Rabu, 08 Januari 2014

Al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam

Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin). Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.
Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan,  dan sebagainya. Islam juga satu-satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan. Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan  Islam – yang juga diamanahkan kepada para penguasanya – adalah membangun manusia-manusia Muslim yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz,  dalam bidang pemerintahan?
Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud.  Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).

Pelopor Ilmu Kenegaraan
Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia. Dr. Muhammad Hamidullah,  dalam bukunya The Prophet’s Establishing a State and His Succession (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul The First Written-Constitution in the World” untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.
Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah melahirkan karya-karya  besar dalam  bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-Siyar  al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof. Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘The Islamic Law of Nations’ (Baltimore: The John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang ilmu hubungan internasional jauh melampaui ilmuwan Hugo Grotius (m. 1645) yang dianggap sebagai peletak dasar hukum internasional saat ini. Tetapi, meskipun demikian, bisa ditanyakan kepada para mahasiswa kajian hubungan internasional di banyak universitas Islam, apakah mereka mengenal nama Imam Syaibani atau tidak.
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik, misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002). 
Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang berisi pemikiran dan strategi “westernisasi” umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus  dibatasi ‘untuk kepentingan bersama’, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa “peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya” agar supaya dengan jalan ini – dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran – dapat memperoleh kesempatan “asosiasi” kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.

Al-Ahkam al-Sulthaniyah
Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini – sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya – kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam. Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.
Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya, menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Bagi pemuja paham demokrasi, pemikiran al-Mawardi mungkin akan dicemooh. Padahal, sejak zaman Yunani Kuno, demokrasi adalah sistem yang dibenci. Demokrasi menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.”  
Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 ‘keledai’. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq.
Aristoteles (384-322 BC), murid  Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity.  Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. (Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci. Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar