KONSEP NEGARA MENURUT AL GHAZALI
(By. Asep W, M. Ag)
Pendahuluan
Sarjana Islam pertama yang
menuangkan gagasan atau teori politiknya dalam suatu karya tulis adalah
Syihabuddin Ahmad Ibnu Abi Rabi’, yang hidup di Baghdad semasa pemerintahan
Mu’tasim, khalifah Abbasiyah ke delapan. Setelah itu menyusul pemikir-pemikir
seperti al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun yang
hidup pada abad XIV masehi.[1] Mereka itu sebagai eksponen-eksponen yang
mewakili pemikiran politik di dunia Islam pada zaman klasik dan zaman
pertengahan.
Paling istimewa dari keenam
pemikir di atas adalah al-Ghazali – pembaharu abad ke V-yang pernah
mengeluarkan pemikiran politiknya dengan mengecam para ulama yang bersikap masa
bodoh terhadap keadaan sehingga menimbulkan kedzaliman para penguasa. Lisan
mereka telah terikat oleh ambisi-ambisi duniawi, sehingga mereka membisu dan
jika mereka berkata, perkataan mereka tidak didukung oleh tingkah laku,
sehingga dakwahnya tidak berhasil.[2] Inilah penggalan sekelumit pemikiran
al-Ghazali, seorang teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orisinal, ahli
tasawuf yang terkenal dan mendapatkan julukan Hujjah al-Islam, yang akan
dipaparkan dalam makalah ini.
Dalam makalah yang sederhana
ini akan dipaparkan sekilas beografi al-Ghazali dan pemikiran politiknya
tentang: asal mula timbulnya negara, teori tentang pemimpin negara, sumber
kekuasaan dan kewenangan kepala negara, mekanisme memperbaiki politik dan
beberapa profesi penunjang tegaknya negara.
Sekilas Tentang Ghazali Dan Karya Karyanya
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali ath-Thusi, populer dengan panggilan al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan dekat Nisabur, tahun 450 / 1058 M,[3] dari seorang ayah yang wara’ dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan ulama’ serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk menghidupi keluarganya ayah al-Ghazali bekerja sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus, karena pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-Ghazali.[4]
Sekilas Tentang Ghazali Dan Karya Karyanya
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali ath-Thusi, populer dengan panggilan al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan dekat Nisabur, tahun 450 / 1058 M,[3] dari seorang ayah yang wara’ dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan ulama’ serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk menghidupi keluarganya ayah al-Ghazali bekerja sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus, karena pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-Ghazali.[4]
Ayahnya meninggal ketika ia
masih kecil, konon berumur 6 tahun, sebelum meninggal ia menitipkan kepada
sahabatnya seorang sufi yang bernama Ali Ahmad bin Muhammad al-Razakani, agar
ia diurus dan dididik bersama adiknya dan diserahkan pula sejumlah uang
simpanan. Pesannya, jika bekal itu habis, kedua anaknya hidup mandiri dengan
jalan mengajar. Semua pesan itu dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya.[5]
Ia kemudian dimasukkan ke
sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya
adalah Yusuf al-Nassj yang juga seorang sufi, setelah tamat, ia melanjutkan
pelajarannya di kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah.
Di sini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persi, di samping belajar
pengetahuan agama, di antara gurunya adalah Imam Abu Naser al-Isma’ili. Karena
kurang puas ia kembali ke Thus. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur
dan sekolah di Madrasah Nidzamiyah yang dipimpin ulama’ besar, Imam al-Haramain
al-Juaini. Melalui al-Juaini ia memperoleh ilmu usul al-fiqh, ilmu mantik
(logika) dan ilmu kalam (teologi).[6] Ia memiliki kecerdasan yang tinggi karena
pandai menggunakan logika. Kemampuannya menguasai ilmu dan diskusi ilmiah
diakui oleh teman-temannya.[7] Ia diangkat menjadi asisten gurunya dalam
beberapa hal.
Setelah al-Juaini wafat (478 H / 1085 M), al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju Askar untuk memenuhi undangan perdana mentri Zidzam al-Mulk, pendiri Madrasah Nidzamiyah. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan di istana Nidzam al-Mulk. Melalui forum inilah kemashurannya semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Kepandaiannya menyebabkan perdana menteri mengangkatnya sebagai guru besar pada tahun 488 H di Madrasah Nidzamiyah, bahkan ia ditunjuk menjadi rektor pada usia 34 tahun.[8]
As-Subki dalam sirah al-Ghazali menyebutkan bahwa pada saat al-Ghazali di Baghdad ia mengajarkan sejumlah ilmu, memberi fatwa, mengarang buku, memiliki kecemerlangan dan kemegahan, kedudukan tinggi, nama yang sangat mashur dan banyak yang melakukan perjalanan untuk belajar padanya, sampai-sampai ia merasa mulia di atas kemegahan itu,[9] kemudian kemegahan itu ditinggalkannya secara keseluruhan pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 H, ia mulai kehidupan zuhud dan bermaksud melaksanakan ibadah haji.[10]
Pada tahun 489 H, al-Ghazali datang ke Damaskus dan bermukim sejenak, sembari mulai menulis Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Pada tahun 490 H, ia pergi ke Khurasan melalui Baghdad untuk menemui Imam Abu Bakr Ibnu al-Arabi. Sekembalinya, ke kota Thus al-Ghazali mengajar di kota itu. Setelah itu al-Ghazali meninggalkan profesi sebagai guru, tidak lagi mengajar dan tidak juga mengadakan diskusi-diskusi tetapi menyibukkan diri dengan ibadah dan uzlah. Pekerjaan ini dilakukan hampir sembilan tahun lamanya.[11] Pada tahun 499 H, ia kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nisabur, kemudian pada tahun 503 H, ia meninggalkan kegiatan mengajarnya dan kembali ke Thus dan meninggal di sana pada 19 Jumadal Akhirah 505 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.[12] Abd al-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat al-Ghazali, menyebutkan bahwa karya-karyanya mencapai 457 buah meskipun umurnya tidak lebih 55 tahun.
Setelah al-Juaini wafat (478 H / 1085 M), al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju Askar untuk memenuhi undangan perdana mentri Zidzam al-Mulk, pendiri Madrasah Nidzamiyah. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan di istana Nidzam al-Mulk. Melalui forum inilah kemashurannya semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Kepandaiannya menyebabkan perdana menteri mengangkatnya sebagai guru besar pada tahun 488 H di Madrasah Nidzamiyah, bahkan ia ditunjuk menjadi rektor pada usia 34 tahun.[8]
As-Subki dalam sirah al-Ghazali menyebutkan bahwa pada saat al-Ghazali di Baghdad ia mengajarkan sejumlah ilmu, memberi fatwa, mengarang buku, memiliki kecemerlangan dan kemegahan, kedudukan tinggi, nama yang sangat mashur dan banyak yang melakukan perjalanan untuk belajar padanya, sampai-sampai ia merasa mulia di atas kemegahan itu,[9] kemudian kemegahan itu ditinggalkannya secara keseluruhan pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 H, ia mulai kehidupan zuhud dan bermaksud melaksanakan ibadah haji.[10]
Pada tahun 489 H, al-Ghazali datang ke Damaskus dan bermukim sejenak, sembari mulai menulis Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Pada tahun 490 H, ia pergi ke Khurasan melalui Baghdad untuk menemui Imam Abu Bakr Ibnu al-Arabi. Sekembalinya, ke kota Thus al-Ghazali mengajar di kota itu. Setelah itu al-Ghazali meninggalkan profesi sebagai guru, tidak lagi mengajar dan tidak juga mengadakan diskusi-diskusi tetapi menyibukkan diri dengan ibadah dan uzlah. Pekerjaan ini dilakukan hampir sembilan tahun lamanya.[11] Pada tahun 499 H, ia kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nisabur, kemudian pada tahun 503 H, ia meninggalkan kegiatan mengajarnya dan kembali ke Thus dan meninggal di sana pada 19 Jumadal Akhirah 505 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.[12] Abd al-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat al-Ghazali, menyebutkan bahwa karya-karyanya mencapai 457 buah meskipun umurnya tidak lebih 55 tahun.
Pemikiran Politik Al Ghazali
1. Asal
Mula Timbulnya Negara
Al-Ghazali dimasukkan oleh
al-Suyutti dan ibn al-Atsir ke dalam daftar mujaddid abad ke lima. Ia adalah
seorang teolog dan sufi, di samping itu pemikirannya tentang politik ditemukan
dalam beberapa tulisannya, seperti Ihyā’ Ulūm al-Dīn (menghidupkan ilmu agama),
al-Iqtishād fi al-I’tiqād (moderasi dalam kepercayaan), dan al-Tibr al-Mabrūk
fi Nashīhah al-Muluk (batang logam mulia tentang nasehat untuk raja).
Al-Ghazali berpendapat bahwa
manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, yang disebabkan
oleh dua faktor: pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup
manusia. Hal ini hanya mungkin melalui pergaulan laki-laki dan perempuan serta
keluarga, dan kedua saling membantu dalam menyediakan bahan makanan, pakaian,
dan pendidikan anak.
Manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Ia tidak mampu mengerjakan sawah atau ladang dengan sempurna tanpa bantuan pande besi atau tukang kayu untuk membuat alat-alat pertanian. Ia membutuhkan penggilingan gandum dan pembuat roti untuk menyediakan makanan. Ia membutuhkan tukang tenun dan penjahit untuk pengadaan pakaian. Demi kesehatan dan keamanannya dia memerlukan tempat tinggal atau rumah yang kokoh dan kuat untuk melindunginya dari udara panas, udara dingin, hujan dan gangguan orang-orang jahat atau pencuri dan serangan dari luar. Untuk itu semua diperlukan kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia, dari sinilah muncul teori asal mula timbulnya negara.
Manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Ia tidak mampu mengerjakan sawah atau ladang dengan sempurna tanpa bantuan pande besi atau tukang kayu untuk membuat alat-alat pertanian. Ia membutuhkan penggilingan gandum dan pembuat roti untuk menyediakan makanan. Ia membutuhkan tukang tenun dan penjahit untuk pengadaan pakaian. Demi kesehatan dan keamanannya dia memerlukan tempat tinggal atau rumah yang kokoh dan kuat untuk melindunginya dari udara panas, udara dingin, hujan dan gangguan orang-orang jahat atau pencuri dan serangan dari luar. Untuk itu semua diperlukan kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia, dari sinilah muncul teori asal mula timbulnya negara.
2. Teori
Tentang Pimpinan Negara
Al-Ghazali berpendapat bahwa
mengangkat seorang pemimpin negara (khalifah) tidak berdasarkan rasio,
melainkan wajib syar’i karena tugas utama khalifah adalah dalam rangka
memelihara syariat. Bertolak dari dasar pemikirannya ia mengatakan bahwa dunia
adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan bagi kehidupan di akhirat, dunia
merupakan wahana untuk mencari ridha Tuhan, sedangkan pemanfaatan dunia untuk
tujuan ukhrawi hanya mungkin kalau terdapat ketertiban, keamanan dan
kesejahteraan yang merata di dunia. Tujuan manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi yang
tidak mungkin ia penuhi sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan
diri bagi kehidupan yang sejahtera di akhirat. Dan hal itu baru mungkin dalam
suasana dunia yang tertib, aman dan tentram, dan untuk menciptakan dunia yang
demikian yang diperlukan adalah kepala negara yang ditaati.
Al-Ghazali mengibaratkan agama
dan sultan sebagai dua anak kembar, agama adalah pondasi, sultan adalah
penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa
penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi ketertiban
dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan
ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat.
Dengan demikian terdapat ikatan erat antara dunia dan agama bagi tegaknya
wibawa dan kedaulatan negara melalui kepala negara yang ditaati dan yang mampu
melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi maupun ukhrawi.
3. Sumber
Kekuasaan dan Kewarganegaraan Kepala Negara
Al-Ghazali mengatakan bahwa
sumber kekuasaan dan kewarganegaraan kepala negara berdasarkan firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri
(pemimpin) di antara kamu.”
Maka seharusnya tiap orang
yang beragama mencintai raja dan para sultan dan taat kepada semua mereka yang
perintahkan, karena Al-Ghazali menyatakan bahwa para sultan adalah bayangan
Allah di atas bumi-Nya, maka tidak dibenarkan menentang dan tidak mengakui
perintah-Nya.
Ia juga mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara, sultan atau raja tidak datang dari rakyat, tetapi dari Allah, yang diberikan hanya kepada sejumlah kecil hamba pilihan, oleh kerenanya kekuasaan kepada negara adalah muqaddas atau suci. Hal itu berlandaskan pada firman Allah: “Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan.”
Ia juga mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara, sultan atau raja tidak datang dari rakyat, tetapi dari Allah, yang diberikan hanya kepada sejumlah kecil hamba pilihan, oleh kerenanya kekuasaan kepada negara adalah muqaddas atau suci. Hal itu berlandaskan pada firman Allah: “Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan.”
Al-Ghazali mengatakan bahwa
syarat untuk dapat diangkat menjadi kepala negara ada sepuluh, yaitu : 1)
dewasa atau aqil baligh, 2) otak yang sehat; 3) merdeka dan bukan budak; 4)
laki-laki; 5) keturunan Quraisy; 6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; 7)
kekuasaan yang nyata;[13] hidayah;[14] 9) ilmu pengetahuan;[15] 10) wara’
(kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri; tidak berbuat
hal-hal yang terlarang dan tercela).[16]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditawarkan al-Ghazali adalah teokrasi yaitu kekuasaan kepala negara itu datang dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Oleh karena seorang kepala negara tidak boleh dilengserkan dari singgasananya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditawarkan al-Ghazali adalah teokrasi yaitu kekuasaan kepala negara itu datang dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Oleh karena seorang kepala negara tidak boleh dilengserkan dari singgasananya.
4.
Mekanisme
Kritik kepada Penguasa.
Al-Ghazali mengajukan
pendapatnya tentang perbaikan politik melalui metode, yaitu: metode kritik
kepada penguasa, metode pemutusan hubungan dan metode menulis surat kepada raja
dan menteri setiap ada kesempatan.
a. Metode
Kritik kepada Penguasa
Al-Ghazali mengisahkan bahwa
para salaf sudah terbiasa menghadapi bahaya dan melakukan nahi munkar secara
teranng-terangan tanpa disertai rasa takut menerima pukulan dan siksaan.
Diamnya para ulama menyebabkan timbulnya kedzaliman dari pemerintah yang sedang
berkuasa. Oleh karena itu mereka mengontrol pemerintah sekuat tenaga karena
mereka tahu bahwa orang yang mati dalam hal ini termasuk syuhada’.[17]
Rasulullah SAW bersabda : ” Sebaik-baik syuhada’ (mati syahid) adalah Hamzah
bin Abd al-Muthalib, kemudian orang yang berdiri di hadapan imam lalu
memerintahnya (berbuat ma’ruf) dan mencegahnya (dari berbuat yang munkar)
karena Allah, lalu ia bunuh untuk itu”.
Ia menegaskan bahwa para ulama telah terbiasa mencegah amar ma’ruf nahi munkar, mereka meyakini fadhilah Allah dan mereka rela dengan keputusan Allah untuk memberikan derajat syahid kepada mereka yang gugur dalam menegakkan kalimat-Nya.
Ia menegaskan bahwa para ulama telah terbiasa mencegah amar ma’ruf nahi munkar, mereka meyakini fadhilah Allah dan mereka rela dengan keputusan Allah untuk memberikan derajat syahid kepada mereka yang gugur dalam menegakkan kalimat-Nya.
Al-Ghazali juga menegaskan untuk mempertanyakan sumber pemasukan penguasa, cara pembelanjaan harta mereka, serta status halal dan haramnya harta mereka.[18] Ia pun beranggapan bahwa kehancuran rakyat dikarenakan kehancuran raja-raja, kehancuran raja-raja dikarenakan kehancuran para ulama’, dan kehancuran ulama dikarenakan kecintaan mereka kepada harta dan kedudukan. Barangsiapa yang dikuasai oleh dunia, maka tidak akan mampu beramar ma’ruf nahi munkar terhadap raja dan pembesar.[19]
b. Metode
Pemutusan Hubungan.
Al-Ghazali mengajak umat untuk
memutus diri dari penguasa yang zalim, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial,
menaruh rasa benci terhadap mereka atas kezalimannya, hubungan dengan mereka
sedapat mungkin dipersempit, jika perlu menjauh dari mereka, agar tidak terjadi
kontak hubungan.[20]
Tidak diragukan lagi, seruan dan ajakan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap ummat, khususnya orang-orang yang mempunyai jiwa baik dan taqwa. Kadang-kadang sebagian ummat berhasil membangun suatu gerakan dan terhindar dari kejahatan pemerintah dzalim, tetapi gerakan ini belum merupakan gerakan yang solid dan kuat yang mampu membuahkan perubahan politik.[21] Dari sini al-Ghazali dalam seruannya untuk memutuskan hubungan dengan penguasa itu tampaknya tidak bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan.
c. Metode
Menulis Surat kepada Para Raja.
Inilah salah satu surat yang
ditulis oleh al-Ghazali kepada salah seorang penguasa : ” Sungguh memilukan,
engkau kalungkan kesusahan dan pajak di leher kaum muslimin, sedangkan engkau
mengalungi leher kudamu dengan kalung emas.”[22]
Al-Ghazali juga menulis surat kepada menteri. Ia menceritakan tentang Thawus, kota yang telah dikunjungi oleh menteri tersebut. Kunjungan menteri tersebut dianggap tidak sedikit pun membuahkan perbaikan kondisi kita, padahal warga itu telah mengadukan tentang kekurangan gizi dan tingginya harga makanan. Dalam suratnya, al-Ghazali menyatakan :
” Ketahuilah, kota ini , kota Thawus, telah runtuh karena kelaparan dan kedzaliman. Ketika orang-orang mendengar kedatanganmu dari Istirain dan Damighan, mereka takut. Mulailah para petani menjual biji-bijiannya dan orang dzalim menghentikan kedzalimannya, karena mereka berharap engkau bisa memberikan keadilan, mengubah keadaan, dan giat dalam perbaikan. Setelah engkau sendiri sampai ke Thawus dan ternyata manusia tidak melihat sedikitpun yang engkau hasilkan, maka rasa takut pun hilang, para petani dan tukang roti kembali meniggikan harga dan menimbun bahan makanan, dan orang-orang yang dzalim itu semakin berani. Setiap orang yang mengabarkan kepadamu tentang negeri ini berbeda dengan hal tersebut, ketahuilah bahwa ia musuh agamamu.”[23] Inilah beberapa perbaikan politik yang dikemukakan oleh Al-Ghazali.
5.
Beberapa Profesi
Penunjang
Al-Ghazali berpendapat bahwa
pengadaan kebutuhan hidup manusia diperlukan pembagian tugas antara para
anggota masyarakat, dan sejumlah industri dan profesi. Ada empat profesi bagi
tegaknya negara: pertanian untuk pengadaan makanan, pemintalan untuk pengadaan
pakaian, pembangunan untuk pengadaan tempat tinggal, dan politik untuk
penyusunan dan pengelolaan negara, pengaturan kerjasama antar warga negara bagi
pengamanan kepentingan bersama, penyelesaian sengketa antara mereka serta
perlindungan terhadap bahaya dan ancaman dari luar. Dari empat profesi tersebut
politik merupakan profesi yang paling penting dan paling mulia, dan oleh
karenanya politik menghendaki tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi dari tiga
profesi yang lain.[24]
Profesi politik, menurut Al-Ghazali, meliputi empat profesi :
Profesi politik, menurut Al-Ghazali, meliputi empat profesi :
a. Subprofesi
pengukuran tanah, untuk menjamin kepastian ukuran tanah milik para warga
negara.
b. Subprofesi
ketentaraan, untuk menjamin keamanan dan pertahanan negara, baik terhadap
ancaman dari dalam maupun dari luar.
c. Subprofesi
kehakiman, untuk penyelesaian sengketa antar warga negara.
d. Subprofesi
ilmu hukum, untuk penyusunan undang-undang dan peraturan guna menjamin
keserasian hubungan antar warga negara dan melindungi setiap warga negara dan
pelanggaran hak, baik oleh sesama warga negara atau oleh negara sendiri.[25]
Oleh karena profesi politik sangat penting dengan empat subprofesi tersebut, maka mereka yang terlibat dalam profesi itu harus betul-betul memiliki pengetahuan, kemahiran dan kearifan yang memadai, dan harus dibebaskan dari tugas dan tanggung jawab yang lain.
Penutup
Al-Ghazali seorang pemikir,
teolog dan sufi menawarkan sebuah sistem pemerintahan teokrasi, artinya bahwa
kepala negara adalah bayangan Allah di muka bumi dan kekuasaannya adalah muqaddas
atau suci, maka hukumnya wajib bagi rakyat dari tingkat manapun untuk taat
kepadanya dan melaksanakan perintahnya.
Sumber kekuasaan dan
kewenangan kepala negara adalah surat al-Nisa’, ayat 59 dan surat Ali Imran,
ayat 26 meskipun begitu jalannya pemerintahan harus selalu dikontrol oleh para
ulama’ dengan mekanisme kritik yang membangun, memutuskan hubungan kepada
mereka yang dzalim bahkan dengan pengiriman surat sebagai peringatan.
Sebuah negara akan bisa
berdiri dengan tegak bila ditopang oleh empat profesi pilar yaitu pertanian,
pemintalan, pembangunan dan politik. Profesi yang disebut terakhir adalah yang
terpenting, maka mereka yang terlibat dalam profesi itu harus memiliki
pengetahuan, kemahiran dan kearifan yang memadai.
REFERENSI
________________________________________[1] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-press, Jakarta, 1991, hlm, 41,42.
[2] Busthami Muhammad Said, Mafhũm Tajdīd al-Dīn, terjemahan Mahsun Ali Mundzir, Trimurti, Gontor, Ponorogo, 1992, hlm. 54,55.
[3] Ibnu Khilkan, Wafayât al-A’yân, Maktabah al-Nahdyan, Mesir, Cet, 1, 1948, juz III, hlm. 353.
[4] Ahmad al-Syarbashi, al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi, Dar al-Hilal, t.k., t.t., hlm. 23,24.
[5] Victor Said Basil, Manhaj al-Bahsi an al-Ma’rifa Inda al-Ghazali, terjemahan Ahmadi Thaha, Pustaka Panji Mas, 1990, hlm.7.
[6] Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam, Juz 2, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 25.
[7] Victor Said Basil, Op.cit, hlm. 8.
[8] Jamil Akhmad, Hundread Great Muslim, Ferozsons Ltd, Lahore, 1984, hlm. 25.
[9] Abdul Karim al-Usman, Sirah al-Ghazali, Dar al-Fikr, t.t., hlm. 7.
[10] Ibnu Khilkan, Loc,cit.
[11] al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dhalal, al-Maktabah al-Sya’biyah, Beirut, t.t., hlm, 8.
[12] Abd al-Rahman Badawi, Muallafat al-Ghazali, Dar al-Salam, Kuwait, t.t., hlm. 21-22.
[13] Kekuasaan yang nyata artinya Raja memiliki perangkat yang memadai untuk memaksakan keputusan-keputusannya terhadap mereka yang menentangnya, menindas pembangkang dan membasmi pemberontak seperti angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh.
[14] Hidayah dimaksudkan bahwa seorang raja memiliki daya pikir dan daya rancang yang kuat dan ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengar pendapat serta nasehat orang lain.
[15] Ilmu pengetahuan berarti seorang raja memiliki kemampuan untuk mengembalikan segala masalah hukum dan syariah Islam kepada para ulama dan cendekiawan terpandai yang hidup pada zamannya dan dia mengambil keputusan-keputusan dalam bidang hukum berdasarkan pendapat dan saran mereka.
[16] Muhammad Jalal Syaraf, Al-Fikr Al-Siyâsi Fi al-Islâm, Dar al-Jamiat Al-Misriyah, Kairo, 1978, hlm 180
[17] Al-Ghozali, Ihyâ‘ Ulũm al-Dīn, Juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1991, hlm 371
[18] Ibid, hlm. 148
[19] Ibid, hlm. 385
[20] Ibid, hlm. 159
[21] Ibid, hlm. 160
[22] Abu Al-Hasan Ali Al-Husni an-Nadawi, Rijal al-Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam, Dar al-Qolam, al-Kuwait, 1974, hlm.237
[23] Ibid, hlm. 238
[24] Munawir Sadzali, op.cit., hlm 75
[25] Ibid. hlm 240
0 komentar:
Posting Komentar