PERBEDAAN
IJTIHADIYAH DALAM HUKUM ISLAM; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT
A. Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran Islam,
ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat al-Qur’an dan Hadis memang menghendaki
diadakannya ijtihad. Dari ayat al-qur’an yang jumlahnya 6300, hanya kurang
lebih 230-500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah,
ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya ajaran dasar tanpa
penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian pelaksaan dan sebagainya.
Untuk itu ayat tersebut perlu di jelaskan oleh para ulama’ yang mengetahui
al-Qur’an dan Hadis, yaitu pada mulanya Nabi dan diteruskan oleh para generasi
sahabat (Nasution, 1996:108).
Untuk itu dalam memahami serta
mengembangkan nilai ajaran Islam diperlukan suatu metodologi yang diharapkan
mampu memberikan interpretasi yang aplikabel terhadap sumber ajaran pokok Islam
dalam realitas keum muslimin. Metode yang dimaksud bersumber pada usaha ijtihad,
yang oleh Muhammad Iqbal dianggap sebagai The principle of the movemen
dalam gerakan pemikiran Islam (Iqbal, 1989: 117). `
Jika Islam tidak mempunyai konsep
ijtihad, maka menurut munawir Sjadzali (1997: 4) Islam seperti yang dimengerti
oleh umatnya sekarang ini tidak dapat diharapkan mampu memberikan sumbangan
kepada peradaban dunia di zaman dimana kita hidup sekarang ini. Karena ijtihad
merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi
hokum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja
kosintruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini,
dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai
macam problematikanya. Dengan demikian ijtihad merupakan sebuah keniscayaan
dalam Islam.
Namun harus pula diakui bahwa
ijtihad merupakan factor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum
(khilafiyah) para ulama’. Pertentangan yang selama ini berlangsung
dikalangan yuris Islam (fuqoha’) misalnya, akibat perbedaan metodologi
ijtihad yang mereka gunakan. Dalam makalah sederhana ini penulis akan
menyampaikan beberapa hal-hal diantaranya adalah;apa sesungguhnya ijtihad itu?
Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid?BagaimanaAbsolutisasi dan
deabsolutisasi hasil ijtihad? Dan apakah ijtihad itu dapat dianulir?Serta
contoh ijtihad yang dilakukan sahabat pada masa Nabi.
B. Makna
Ijtihad dan persyaratan non Skill sebagaiMujtahid
1. Definisi
ijtihad
Konsep ijtihad sebenarnya melekat
pada kitab-kitab fiqh (Azizy, 2004: 67). Sangat mengada-ada ketika
berbicara tentang fiqh tanpa menyertakan proses memproduksi, karena fiqh
adalah produk jadi, proses itulah yang dinamakan ijtihad. Ditelisik dari sisi etimologi, ijtihad
merupakan bentuk dari kata benda dari konjungsi (tasyrif) kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan
yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan
untuk mencapai maksud tertentu (Haq, 2009: 8).
An-Na’im (1990: 45), penggunaan
ijtihad dalam pengertian umum relevan dengan interpretasi al-Quran dan sunnah.
Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau
implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan sunnah berbeda dengan aturan
langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip syari’ah itu
harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Dari sisi ini jelaslah bahwa bahwa
ijtihad adalah konsep fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan hukum
Islam. Asy-Syaukhani mendefinisikan ijtihad dengan; badlu al-wus’I fi nayli
hukmin syar’iyin ‘amaliyyin bi tariqi al-istinbath (Pengerahan kemampuan
dalam memperoleh hokum syariat ‘amaliyah dengan cara istinbath)”
(Asy-Syaukhani, tt: 250)
Menurut ulama’ ushul biasanya
memberi definisi ijtihad dengan; badzl al-juhd li al-wusulil al-hukm al-syar’iy
min dalil tafshiliy min al-adillah al-syariyyah (mencurahkan daya upaya
untuk sampai pada [menemukan] hokum syariy dari dalil yang spesifik dari
dalil-dalil syar’iy) (Khallaf, 216). Sedangkan definisisi yang diberikan oleh
al-alamah Khudhory bekIjtihad adalah: mencurahkan kemampuan untuk
mengistinbathkan hokum syar’I dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai
dalil yaitu kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Bentuknya ada dua macam, pertama,
mengambil hokum dari bentuk lahir nash, apabila hokum bisa didapat dari
nash-nash itu. Kedua, mengambil hokum dari rasionalitasnya, apabila dalam nash
itu ada ‘illat jelas atau diistinbathkan darinya. Peristiwa dimaksud terdapat
dalam ‘ilat ini dan nash tidak mencakup hukumnya. Ini dikenal dengan nama qiyas
(Bek, [a]66).
Dari uraian diatas maka ijtihad
mengandung dua faktor; Pertama, ijtihad yang khusus untuk menetapkan
suatu hukum dan penjelasannya. Pengertian ini adalah pengertian ijtihad yang
sempurna, dan dikhususkan bagi ulama’ yang bermaksud untuk mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum furu’amaliyah dengan menggunakan dalil-dalil
terperinci. Sebagian ulama’ telah menjelaskan bahwa ijtihad dalam pengertian
dan bentuk yang khusus pada suatu masa akan terputus (kosong). Demikian menurut
jumhur ulama’. Sementara ulama’ Hambali mengatakan bahwa setiap masa tidak
boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini. Karena iti setiap masa harus selalu
ada mujtahid yang harus mencapai tingkatan tersebut.
Kedua, ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum.
Seluruh ulama’ sepakat bahwa setiap masa tidak akan terjadi kekosongan dari
mujtahid dalam katagori ini. Mereka inilah yang akan mencari dan menerapkan illat
terhadap berbagai kasus juz’iyah, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan ulama’ dahulu (Zahrah, 568).
Beberapa pengertian tersebut menurut
Harun Nasution (1996: 108-109),arti ijtihad seperti yang dikemukakan di atas
adalah ijtihad dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti luas menurutnya, ijtihad
juga berlaku pada bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang
menjelaskan bahwaijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan
“sebenarnya kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,
sebagaimana mujtahid-mujtahid lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam
masalah ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya
dengan tantangan mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah
hukum, politik, aqidah tasawuf, falsafah, dan tata negara.
Dengan tugas penerapan tersebut,
maka akan menjadi jelaslah ketentuan hukum-hukum tentang masalah yang tidak
dikenal oleh ulama’ terdahulu yang dikategorikansebagai mujtahid tingkat
pertama.Oleh sebab itu ada beberapa persayaratan yang harus dimiliki oleh
mujtahid untuk dapat melaksanakanijtihad.
2. Persyaratan Non Skill Sebagai Mujtahid
Mujtahid adalahadalah seorang ahli
fiqih yang mengeluarkan segala kemampuannya untuk sampai pada hukum syariat. Ia
harus memiliki kemampuan sebagai acuan untuk melahirkan hukum-hukum syariat
dari pendekatannya. Berdasarkan pengertian ini, orang yang memiliki pengetahuan
terhadap hukum-hukum syariat nemun tidak mampu untuk melahirkan kesimpulan
hukum dari dalil-dalil yang ada tidak bisa disebut sebagai mujtahid. Dalam
Islam seorang mujtahid memiliki kedudukan yang tinggi. Ia berdiri menggantikan
posisi Nabi Muhammad saw, karena ia memiliki ilmu kenabian, menyampaikannya
kepada umat manusia, dan menjadi seorang yang memberikan pengajaran dan
petunjuk kepada mereka (al-Syarafi, 1998: 28-29).
Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan
dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan
memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Paling
tidak calon mujtahid harus dengan jelas mampu membedakan dimana ia seharusnya
berijtihad (Rahmat, 1996: 180).Dalam hal ini, sebagian ulama’ sangatketat
menerapkan syarat-syarat ijtihad, meski sebagian yang lain cukup longgar. Dan
sebagian lagi ada yang mengambil jalan tengahnya. Namun demikian, syarat-syarat
yang mereka ajukan secara umum mengajak kembali pengetahuan yang lebih orisinil
tentang sumber-sumber dan tujuan syariat (al-Syarafi, 1998: 30).Masalah ijtihad
sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, persoalan mampu dan tidak mampu.
Memaksa orang yang tidak mampu berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk
melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yeng bisa
membawa ke derajat mujtahid.
Muhammad Musa Towana dalam Amir
Mu’alim (2004: 58), mengelompokkan Syarat-syarat ijtihad ke dalam beberapa
bagian. Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang
meliputi; (1) Baligh (2) Berakal sehat (3) Kuat daya nalarnya (4) beriman atau
mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut asasiyyah)yaitu
syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya mujtahid memiliki
kecakapan sebagai berikut; (1) mengetahui al-qur’an (2) memahami sunnah (3)
memahami maksud-maksud hokum syariah, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawaid
al-kulliyah) hukum Islam.
Ketiga, pernyaratan penting (al-syurut al-hammah) yakni
beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini
mencakup; (1) menguasai bahasa Arab, (2) menguasai ilmu ushul fiqh (3)
mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hokum asal suatu perkara
(al-bara’ah asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang
mencakup; (1) tidak ada dalil qahtiy bagi masalah yang ijtihadi (2) mengetahui hilafiyah
atautempat tempat perbedaan dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
Menurut para sarjana ushul fiqh hanya
orang-orang yang memiliki persyaratan tersebut-lah yang berhak menyandang
predikat “Mujtahid”. Kreteria ideal ini merupakan rumusan yang diangkat sesuai
dengan beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karenanya, kriteria-kriteria di
atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq dan bukan mujtahid pada
umumnya. Namun setidaknya, mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlaq, juga
harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria-kriteria di
atas.
al-Syatibi (w. 790H), untuk mecapai
ke derajat mujtahid, seorang fakih harus memiliki dua sifat; 1) mampu memahami
maksud-maksud syariat (maqasyid asy-syariah) dan 2) sanggup
mengistinbahkan hukum berdasarkan pemahamannya sendiri terhadap maqasyid
asy-syariah tersebut (Syatibi, t.t [IV]: 89).
Pembagian dan penjelasan tentang
ijtihad yang dikemukakan al-Syatibi di atas, Nampak jelas bahwa syarat mujtahid harus memenuhi
kuwalifikasi yakni al-masalih al-mursalah yang didefinisikan sebagai
metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya
dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma dan
selainnya semisal qiyas. al-Masalih al-Mursalah (selanjutnya disebut
maslahah) sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah
banyak dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara
tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar
ketentuan.
Menurut al-Syatibi, maslahat yang
merupakan tujuan Tuhan dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan
dan kesejahteraan tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang
bersifat dharuriyah dan meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selanjutnya, al-Syatibi menegaskan bahwa maqashid
al-syari’ah yang bila dikaitkan dengan kemaslahatan, maka dapat dilihat
dari dua aspek. Pertama, tujuan Tuhan (maqashid al-syari’) dan kedua
tujuan mukallaf (maqashid al-mukallaf).
Persyaratan-persyaratan tersebut
memang tidak ada dalam nash al-Qur’an maupun sunnah. Hal ini semata-mata
digariskan oleh para ulama’ sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat,
dan juga mengambil teladan dari para imam besar, para mujtahid dimasa lalu.
Agar dengan demikian dapat mencegah banyak orang yang ingin memasukkan dirinya
dalam barisan mujtahid, padahal kemampuan maupun kepribadiannya masih jauh
untuk meraih kedudukan mulia itu.
Oleh karena itu, menurut Qodri Azizy
syarat-syarat ijtihad di atas terlampau berat perlu dikaji ulang, karena
menurutnya hampir tidak mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban
yang terlalu berat dan tuntunan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad
juga perlu di luruskan. Sebab dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh, meskipun
kitab yang sangat sederhana, selalu pula menyebut ijtihad untuk syarat seorang
hakim. Dan kalau kita lihat sejarahnya, sebelum abad ke tiga hijriyah
syarat-syarat ijtihad yang begitu ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks.
Hal ini menurut Azizy perlu kajian mendalam dan sekaligus keberanian untuk
meredefinisikan ijtihad untuk kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau
modern. Beliau menyarankan Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi
metodologi yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep
berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan
pertanggung jawaban tradisi akademik. Oleh karena itu, formulasi ijtihad baru
juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun., yang tentu tidak dapat langsung
lepas sama sekali dari proses continuity dari berijtihad masa lalu.
Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang akan menghasilkan gelar akademik
tertinggi, sehingga akan mampu mendemonstrasikan karya orisinilnya[1][1] (Azizy, 2004: 108-110).
sedangkan, menurut al-Bagirselain
keempat jenis persyaratan diatas yang digolongkannya kedalam pesyaratan
teksnis. Al-Baqir juga menambahkan persyaratan non skill (kepribadian).
Mengenai persyaratan ini acap kali diabaikan sehingga kita sering melihat
orang-orang yang mungkin tinggi kadar ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan
akhlaq-nya buruk, sehingga ilmunya itu tidak dapat diharapkan untuk pembimbing
umat dan membawa rahmat bagi manusia. Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah, al-Baqir
menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid, antara
lain;
Pertama,kecerdasan dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan
ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat
yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat.
Selanjutnya kan memudahkan menyimpulkan hokum-hukum yang benar dari dalil-dalil
dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang
muncul. Semuanya itu disertai dengan kearifan dan kebijakan sehingga tidak akan
menimbulkan keresahan umat dan menyebabkan mereka terombang ambing dalam
kebingungan.
Kedua, Niat yang tulus dan itikad yang
baik.Niat yang tulus menjadikan hati diterangi nur Allah SWT sehingga mampu
menembus inti agama yang penuh hikmah ini. Bila tujuannya hanyalah hakiakat
agama semata-mata, taka da tujuan apa pun selain itu, pastilah Allah akan
mengarunianya cahaya hikmah yang akan senatiasa membimbingnya di jalan
kebenaran dan menjauhkannya dari jalan kesesatan. Sebab, syariah adalah nur
yang tidak aka nada yang bisa meraihnya kecuali siyapa yang hatinya dipenuhi
keikhlasan. Itulah sebabnya kita senantiasa menyaksikan para imam besar yang
telah mewariskan ilmu-ilmu yang luas serta mendalam sebelum dikenal sebagai ahli-ahli
fiqh mereka dikenal secara luas dengan sifat wara’ kelurusan pribadi dan
kejujuran intelektual. Ia tidak akan bersikap fanatic dalam mempertahankan
pendapat kelompoknya lalu memaksakan kelompok lain untuk mengikuti pendapat
tersebut sebagai kebenaran mutlak, sementara pendapat lain semua salah.Para
imam besar pada masa lalu berkata “pendapat kami benar namun mengandung
kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah namun mengandung
kemungkinan benar” (al-Baqir, 1996: 166-167).
Untuk mengakhiri kajian terhadap
syarat-syarat ijtihad ini, penulis mengemukakan pernyataan Kemal Faruki(1994:
86), tentang hal-hal yang harus dimiliki seseorang agar dapat memiliki
kemampuan untuk melakukan pemahaman secara benar, dia menyatakan; “The
Qur’an stresses three factor making for ability to understanding trucht. First,
and foremost, is amanator trustworthiness and character, which is not
susceptible of being determined by any external formula, let alone by an
academic degree. The second, is knowledge of Islamic subjects. The third, is
comparative knowledge of comparative system, people and institution.”(al-Quran
menekankan tiga factor—yang harus dimiliki seseorang—agar mampu melakukan
pemahaman secara benar. Pertama dan yang terpenting adalah amanat, atau dapat
dipercaya. Sifat ini tidak cukup hanya dibuktikan dengan eksternal
formula—kemampuan hitam diatas putih—apabila dengan gelar akademik. Kedua,
pengetahuan tentang masalah-masalah keislaman. Ketiga memiliki perbandingan
pengetahuan dengan system, orang, dan institusi lainnya).
Dari pernyataan Faruki tersebut
dapat dianggap sebagai “syarat ijtihad” yang sederhana dan global, serta
tidak bersifat “formal-tekhnis”. Persyaratan tersebut tidaklah harus
dimiliki secara individual saja melainkan beberapa orang sesuai dengan disiplin
kemampuan masing-masing sebagaimana yang sudah di-langsir oleh Prof. Qodri
Azizy yakni ijtihad secara mawdhu’iy.
C. Absolutisasi dan Deabsolutisasi Hasil Ijtihad
Pada dasarnya ajaran Islam dapat
dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ajaran Islam yang bersifat
absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua,
ajaran Islam yang bersifat ralatif, tidak universal, tidak permanen,
melainkan dapat diubah dan berubah. Termasuk kelompok yang kedua ini adalah
ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Kerangka berfikir ini
sering muncul dikalangan ahli ushul fiqh dan pakar pembaharuan dalam Islam. Di
kalangan ahli Ushul fiqh dikenal dikotomi antara dalil qath’iy dan dzanny
baik eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah)
(Jamil, 1999: 43).
Para ahli hukum Islam sepakat
mengenai penggunaan al-Qur’an sebagai sumber hokum yang pertama yang utama
dalam menentukan dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka tidak meragukan
eksistensi al-Qur’an dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir
diturunkan. Akan tetapi ayat al-Qur’an langsung menunjuk pada materi hokum yang
terbatas jumlahnya.Menurut Khallaf (34-35), bahwa yat hokum dalam bidang
muamalah berkisar antara 230-250 ayat. Selebihnya terbagi kedalam beberapa
aspek. Dari jumlah ayat hokum yang sedikit tersebut, ulama’ ushul juga
ternya masih terjadi diskursus.apakah ayat yang qath’iy al-wurud boleh
dilakukan ijtihad atau tidak?
Menurut ulama’ ushul
seperti;Asy-Saukani, Khudhary Beik, Abu Zahrah Abd Wahab Khallaf dan lain
sebagainya sepakat bahwa nash yang qath’iy tidak ada celah untuk
melakukan ijtihad. Lebih lanjut Khallaf menandaskan bahwa apabila kasus yang
hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sarih, dan qath’iy dari
segi sumbernya dalam pengertiannya yang menunjukkan atashokum syar’inya, maka
tidak ada peluang untuk berijtihad didalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan
pengertian yang ditunjuki nash tersebut. sebab sepanjang dalil itu qath’iy kedatangannya
dan keluarnya dari Allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan
pencurahan jerih payah. Dan sepanjang dalil itu dhalalahnya qath’iy maka
dalahnya terhadap maknanya dan pengambilan hokum dari nash tersebut, bukanlah
suatu tempat suatu pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat
hokum yang interpretative yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan pengertian
yang jelas dan tidak mengandungkemungkinan pentakwilan maka ia harus
diterapkan. Dan tidak ada peluang untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang
menerapkannya (Khallaf, 338). Contoh
dalam kasus hukuman cambuk bagi pelaku zina; “Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera…….” (QS. An-Nur: 2). Tak ada tempat berijtihad lagi tentang hokum
menyiksa penzina dengan cambuk dan bilangan kali cambukan. Demikian juga taka
da ijtihad terhadap hokum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Dan seperti ayat
yang mufassar lagi muhkam. Demikian juga sunah-sunah mutawatir
lagi mufassar (Ash-Shiddieqy: 1997: 129).
Berbeda dengan Muhammad
Syahrur—seorang insinyur dari Syria—memperkenalkan teori “hudud” (bentuk
jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas) dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih
berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud
yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had
al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas
minimal dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had
al-‘ala nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam
satu titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai
batas maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la
mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh(batas
maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik
tengah) (Syahrur, 1990: 453-466).
Syahrur mencontohkan, misalnyadalam
hal waris dan hukuman bagi pencuri. Ketentuan potong tangan sebagaimana terekam
dalam QS al-Maidah [5]: 38,merupakan al-had al-a’la (batas maksimal).
Karena itu tidak boleh memberikan hukuman melebihi dari potong tangan, tetapi
memungkinkan memberikan hukuman yang lebih ringan dari itu. Dalam hal ini
mujtahid boleh berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dihadapinya. Disini, bentuk modus operandi, motivasi
dan nilai barang yang dicuri harus menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan
hukuman (ibid, 455).Sebagaimana ijtihad umar bin khatab dalam menghukum
pencuriyang pada masa itu terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung
Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan tersebut,
ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam al-Qur’an tidak
dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan (darurat) dan
kemaslahatan jiwa masyarakat(Ali, 2006: 176).
Teori hudud versi syahrur
tersebut menunjukkan, bahwa nash al-Qur’an yang menurut ushuliyyun yang
diyakini sebagai ayat qathiy ternyata masih dapat dilenturkan maknanya.
Dengan teori hudud ini, mengakui keberadaan nash qathiy al-dalalah
berikut konsekuensinya menjadi tidak relevan lagi. Hal ini berarti juga
merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak boleh menyentuh nash qaht’iy. Tidak
dapat diterima.
Apabila dilacak dari sejarah
pemikiran hokum Islam, pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang
dikandung nash sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari
terinspirasi oleh oleh pemikiran (baca: ijtihad) Umar bin Khattab, yang secara
terang terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini
dianggap qath’iy dalalah-nya. Diantara contoh ijtihad Umar tersebut
adalah: Pertama, menghilangkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim
paceklik.Hal demikian tidak sejalan dengan bunyi nash (QS. [5]: 38).Kedua, menghilangkan
bagian zakat bagi muallaf qulubuhum (orang yang masih lemah imannya).
Berkaitan dengan hal ini KhalifahUmar bin Khattabmengijtihadkan dan
berseberangan dengan nash dalam kasus orang muallafpada waktu itu tidak
diberi zakat. Padahal dalam al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat diatas menyebutkan bahwa
pembagian zakat sudah ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat,
termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru
memeluk agama Islam yang seyogyanya dilindungi karena masih lemah imannya
dankarena ia memeluk agama Islam hubungannya dengan keluarganya (mungkin)
terputus. Pada zaman rasulullahgolongan ini memperoleh bagian zakat. Akan
tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menghentikan pemberian zakat
kepada muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat
Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada
golongan khusus dalam tubuh umat Islam (Ali, 2006: 176).
Dari fenomena tersebut, mununjukkan
hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana
hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang
dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks
persoalan yang timbul berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang
ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun
perubahan. Dengan demikian ijtihad memberikan kemungkinan epistemologis bagi
pembaharuan hukum Islam karena ia memuat dua konsep. Pertama mengeluarkan
hokum dari sumbernya, dan kedua, tatbiq yakni mengaplikasikan
hokum dari kasus-kasus yang actual untuk suatu kebutuhan historis tertentu
(Musahadi, 2012: 36).
Maka dari itu, bahwa kaidah “Laa
masaagho li al-ijtihad fiimaa fiihi nasun sharihun qath’iyyun (tidak ada
kebolehan berijtihad mengenai sesuatu yang padanya ada nash yang jelas dan qath’iy)
(Khallaf, 338). Telah membuat jurang pemisah yang dalam antara nash dan
ijtihad. Artinya mereka meyakini bila ada nash qath’iy maka ijtihad sama
sekali dilarang. Sebaliknya peran dan potensi ijtihad baru diakui jika tidak
ada nash qath’iy membuat hubungan yang antagonistis antara nash
dan ijtihad seperti ini, tidaklah sejalan dengan maksud Tuhan menurunkan
wahyu-Nya. Hubungan keduanya harus diubah menjadi interaktif-komplementatif atau
dalam istilah lain “ta’alluq al-talaazum wa al-musaahabah” (saling
melengkapi dan membutuhkan). Maksudnya agar suatu nash bermakna aplikatif dan
ijtihad juga memerlukan nash sebagai obyek sasarannya. Kebutuhan terhadap
ijtihad ini juga bukan hanya berlaku bagi nash-nash yang dzanny melainkan
juga nash yang qathiy al-dhalalah-nya. Oleh karena itu, menurutSupena
dan Fauzi (2002:279)kaidah tersebut perlu diubah menjadi “kull al-nas majaal
al-ijtihad walaw kana sarihan qath’iyya al-dalalah inda ushuliyyun”(setiap
nash adalah menjadi garapan ijtihad, meskipun nash tersebut menurut ushuliyyun
dikatagorikan qath’iy dalalah-nya).
Sebagai konsekuensi logis atas
ijtihad ini menurutal-Jarhazi(1997: 292), terdapat dua kemungkinan yang kan
timbul kemudian. Pertama,jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang benar, maka pelaku ijtihad akan memperoleh
dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika
ternyata hasil ijtihad itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT;
ijtihad yang slah, maka hanya memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad
saja. Hal tersebut didasarkan kepada Sabda Rasulullah saw; “idza hakama
al-haakim fajtahid fa ashoba falahu ajrani, wa idza hakama fajtahid fa akhto’
falahu ajroni” (seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya
benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru
(tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala) (HR. Bukhari)
Ada perbedaan pendapat dalam
menafsirkan hadis tersebut, apakah seorang mujtahid diberi pahala apabila
ijtihadnya salah. Sejumlah ulama’ berpendapat bahwa orang yang ijtihadnya salah
tidak mendapatkan pahala, karena kesalahan tidak akan pernah mendapatkan
imbalan pahala. Ia hanya cukup diberi ampunan penghapusan dosa kesalahannya
(Karim, 1984: 41-42).Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan
yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak
dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena
ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.
D. Naqdul Ijtihad
Ketika seorang mujtahid melakukan
ijtihad dalam suatu kasus dari suatu kasus-kasus hokum untuk mengetahuihokum
kasus tersebut kemudian apa yang menjadi dugaan mendominasi (rumusan) hokum
kasus tersebut maka jika dia berijtihad untuk dirinya, kemusian dugaan atas
status hukumnya tersebut berubah, maka dia wajib membatalkan apa yang telah
dihasilkan oleh ijtihad hasil pertamanya.Contohnya seorang yang telah
menceraikan istrinya dua kali melakukan khulu’. Kemudian dia berijtihad yang
hasilnya adalah bahwa khulu’ tidak termasuk talak sehingga dia kembali dengan
istrinya. Setelah itu jelas baginya bahwa khulu’ adalah termasuk talak, maka
dia wajib menceraikan istrinya karena berarti dia telah menceraikan istrinya
sebanyak tiga kali (bain) dan untuk dapat kembali harus melalui mukhallil.
Akan tetapi jika ia seorang hakim
dan memberi ketetapan hokum sebagaimana yang ditunjukkan oleh ijtihadnya
tiba-tiba dugaan terhadap setatus hukumnya berubah, maka ia tidak di
perkenankan untuk membatalkan ijtihadnya, karena jika satu hasil ijtihad
dibatalkan oleh ijtihad yang lain, maka akan terjadi pembatalan terhadap
ijtihad dan tidak akan pernah berakhir yang menyebabkan ketidak pastianhukum
dan tidak dapat dipercaya (Bek, [b]835-836).
Jika setiapsetiap ijtihad bisa
dihapus maka akan terjadi apa yang disebut tasalsul yakni mata rantai
hokum yang tak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan
baik bagi para pegiat hokum (fuqaha) maupun bagi masyarakat umum untuk
mendapatkan hokum yang pasti (Haqq, 2009: 6). Sebab hasil-hasil ijtihad akan
terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang
sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan datang
dan begitu seterusnya. Tidak adanya ketetapan hukum ini dapat mengakibatkan
kesulitan dan kekacauan yang besar.
Diriwayatkan dari Ibnu Sibagh: “
Sesungguhnya Abu Bakar r.a memberi keputusan hukum pada beberapa masalah.
Kemudian Umar ibn Khattab memberikan keputusan hukum yang berbeda atas
masalah-masalah tersebut. Namun Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan
tetap mengakuinya ”. Demikian pula Umar pernah memberi keputusan dua kali dalam
berbagai masalah. Di mana keputusan Umar yang pertama berbeda dengan
keputusannya yang kedua serta beliau tidak membatalkan keputusannya yang
terdahulu. Terkait dengan keputusan yang berbeda tersebut, Umar berkata: “Tilka
ala ma qadlaynaa wa hadzaa ala maa naqdly” (Itu adalah yang kami putuskan
pada masa lampau, dan ini adalah keputusan kami sekarang”. (Bek, 837).
Dari statmen ini, secara tidak
langsung umar r.a, telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis
yang sebelumnya telah siambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi
sah sebagaimana keputusan yang pernah diambilnyalalu diubahnya sendiri.
Berangkat dari perspektif inilah, para ulama’ kemudian mengambil penafsiran
hokum bahwa ijtihad umar ra. Tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu bakar. Dan
dari sisi ini pula, tercetus sebuah consensus (ijma’) sahabat, bahwa al-ijtihad
la yunqadu bi al-ijtihad, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuti (al-Asybah,
tt: 74. Lihat juga al-Jarhazi, 1997: 134).
Alasan tiadanya penganuliran hasil
ijtihad karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad
pertama, disamping karena keduanya sama-sama diperoleh (produced) yang
sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya adalah konteks waktu
yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu jika sering terjadi
penganuliran produk hokum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian
hokum bagi masyarakat, sebagaimana dijelaskan dimuka.
E. Perbedaan
Ijtihadiyah di Kalangan para Sahabat pada masa Nabi
Pembicaraan mengenai ijtihad
Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit.
Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al-mashalih
ad-dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan
persengketaan (al-aqdiah wa al- kushumah). Akan tetapi perbedaan
pendapat mereka mengenai ijtihad Rasulullah SAW dalam hukum agama
(asy-Syaukani, t.th:234). hal tersebut pun masih terjadi perdebatan, apakh nabi
boleh ijtihad dengan akalnya atau tidak.
Kemudian diskursus yang kedua adalah
apakah para sahabat boleh melakukan ijtihad atau tidak ketika masih ada Nabi?
diferensiasi pendapat ini nampaknya dapat diakhiri apabila semua pihak yang
berbeda pendapat melihat fakta sejarah yang akan sedikit penulis contohkan,
bahwa dalam urusan-urusan muamalah tentang keduniaan bahkan dalam sedikit
urusan keagamaan, sahabat Nabi melakukan ijtihad.
Ketetapan Rasul terhadap shalat
ashar yang dilakukan para sahabat di bani Quraidzah,al-Buhari meriwyatkan dari
Ibnu Umar, dia berkata, pada waktu perang Ahzab Nabi bersabda; la-yushalliyanna
akhadun illa fi bani quraidzah (janganlah ada seorang pun shalat ashar
kecuali di bani quraidzah). Ternyata para sahabat menjumpai waktu shalat ashar
sudahhampir habis ketika sudah di tengah perjalanan. Maka sebagian sahabat
berkata, “hendaklah kita tidak shalat sampai tiba bani quraidzah” seabagian
lagi ada yang berkata “Lebih baik kita shalat (sekarang saja supaya tidak
kehabisan waktu)”. Akhirnya kejadian tersebut di beritahukan kepada nabi. Dan
rasulullah tidak mengingkari seorang pun dari mereka, baik yang shalat ditengah
jalan ketika masih ada waktu ashar dan yang shalat setelah terbenamnya matahari
ketika mereka sampai di bani quraidzah (an-Nasr, 1996: 211-212).
Dari kisah tersebut adalah sabagian
sahabat ada yang larangan rasulullah itu
sesuai dengan redaksinya. Mereka tidak peduli sekalipun waktu shalat ashar
sampai habis. Dalam hal ini mereka lebih mengutamakan larangan rasul yang ini
dari pada larangan Rasul yang lain (yakni larangan untuk mengakhiri waktu
shalat).Sedangkan sebagian yang lain tidak mengartikan larangan tersebut hanya
dari segi redaksinya saja. Mereka mengartikan kalimat Rasul tersebut sebagai
isyarat agar mereka segera sampai di bani Quraidzah. Namun mereka memperhatikan
perintah rasul untuk memelihara waktu shalat. Oleh karena itulah mereka tetap
melaksanakan shalat ashar pada waktunya (an-Nasr, 212).
Contoh lain yang cukup popular
sering disebut-sebut sebagai awal keberanian umar bin khattab melakukan
penalaran secara bebas adalah ketika kelompok sahabat melakukan perjalanan
diluar pengawasan Rasulullah. Saat tiba shalat subuh, mereka tidak menemukan
air untuk mandi junub, padahal diantara mereka seperti Umar dan Muadz bin Jabal
(w. 18 H) dalam keadaan berhadas besar, yang mewajibkan mereka untuk mandi.
Muadz dengan sekedar kemampuan berfikirnya, kemudian menganggap qiyas debu
tidak hanya dapat menggantikan air untuk tayamum, tetapi juga mandi.
Berdasarkan hal itu maka ia berguling-guling diatas tanah sebagai makna
menggantikan mandi. Selanjutnya ia shalat subuh tepat waktu. Berbeda dengan
Muadz, Umar justru tetap berpegang untuk menunda shalatnyasampai kemudian ia
mendapatkan air(Ismatullah, 225). Ketika keduanya mengadu kepada Rasulullah
rasulullah melakukan koreksidengan merujuk kepada QS. an-Nisa [4]; 43: yang
artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”
(QS. An-Nisa [4]: 43).
Contoh yang lain di ceritakan ada
dua orang sahabat yang sedang dalam perjalanan lalu datang waktu sholat, tetapi
mereka tidak dapat memperoleh air untuk berwudlu, maka mereka bertayamum lalu
sholat bersama-sama. Kemudian mereka menemui air untuk berwudlu, pada waktu itu
juga (sesudah melakukan sholat dan waktu sholat belum habis). Salah seorang
diantara keduanya melaksanakan hasil ijtihadnya(harus mengulangi sholatnya)
lalu berwudlu dan mengulangi sholatnya lagi, sedangkan yang lainnya juga
berijtihad bahwa shalat yang pertama sudah sah, tidak usah diulangi kembali,
maka diapun tidak mengulangi sholatnya (Khallaf [b], tt: 14).
Contoh tersebut terjadi pada
waktu-waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya
kepada Rasulullah terlebih dahulu, sebab jarak yang jauh sekali atau adanya
kekhawatiran akan hilangnya kesempatan dan waktu.Terlepas apakah hasil ijtihad
sahabat itu dibenarkan oleh Rasulullah atau ditolak (dikoreksi), hal yang patut
untuk dicermati bahwa riwayat-riwayat tersebut mengindikasikan inisiatif
ijtihad sahabat pada masa Rasulullah SAW. Timbul bukan semata-mata karena
adanya dorongan dan izin dari Rasulullah SAW. Tetapi banyak juga lahir atas
inisiatif sebagian sahabat. Disamping itu masih berdasarkan riwayat diatas,
tampak bahwa Rasulullah telah memberikan bimbingan, tuntunan bahkan rekomendasi
kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad. Selain itu, Rasulullah SAW
mengakui kebenaran ijtihad para sahabat sepanjang “metode” yang digunakan benar
dan tidak bertentangan dengan Prinsip yang pernah ditempuh Nabi.akan tetapi
pada kesempatan lain Rasulullah SAW menolak hasil ijtihad sahabat karena
metodologi yang digunakan tidak tepat atau karena ijtihad yang dilakukan
sahabat bukan pada tempatnya (Lapangan ijtihad) seperti tercermin pada riwayat
muadz dan Umar diatas.
Dari beberapa contoh ijtihad di atas
memberikan gambaran bahwa ijtihad sahabat pada Rasulullah SAW. Belum dapat
dianggap sebagai alat penggali hokum yang sebenarnya, mengingat penentuan akhir
dari hasil ijtihad sahabat itu masih merupakan otoritas rasulullah SAW. Dari
kerangka inilah dapat dipahami mengapa ulama’ hadis tidak menyebut ijtihad
sahabat sebagai ijtihad, tatepi tetap sebagai hadis nabi yang bersifat taqririyah.
F. Penutup
Karena kualifikasi yang dirumuskan
secara formal-teknis itu diyakini sulit untuk dipenuhi, maka yang muncul
adalah keengganan berijtihad. Oleh karena itu syarat-syarat tersebut harus
dipahami secara elastis-dinamis sesuai dengan kebutuhan mujtahid, dan
dengan melihat problem hokum yang akan dipecahkan. Artinya syarat-syarat
ijtihad disesuaikan dengan problem yang dihadapi masing-masing umat Islam
sejalan dengan situasi dan kondisinya.
Diskursus pembatasan ijtihad yang
pada intinya tidak boleh menyentuh nash qath’iy pada gilirannya
dikristalkan menjadi kaidah “Laa masaagho li al-ijtihad fiimaa fiihi nasun
sharihun qath’iyyun”.Konsekuensi adanya kaidah tersebut menyebabkan
pembeharuan hukum Islam—meminjam istilah Prof. Qodri Azizy—hanya bersifat
parsial ad.hoc. Akan tetapi kaidah tersebut seolah luntur ketika oleh
Syahrur—dengan teori hudud-nya—yang sudah banyak penulis contohkan di
atas, banyak menguraikan secara sistematis nash yang Qath’iy tersebut
dapat di ijtihadkan.
Walupun toh terkait dengan ijtihad
tersebut akan menimbulkan ikhtilaf seperti dicontohkan pada masa
sahabat., meskipun demikian bahwa tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya
kepada yang lain. Perbedaan pendapat mereka masih dianggap sesuatu yang wajar.
Kebebasan pendapat (khususnya yang berkaitan dengan fiqh) diantara mereka tidak
kenal tendensi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sikap toleransi
terhadap orang lain telah melahirkan suatu kekuatan moral diantara para sahabat
untuk saling kekurangan dan kelemahan informasi keagamaan diantara mereka,
sampai batas optimal.
Pada sisi lain ikhtilaf
dikalangan sahabat memberi peluang bagi berkembangnya wawasan keilmuan. Hal ini
sejalan dengan pendapat imam zarkasyi bahwa Allah tidak selamanya menurunkan
hokum syariat bagi manusia sebagai dalil yang bersifat qath’iy tetapi
juga ada yang bersifat dzanny sebagai wadah untuk memperluas wawasan
diantara manusia.Perbedaan hasil ijtihad justru melahirkan produk hukum Islam
yang beragam, modikatif dan tidak sektarian. Wallahu ‘alam
************
Daftar
Pustaka
Azizy,
A. Qodri, 2003, Pengembangan Ilmu-ilmu Ke-Islaman, Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam. Depag RI.
---------------,
2004, Reformasi Bermadzhab; Sebuah Iktisar Menuju Ijtihad Saintific Modern, Jakarta:
Teraju.
Al-Baqir, Muh, Otoritas dan ruang lingkup
ijtihad, dalam Ijtihad dalam Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri, 1996, Bandung: Mizan. Cet, IV.,
Biek,
Muhammad Khudhori, 2007, Ushul al-fiqh, terj. Faiz el Muttaqien,
Jakarta: Pustaka Amani.,
---------------,
tt, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo: Maktabah Al-Azhar.,
Depag
RI,
Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan Penerjemah Al
Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Faruki,
Kemal, 1994, Islamic Jurisprudence, Delhi: Adam Publishers, Cet. I.,
Haq,
abdul,et al, 2009, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Kalista. Jilid
2.
Ismatullah,
Dedi, 2011, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Iqbal,
Muhammad, 1989, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore:
Institut of Islamic Culture,.
Jamil,
Faturahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet
II.,
al-Jarhazi,
Abdullah bin Sulaiman, 1997, al-mawahib
al-saniyyah, Beirut: Dar al-Fikr,.
Khallaf,
Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, terj, Moh. Zuhri et al,
Semarang: Dina Utama.,
---------------,
1968, Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islami, ttp
Al-Khatib,
‘Abdul Karim, 1984, Saddu bab al- Ijtihad wa ma Tarattaba, Beirut:
Muassah Risalah.,
Musahadi,
2012, Madzhab Konservatif VersusMadzhab Kritis; Kajian Hukum Islam di
Pesantren,Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.,
Muallim,
Amir & Yusdani, 2004, Ijtihad dan Legislasi Hukum Islam, Yogyakarta
An-Nashr,
‘Abdul Jalil Isa Abu, 1996, ijtihadur-Rasuul Shalallahu Alaihi Wasallam, Kuwait:
Darul Bayan.,
An-Naim,
Abdullah Ahmed, 1990, Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia, dan Hubungan International dalam Islam, Yogyakarta: LKis
Group. Julid I,.
Sjadzali,
Munawir, 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina,.
Supena
ilyas dan M. Fauzi, 2002, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta:
Gama Media kejasama Walisongo Prees.,
Syahrur,
M, 1990, al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus:
al-Ahali,
al-Suyuthi,
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, Tth, al-‘Asybah wa al-Nazha’ir fi al-furu’. Surabaya: Al-haromain.
Asy-Syarafi,
Abdul Majid, 1998, al-ijtiahad al-jama’I fi al-Tasyri’ al-Islami, Qatar:
Wizaratul awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah.,
Asy-Syaukhani,
M, tt, Irsyad al-Fuhul, Beirut: Darul Ihya’ at-turas Arabi.,
Al-Syatibi,
al-Muwafaqat, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,. juz I.
Ash-Siddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, 1997, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
Nasution, Harun, Ijtihad Sumber ajaran
Islam, dalamIjtihad dalam Sorotan, Editor, Haidar Baqir dan Syafiq,1996,
Bandung: Mizan. Cet, IV.,
[1][1]Dalam
rangka membedakan standar minimal kualitas lulusan bagi strata untuk fakultas
atau ilmu keislaman. Azizy mendefinisikan gelar S-3 (Doktor atau Ph.D) sebagai ‘alim
yajtahid (sarjana yang mampu berijtihad mawdhu’iy) atau ‘alim
yujaddid (sarjana yang mampu malakukan tajdid) oleh karena itu mereka yang
sudah menyandang gelar S-3 harus memiliki pemikiran yang orisinal. Sedangkan
lulusan S-2 (Magister) sebagai ‘alim yatahaqqaq (sarjana yang mampu
menganalisis kritis-belum dituntut untuk berijtihad dalam standar minimalnya).
Sementara itu S-1 rajul yata’allam (seorang yang baru lulus belajar
untuk menjadi sarjana atau ‘alim) (Azizy, 2003: 68-71, Lihat juga Azizy
catatan kaki Reformasi bermadhab).
0 komentar:
Posting Komentar