Sabtu, 18 Januari 2014

Teori Politik Ibnu Taimiyah


Teori Politik Ibnu Taimiyah 
 

Teori politik pemikiran Ibnu Taimiyah diawali dengan penelitian kritis terhadap teori khilafah yang berkembang pada masa Ibnu Taimiyah. Ia menyinggung adanya kebutuhan akan pendekatan yang lebih kritis terhadap pemerintahan Islam. artinya, bila perkembangan sejarah tidak terabaikan, maka prinsip-prinsip teori yang kritis tentu akan terpelihara. Teori khilafah tidak mampu memenuhi tujuan itu karena terlalu bersandar sejarah sehingga penelitian yang dimaksud kehilangan kontak dengan tujuannya semula.
Ibnu Taimiyah menemukan metodologi yang mempermasalahkan praktik-praktik kehidupan dan pandangan di masanya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. penyimpangan-penyimpangan itu disebabkan oleh berbagai faktor, terutama taklid buta terhadap perilaku bid’ah atau fitnah yang menyesatkan. Dengan mengambil peranan sebagai pengontrol terhadap aneka peristiwa yang ada, Ibnu Taimiyah menyajikan teori politik Islam yang diharapkan mampu menutup keterbatasan-keterbatasan pada teori tersebut dengan mengajukan kekhalifahan klasik.
Ibnu Taimiyah tidak hanya menkritik teori kekhalifahan, tetapi juga tidak memandang perlunya kekhalifahan sama sekali. Ia meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari Al-Quran dan As-sunnah, atau bahkan latar belakang sejarah Khulafaur-Rasyidin yang dianggapnya tidak lebih dari sebuah aksiden, dan bukan sebuah contoh dari kehidupan. Praktek kehidupan Rasullulah sendiri oleh Ibnu Taimiyah tidak dipandang sebagai dasar pijakan untuk mengadopsi bentuk pemerintahan tertentu. Menurut pendapatnya, bentuk pemerintahan Nabi saw dan Khulafaur-Rasyidin tidak dapat berperan sebagai dasar teori politik dalam islam. Begitu juga lembaga pemerintahan pada masa Khulafaur-Rasyidin.
Karenanya, dengan menolak bahwa praktik sejarah dapat berlaku sebagai dasar bagi filsafat politik, Ibnu Taimiyah mampu menghindarkan dirinya dari “kesalahan menilai kekuatan politik yang ada sebagai kekuasaan yang dilegalisasikan oleh bayangan khalifah”. Ibnu Taimiyah menolak kompromi bagi kebaikan dan menyajikan kepada ummat cita-cita politik baru yang Islami, nyata, praktis dan tahan uji.
Ibnu Taimiyah juga menkritik teori Syiah tentang Imamah seperti yang menjadi tema dominan pada tulisannya, Minhaj as Sunnah. Konsep Syiah tentang Imamah dikatakannya tidak mempunyai dasar dalam Al-Quran maupun As-Sunnah serta akal sehat. Ia menyebutkan bahwa Imamah merupakan biang keladi perpecahan dan kelemahan ummat Islam, karena Syiah sendiri tidak sepakat dalam kepemimpinan seorang Islam. Bahkan perbedaan-perbedaan mereka tentang masalah tersebut lebih membahayakan daripada aneka perbedaan pada sebagian ummat Islam yang lain. Konsep Syiah tentang ummat Imam “yang dinanti” sebagai tanpa celah dan dosa juga gagal memecahkan aneka ragam persoalan ummat. Ibnu Taimiyah lebih menyukai bani Umayyah daripada Syiah. Bani Ummayah ia pandang mampu membimbing rakyat untuk mewujudkan tata pergaulan dunia maupun spiritual karena mempunyai kepemimpinan dan pemimpin yang nyata walaupun tentu tidak lepas dari beberapa kekurangan. Sedangkan Syiah yang menggantungkan diri pada wujud yang tak tampak (ghaib) dipandang tidak mampu menyajikan pengabdian yang sebenarnya.
Negara dan Masalah Kenegaraan
Bentuk pemerintahan Islam agaknya tidak banyak menyita perhatian Ibnu Taimiyah. Bukunya yang membahas masalah tersebut berjudul as-Siyasah asy-Syar’iyyah (Pemerintahan menurut syariat). Buku ini sedikitpun tidak menyinggung tentang bentuk konstitusi negara Islam. Buku ini hanya menampilkan bahasan mengenai urgensi kekuasaan dalam menerapkan syariat dan kewajiban ummat untuk mematuhinya. Pada bagian akhir penulisannya berbicara tentang kebutuhan manusia akan adanya konsultasi dan koperasi.[1]
Ibnu taimiyah menyerang Sunni dan Syi’ah menyerang Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori khilafah tradisional maupun teori imamah yang mutlak. ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi, yaitu hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya meskipun menerima negara itu sebagai sebuah kebutuhan agama. Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah sebuah pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi.
Kehadiran Ibnu Taimiyah dengan pandangan tentang syariat sebagai sumber kekuasaan final dan standar mutlak bagi segala ragam kekuasaan dan kekuatan menghindarkan sebuah gerakan islam yang teokrasi. Dalam sistem itu, posisi ulama tidak bisa disamakan dengan kedudukan para pendeta karena kekuasaan mereka tidak berasal dari ordinasi pemerintah, tetapi berakar pada pengetahuan mereka tentang syariat, suatu kenyataan yang memungkinkan setiap muslim berpengetahuan memiliki kedudukan sebagai ‘alim (orang yang berpengetahuan agama).
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang hakim muslim mestinya tidak mengikatkan diri secara kaku pada suatu tafsiran Al-Quran tertentu, terutama dalam berbagai persoalan yang sifatnya kontroversial. Suatu pemikiran yang baik dapat saja diterima meskipun tidak selaras dengan empat mazhab hukum Islam. Ibnu Taimiyah sendiri juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang sebagian tidak sejalan dengan salah satu dari mazhab-mazhab tersebut. Kebebasan berpendapat itu dimaksudkan untuk menyanggah padangan bahwa ulama “pemerintah” adalah para penentu keputusan terakhir dalam berbagai masalah sekaligus ditujukan untuk membendung kecenderungan untuk memonopoli proses pengambilan keputusan. Karena dalil ini pula Ibnu Taimiyah tidak cenderung mengakui keberadaan ahlul-halli wal-aqli (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku pada teori-teori khilafah tradisional. Semua itu cenderung untuk mengikis unsur-unsur teokrasi dalam sistem pemerintahan Islam.
Lebih lanjut, Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kebutuhan manusia akan negara didasarkan pada akal dan hadist. Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk tergabung, bekerja sama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional itu juga diperkuat oleh beberapa landasan Sunnah Nabi saw. Contohnya adalah sabda Nabi saw, “bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang di antara mereka selayaknya menjadi pemimpin,” dan juga sabda beliau “Enam puluh tahun berada di bawah tirani lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan.” Itulah dua contoh dari hadist-hadist yang dikemukakan.[2]
Hadist-hadist Nabi saw tersebut menekankan perlunya nasihat bagi pemimpin politik dan kepatuhan terhadap aturan-aturan mereka sebagai kewajiban agama. Contohnya adalah, “sungguh, Allah pasti suka jika tiga hal tersebut dapat terwujud: engkau menyembah kepada-Nya, dan tidak menyekutukannya; engkau mengikatkan diri erat-erat kepada Allah dan memberikan saran atau nasihat kepada siapapun yang ditunjuk Allah untuk memimpin kalian.” Dari hadist-hadist itu Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa praktik pengukuhan sebuah pemerintahan harus dianggap sebagai tugas agama yang mesti dipatuhi oleh setiap Muslim disamping sebagai sarana agar manusia mempunyai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Memang, istilah negara (daulah) tidak disinggung dalam Al-Quran maupun as-Sunnah, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat ditemukan dalam kitab suci itu.[3] Umpamanya, Al-Quran menjelaskan seperangkat prinsip atau fungsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara. Termasuk di dalamnya adalah keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Dalam Al-Quran, juga bisa ditemukan hukum-hukum yang bersifat umumatau hukum yang secara langsung menyinggung masalah pembagian harta rampasan perang (ghanimah) atau upaya untuk menciptakan perdamaian.
Subjek-subjek aneka ragam hukum maupun petunjuk-petunjuknya itu tidak lain adalah ummat Islam, yang diisyaratkan Al-Quran sebagai kesatuan ummat yang paripurna. Dengan kata lain, ummat Islam dinyatakan sebagai suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain karena kebijakan yang mereka miliki, yang mendasari sifat-sifat mereka. Ringkasnya, ummat Islam adalah suatu masyarakat politik yang sanggup mencukupi diri sendiri.
Lebih dari itu, berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Al-Quran dan As-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat di kalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihat tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional negara inilah yang seringkali ditekankan Ibnu Taimiyah dalam berbagai pandangan tentang negara. Ia mengatakan bahwa negara dan agama sesungguhnya saling berkaitan. Tanpa kekuasaan negara agama berada dalam keadaan bahaya sedangkan tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.
Dalam as-Siyasah asy-Syar’iyyah, ia menganggap penegakan negara sebagai tugas suci yang dituntut oleh agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakkan sebuah keadilan. Dikarenakan menegakkan keadilan berarti melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan bagi munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah. Tujuan negara sendiri adalah mengubah bangunan dan fondasi serta kaitan-kaitan masyarakat, bahkan membangun akidah, akhlak, kebudayaan dan tradisi sosial.[4]
Masalah Konstitusi
Ibnu Taimiyah memandang masalah dasar hukum dan perundang-undangan dalam negara bersifat sosiologis dan sebagian bersifat filosofis. Namun yang lebih mendasar lagi adalah adanya dasar agama sebagai landasan sebuah negara dan tujuan etika keagamaan yang mendasari gerak laju negara itu. Perpaduan antara politik dan agama yang merupakan akibat langsung dari hakekat teologi Islam juga terungkap dalam kawasan teori konstitusional. Di sini pula jalinan moral dan hukum terungkap sehingga menyulitkan orang untuk menentukan titik temu antara tujuan moralitas dan permulaan hukum. Meski demikian, bagi ummat Islam, perbedaan antara hukum dan moralitas itu nyaris kabur jika ditilik dari sudut syariat, yang dianggap begitu luas dan mencakup semua aspek kehidupan, material maupun spiritual di bawah panji-panji hukum yang suci dan mutlak.
Dasar dari hukum syariat adalah empat sumber hukum yang terdapat pada:
  1. Al-Quran
sebagai sumber utama dari segala prinsip dan aturan hukum Islam. Menurut keyakinan setiap muslim, Al-Quran adalah sebuah kitab yang berisi wahyu Allah swt. Dan segala ragam hukum yang terdapat di dalamnya berada di atas hukum apa pun yang diciptakan manusia. Mereka juga percaya bahwa teks Al-Quran tidak sedikit pun mengalami perubahan. Karena Al-Quran diyakini berasal dari Allah swt. Dan teks-teksnya dianggap suci, maka setiap muslim wajib mengakuinya sebagai fondasi segala macam suprastruktur Islam.
  1. As-Sunnah
Betapapun kedudukan dan sifatnya suci, Al-Quran tidak cukup memuat seluruh rincian ajaran yang mampu memberikan solusi alternatif bagi setiap persoalan yang muncul di setiap waktu. Oleh sebab itulah As-Sunnah atau Hadist mempunyai kedudukan penting dalam hukum Islam. Sunnah secara harafiah diterjemahkan dengan suatu praktek kehidupan yang membudaya atau suatu norma perilaku yang diterima secara komunal meliputi segenap kata-kata dan perbuatan Nabi saw.
  1. Ijma (Konsensus)
Ijma, berarti kesepakatan universal atau konsensus yang bersifat umum. Ijma melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hukum tentang suatu masalah tertentu.
  1. Qiyas
Qiyas adalah metode logika yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu dengan cara menetapkan satu kaitan positif atau negatif antara bentuk perilaku itu dengan bentuk perilaku lain yang diatur dengan suatu prinsip umum. Dalam islam, metode itu digunakan untuk memperluas hukum-hukum syariat yang bersifat umum terhadap berbagai kasus individu yang tidak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih lanjut Qiyas memiliki berbagai ketentuan berikut seperti: Masalah yang dicarikan keputusan hukumnya harus berkaitan dengan mu’amalat (tata pergaulan dunia), bukan ibadat. Serta hasil keputusan tidak boleh menyimpang dari dari tujuan syariat atau hukum-hukum yang sudah mapan, dan hasil keputusannya harus membawa manfaat bagi masyarakat.
Telah diketahui bahwa argumen Ibnu Taimiyah tentang sumber-sumber hukum dan legislsi Islam dimaksudkan untuk menitikberatkan pada satu masalah pokok yaitu bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap dalam kitab suci Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad saw, yang secara kolektif bersifat “syariat”.
