Kamis, 16 Januari 2014

TEOLOGIS UMAT ISLAM DALAM PERSPEKTIF SOSIO-HISTORIS

TEOLOGIS UMAT ISLAM

DALAM PERSPEKTIF SOSIO-HISTORIS

I. Persoalan-persoalan Kalam Menurut Aliran-alirannya

Dalam waktu sepuluh tahun, sejak hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. sampai wafatnya pada tahun 632 M., nabi Muhammad s.a.w. telah berhasil membangun negara yang cukup kuat, hingga pada akhir tahun 630 M. beliau mengadakan ekspedisi menuju Syiria. Banyak suku-suku arab nomaden, bahkan sebagain besar, telah menjadi pengikut Muhammad s.a.w.. kecuali mereka yang masih berada dibawah pengaruh kekuasan Bizantium.

Periode berikutnya, dari tahun 632 – 661 M., dikenal dengan periode Khulafa ur- Rasyidin. Abu Bakar sebagai khalifah pertama (632-634 M.) lebih disibukkan dalam penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu terhadap sistem politik Madinah.

Fenomena ekspansi muncul pada masa Umar bin Khaththab menjadi khalifah (634-644 M.); Syiria dan Mesir direbut dari kekuasaaan Bizantium dan Irak dari kekuasaan Persia. Tetapi pada sekitar tahun 650 terjadi kemunduran, munculnya ketidakpuasan dikalangan pasukan (yang mirip badan rakyat), dan pada tahun 656 M. Usman dibunuh oleh kaum pemberontak. Kemudian Ali, sepupu dan menantu Nabi Muhammad diangkat sebagai Khalifah di Madinah, tetapi Muawiyah sebagai Gubernur di Damaskus dan beberapa kalangan lainnya menolak untuk mengakuinya.

Dalam pertikaian antara Ali dengan Muawiyah, secara perlahan-lahan Muawiyah menjadi lebih unggul, terutama ketika pada tahun 661 M. Ali terbunuh. Kemudian Muawiyah diakui sebagai Khalifah secara umum dan dengan demikian terbentuklah Dinasti Bani Umaiyah.

Pemaparan peristiwa-peristiwa sejarah ini bukannya tidak relevan dengan pembahasan teologi. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan berpendapat bahwa gagasan-gagasan teologi teologi dan filsafat mempunyai rujukan politik dan sosial. Khususnya di Timur-Tengah, kaiatan antara teologi dan politik adalah begitu dekat serta jelas.

Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Berikut adalam pandangan mereka, antara lain.

A. Aliran Khawarij
Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash. Abu Musa al-Asyari adalah kafir. Semua pelaku dosa besar (murtakib al-kabîrah), menurut semua sub sekte Khawarij, kecuali an-Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu “musyrik”. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Dan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal di dalam neraka bersama orang kafir.
Walaupun secara umum subsekte aliran Khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing mereka berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakkimah, Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir pun menjadi luas dalam pemahaman mereka, hingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berzina, membunuh sesama muslim tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya, pelakunya dinyatakan keluar dari Islam.
Lain halnya dengan Azariqah, mereka bahkan ikut mengkafirkan orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan tidak mau berhijrah kepada lingkungan mereka, bahkan dipandang musyrik.
Subsekte lain, yakni an-Najdah, berpandangan bahwa orang yang melakukan dosa besar yang dihukumi kafir hanyalah orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan akan kekal dalam neraka. Namun jika pelaku dosa besar itu dari kalangan mereka, tetap mendapat siksa neraka, akan tetapi pada akhirnya masuk surga juga.
B. Aliran Murji’ah
Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu, sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besarpun berbeda-beda pula.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamaliyah, As-Sulihiyah, dan Al-Yunusiah.
Mereka berpandangan bahwa iman adalah tashdîq secara qalbiyyah (pembenaran di dalam hati) saja atau dengan kata lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan qalbu (hati), bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Menurut mereka, iqrâr (pengakuan lisan) dan ’amal (tindakan) bukanlah bagian dari iman. Kredo (Creed [Eng.] = Kepercayaan/Keyakinan) kelompok Murji’ah ektrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ektrim memandang bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, tergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan (allah) akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Di antara subsekte Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah: Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti berimplikasi, seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal di dalamnya.
C. Aliran Mu’tazilah
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teoligi Islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaannya, bila khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada pada posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan daripada siksaan orang kafir.
Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik (al-fâsiq) yang bukan mukmin atau kafir.
Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash (teks al-Quran dan Hadis), sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nash. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
D. Aliran Asy’ariyah
Pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil Ahl as-Sunnah, tidak melakukan takfîr (mengafirkan) orang-orang yang sujud ke Baitullah (Ahl al-Qiblah) Walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Mengenai balasan di akherat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan bisa saja mengampuninya dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaaat Nabi Muhammad s.a.w., sehingga terbebas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah khususnya dalam pernyataan yang tidak melakukan takfîr (mengafirkan) terhadap para pelaku dosa.
E. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.
Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
F. Aliran Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syiah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha’.
II. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Permasalahan kalan lain yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Hal ini muncul sebagai buntut dari perdebatan masalah Iman dan kafir diantara pelaku Tahkim. Para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusi, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis yang diwakili oleh Jabariyah dan Free well yang diwakili oleh Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan Asy’ariyah dan maturidiyah mengambil jalan tengah.
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa pebuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Quran pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah QS al-Anbiyâ’/21: 23 dan ar-Rum (30): 8.
Qadhi Abd al-Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah, mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?.
Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak penah dan tidak akan melakukan perbautan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
2. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jâ’iz) dan tidak satupun darinya mempunyai sifat wajib.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ariyah sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam al-Iqtishâd.
3. Aliran Maturidiyah

Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Maturidiyah Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Ad-Dimsyaqi). Yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri, Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
1. Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ektrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ektrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Bahkan, Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ektrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi ,manusia itu memperoleh perrbuatan yang diciptakan Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Dalam kaitan ini, bila mseseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut Al-Juba’i dan Abd al-Jabbar, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istithâ’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
4. Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah, memandang bahwa manusia ditempatkan pada posisi lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalamhidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada denagn faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan teori al-kasab (acquistion, perolehan). Teori al-kasab Asy’ari daapt dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya dan diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasab ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga mnusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatan.
Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
III. Sifat-sifat Tuhan
Tarik-menarik antara aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan sifat-sifat Tuhan, tampaknya dipicu oleh truth claim (klaim kebenaran) yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah.
A. Aliran Mu’tazilah
Pertentangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persolan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau multiplicity of eternals). Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirk atau politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak bearti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demnikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Hudzail, adalah Tuahn sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.
B. Aliran Asy’ariyah
Pendapat kaum al-Asy’ariyah berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, di samping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
Sementara itu, al-Baghdadi melihat adanya consensus di kalangan kaum Asy’ariyah, bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.
3. Aliran Maturidiyah

Dalam hal sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara al-Maturidi dan al-Asy’ari, seperti dalam pendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti, sama, basher dan sebagainya. Namun demikian al-Maturidi berbeda pengertian tentang sifat Tuhan dengan al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai susuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sedangkan al-Maturidi mengatakan sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-nya, sifat-sifat Tuhan mulazamah (ada bersama = inheren) zat tanpa terpisah.

Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.

IV. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja?
Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
A. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpa mengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah QS al-Anbiya’ (21) : 47 , Yasin (36) :54 , Fushshilat (41) :46 An-Nisa (4) : 40 dan Kahfi (18): 49.
B. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya.
Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.
C. Aliran Maturidiyah
Dalam hal keadilan dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yanhg dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.
Daftar Pustaka:
Abu Mansur Al-Maturidi, Kitâb at-Tauhîd, Tahqiq oleh Fathullah Khalif, Mesir: Maktabah Al-Islamiyah, 1979.
Al-Asy’ari, Al-Ibânah ’an Ushûl ad-Diyânah, Mesir: Idarah at-Tiba’ah Al-Mishriyah, tt,
——————-, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986
——————-, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi wa Auladuh,  1987, Juz. I
Tim Penerjemah Kitab Suci al-Quran Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007
Watt, W. Montgomery., Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987
Yunan Yusuf,  M., Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam HAMKA Dalam Tafsir Al-Azhar ,  Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar