AL MAWARDI, PENCETUS TEORI POLITIK ISLAM
(By. Asep Wthe, M. Ag)
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah
intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian
kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban
Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu
adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan
peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim)
dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan
politik di negaranya, Basrah (kini Irak). “Al Khatib of Baghdad” tulis seorang
orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi’i terkenal kala itu.
Ulama penganut Mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi’i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum,
tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al
Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama,
seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan
membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip
Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa
buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan
gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik
kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran
yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya,
dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘’negara/pemimpin), pengangkatan
menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan
hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i
dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian
tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak
kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat,
masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja,
presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat
penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam
akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu
bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap
legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan)
dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen
(ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan
mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.’
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras
dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi
merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab
oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan
komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh,
baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara
pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan
kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara
umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura
(wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan,
selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian:
jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal
juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita
cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik
kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad,
Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan
tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak
diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian
diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah
Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, “Jika salah satu
kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah
kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika
dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki
daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan
untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan,
tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya.”
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan
politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara
penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan
pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun
demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika
diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan
khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya
memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di
negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk
Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang
diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai
ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang
ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk
menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan
khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor
(Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna’. Khalifah memuji
karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk
menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah
kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ’tab Al Igna’, dan Al
Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai
negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik
(Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan
Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang ‘perumpamaan’ dalam
Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam
soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, “Salah satu dari
ilmu Quran yang pokok adalah ilmu ‘ibarat’ atau ‘umpama’.”
0 komentar:
Posting Komentar