Rupa-Rupa Permasalahan Politik
Ibnu Taimiyah dengan metodologi reformisnya, berjuang untuk mengalihkan perhatian dari lembaga khilafah kepada urgensi atau kewajiban ummat Islam untuk memiliki kekuasaan politik meskipun ciri utamanya tidak sama dengan bangunan konstitusi tertentu seperti khilafah atau imamah. Ciri utama itu adalah penerapan syariat melalui berbagai upaya kerjasama antara umara dan ulama. Jadi, menurut pendapatnya, suatu negara Islam tidak wajib mempunyai seorang khalifah sebagai pucuk pimpinan atau demi menandai ciri umum dalam rangka mewujudkan masyarakat yang “Islami”. Suatu bentuk pemerintahan yang meletakkan syariat sebagai penguasa tertinggi adalah gambaran dari pemerintah Islam yang memenuhi syarat. Ibnu Taimiyah bahkan melihat semua warga di berbagai negara Islam sebagai satu masyarakat yang disebut dengan Ummah. Dalam berbagai negara Islam itu setiap individu dapat hidup berdampingan secara damani dengan individu lain kendati independensi dan konstitusi negaranya masing-masing tidak sama.
Namun, syarat pokok yang mendasari kekuasaan negara Islam dengan mendasarkan segala perilakunya pada ajaran-ajaran syariat memerlukan suatu standar tingkah laku tertentu atau serangkaian norma yang menjadi basis tegaknya negara Islam. Dalam pembahasan kali ini ingin memfokuskan pembahasan pada norma-norma atau praktik-praktik politik tertentu yang mendasari suatu pemerintahan Islam yang sah.
  1. Ummah Sebagai Raga Politik
Konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep tentang Ummah atau komunitas orang-orang yang beriman. Menurut makna istilah, Ummah meliputi totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terkait oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras. Di dalam Ummah itu segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tiak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah rasulNya. Dihadapan Allah semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas atau ras. Sebuah ayat dalam Al-Quran menyebutkan bahwa ummat Islam adalah sebaik-baiknya ummat manusia; kriteria inilah yang membedakan mereka dengan masyarakat-masyarakat lain.
Sisi lain penting peranan Ummah dalam Islam adalah tingkat solidaritas yang tinggi. Bentuk solidaritas itu tidak sama dengan solidaritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu masyarakat dengan faktor-faktor yang umum seperti wilayah, budaya, dan bahasa (faktor yang lazim ada pada sebuah bangsa). Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas organik yang mencitakan dan berupaya menggayuh eksistensi tujuan yang bersifat umum dan menghendaki partisipasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas (kewajiban) masing-masing.
Unsur organik dalam studi tentang konsep negara Islam menurut Ibnu Taimiyah itu tidak lain adalah suatu ungkapan tentang realitas dasar serupa yang terungkap dalam istilah-istilah lain. Ketika menekankan struktur organisasi masyarakat Islam, Ibnu Taimiyah hanya mengikuti kriteria Nabi saw. Yang bersabda, “dalam urusan cinta dan kasih sayang, ummat Islam mestinya mirip sebuah tubuh; jika salah seorang warganya sakit, maka anggota-anggota yang lain juga merasakan demam dan lemas.” Hadist yang juga menuturkan hal yang serupa adalah, “Hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bagian-bagian dalam sebuah bangunan; masing-masing saling menguatkan.” Makna kesatuan dan solidaritas itu juga berakar pada tradisi Islam yang memiliki independensi tersendiri terhadap ragam tantangan kehidupan politik.
Dalam batas-batas negara Islam, Ummah memiliki peranan penting dalam gelanggang politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri sebagai badan politik yang menjadi dasar negara Islam, tetapi juga “dilimpahi karunia Allah dengan ciri khusus seperti yang tersurat dalam sabda Nabi saw, “masyarakat tidak akan pernah sepakat dalam kesalahan”. Karakteristik khusus itulah yang menjadi dasar ide “ijma” sebagai salah satu sumber hukum Islam seperti yang dikemukakan terdahulu. Ijma yang merupakan produk ulama itu tidak mengurangi peranan Ummah dalam proses kehidupan, karena ulama dianggap mewakili seluruh jajaran Islam. Unsur perwakilan ini tidak hanya memandang remeh peranan kekhalifahan, tetapi juga enggan memberikan kedudukan yang istimewa kepada ulama.
Lagi pula, sudah menjadi keyakinan di kalangan Sunni bahwa sejak Nabi saw wafat, tidak menunjuk seseorang atau sebuah panitia untuk mewarisi kepemimpinannya, maka tugas tersebut secara otomatis menjadi tanggung jawab seluruh Ummah. Jadi, Ummah dapat dianggap sebagai satu-satunya penerus Nabi saw, sedang kadar kekuasaan dan kesuciannya dapat disejajarkan dengan Nabi saw. Untuk mendukung peranan dan ciri-ciri itu, ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menegaskan Ummah sebagai pelanjut kepemimpinan itu. Status ini terbukti dengan tanggung jawab legislatifnya dalam ijma sebagai media yang mentransformasi “kehendak” masyarakat (secara teoritis merupakan kehendak Allah swt.) kepada “hukum-hukum syariat.
  1. Model Pemilihan: Bai’at
Bai’at adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. bai’at identik dengan sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian, bai’at melibatkan dua kelompok: di satu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; di sisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum bai’at terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan yang turut terlibat dalam proses itu. Perluasan sekup bai’at dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang berpengaruh merupakan salah satu pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sejalan dengan implikasi elitsi teori khilafah klasik.
Apresiasi peranan kekuatan dalam politik oleh Ibnu Taimiyah telah terungkap dalam pandangannya tentang syarat-syarat pemimpin Islam. Jauh sebelum menawarkan seperangkat syarat moral dan intelektual, ia menawarkan dua syarat pokok bagi pemimpin yaitu: kejujuran atau dapat dipercaya dan kekuatan atau kecakapan. Dasar yang ia gunakan adalah ayat Al-Quran sebagai berikut,”…sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Syarat lain seperti berpengetahuan luas, bersikap adil dan saleh yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Oleh karena itu, setiap muslim dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan atau negara, bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memperoleh dukungan mayoritas ummat.
b. Memenangkan dukungan ahlusy-syaukah atau unsur-unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
c. Memiliki syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.
  1. Musyawarah (Syuro)[5]
Konsep Ibnu Taimiyah tentang musyawarah atau konsultasi sama luasnya dengan konsep yang dikemukakannya tentang bai’at. Ia menghendaki adanya musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin seharusnya tidak hanya meminta pertimbangan dari ulama, tetapi semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang dinamis. Hanya saja, ada batasan yangmelingkari berlakunya konsultasi secara wajar. Tidak semua permasalahan dapat dijadikan materi konsultasi. Misalnya, ajaran-ajaran Islam pokok yang merupakan dasar-dasar agama tersebut tidak perlu lagi dipermasalahkan atau dimusyawarahkan. Memusyawarahkan validitas ajaran-ajaran itu justru dipandang sebagai tindakan yang kufur dan bid’ah.
Ibnu Taimiyah membatasi musyawarah itu pada “berbagai masalah yang tidak dijelaskan oleh wahyu”. Andaikata pendekatan Ibnu Taimiyah terhadap pemerintahan Islam yang didasarkan pada syariat dilihat sebagai suatu kerangka kerja umum dan bukan konstitusi khusus, maka akan terbuka lebar kawasan luas yang belum ditegaskan sehingga kreativitas dan imajinasi menjadi penting. Dengan kata lain, ada ruang gerak yang lebih luas adanya konsultasi dalam teori pemerintahan Ibnu Taimiyah ketimbang permulaan teori Sunni periode pertama tentang khilafah atau teori Syiah tentang imamah. Kedua teori tersebut dibatasi dengan rumusan atau standar-standar kaku yang berasal dari over-reading atau mis-reading terdapat pada golongan Syiah yang memandang Imamah sebagai bentuk penegasan iman sehingga tak terjamah pembahasan akal.
Menurut Ibnu Taimiyah, bila kebutuhan akan pemerintahan dianggap perlu, baik karena alasan-alasan rasional maupun agama, maka bentuknya yang khusus atau konstitusinya harus ditentukan oleh ummat atas dasar kerjasama dan konsultasi. Jadi, para pemimpin politik yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah adalah mereka yang bersandar pada prinsip syura dan menata berbagai problema kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, para pemimpin berkewajiban menerima atau mempertimbangkan berbagai jenis rekomendasi yang sejalan dengan syariat. Di sisi lain, mereka harus menolak tanpa memperdulikan akibat apapun yang muncul jika diminta memberikan nasihat yang tampak bertentangan dengan syariat. Dan jika para pemimpin dihadapkan pada situasi dengan berbagai pilihan yang harus dipertimbangkan, maka mereka harus mengadopsi pilihan yang paling selaras dengan syariat.
Kesimpulan Dan Catatan Kritis
Teori Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan merupakan contoh kritik yang meremehkan teori khilafah. Dasar pijakan kritiknya adalah penolakan terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar konstitusional dari Al-Quran. Memang benar Al-Quran secara khusus menjelaskan kebutuhan terhadap pemerintahan dan kekuasaan, tetapi tidak memaparkan secara rinci keputusan konstitusional pemerintahan Islam. Jadi, di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tidak terdapat dasar pijakan bagi keputusan konstitusional baku yang melandasi teori khilafah.
Dengan penolakan tersebut, Ibnu Taimiyah ingin menawarkan sebuah alternatif pemikiran. Bahwa persoalan pokok dalam teori Islam bukanlah pada lembaga khilafah, tetapi pada hukum syariat. Meskipun khilafah dikatakan berpijak pada syariat, namun perkembangan sejarah lembaga tersebut satu-satunya organisasi politik yang diterima dalam Islam justru menghantarkannya pada legitimasi tertentu yang tidak lagi sejalan dengan ajaran-ajaran pokok syariat. Dalam Islam, negara memiliki peranan penting (instrumental) untuk meraih tujuan-tujuan syariat, sebagaimana terungkap dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ibnu Taimiyah menghendaki terwujudnya pemerintahan yang menitikberatkan pada asas konstitusi, koperasi dan hubungan perjanjian melalui proses pemilihan pemimpin.
Pertanyaan yang mendasar yang patut dipertanyakan adalah Apakah sistem politik dan kenegaraan yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah masih relevan dengan kondisi sosial-politik saat ini? Saya memandang bahwa sistem politik yang ditawarkan masih relevan dan bahkan menjadi acuan para negarawan untuk membangun sebuah pemerintahan. Dengan berlandaskan keinginan rakyat dan memberikan rakyat ruang untuk berpartisipasi dalam politik saya melihat pemikiran politik masih sejalan dengan asas demokrasi yang populer saat ini. Menghapuskan sistem kepemimpinan Khilafah dan Imamah saya pikir Ibnu Taimiyah mempunyai gagasan yang revolusioner dan pembaruan. Ia tidak ingin rakyat hanya menjadi objek dalam sebuah negara tapi Ia ingin rakyat menjadi subjek atas negara.
Apakah sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah dapat dikatakan teokrasi? Pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah bukanlah sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi mengakui Tuhan sebagai penguasa yang sebenarnya dan hukum-Nya ditetapkan sebagai hukum bumi. Ibnu Taimiyah justru berpandangan bahwa syariat merpakan sumber kekuatan final dan standar mutlak bagi segala kekuasaan dan kekuatan. Dapat pula dikatakan bahwa sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah bersifat Monokratik[6]. Sistem yang monokratik dalam artian bahwa pemerintahan yang berkuasa merupakan hukum tertinggi yang menggantikan segala bentuk kekuasaan lain. Yang jelas bahwa pemerintahan yang berkuasa harus menerapkan hukum syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Umar. Apakah anda termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Jakarta: PT Bina Ilmu, 1987
Mujtaba, Sayyid. Teolog islam syiah. Jakarta: Al-Huda, 2004
Taimiyah, Ibnu. As-Siyasah asy-Syar’iyyah. Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952
Khadduri, Majid. The Nature of the Islamic State. Islamic Culture 21, 1974
Syariati, Ali. Ummah dan Imamah. Jakarta: Bandar Lampung, 1952
Zahra, Abu. Aliran politik dan aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996
Jindan,Khalid Ibrahim. Teori politik Islam: telaah kritis pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995

[1] Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah [Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952], hlm.181-191
[2] Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah [Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952], hlm.174.
[3] Majid Khadduri, “The Nature of the Islamic State”, Islamic Culture 21 (1974): 327
[4] Ali Syariati, Ummah dan Imamah [Jakarta:Bandar Lampung 1952], hlm.45
[5] Abu Zahra, Aliran politik dan aqidah dalam Islam [Jakarta: Logos, 1996], hlm.93
[6] Pendapat Prof.Dr.Khadduri tentang beda teokrasi dan monokrasi di dalam buku, Khalid Ibrahim, Teori politik Islam: telaah kritis pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam [Surabaya: Risalah Gusti, 1995], hlm.84

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar