orang yang bermoral, dia akan melakukan hal tersebut karena dia yakin bahwa itu baik dan akan mendapatkan imbalan dari Tuhan.
4)      Jika agamanya baik maka moralitasnya akan baik, dan sebaliknya.
Orang yang dikatakan baik agamanya adalah mereka yang melaksanakan ajaran agamanya dengan tidak setengah-setngah, tetapi menjalankan ajaran agama dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Agama menuntut umatnya berbuat semua kebaikan, baik itu bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Berbuat baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain ini mencerminkan moral yang baik yang dibawa oleh agamanya yang baik.
Dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan ini sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Orang yang terlihat taat beragama, belum tentu bisa dikatakan sebagai orang yang bermoral. ini tentunya dilihat dari berbagai kenyataan yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang rajin beribadah namun terkadang dalam berbagai kegiatan sosial lainnya sering diabaikan, sehingga anggapan yang negatif pun sering terucap dari orang yang masih memahami pengertian beragama itu hanya sebatas ibadah.
Menyikapi pandangan masyarakat yang kurang tepat tersebut, disini perlu dipahami, tentang kondisi masyarakat dan latar belakang serta situasi sosial lingkungannya. Dalam memandang permasalahan hubungan agama dan moral, disini dapat ditinjau dari kondisi masyarakat yang cenderung berbeda, pada satu daerah dengan daerah lain atau satu negara dengan negara lain. Misalnya, di negara-negara barat seperti Amerika, Inggris, Belanda, dll. Masyarakat cenderung memisahkan masalah agama dengan kehidupan sosial, mereka menganggap bahwa agama itu urusan orang-orang yang berada di lingkungan keagamaan seperti gereja, mesjid dll. Disisi lain, ada juga masyarakat yang cenderung mengkaitkan masalah agama dengan masalah sosial, dimana urusan agama itu selalu dikaitkan dengan masalah agama, sehingga disini cenderung akan ada pandangan yang mengasumsikan bahwa orang yang taat beragama kalau tidak bertindak sosial akan dianggap sebagai orang yang tidak bermoral, begitu pula sebaliknya, orang yang selalu mengerjakan berbagai kegiatan sosial akan dianggap sebagai orang yang bermoral, meskipun kurang dalam menjalankan kegiatan keagamaan.
Menyikapi problematika masyarakat yang demikian itu, maka disini perlu ditekankan pemahaman tentang pengertian beragama yang sesungguhnya. Idealnya, orang yang taat beragama, akan menghasilkan moral. Dan sebaliknya orang yang tidak menjalankan ajaran agama, akan cenderung melahirkan tindakan yang tidak bermoral.
K. Sri Dhammananda. Beliau adalah seorang Bikkhu yang sangat produktif. Beliau mengatakan bahwa perilaku moral warga masyarakat memainkan peranan yang sangat penting dalam agama ini. Guru Agungnya pernah mengatakan, “Ajaranku tidak untuk datang dan percaya, tetapi datang, lihat, dan laksanakan”. Ini mendorong orang-orang untuk mempelajarinya sepenuhnya dan dengan demikian memungkinkan mereka menggunakan pertimbangan sendiri untuk memutuskan apakah mereka akan menerima ajaran itu atau sebaliknya. (Dhammananda). Dari pernyataan tersebut, jelas kiranya bahwa agama itu merupakan satu kesatuan dengan tindakan moral yang diajarkan kepada setiap pemeluknya, dengan tujuan untuk kesejahteraan ummatnya dalam kehidupan sehari-hari.s
Beragama, bukan sekedar ada pada ucapan, akan tetapi lebih dari sekedar itu. Orang yang disebut taat beragama adalah orang yang betul-betul menjalankan ajaran agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan secara penuh. Karena agama itu bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga menyangkut hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Orang yang betul-betul paham agama tentu akan selalu berbuat adil, selalu menyeimbangkan antara tuntutan beribadah kepada tuhan dan berbuat baik bagi sesama.
Kita ketahui dalam setiap agama, selalu bertujuan untuk mengajak umatnya untuk berbuat baik demi kemaslahatan semua umat manusia. Jadi sudah jelas bahwa apa bila seorang betul-betul menjalankan ajaran agama yang dianut, tentu akan menghasilkan nilai moral, dan sebaliknya orang yang jauh dari agama akan cenderung berbuat amoral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul karim. Islam nusantara.2007.
 Al-Qur’an dan terjemahan (CV Penerbit J-ART)
 Amril M. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006. Hal. 77.
 Amin Abdullah. Falsafah kalam diera post modernism. Pustaka Pelajar. 2004. Hal. 147.
 Bisri M. Djaelani. Rahasia kekuatan do’a. Quiis. 2006.
 Darmiyati zuchdi. Humanisasi pendidikan. Bumi Aksara. 2008.
 Muhammad zainuddin abdul madjid. Wasiat renungan masya.
 Paul W. Taylor, “Introduction: What is Morality” dalam Paul W. Taylor (ed), Problems of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, (Publishing Company Inc. 1967), hal . 3.
 Ronald satya surya. Lima aturan moralitas Budhis

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda