POTRET PERKEMBANGAN HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR: ANALISIS DESKRIPTIF KOMPARATIF
A. Pendahuluan
Hampir
semua tulisan yang membahas masalah pembaruan dalam bidang hukum
keluarga menjelaskan bahwa adanya tersebut bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak wanita dan menjunjung statusnya, khususnya. Namun
demikian, sebenarnya tidak semua pembaruan ini bertujuanuntuk itu,
Tunisia mereformasi perundang-undangan hukum keluarga dengan tujuan
untuk unifikasi hukum keluarga. Tujuan lain dari pembaruan ini adalah
untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep fikih
tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Talak dan cerai yang
merupakan bagian dari kajian hukum keluarga tidak terlepas dari
pembaruan yang terjadi di berbagai negara. Dalam makalah ini akan
dibahas pembaruan hukum keluarga mengenai talak dan cerai di Indonesia
dan Mesir. Sebelum menjelaskan perkembangan hukum talak dan cerai di dua
negara ini, terlebih dahulu akan dibahas ketentuan-ketentuan talak dan
cerai dalam kazanah fikih, hususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanfi. Hal
ini dilakukan karena pada dasarnya perkembangan perundang-undangan yang
terjadi di dua negara tersebut berangkat dan mengacu pada aturan-aturan
yang terdapat dalam kitab fikih.
Pembahasan dalam tulisan ini
bersifat deskriptif komparatif, yaitu perbandingan antara perkembangan
ketentuan talak dan cerai dalam perundang-undangan hukum keluarga di
Indonesia dan di Mesir. Penulis sengaja memilih Mesir karena pada
dasarnya tujuan diadakannya pembaruan di dua negara ini sama, yaitu
untuk mengangkat status wanita. Selain itu, Mesir merupakan termasuk
negara yang paling awal dalam mereformasi perundang-undangan hukum
keluarga. Alasan lain adalah karena rata-rata kaum muslim di dua negara
ini menganut madzhab yang sama, yaitu Syafi’i dan Hanafi.
B. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Kazanah Fikih
Sebelum
adanya pembaruan Perundang-undangan Hukum Perkawinan di Indonesia,
aturan-aturan yang digunakan adalah aturan yang bersumber dari
kitab-kitab klasik. Dan karena mayoritas muslim Indonesia adalah
penganut madzhab Syafi’i, maka yang banyak menjadi rujukan adalah
kitab-kitab karya ulama Syafi’iyah. Kitab yang biasa dipelajari dan
dijadikan rujukan pengikut madzhab Syafi’i antara lain al-Umm, Minhaju
al-Thalibien, Kanzurraghibien dan syarahnya, Minhaj al-Thullab, Fath
al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, al-Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj,
al-Muhadzdzab, Kifayah al-Akhyar fath al-Mu’in, dan I’anah al-thalibien.
Dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama, tidak terkecuali dalam
hal yang berkaitan hukum keluarga ada tiga belas kitab utama yang
menjadi rujukan, yaitu, Bughyah al-Mustarsyidien, al-Faraid, Fath
al-Mu’in, fath al-Wahhab, Hasyiyah Kifayah al-Akhyar, al-Mughni
al-Muhtaj, Qawanin al-Syar’iyyah, Qawanin al-Syar’iyyah al-Mijallil
al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah, Syarh Kanz al-Raghibien, Syarqawi ‘ala
Tahrir, Tuhfat al-Muhtaj, Targhib al-Musytaq dan Kitab al-Fiqh ‘ala
madzahib al-arba’ah. Ketetapan rujukan ini berdasarkan Surat Edaran Biro
Peradilan No. B/1/735 Pebruari 1958.
Kalau kita cermati dan amati
dalam berbagai kitab fikih klasik, pada umumnya ulama-ulama fikih
berbeda pendapat dalam penetapan hukum suatu kasus. Tidak terkecuali
dalam hal putusnya perkawinan. Perbedaan pendapat ulama ini bisa
dipahami, karena metode ijtihad dalam penetapan hukum juga terdapat
perbedaan di kalangan ulama, perbedaan penafsiran nash dan perbedaan
sosio-kultural di masa mereka hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan
jika terjadi perbedaan dalam hal putusnya perkawinan.
Putusnya
perkawinan, menurut kalangan Malikiyah pada umunya disebabkan oleh
talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zhihar . Menurut kalangan
Hanafiyah putusnya perceraian disebabkan oleh talak, khulu’ila’ dan
zhihar . Sedangkan menurut Syafi’i di antara sebab-sebab terjadinya
perceraian antara lain talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ zhihar
dan li’an. Secara garis besar hal-hal yang menyebabkan putusnya
perkawinan dalam kazanah kitab fikih yaitu:
Pertama, talak. Talak
adalah lepasnya ikatan tali pernikahan dengan kata talak dan sejenisnya.
Dasar hukum talak antara lain QS, Al-Baqarah ayat 229 ; surat
al-Thallaq ayat 1 . Dasar hukum lain adalah dari hadis yang
artinya”perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” . Dalam
kazanah fikih, hak untuk men-talak hanya dimiliki oleh suami. Hal ini
menurut al-Zuhaili disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya,
secara psikologis wanita lebih mengedepankan perasaan, sedangkan
perasaan wanita cukup lembut, sehingga apabila wanita mempunyai hak
talak ia akan mudah mengucapkannya meskipun hanya dengan sebab yang
sepele atau alasan yang tidak signifikan. Kedua, kaum laki-laki, dalam
hal ini adalah suami mempunyai tanggung jawab yang besar, mulai dari
mahar, nafkah, nafkah pada waktu iddah dan lain-lain.
Dari segi
akibat hukumnya, Imam Syafi’i membagi talak menjadi talak bai’n kubra
atau talak tiga, yaitu pertama, talak tiga, kedua, talak ba’in, dan
ketiga talak raj’i. Akibat hukum dari talak ba’in kubra adalah tidak
diperbolehkannya ruju’ kecuali bekas istri telah dinikahi oleh laki-laki
lain didukhul kemudian dicerai. Setelah masa iddah dengan laki-laki
lain maka baru boleh ruju’ dengan suami yang telah menalak tiga. Selain
itu, apabila terjadi talak ba’in kubra maka isteri tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari bekas suami. Sedangkan akibat
hukum dari talak raj’i adalah suami masih berhak untuk ruju’ dan suami
tidak boleh mengusir istri dan istri dilarang keluar rumah kecuali ada
alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Kedua, khulu’. Khulu’ Imam
Syafi’i mendefinisikannya sebagai talak yang dijatuhkan oleh suami
dengan syarat sang istri memberikan tebusan (iwadh). Sedangkan menurut
kalangan Malikyyah khulu’ sama halnya dengan talak ba’in. Begitu juga
dalam hal akibat hukumnya, kalangan Syafi’i juga berpendapat bahwa
khulu’ tidak ada ruju’ dan sang istri tidak berhak mendapat tempat
tinggal. Dasar hukum khulu’ antara lain, QS: al-Baqarah ayat 229 ;
al-nisa’ ayat 4 dan ayat 128 .
Menurut Maliki, khulu’ ini dapat
diwakili oleh wali atau orang lain. Adapun syarat-syart khulu’ yaitu:
1) suami harus cakap hukum; 2) status wanita yang menuntut cerai adalah
istrinya yang sah; 3) ganti rugi merupakan barang berharga yang juga
dapat dijadikan mahar.
Ketiga, fasakh. Menurut kalangan Syafi’iyah
fasakh adalah perpisahan atau perceraian suami dengan istri yang
diakibatkan oleh alasan-alasan tertentu, seperti antara suami dan istri
ternyata masih mahram, yang mengakibatkan suami dan istri haram untuk
menjalin ikatan sebagai suami istri. Mengenai hal penyebab terjadinya
fasakh, terdapat perbedaan di antara ulama. Menurut Imam Malik fasakh
terjadi apabila salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit gila,
kudis dan penyakit kelamin yang fatal, seperti impoten. Sedangkan
menurut Syafi’i penyebab terjadinya fasakh yaitu: pertama, nikah fasid
atau nikah yang tidak dah karena alasan syar’i. kedua, karena suami
tidak dapat memberikan nafkah dan ketiga, apabila sebelum pernikahan
disyaratkan perawan, namun setelah pernikahan ternyata sang istri sudah
janda. Adapun akibat hukum dari terjadinya fasakh adalah tidak ada
ruju’, dan kemungkinan untuk berkumpul kembali hanya dengan nikah baru;
istri tidak berhak mendapat tempatkan nafkah dan tempat tinggal.
Keempat,
syiqaq, yaitu percekcokan yang terjadi antara suami dan istri. Proses
yang seharusnya dilalui dalam syiqaq adalah dengan mengangkat juru damai
dari masing-masing pihak dan tetap mendatangkan pihak-pihak yang
bersangkutan.
Kelima, nusyuz, yaitu meninggalkan kewajiban
bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras
terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan
haknya. Menurut Syafi’i ada perbedaan antar nusyuz suami dan istri.
Apabila yang nusyuz suami maka jalan keluar yang ditempuh adalah dengan
perdamaian. Sementara apabila yang nusyuz istri maka dapat ditempuh
dengan tiga jalan keluar, menasehati, membiarkan sendirian di tempat
tidur atau memukul. Namun untuk memukul harus ada syarat yang harus
dipenuhi.
Keenam, ila’; menurut Hanafi ila’ adalah sumpah yang
disertai nama Allah atau salah satu dari sifat-Nya bahwa suami tidak
akan menggauli istrinya selama waktu tertentu. Sedangkan menurut Syafi’i
ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak menggauli istri
secara mutlak (tidak terbatas waktu) atau lebih dari empat bulan dengan
menggunakan kata Allah maupun salah satu nama-Nya. Dasar hukum ila’
antara lain dalah surat al-baqarah ayat 226-227 .
Menurutt Hanafi
syarat ila’ adalah 1) wanita yang disumpah masih berstatus istri; 2)
suami cakap hukum atau sah talaknya; 3) tidak terikat dengan tempat; 4)
lafzh ila’ tidak terkait dengan bagian tubuh istri; dan 5) suami tidak
menggauli istrinya selama empat bulan.
Ketuju, li’an, yaitu tuduhan
suami terhadap istri bahwa ia telah berzina. Dasar hukum li’an adalah
surat al-Nur ayat 6-8.. Menurut Hanafi li’an harus 1) di hadapan hakim;
2) dilakuan stelah diminta oleh hakim; 3) lafazh li’an diucapkan lima
kali dan sumpah; 4) lafazh li’an sesuai dengan tuntuna Al-Quran; 5)
proses pengucapan dimulai empat kali ucapan sumpah kemudian diikuti
dengan melaknat, dan )boleh menunjuk pihak lain.
Kedelapan, zhihzar,
yaitu menyerupakan istri dengan wanita yang menjadi mahram suami,
seperti ibu, saudara perempuan kandung dan lain-lain, baik menyerupakan
secara keseluruhan, maupun hanya sebagian anggota tubuh. Dasar hukum
zhiharantara lain surat al-Mijadalah ayat 2 dan surat al-Maidah ayat 89
. Akibat hukum dari zhihar yaitu 1) suami tidak boleh menggauli istri
dan 2) istri berhak meminta digauli dan berhak menolak.
Dari
kedelapan hal-hal yang dapat mengakibatkan putusnya perceraian di atas,
hampir semuanya berada pada kendali suami. Bahkan pada talak, di dalam
kitab-kitab fikih tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai
sebab-sebab yang membolehkan suami untuk men-talak istrinya. Dan dari
sekianbanyak sebab putusnya perceraian hanya satu yang berada dalam
kendali istri, yaitu khulu’. Meskipun khulu’ menjadi hak istri, itupun
masih harus melalui ketentuan yang melibatkan suami. Ketentuan fikih
juga tidak mengatur proses perceraian. Perceraian tidak harus dilakukan
di depan sidang pengadilan atau di depan hakim.
C. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di Indonesia
Munculnya
ide pembaruan Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di berbagai Negara
muslim dewasa ini tidak terlepas dari banyaknya masukan dari pemikiran
kaum intelektual, khususnya yang telah banyak belajar ke dunia Barat.
Para intelektual ini menekankan pentingnya pembaruan Perundang-Undangan
Hukum Keluarga yang selama ini berpijak pada kitab-kitab fikih abad
pertengahan atau kitab klasik agar lebih menekankan pada realitas
sosio-kultural masyarakat.
Pada dasarnya pembaruan Hukum Perceraian
di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara muslim
lainnya, seperti Turki, Mesir, Tunisia, Maroko, Syiria, Irak dan
lainnya. Namun demikian apa yang pembaruan yang terjadi di Indoensia
lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, seperti
Filipina, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand.
1. Sebab-sebab perceraian
Pasal
38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena, 1)
kematian, 2) perceraian, dan 3) atas putusan Pengadilan. Mengenai
putusnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan adalah
apabila salah satu pihak suami atau istri bepergian dalam waktu yang
cukup lama tanpa ada kabar yang jelas. Undang-undang ini tidak
menjelaskan berapa lama waktu yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk
memutuskan cerai. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan berapa jangka
waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang
itu. Namun demikian hal ini akan jelas apabila merujuk pada pasal 493
Hukum Perdata.
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 disebutkan hal bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
d) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e)
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
KHI tampaknya menggunakan alur UU.No. 1/1974, walaupun
pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan
yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI.
Dalam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: 1)
Kematian, 2) Perceraian dan 3) Atas putusan Pengadilan. Pasal
selanjutnya, pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
Di sini kita bisa mencermati bahwa KHI
menambahkan talak dalam hal yang mengakibatkan perceraian. Hal ini
berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1/tahun 1974 yang tidak
mengenal istilah talak, kemudian disebutkan dalam pasal 117 bahwa yang
dimaksud talak adalah:
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan pasal 131.
Di sini
KHI mensyaratkan ikrar talak harus disampaikan di depan sidang
Pengadilan Agama. Hal ini senada dengan yang disebutkan dalam pasal 66
ayat (1) UU No. 7/1974.
Adapun yang menjadi alasan perceraian
dijelaskan dalam pasal 116 yang menyebutkan bahwa perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-trut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e)
Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f) Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g) Suami melanggar taklik talak;
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya keidak rukunan dalam rumah tangga.
Berbagai
alasan yang disebutkan pada poin-poin di atas merupakan alasan untuk
permohonan cerai talak. Untuk poin terakhir, (k), yaitu permohonan cerai
karena terjadi percekcokan terus menerus (syiqaq) dalam pasal 76 UU No.
7/ 1989, ayat 1) apabila gugatan perceraian berdasarkan atas alasan
syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar
keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang
dekat suami istri.” Ayat (2) “pengadilan setelah mendengar saksi tentang
sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau
lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi
hakim.”
Kemudian tentang permohonan cerai yang berdasarkan li’an
dijelaskan dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 7/ 1989 yang berbunyi “Apabila
permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak
melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan
hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan bukan tiada pembuktian
sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diperoleh
baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat,
maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau tergugat untuk
bersumpah.
Berangkat dari pasal 116 KHI, ada tambahan dua sebab
perceraian dibanding dengan pasal 19 PP No. 9 /tahun 1975 yaitu sumi
melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini cukup penting, karena
pada Undang-undang yang lain tidak disebutkan. UU No. 1/1974 juga tidak
menyinggung masalah murtad sebagai alasan perceraian. Penyebutan murtad
sebagai salah satu sebab perceraian merupakan suatu kemajuan. Dengan
demikian apabila salah satu pihak suami atau isteri keluar dari agama
Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada
pengadilan.
Selanjutnya KHI menyebutkan aturan-aturan tentang talak
pasal 118 - pasal 123. Dalam KHI disebutkan pembagian talak kepada talak
raj’I, talak bainsughra dan talak bain kubra. Yang dimaksud dengan
talak raj’I adalah adalah talak ke satu atau kedua, di mana suami berhak
rujuk selam istri dalam masa iddah.. sedangkan talak ba’in sughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru
dengan bekas suamimya meskipun dalam iddah. Talak ba’in sughra yang
dimaksud di sini adalah talak yang terjadi qabla dukhul, talak dengan
tebusan atau khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga
kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul
dan habis masa iddahnya.
2. Proses perceraian
Menurut UU.No. 1/1974 perceraian harus dilakukan depan sidang Pengadilan, UU ini menjelaskannya dalam pasal 39 yang menyatakan:
(1)
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Di
dalam UU No. 7 tahun 1989 pasal 65 tentang Peradilan Agama dijelaskan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan di dalam KHI pasal 115
dinyatakan:
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai talak harus diajukan ke pengadilan, hal ini berdasarkan UUPA No. 7/1989 pasal 66:
a.
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya, meliputi
tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c.
Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
pemohon.
d. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dengan UUPA No. 7/1989 yang tidak memuat aturan tatacara pelaksanaan talak, KHI mengaturnya dalam pasal 129:
Seorang
suami yang akan menjatuhjan talak kepada istrinya mengajukan permohonan
baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal istri disertai dengan alasan meminta agara diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa
dalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang
hendak menalak istrinya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama. Permohonan tersebut dapat berupa lisan maupun tulisan dan harus
disertai dengan bukti-bukti. Dan hal yang paling berbeda dengan
ketentuan dalam fikih adalah perceraian yang sah adalah perceraian yang
dilakukan di depan sidang, hal ini diatur dalam pasal 39 UUP No. 1/1974,
UUPA No. 7/1989 dalam KHI pasal 115.
Menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan dalam PP No. 9/1975 pasal 17 sebagai berikut:
Sesaat
setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan
tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kan
kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan
pencatatan perceraian.
Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa
perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan. Hal ini senada dengan yang dituangkan dalam KHI pasal
123:
perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Mengenai
cerai gugat atau khulu’, gugatan perceraian harus diajukan oleh istri
atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat, kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami. Cerai gugat hanya boleh dilakukan apabila
disertai dengan alasan-alasan yang tepat, seperti suami meninggalkan
istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istrinya tanpa alasan
yang sah atau suami seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban
kepada istrinya, sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah.
Dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib menggauli suami dengan baik
dania berhak untuk khulu’. Penjelasan mengenai khulu’ ini terdapat
dalampasal 148 KHI.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
apa yang ditetapkan dalam undang-undang hukum keluarga telah mengalami
kemajuan yang cukup signifikan apabila dibanding dengan ketetapan yang
ada dalam kitab-kitab fikih. Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu
untuk mengangkat status sosial wanita juga sudah tampak, ini dapat kita
cermati bahwa dalam kitab-kitab fikih tidak menjelaskan alasan-alasan
bagi suami untuk menjatuhkan talak. Sedangkan dalam perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, khusunya sekarang, untuk menjatuhkan talak
harus ada alasan yang dikuatkan dengan saksi-saksi. Permohonan talak
dengan alasan apapun harus diajukan ke pengadilan serta harus diucapkan
di depan sidang. Terjadinya perceraian baik dengan talak maupun gugat
cerai terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Namun demikian pada umumnya
perundang-undangan yang ada belum secara total menjunjung hak-hak dan
martabat wanita, karena masih banyak pasal yang bisa gender, seperti
dalam masalah iddah. Hal ini dapat dipahami karena pada umunya pembaruan
perundang-undangan di Indonesia masih bertumpu pada ketentuan fikih.
D. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum Keluarga di Mesir
Pada
umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Maka tidak
mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum
keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya
sebelum terjadi pembaruan.
Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal
melakukan pembaruan Perundang-Undangan Perkawinan. Mesri juga lebih
sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti
perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan semua
pihak.
1. Sebab-sebab perceraian
Undang-Undang Mesir tidak
memberikan legitimasi kepada istri untuk menuntut cerai kecuali ada
kekerasan atau suami mengalami kelainan atau penyakit seksual seperti
impoten. Madzhab Hanafi memang agak kaku (rigid), istri harus menahan
diri perceraian, jadi harus menghindari perceraian semaksimal mungkin.
Hal ini berbeda dengan tiga madzhab lainnya, terutama madzhab Maliki
yang lebih mengedepankan rasio dan liberal.
Pertama kali terjadi
pembaruan pada Undang-undang Hukum Keluarga di Mesir adalah pada tahun
1915, pada masa daulah Utsmaniyah. Dalam irada, Sultan menetapkan bahwa
istri dapat menuntut cerai apabila suami meninggalkan istrinya. Dalam
irada lain ditetapkan bahwa seorang istri dapat meminta cerai dengan
alasan bahwa suami mengidap penyakit yang menyebabkan tidak mungkin
hidup bersama sebagai suami istri. Kemudian pada tahun 1917 Sultan
mengeluarkan ketetapan kembali melalui The Ottaman Law of Family Rights
yang menyatakan bahwa diperbolehkannya taklik talak bagi istri dan suami
tidak boleh nikah lagi dengan wanita lain. Ketetapan ini merupakan
ketetapan pertama yang menjadi acuan pembaruan perundang-undangan hukum
keluarga.
Perkembangan selanjutnya adalah ketika Mesir menetapkan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1920. dalam Undang-undang ini ditetapkan
bahwa pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami tidak
mampu memberi nafkah, begitu juga apabila suami mengidap penyakit yang
membahayakan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk
menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan dua hal
yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
1. Apabilas suami tidak mampu untuk memberikan nafkah;
2. Apabila suami mempunyai penyalkit menular atau membahayakan;
3. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami;
4. Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama.
Menurut
Khoiruddin Nasution, hal ini berarti bahwa Undang-undang tahun 1920
memberdayakan pengadilan dan memperluas definisi penyakit membahayakan,
sedangkan Undang-undang tahun 1929 memberdayakan pengadilan.
Pasal 2
UU No. 25 tahun 1929 disebutkan bahwa talak yang diucapkan sebagai
sumpah atau ancaman itu selayaknya dianggap mempunyai akibat hukum
apabila suami yang bersangkutan benar-benar menghendakinya. Dan di dalam
pasal 3 disebutkan bahwa istri berhak mengajukan cerai apabila dirasa
jika rumah tangga tetap diteruskan akan membahayakan istri. Dan apabila
terjadi pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam
keadaan seperti ini pengadilan berhak menetapkan perceraian.
Dalam
hal suami meninggalkan istri, UU tahun 1929 menyatakan bahwa apabila
suami meningglkan istri selama satu tahun atau lebih tanpa ada alasan
yang jelas dan tanpa keterangan, maka istri berhak menuntut cerai.
Apabila ternyata suami kembali, sebelum terjadi perceraian, maka ia
harus meyakinkan istri untuk meneruskan rumah tangga dan apabila gagal
maka pengadilan berhak menetapkan perceraian.
Pada bulan Juli 1979
Mesir menetapkan Undang-undang No. 44 yang di dalamnya menyatakan bahwa.
Amandemen ini berisi lebih jauh mengenai amandemen hukum keluarga. Di
antara isinya adalah istri harus diberi tahu ketika suami akan
melangsungkan poligami, atau poligami harus mendapatkan izin dari istri,
dan apabila istri tidak mengizinkan maka ia berhak menuntut cerai.
Apabila suami menyembunyikan fakta dari istri kedua bahwa dia telah
beristri maka istri kedua berhak menuntut cerai.
2. Proses perceraian
Mesir
selalu berusaha memperbarui undang-undang hukum keluarga untuk
mengangkat status wanita. Namun demikian tidak selalu berhasil. Pada
tahun 1943 dan 1945 menteri Sosial menyiapkan draf yang di dalamnya
menyebutkan bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan istrinya setelah
mendapat izin dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan
perceraian yang tidak diizinkan hakim. Pasal 2 menyebutkan bahwa hakim
hanya memberikan izin perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak
berhasil. Orang yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman
kurungan atau denda, meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draf
ini ditolak, Karena ditentang oleh sejumlah ulama.
Perkembangan
selanjutnya yaitu pada tahun 1985. Dalam pasal 5 Undang-undang No. 100
tahun 1985 dinyatakan bahwa perceraian harus dicatatkan dalam sebuah
sertifikat yang ditandatangani oleh notaris yang berwenang, 30 hari
setelah terjadi perceraian. Keberadaan istri harus diperhatikan kalau
hadir pada waktu membuat sertifikat. Kalau tidak hadir, istri harus
dikirimkan salinan sertifikat dan pihak-pihak lain yang dianggap penting
sesuai dengan prosedur yang ada, dan harus ditetapkan Menteri
Kehakiman. Akibat perceraian terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.
Pada Januari 2000, pemerintah Mesir mengamandemen undang-undang,
apabila terrjadi ketidakcocokan maka istri berhak menggugat cerai
(khulu’). Jadi istri dapat menuntut cerai tanpa harus menunggu keputusan
pengadilan yang dibuat berdasarkan bukti-bukti substantif dan
keterangan pendukung berkaitan perlakuan tidak baik oleh suami.
Sebaliknya, permohonan cerai berdasarkan undang-undang ini menetapkan
bahwa istri sebaiknya mengembalikan mahar.
E. Analisis Komparatif
Dalam
sub bab ini penulis tidak menganalisis ketentuan talak dan cerai dalam
kitab-kitab fikih konvensional, karena pembahasan ketentuan dalam
kitab-kitab tersebut hanya sebagai pijakan pembahasan perkembangan hukum
talak dan cerai dalam perundang-undangan di Indonesia dan Mesir. Dalam
sub bab ini hanya aka menganalisa ketentuan yang berlaku di dua negara
di atas. Namun demikian, pad dasarnya di sinilah letak persamaanantara
Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Mesir, yaitu keduanya
berangkat dan berpijak pada kitab-kitab fikih kovensional. Bahkan
madzhab mayoritas masyarakat kedua negara ini sama, yaitu madzhab
Syafi’i.
Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum
keluarga, khususnya mengenai cerai dan talak. Sama dengan Indonesia,
tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk meningkatkan status
wanita. Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini
maka suami tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap
istri. Karena suami harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang
alasan permohonan talaknya. Selain itu talak harus melalui proses
sertifikasi. Berkaitan dengan gugat cerai, istri juga diberi hak yang
lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan khulu’. Begitu juga apabila
suami pergi meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas, suami mengidap
penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah maka ia dapat mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan.
1. Sebab-sebab perceraian
Dari
aspek sebab-sebab perceraian perundanga-undangan perkawinan di Indonesia
lebih luas, setidaknya ada delapan poin yang menjadi penyebab
perceraian dalam perspektif Perundang-undagan Perkawinan di Indonesia.
Perundang-undangan Mesir hanya menyebutkan enam poin yang sebagaiman
dijelaskan di atas.
Selain itu, ketentuan talak dan cerai dalam
Perundang-undangan Indonesia mencakup hal-hal yang bersangkutan dengan
isteri dan juga suami. Sehingga penyebutan dalam pasal-pasal dengan
menggunakan kata “salah satu” (salah satu suami atau istri). Hal ini
berbeda dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan perkawinan di Mesir
yang menggunakan kata “apabila suami”. Jadi yang menjadi obyek
pembahasan penyebab perceraian hanya suami. Hal ini seolah-olah yang
menjadi penyebab perceraian hanya bisa terjadi pada diri susmi. Padahal,
tidak demikian, baik suami maupun istri bisa saja melakukan perbuatan
yang dapat menyebabkan terjaidnya perceraian.
Perbuatan zina,
perlakuan yang kejam, dipenjarakan selama lima tahun atau lebih,
kemurtadan salah satu pihak suami atau istri, menurut Perundang-undangan
Hukum Perkawinan di Indonesia menjadi penyebab terjadinya perceraian.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Mesir yang tidak
menjelaskan hal-hal tersebut. Namun demikian, dalam ketentuan yang
berlaku di Mesir menyebutkan bahwa apabila suami tidak dapat memberikan
nafkah maka hal ini bisa menjadi penyebab perceraian. Dan tentunya
dengan pengajuan gugatan cerai oleh pihak istri.
Selantnya,
Perundang-Undangan Perkawinan Mesir tidak menjelaskan tentang kematian
sebagai penyebab putusnya tali pernikahan. Hal ini berbeda dengan
Perundangang-undangan di Indonesia yang menyebutkan kematian sebagai
penyebab perceraian. Namun menurut penulis kematian tidak cukup urgen
untuk disebutkan dalam pasal-pasal sebagai penyebab perceraian, karena
apabila salah satu pihak meninggal maka secara otomatis perkawian
berakhir.
Dalam hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain -
kalau dalam Perundang-Undangan Mesir disebutkan apabila suami pergi
meninggalkan pihak lain- dari segi waktu, tenggat waktu yang disebutkan
dalam Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia lebih lama, yaitu
selama dua (2) tahun. Hal ini berbeda dengan yang berlaku di Mesir
yanghanya memberikan waktu satu tahun. Menurut penulis, waktu satu tahun
terlalu cepat atau terlalu singkat untuk dijadikan penyebab putusnya
perkawinan. Seharusnya ditinjau dari kemampuan masing-masing pihak untuk
tidak mendapatkan pelayanan, kalau pada istri, apakah dia mampu
bertahan ketika selama satu tahun tidak mendapatkan nafkah dari suami.
Kalau memang masih dapat bertahan mengapa ditinggalkan selama satu tahun
menjadi penyebab perceraian. Begitu juga waktu dua tahun sebagaimana
yang disebutkan dalam perundang-undangan atau ketentuan talak dan cerai
di Indonesia. Kalau ditinggalkan selama dua tahun masih bisa
bertahan,megapa harus terjadi perceraian.
Yang menarik dari
perundang-undangan perkawianan Mesir adalah dalam istri yang tidak
setuju dengan poligami suami, maka istri pertama dapat menggugat cerai.
Begitu juga apabila suami tidak berterus terang tentang statusnya dengan
istri pertama, maka istri kedua juga bisa menggugat cerai. Hal ini
tidak disinggung sama sekali alam Perundang-undangan Perkawinan di
Indoneisia. Hanya saja apabila suami akan melaksanakan poligami harus
mendapatkan izin dari istri pertama dengan mengajukan bukti-bukti yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Proses perceraian
Dalam hal
proses perceraian, ada sedikit perbedaan antara ketentuan yang berlaku
diIndonesia dan Mesir. Ketentuan yang berlaku di Indonesia menyatakan
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan dan harus disertai
dengan bukti-bukti. Sedangkan ketentuan yang berlaku di Mesir tidak
mensyaratkan pengajuan permohonan, namun hanya mensyaratkan pencatatan
tentang terjadinya perceraian. Selain itu, pengadilan menuntut adanya
bukti-bukti yang menjadi alasan dilaksanakannya ikrar talak atau cerai.
Sedangkan di Mesir pembuktian ini tidak disinggung.
Di samping hal
di atas, Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia hanya mengakui
perceraian itu sah apabila dilakukan di depan sidang di Pengadilan.
Sedangkan ketentuan Mesir tidak secara jelas menssyaratkan itu. Akan
tetapu hanya menyatakan bahwa perceraian harus didaftarkan untuk
mendapatkan sertifikat cerai. Sertifikat tersebut harus ditandatangani
oleh notaris yang berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian.
Dari
sini dapat kita ketahui bahwa dalam Perundang-undangan perkawinan,
Pengadilan gama mempunyai otoritas yang cukup kuat dalam menentukan
putus tidaknya suatu perkawinan. UUP No. 1 /1974, UUPA No. 7/1989, PP
No. 9/1975 dan KHI menyatakanbahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Menurut Alyasa Abu
Bakar, aturan-aturan perceraian yang terdapat dalam Perundang-Undangan
Perkawinan Indonesia seperti UUP dan UUPA berikut penjelasannya masih
mengandung beberapa persoalan mendasar. Setidaknya ada empat kesimpulan
yangia kemukakan setelah mencermati perundang-undangan perkawinan
diIndonesia, Pertama, perceraian dilakukan oleh para pihak sendiri,
dalam hal ini adalah suami. Pengadilan hanya menyaksikan dan memberikan
keterangan tentang terjadinya perceraian. Kedua, perceraian dan sidang
pengadilan harus dilakukan dalam rangka untuk itu, apabila penyaksian
pengadilan di luar sidang maka perceraian tidak sah. Ketiga, secara
implisit dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut baru boleh dilakukan
apabila telah mendapat izin dari Pengadilan. Keempat, perceraian
dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami di depan sidang pengadilan
tersebut.
Ketentuan Indonesia menyatakan bahwa sesaat setelah
dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, maka Ketua
Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian
tersebut. Surat keterangan itu dikirim kan kepada Pegawai Pencatat di
tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Jadi,
pihak yang bersangkutan, baik suami maupun istri tidak mendapatkan
sertifikat atau akte cerai, tapi hanya mendapat salinan Putusan
Pengadilan tentang terjadinya talak perceraian. Hal ini berbeda dengan
ketentuan yang berlaku di Mesir yang memberikan sertifikat Cerai kepada
masing-masing pihak.
Hal lain yang membedakan antara ketentuan
indonesia dan Mesir adalah tentang mulai dihitungnya atau berlakunya
ketetapan perceraian. Dalam ketentuan Indonesia (PP No. 9/1975 pasal 17
dan KHI pasal 123) dinyatakan bahwa “Perceraian itu dihitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.” Hal ini berbeda
dengan ketentuan Mesir (Undang-undang No. 100 tahun 1985 pasal 5) yang
di antara isinya menyebutkan bahwa. Akibat perceraian terhitung dari
tanggal sertifikat tersebut.
F. Kesimpulan
Ketetapan mengenai
hukum keluarga, khusunya yang berkaitan dengan talak dan cerai yang
terdapat dalam kitab-kitab fikih pada umumnya bias gender. Hal ini dapat
dipahami, karena fikih disajikan tidak mengenal perbandingan dengan
kebudayan-kebudayaan lain. Fikih berkembang secara kasuistik tanpa
rencana dan sistem dan tidak mempunyai teori mengenai hukum, politik
atau ekonomi. Selain fikih kurang memberikan kebebasan kepada
fuqaha,karena situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Pada umumnya
ulama madzhab menyetujui hak talak mutlak suami, sementara istri hanya
mempunyai hak khulu’. Dengan demikian suami secara mutlak dapat
menceraikan istrinya, sementara kalau istri ingin cerai tetap harus
melibatkan suami.
Pembaruan Perundang-Undangan Hukum keluarga, dalam
hal ini yang berkaitan dengan talak dan cerai, baik di Indonesia maupun
di Mesir masih bertumpu pada ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih,
sehingga masih perlu terus dikembangkan sampai Undang-undang tersebut
benar-benar menjunjung hak-hak dan statusnya. Namun demikian, sudah
banyak kemajuan dalam hal talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di
Mesir Harus melibatkan pengadilan. Selain itu semua proses perceraian
harus di bukti bukti pembenar dan perceraian dihitung sejak
dikeluarkannya surat cerai, kalau di mesir sertifikat cerai.
Ada
beberapa perbedaan dan persamaan antara Perundang-Undangan Hukum
Perkawinan, khususnya mengenai talak dan cerai yang berlaku Mesir di
Mesir dan di Indoensia, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian
dalam pengamatan penulis sisi perbedaan keduanya lebih banyak dari pada
persamaannya, baik tentang sebab-sebab perceraian maupun tentang
prosesnya. Sebab-sebab yang disebutkan dalam perundang-Undangan
Indonesia lebih lengkap dan melibatkan suami istri sebagai obyek
pembahasannya. Hal ini berbeda dengan Perundang-undangan di Mesir kurang
lengkap dan cenderung lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan
dengan suami sebagai penyebab perceraian. Begitu juga dalam proses
perceraian. Dalam perundang-undangan Indonesia, Pengadilan mempunyai
peran yang cukup dominan dalam menentukan perceraian. Sedangkan di Mesir
tidak demikian.
Sebagai penutup, menurut hemat penulis, dalam
konteks era modern sekarang ini Perundang-Undangan Perkawinan tentang
talak dan cerai Indonesia lebih relevan dibandingkan dengan Mesir.
Karena dalam ketentuan di Indonesia, Pengadilan mempunyai peran yang
cukup signifikan demi adanya kepastian hukum. Kehadiran pengadilan dalam
proses perceraian sebagai penengah dan pengawas agar tidak melenceng
dari ketentuan dan menghindari kesewang-wenangan terhadap salah satu
pihak oleh pihak yang lain. Selain itu agar hak masing-masing pihak
lebih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1995.
al-Syafi’i, al-Umm, Beirut: Dar al-kutub al-‘ilmiyyah, 2002.
Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Uu No. 1/1974 sampai
KHI, Jakarta: Kencana, 2004.
Atho’ Mudhar dan Khoiruddin Nasution (editor), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Bhader Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Cik Hasan Bisri, [penyunting], Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999.
Dawoud
El Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of
the arab World, London, the Hague, Boston: Kluwer Law International,
1996.
http://kompas.com/kompas-cetak/0608/16/nasional/2887656.htm accesed 16.30:3/12/2006
J.N.D. Anderson, Recent Development in Syaria Law V, New York: New York University Press, 1959.
John, L. Esposito, Women in Muslim Family law, Syracuse University Press, 1982.
Khoiruddin
Nasution, Status Waita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorperation in Islamic
Studies [INIS], 2002.
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indoensia, Bandung; Alumni, 1982.
Syamsuddin al-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1989.
Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, Bombay: NM. TRIPATI PVT. LTD, 1972.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashirah, 2002.
Home » Unlabelled » POTRET PERKEMBANGAN HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR: ANALISIS DESKRIPTIF KOMPARATIF
0 komentar:
Posting Komentar