Kamis, 19 Desember 2013

Hukum, Moral dan Agama : Sebuah Risalah Hukum Alam Sampai Positivisme



Hukum, Moral dan Agama : Sebuah Risalah
Hukum Alam Sampai Positivisme
Pendahuluan
Barangkali untuk mempermudah pemahaman hubungan antara Hukum dan moral dan agama kita dapat membayangkanya sebagai kisah polemik dua insan manusia yang saling mencintai. Kedua insan tersebut dapat diandaikan saling berebut untuk dapat menyalurkan cintanya pada yang lain, dan sebagaimana pula kisah-kisah cinta yang lain, cinta selalu menyertakan konflik. Seperti epos Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, perjumpaan dari satu insan diiringi dengan perpisahan dilain waktu saat .
Hukum dan moral dan agama juga memiliki kisahnya sendiri. Hukum yang kita terima pada hari ini tidak terlepas dari kisah pergulatan hukum dengan yang lain serta tidak lepas pula dari perkembangan zaman yang mengawalnya. Abad pertengahan misalnya, dimana gereja kala itu memiliki kekuasaan absolut sehingga waktu itu hanya ada dua kata ganti yang meunjukkan status manusia: warga atau umat. Disusul kemudian munculnya humanisme dan pencerahan dimana di masa itu manusia mencoba untuk keluar dari dogma gereja dalam terang akal budi ilmu-ilmu pengetahuan yang ditandai oleh para kaum copernican dan newtonian. Seiring perkembangan zaman, modernisme dianggap tidak lagi dapat menjawab masalah hari ini yang kian kompleks sehingga melahirkan generasi pengkritiknya: postmodern yang berusaha membunuh totalitas kebenaran demi merengkuh keberagaman. Kisah-kisah tersebut bukanlah sebuah kejadian yang terjadi secara tunggal melainkan memiliki korelasi dengan kisah perkembangan hukum dengan moral dan agama.    
Melihat hukum dalam suatu refleksi bukanlah hal yang mudah tapi memiliki nilai lebih tersendiri sebgaimana dikatakan oleh Mensky “If law students can, from the start, develop sensitivity for how different concepts of law have been historically growing within a spesific socio-cultural environment, they have also benn thaught to function as humans, not just to think as lawyers”[1]. Dengan demikian maka mempelajari kisah panjang perjalanan hukum dan berbagai lingkup disekitarnya merupakan suatu tindakan dalam memahami manusia dan berpikir sebagai manusia.
            Sebelumnya harus diakui bahwa kekurangan dalam tulisan ini adalah sempitnya ruang lingkup perihal perkembangan hukum dengan memfokuskan pada sejarah perkembangan hukum dengan moral dan agama di Eropa. Padahal tiap sudut dunia tiap kebudayaan memiliki kisah perkembanganya dan sistem hukum sendiri yang unik dan khas.

Hukum Alam yang Universal dan Abadi
Ada perdebatan yang sengit dalam mempertautkan hukum dan moral, dari Kelsen, Hart, maupun Austin dan para tokoh lainya. Namun apabila kita runut lebih awal perdebatan tersebut telah terjadi semenjak berlakunya Hukum alam. Hukum alam digunakan dan menyebar luas di Eropa dari Yunani hingga pudar pada abad 19. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hukum Alam adalah hukum yang berlaku Universal yang mengikat semua manusia dn berlaku sepanjang waktu[2] dalam perjalananya, Hukum Alam nantinya juga mendapat pengaruh dari keagamaan dan proses sekularisasi. Bagaimanapun juga, Hukum alam  mengandaikan adanya keadilan absolut yang mengatasi semua permasalahan manusia/
 Pada filsafat hukum Yunani, beranggapan bahwa hukum buatan manusia adalah hukum yang cacat, para filsuf ynani kuno beranggapan bahwa ada yang lebih “mulia” dari keambiguan hukum buatan manusia. Seiring dengan filsafat alam, filsuf Yunani Kuno percaya bahwa hukum alam merupakan suatu hukum yang inheren dalam kehidupan sosial dan keberadaan manusia dalam alam kosmos.Hal tersebut tampak pada moral keagamaan masyarakat yunani yang mempercayai adanya hukum dan keadilan yang berasal dari Themis[3] yang diterima oleh raja melalui Zeus.
 Anggapan adanya ambiguitas dalam hukum manusia juga dikatakan oleh kaum sofis. Para sofis berpendapat bahwa pembuat dan penegak hukum hanya mencari keuntungan demi kepentingan pribadi. Jadi terdapat dua hal yang menarik disini. Pada satu sisi hukum merupakan pemberian dari para dewa namun disisi lain manusia yang menegakkan dan mengaplikasikan hukum kedalam bahasa manusia cenderung korup. Bagi Socrates dan muridnya, Plato, mengatakan bahwa ada sebuah basis moral yang tak tergantikan pendapat ini kemudian diteruskan oleh murid Plato, Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa diantara manusia keadilan berdasarkan hukum alam tidaklah tergantikan[4] pemikiran Aristoteles memberikan pengaruh yang besar pada corak pemikiran Eropa sampai abad pertengahan melalui dua karakter manusia sebagai bagian sekaligus tuan atas alam, maka manusia selain menjadi subyek dari hukum alam juga memiliki potensi untuk mendominasi alam dengan membedakan antara yang baik dan buruk melalui kehendak bebasnya. Filsafat Aristoteles ini hendak mengatakan bahwa dibandingkan hukum negara, hukum alam memiliki statius yang lebih tinggi.
Mengadopsi pemikiran dari Aristoteles, kaum Stoic berpendapat bahwa hukum alam merupakan jalan hidup yang sejalan dengan akal budi dimana hukum alam merupakan sebuah kewajiban moral..”Nature was synonymous with Reason and reason was synonymous with God...”[5]. Para Stoik percaya bahwa negara kota atau polis juga merupakan polis para dewa sehingga hukum polis juga merupakan hukum alam, menurut kaum stoik, hukum alam yang tadinya mengacu para ‘perihal yang mengatur segalanya’ menjadi lebih identik dengan akal budi manusia. Maka ditangan para Stoik Hukum alam menjadi lebih relatif dengan menyerahkan proses legislasi pada akal budi dengan berusaha mendekati sedekat mungkin hukum alam yang absolut. Kerajaan Romawi kemudian menagdopsi para pemikir Yunani, terutama Stoik. Hukum alam mengalami sekularisasi di era Kerajaan Romawi, Cicero seorang ahli hukum Romawi  mengkonfrontasikan hukum positif dengan hukum alam dengan membaginya menjadi ius natura, ius naturae dan lex naturae. Pada akhirnya, menuyusul pengaruh kuat dari agama Kristen, hukum Romawi juga mendapat pengaruh yang signifikan darinya. Pada masa awal bercokolnya pengaruh Kristen, Hukum Romawi mendasarkan parapendapat bahwa alam termasuk manusia didalamnya adalah buruk maka melalui hukum agama gereja berhak mengintervensi negara dan hukum negara[6].Bersamaan dengan hal tersebut, lahit pula eurosentrisme dengan berpendapat bahwa masyarakat lain bukanlah masalah yang beradab termasuk pula hukumnya.
Memasuki abad pertengahan, seiring dengan suksesnya proses Kristenisasi di Eropa Pengaruh Gereja menjadi semakin kuat. Tokoh yang menonjol disini adalah St Augustine dan Gregory. Pemisahan antara Hukum alam ideal dan Hukum alam relatif ala Stoik masih digunakan oleh Gereja dengan membedakanya satu sama lain. Hukum alam ideal adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan sementara yang kedua merupakan hukum yang tidak sempurna mengingat dikeluarkanya manusia dari surga dan dosa asal. Maka memperbolehkan manusia membuat hukum bisa menimbulkan kerusakan pada hukum alam yang absolut[7]
Figur lain yang menonjol pada era ini adalah St. Thomas Aquinas yang membagi hukum menjadi empat tingkatan berturut-turut adalah: Lex Aeterna, Lex Natura, Lex Divina, dan Lex Humana. Masing-masing memiliki tingkatnya dengan Lex Aeterna sebagai hukum Tuhan sampai dengan Lex Humana yang merupakan buatan manusia dari konsepsi atas “kebaikan” yang berasal dari Lex Natura.  Nantinya Filsafat hukum Eropa akan meninggalkan Lex Aeterna dalam kajian mereka yang menjadi lebih sekular dan positivis. Dengan banyaknya kritik atas Gereja yang tadinya begitu dominan dengan berada lebih superior dibanding negara dengan berlindung dibalik filsafat Thomisme. Lahirnya abad pencerahan yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh gereja membuat posisi politik Gereja berada dalam posisi yang sulit. Hukum alam yang digadang-gadang memberikan jaminan akan keadilan absolut dan universal mulai banyak dipertanyakan.
Hukum Positif : Perceraian Antara Moral dan Hukum
 Ada dua faktor yang memberi kritik keras terhadap dominasi gereja kala itu; sekularisasi politik dan keinginan agar pasar bebas dari intervensi dengan kedaulatan negara sebagai jaminan atas hak personal dan munculnya Protestantisme yang memisahkan diri dari Gereja nasional. Satu hal yang patut dicatat adalah gerakan sekularisasi ini bukan berarti merupakan upaya untuk menafikkan keberadaan Tuhan, melainkan memberi tempat yang lebih bagi akal budi manusia mengenai standar kebaika berdasar kehendak bebas[8]. Gelombang pencerahan melahirkan suatu tren baru dalam teori negara yaitu munculnya beragam teori kontrak mulai dari Locke, Hobbes, Rousseau hingga Montesquieu. Hobbes misalnya menolak otoritas gereja dalam menerjemahkan hukum-hukum Tuhan, disisi lain Locke berpendapat bahwa kekuasaan yang tidak terbatas merupakan pelanggaran terhadap hukum alam, dapat dicermati disini teori hukum alam mengalami kecenderungan untuk menjadi semakin bercorak akademis,.
David Hume, seorang filsuf empirisme inggris mengatakan bahwa hukum alam mengandung tiga kelemahan : yang pertama mereka bersikap naif dengan menganggap bahwa perilaku manusia sebagaimana yang diharapkan oleh hukum dapat dapat muncul. Kedua bahwa hubungan sebab dan akibat yang mereka klaim sebagai fakta-fakta dari observasi dan pengamatan tidaklah lebih dari sekumpulan realitas yang diseleksi dan bersifat subyektif. Ketiga hukum alam telah secara salah dalam memahami perilaku manusia yang rasiona yag didasarkan atas prinsip-prinsip rasional memiliki validitas yang universal[9]. Hukum alam terus menerus digempur dan perlahan menjadi out of fashion di abad 19 sebelum mulai dihidupkan kembali pada abad 20.
Sebagaimana sedikit diulas diatas, kini para kaum positivis hendak memisahkan diri dari doktrin hukum alam, untuk memfokuskan dirinya -dalam istilah Aquinas- pada lex humana dan tidak lagi menengok ke ius natura.
Pada masa awalnya, Positifisme berusaha menggabungkan antara agama dan otoritas yang sifatnya sementara, disini masih dapat kita lihat corak religius belumlah hilang sepenuhnya, belum dapat memisahkan diri dari bayang-bayang kekuasaan gereja. Melalui sekularisasi, legal positifisme kemudian berkembang dengan memisahkan diri dari moral sebagaimana dikatakan Bix yang dikutip oleh Mensky “Through secular methods of enquiry, it became possible to develop legal positivisme,’based on the simple assertion that the proper description of law is a worthy objective, and a task that need be kept separate from moral judgement”[10] Perkembangan pencarahan eropa yang memuncak pada August Comte dengan manusia positivnya juga mempengaruhi perkembangan ilmu hukum, yaitu dengan digunakanya standar-standar ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial[11].
Mensky kemudian mengambil lima elemen dari positifisme yang disarikan oleh Friedman dari Hart bahwa: Pertama, hukum adalah perintah dari manusia bukan dari tuhan, Kedua, Isi dari hukum tidak membutuhkan suatu hubungan dengan moral melainkan dari hukum itu sendiri, Ketiga, Pengembangan analisa konsep-konsep hukum dengan membedakanya dari sejarah dan sosiologi Keempat, Legal sistem harus dibuat sedekat mungkin dengan sistem logika sehingga dapat berlaku obyektif dan Kelima, bahwa penilaian secara argumen moral tidak dapat diperdamaikan dengan argumen rasional[12]. Meski Legal Positifisme sendiri memiliki banyak definisi, namun secara umum dapat ditarik dua proposisi dasar : Bahwa moral tidaklah bergantung pada validitas moral dan hukum seharusnya hanya di identifikasi secara formal. Demikian maka hukum menjadi terpisah sama sekali dari moral dan netral (yang kemudian banyak dikritik sebagai great positivist fallacy).
Jeremy Bentham seorang Utilitaris dan Positifis dari Inggris mengtakan bahwa layaknya apa yang telah dilakukan oleh Luher terhadap agama Kristiani, Bentham hendak melakukan hal yang serupa pada hukum. Bentham mengatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah kebahagiaan milik mayoritas (greatest happines is greatest number) dengan semboyan Laissez Faire libertarian, Bentham melihat bahwa ilmu hukum adalah eksperimen ilmiah yang didapatkan dalam penilitian legal realitas secara cermat[13]. Twinning kemudian menggolongkan Bentham sebagai seorang “soft positivism”, positifisme kemudian mengalami puncaknya ditangan murid Bentham; John Austin meski dalam catatan kakinya, Mensky mengutip Morrison bahwa sesunhgguhnya Austinpun bukanlah seorang positivis murni. Austin mempertahankan pemisahan yang ketat antara hukum dan moral yang merupakan ciri khas bagi akademisi hukum di Inggris. Meski pendekatan ini lebih banyak merujuk pada hukum sebagaimana yang seharusnya dan tidak dapat menjelaskan kenyataan[14].
Hukum yang benar-benar murni dapat kita temukan dalam teori Hans Kelsen, sebagai seorang Neo-Kantian Kelsen hendak melanjutkan “rasio murni” Kant dalam hukum. Dengan memusatkan teorinya semata-pada hukum sebagai aturan, Kelsen menolak Legal Positivisme karena memiliki hubungan ambigu antara hukum dengan fakta maupun Hukum Alam yang mengacaukan hubungan antara hukum denga moral. Atas tujuan mencapai ‘teori murni’ Kelsen kemudian mengisolasi total hukum dari etika, politik, sosiologi, sejarah dan agama dan hanya terfokus pada undang-undang dengan hirarkinya. Hirarki hukum tersebut mendapatkan validitasnya dari norma dasar yang disebut sebagai Grundnorm.Pemisahan hukum dan moral yang lain juga dilakukan oleh H.L.A Hart, yang membagi dua model aturan; primary rules dan secondary rules. Yang pertama adalah nilai-nilai moral sementara yang kedua adalah hukum dimana nilai-nilai moral sudah terinstitusi kedalam undang-undang.
Seiring berkembangnya waktu mulai muncul kesadaran akan adanya keterkaitan antara hukum dengan keberagaman dalam fenomena-fenomena global. Meski demikian, pendekatan yang pluralistik masih belum menjadi bahan kajian yang utama[15]. Pada titik ini hubungan antara hukum dan moral yang sebelumnya dipisahkan oleh para penganut positifisme kini mualai dipertemukan kembali. Pertemuan tersebut dapat ditemukan pada kajian-kajian socio-legal yang memandang hukum dalam konteks sosialnya. Para penganut socio-legal daripada mengkaji hukum dari segi peraturan lebih terfokus pada bagaimana peraturan tersebut berjalan (law in action). Socio Legal hadir setelah adanya perkembangan dalam bidang sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang kemudian turut mengkaji hukum dalam kajian sosiologi. Kajian tersebut berawal dari sociological jurisprudence dan sociology of law dan kemudian berkembang dalam ranah ilmu hukum menjadi socio-legal.
Di Amerika kajian sociology of law dipopulerkan oleh Roscoe Pound. Pound melihat hukum sebagai kajian interdisipliner dan merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang digunakan untuk memberikan solusi atas permasalahan keadilan[16]. Pada belahan lain dari dunia, para realis skandinavia memiliki corak yang lebih filosofis dengan menganggap hukum sebagai fenomena psikologis sehingga peraturan tidaklah inheren dengan otoritas dan hukum harus dikaji sebagai fakta sebagaimana dikatakan oleh Dias dan Hughes yang dikutip oleh Mensky: “..reality of law are matters of personal evaluation and not suspectible to any scientific processes of examination in this waymany of the traditional problems of legal philosophy become illusory, and must be replaced by an examination of the actual use of legal therms and concept and a psychological analysis of the mental atitudes that are involved[17]”.
Kajian sosiologi pada ranah hukum kemudian semakin diakuit dengan tumbuhnya kesadaran akan subyektifitas dalam hukum  dan kajian tersebut daat ditemukan terutama pada gerakan Critical Legal Studies, Feminist Jurisprudence dan para postmodernis.





[1] Werner Mensky. Comparative Law In A Global Context, The Legal System of Asia and Africa. Cambridge University Press. 2006. Hlm 18
[2] “....It binding over all the globe in all countries and at all times..” Sir William Blacstone dalam Ibid Hlm 132
[3]There is no Legislature. The King does not make laws....Instead there is a themis: a word whose force is difficult to grasp but which is applied to an area at the centre of which is perhaps the idea of a god-inspired or directive or finding” Kelly dalam Ibid hlm 135
[4] ..among men, even natural justice was not unchanging” Freeman dalam Ibid hlm 137
[5] Ibid hlm 138
[6] “..that nature including mankind , had become corrupted and that, as the expoent of divine law; church could interferee with the state and override its laws”Dias & Hughes dalam ibid hlm 141
[7]“ ...allowed for human law-making, which could potentially wiolate all the ideal principle of the absolute Law of Nature” Ibid hlm 142
[8] This new practical approach did not deny the existece of God , but asserted that there was a higher standard of goodness to which man, through reason, could appeal. Ibid hlm 147
[9] Ibid hlm 150
[10] Ibid hlm 151
[11] ...however positivist theories substitute for the articulate idealism of the theories which they fight an inarculate idealism of teir own, which is presented as a scietific fact based on observations” Ibid hlm 152
[12] Lok Cit
[13]He saw jurisprudence as ‘an experimental science founded upon the careful observaton of legal realities”. Ibid hlm 155
[14] This approach does not recommended itself as a useful tool for understanding law and remains essentially an idealist search for absoluetruth in the realm of values” Ibid hlm 156
[15] “...that pluralist approaches are not yet accepted as mainstream legal methodology” ibid hlm 160
[16] ..American society facoured an interdicipinary approach of law that sought to understand how law as a form of social control could be used effectively to solve old and new problems over justice and distribution.” Ibid hlm 164
[17] Ibid hlm 167

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar