Rabu, 15 Januari 2014

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
A.    Pendahuluan
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu produk dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan antar faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa mekanisme perubahan lainnya, seperti faktor-faktor teknologi, ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan politik, serta masalah struktural (structural strains).  Semua mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal saling berhubungan.  Hal itu juga terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect relationship).
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan pernah terlepas dari adanya kebutuhan dalam  menunjang kelangsungan kehidupan mereka, oleh sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan saling memiliki kepentingannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan dan mengejar kepentingan mereka, jadi tidak mustahil akan sering terjadi konflik di antara manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut, disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah. Dari needs dan problem itu, kemudian hukum hadir untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan mengejar kepentingannya masing-masing (Mertokusumo, 2005: 3)
Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di dalam Undang-Undang, sebagai aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam kajian tentang budaya hukum (Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu disitu difungsikan sebagai motor keadilan, kemudian dalam berbagai kajian lainnya terkadang hukum disebut sebagai institusi sosial, dan juga sebagai alat rekayasa sosial, bahkan sebagian orang menyatakan hukum itu sebagai mitos dari kenyataan. Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan hukum tersebut. Namun ada hal yang menarik dalam kajian sosiologi hukum, yaitu ketika melihat prilaku manusia sebagai hukum. Sebagaimana dipaparkan oleh Satjipto Rahardjo (2009: 20), maka akan diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai hukum, dimana hukum itu tidak hanya diartikan sebagai peraturan (rule), tetapi juga prilaku (behavior).
Lawrence M. Friedman, sebagaimana di kutip oleh Saifullah, (2007: 26) yang menyatakan bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan), dan kultur hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang mendukung berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari modernisasi atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Dan bisa juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi hukum. Demikian halnya dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri. Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau sebaliknya. dan bagaimana peran social control dan social enginerring dalam perkembangan masayarakat tersebut.
B.     Dasar Pemikiran antara Perubahan Hukum dengan Perubahan Sosial
   Perubahan hukum menurut R. Otje Salman (1989: 82) pada hakikatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan yang terjadi di dalam masyarakat dengan pengaturannya oleh hukum. Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum timbul manakala kesenjangan tersebut sudah tidak dapat diterima lagi, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Sedangkan Satjipto Rahardjo memandang perubahan hukum sebagai suatu hal yang sangat penting, antara lain karena hukum pada saat sekarang ini umumnya memakai bentuk tertulis. Memang dengan bentuk ini kepastian hukum lebih terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal, yaitu berupa kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya (Rahardjo, 2000: 191).
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat.  Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara.  Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara, perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini.  Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya.  Dan masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh sebab itulah hukum dalam beberapa kejadian tersebut harus mengalami perubahan, atau harus direvisi kembali sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum.  Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial.  Namun perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial.  Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya (http://mjrsusi. wordpress.com).
 Dari situlah kemudian dapat dipahami bahwa perubahan hukum merupakan suatu konsekwensi yang terjadi pada sistem hukum, sehingga menurut sebagian kalangan menyatakan bahwa hidup matinya hukum itu bergantung pada perubahan sosial yang terjadi. Jadi perubahan hukum itu berfungsi menjembatani keinginan-keinginan manusia agar tidak timbul prilaku yang anarkis, destruktif, kondisi chaos, dan selainnya. Oleh sebab itulah perubahan hukum yang terjadi akan berujung pada pengaturan secara tertulis (sebagai suatu dokumen yang sah menurut hukum modern), sehingga siapapun harus tunduk pada apapun yang telah diatur dalam perubahan hukum tersebut (Saefullah, 2007: 27).
Sebagaimana telah disinggung oleh Max Weber, perkembangan hokum meteriil dan hokum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada charisma, sampai kepada tahap termaju dimana hokum disusun secara sistematis dan dijalankan oleh orang yang telah menjalankan pendidikan dan latihan dibidang hokum. Tahap-tahap perkembangan hokum yang kemudian oleh Max Weber disebut merupakan lebih banyak bentuk-bentuk hokum yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan social manakah yang berpengaruh kepada pembentukan hokum kepada tahap-tahap yang bersangkutan (Soekanto, 2009: 102-103).
Hal ini yang sama dapat pula ditafsirkan terhadap teori Max Weber terhadap tipe-tipe ideal dari system hokum yaitu yang irasional dan rasional. Dengan adanya birokrasi dimasyarakat industri yang modern maka, system hokum yang formal dan rasional timbul.  Dari dalam hokum tersebut maka diambillah suatu teori dasar yang berhubungan dengan perubahan social dan perubahan hokum. hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hokum, materi hokum dirumuskan secara terukur dan formal dan menciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus juga tidak setiap orang ,menjadi operator hokum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu. Hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan setruanya (Rahardjo, 2007: 13)
Akibat hokum berubah menjadi institusi artifisial dan makin menjauh dari rakyat atau masyarakat. Bagi masyarakat umum, hokum lalu menjadi dunia yang esoteric yang hanya bisa dimasukui oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hokum yang terstruktur, dan diadministrasi secara rasional itu, maka tidak lagi seseorang tidak dapat bergerak secara aman dan selamat dari masyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawing-pawang hokum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-haknya dan sebagainya kecuali disalurkan kedalam jalur hokum modern itu (Rahardjo, 2007: 13).
Seyogyanya hukum harus dapat mengayomi masyarakat, hukum harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Kemudian hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus terbentuk dengan berorientasi kepada masa depan (for word looking), bukan ke masa lampau (back word looking), oleh sebab itulah hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Fuady (2011: 52) yang jika dilihat dari perkembangan hokum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat, hokum dapat dibedakan sebagai berikut;
1.      Hokum social engineering
2.      Hokum progressive
3.      Hukum Slow Motion
4.      Hokum Stagnan
Gerakan dari empat model hokum tersebut berfungsi dan berkembang secara berbeda-beda, dengan konsekuensi yang berbeda-beda pula sebagaimana dalam table berikut;
Konsekuensi dari perkembangan hokum
Jenis Hukum
Perkembangan Masyarakat
Perkembangan Hukum
Konsekuensi
Hokum social enginerring
maju
Lebih maju
Rekayasa masyarakat
Hokum progresif
maju
Maju
Pembangunan
Hokum Slow Motion
Maju
Kurang maju
Mempertahankan pola/stabilitas
Hokum Stagnan
Maju
Tidak maju
Anarki/gejolak/roformasi
Hokum stagnan
Sangat maju
Sangat tidak maju
Revolusi social
Hokum Stagnan
Tidak maju
Tidak maju
Masyarakat terasing/uncivilized
Perubahan hokum dan perubahan masyarakat, ada dua macam perubahan hokum yaitu;
1.      Perubahan hokum yang bersifat ratifikasi. Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih dahulu berubah dan sudah mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian diubahlah hokum untuk disesuaikan dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta terjadi perubahan hokum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering ialah hokum sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hokum itu super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti iramanya sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendirir dijalan yang sunyi. Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hokum ini sering terjadi perubahan dalam bentuk perubahan undang-undang yang ada. Tetapi sekali-kali juga perubahan dalam yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya yurisprudensi belanda tahun 1919 yang mengubah paradigm pranata perbuatan hokum.
2.      Perubahan hokum yang bersifat proaktif. Dalam hal ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap perubahn dimaksud. Kemudian sebelum masyarakat mempraktikkan perubahan ynag dimaksud, hokum sudah terlebih dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat praktik perubahan masyarakat tersebut. dalam hal ini, berlakulah ungkapan “hokum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law as a tool social enginerring) (Fuadi, 2011: 52-55).    
   Teori yang lain yang, menghubungkan hokum dengan perubahan social adalah pendapat Hazairin sebagaimana dikutip Seokanto (2009: 110) tentang hokum adat. Didalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada tahun 1952 beliau berpendapat bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, seluruh lapangan hokum mempunyai hubungan dengan kesusilaan. Oleh karena itu, maka didalam system hokum yang sempurna, taka da tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Khususnya dalam hokum adat, ada hubungan langsung antara hokum dengan kesusilaan yang akhirnya meningkat menjadi hubungan antara hokum dengan adat. Adat merupakan endapan kesusilaan didalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat tersebut.
Oleh Hazairin dikatakan, bahwa kaidah-kaidah hokum merupakan kaidah-kaidah yang tidak hanya didasarkan pada kebebasan pribadi, akan tetapi secara serentak mengekang pula kebebasan tersebut dengan suatu gerakan maupun ancaman paksaan yang merupakan ancaman hokum atau penguat hokum. Dengan penjelsan tersebut Hazairin menghilangkan batas tegas disuatu pihak dengan kesusilaan dipihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah kesusilaan dan adat dibiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan ancaman serta dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu hukuman yang merupakan penguat hokum. Kemudian tentang isi hokum adat disesuaikan dengan paham masyarakat baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti hokum.
C.    Teori tentang perkembangan masyarakat dan keadaan hukumnya
Soerjono Soekanto (2011: 101) menyatakan bahwa Perubahan Sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Dia juga menjelaskan bahwa perubahan dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan hukum ini ada dua pandangan yang saling tarik menarik, dan keduanya saling memiliki alasan pembenarnya masing-masing, yaitu: Pandangan tradisional dan pandangan modern (Manan, 2009: 7).
1.      Pandangan Tradisional
Dalam pandangan ini, hukum difungsikan dalam fungsi pengabdian (dienende funtie), dimana hukum itu berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi dalam suatu tempat, dan selalu berada dibelakang pristiwa yang terjadi (het recht hinkt achter de feiten aan). Jadi perubahan hukum itu terjadinya belakangan.
2.      Pandangan Modern
Pandangan ini berbeda dengan tradisional, karena dalam pandangan ini hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, oleh sebab itu hukum harus selalu berada bersamaan dengan pristiwa yang terjadi. Jadi jelas bahwa dalam pandangan ini hukum berperan sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tool of social egineering).
Masyarakat sendiri terdiri dari  beberapa ciri, yakni ciri masyarakat tradisional, transisi, dan moderen yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni masyarakat tradisional, masyarakat transisi, dan masyarakat modern, dimana uraian ini antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan aspek kelembagaan.
Salah satu ahli yang banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang di adaptasi dalam mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga klasifikasi tersebut. Terutama pada karakteristik masyarakat transisi (masyarakat prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan dengan masyarakat kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada dalam masa transisi yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.
Misalnya, dilihat dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan yang lainnya cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik pada masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang formalistis. Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu aktivitas, seperti dalam Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan atau ditegakkan di lapangan.
Perubahan dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur sosial yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam suatu struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara sistimatis mempengaruhi suatu gejalah sosial. Bagian yang dimaksud adalah kebudayaan, lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Bagian-bagian dari struktur sosial tersebut jika berdinamika akan membentuk suatu proses sosial. Proses sosial itu sendiri terdiri dari :
a.  Interaksi sosial
      Interaksi social berarti suatu kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perkembangan. Interaksi social merupakan hubungan-hubungan social yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Kalau interaksi social berjalan dengan baik, masyarakat dapat hidup dengan tenang. Mereka dapat memperoleh hubungan dengan baik melalui interaksi antar sesamanya, baik dalam bentuk komunikasi melalui interaksi maupun dalam bentuk bekerja sama. Oleh karena itu hubungan masyarakat dalam bentuk apapun dapat diselesaikan dengan interaksi, baik interaksi masyarakat bawahan mapun sampai pada kalangan masyarakat paling atas.     
b. Reaksi atau perubahan sosial.
      Perubahan-perubahan social merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang  telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu. Perubahan-perubahan social adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan disalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola peri kelakukan diantara kelompok-kelompok dimasyarakat. (Ali, 2006: 17-18)  
c.  Permasalahan sosial (sangat berat, amat berat, berat, tidak berat).
Terjadinya suatu interaksi sosial dengan sendirinya hukum melakukan atau melaksanakan fungsinya sebagai pengendalian sosial. fungsi hukum dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan  proses sosial yakni :
1.      Fungsi hukum sebagai pengatur apabila dalam proses interaksi sosial tersebut interaksi dilakukan dengan nurani (kodrati), organis (terorgisir) dan mekanis atau dilakukan berdasarkan keinginan hati.
2.      Fungsi hukum sebagai pengawas apabila terjadi reaksi ( perubahan sosial). Perubahan sosial yang menjadikan hukum mengawasi adalah perubahan sosial terarah, maju, mengambang, dan mundur.
3.      Fungsi hukum sebagai penyelesaian masalah. Peranan hukum dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial terbagi atas beberapa kategori yakni, permasalahaqn sosial sangat berat, amat berat, berat, dan tidak berat.
Dari fungsi hukum dalam menyelesaikan masalah, apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial tidak terlepas dari perubahan sosial, karena permasalahan sosial akan timbul dengan sendirinya berdasarkan pola atau kategori perubahan sosial. Perubahan sosial terarah maka permasalahan sosialnya tidak berat. Perubahan sosial maju maka permasalahan sosialnya berat. Perubahan sosial mengambang maka permasalahan sosialnya amat berat. Sedangkan perubahan sosial mundur maka yang terjadi permasalahan sosialnya menjadi sangat berat. Dengan demikian hukum berdampingan dengan masyarakat, karena terjadinya suatu interaksi sosial hukum berperan sebagai pengatur masyarakat.
     
D.    Aspek-aspek perubahan social yang berhubungan dengan perubahan hokum
Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum. Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan tahun atau setelah berabad-abad.  Bahkan di masa awal revolusi industri, perubahan-perubahan yang terjadi karena ditemukannya mesin uap atau ditemukannya listrik hanya secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang sah selama satu generasi.  “Namun saat ini tempo dari perubahan sosial telah sedemikian cepat pada suatu titik dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat ini tidak akan sah lagi bahkan dalam beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13).              
Hubungan antara hukum dengan perubahan sosial menurut Hobel memerlukan alat dan alatnya adalah kita temukan dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum dalam masyarakat, pekerjaan itu adalah:
1.      Merumuskan perubahan yang boleh dan tidak boleh
2.      Mengalokasikan dan menegaskan siapa-siapa yang boleh menggunakan kekuasaan dan atas siapa yang kekuasaan itu serta bagaimana prosedurnya,
3.      Mempertahankan adopsi masyarakat dengan mengatur kembali hubungan-hubungan ketika terjadi perubahan (Rahardjo, 1986: 27)
Saifullah (2007: 31-34) menyatakan bahwa Perubahan hukum dengan perubahan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah satu sama lain. Kaitan perubahan hukum dengan perubahan sosial akan melahirkan dua paradigma, yaitu:
1.      Paradigma hukum penyesuai kebutuhan
Paradigma ini hukum berfungsi sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak ketinggalan karna lajunya perkembangan masyarakat. Ciri-ciri paradigm ini, perubahan cendrung diikuti oleh sistem lain, perubahan social lebih cepat dibanding hukum, penyesuain yang cepat dari huku ke keadaan baru, hukum berfungsi sebagai pengabdian, hukum mengikuti peristiwa bukan sebaliknya, seperti kejahatan teknologi canggih. Paradigma ini yang paling sering terjadi, ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan hukum setelah adanya konflik, sengketa, dll.
2.      Paradigm hukum antisipasi masa depan
Paradigma yang kedua ini memfungsikan hukum sebagai yang dapat menciptakan perubahan atau setidak-tidaknya sebagai pemicu perubahan masyarakat. Ciri dari paradigma yang kedua ini adalah, law is a tool social engineering, law as a tool of direct social change, berorientasi ke masa depan (forward looking), ius constituendum, hukum berperan aktif, dan tidak hanya menciptakan ketertiban akan tetapi menciptakan dan mendorong perubahan dan perkembangan tersebut. Seperti adanya UU tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya.
Perubahan telah menyapu melalui negara-negara industri maju dengan gelombang-gelombang dankecepatan yang amat sangat tinggi serta berdampak yang amat sangat tidak terduga”.  Dalam arti, orang dalam masyarakat modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom) perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras dan saling terkait dalam demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains, transportasi, pertanian, komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi manusia.  Setiap revolusi ini telah membawa perubahan yang spektakuler dalam serangkaian akibat, dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat, sikap, perilaku, dan institusi.
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan bahwa teknologi adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar (great moving forces) untuk perubahan hukum (Miller, 1979: 10). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya tiga cara, “Yang paling jelas adalah kontribusi teknologi kepada perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen yang harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui sidik jari atau penguji kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan adalah, efek teknologi dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui televisi). Yang terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan menghasilkan masalah baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner, seperti dikutip oleh Miller, 1979:14).  Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah kepada perubahan hukum telah sangat banyak ditemui. 
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat.  Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara.  Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum 1963, masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika Serikat penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini.  Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi.  Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya.  Dan masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh karena itu, hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum.  Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial.  Namun perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial.  Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya.  Hukum baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin dapat memperbesar masalah tersebut atau mungkin dapat menyelesaikan masalah dan membantu menyelesaikan masalah tersebut.  Seringkali, respons hukum terhadap perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan menyebabkan perubahan sosial baru.  Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan perubahan teknologi akan berakibat adanya pengangguran di area-area tertentu, dimana perusahaan yang menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk memasang alat pencegah polusi.  Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke perpindahan penduduk (relocation), dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau dapat berakibat adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena.  Korelasi dan reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga.  Oleh karena itu, hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang setuju) dalam perubahan sosial. 
E.     Dua kerja hokum dalam hubungan dengan perubahan social; sarana control social dan social engineering
Melihat hubungan antara perubahan hukum dengan perubahan social, tentunya tidak akan terlepas dari dua pandangan yang pada bahasan sebelumnya saling bertolak belakang, yaitu pandangan tradisional yang menyatakan bahwa hukum itu akan mengalami perubahan setelah terjadi perubahan sosial, dan pandangan modern yang menyatakan bahwa perubahan hukum itulah yang terjadi terlebih dahulu dari perubahan sosial, dimana dalam pandangan modern, hukum difungsikan sebagai alat rekayasa sosial (law a tool of social egineering). Dalam pandangan ini juga dinyatakan bahwa perubahan masyarakat terjadi bila seorang mendapat kepercayaan, dari masyarakat sebagai peminpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan meminpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial di dalam melaksanakan perubahan sosial tersebut. Selain itu hukum juga berfungsi sebagai kontrol sosial di masyarakat, sehingga hukum dianggap memilki fungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau prilaku yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai prilaku yang tidak baik tersebut (Ali, 2006: 27).
Masalah mengenai hubungan hukum dan perubahan social jelas merupakan sebuah persoalan sentral dalam teori yang sudah dipelajari, tetapi dalam masyarakat barat kontemporer (dan banyak masyarakat yang mewakilinya saat ini) persoalannya kini mendapatkan bentuk barunya. Roger Cotterrell mengatakan hukum sekarang dikenal sebagai agen kekuasaan; sebuah instrument pemerintah. Karena pemerintah tersentralisasi pada Negara, hokum secara ekslusif terlihat seperti hokum yang dibuat Negara seperti norma-norma. Dalam pandangan praktisi hokum dan pandangan khalayak luas, hokum kemudian dipandang sebagai terpisah dari masyarakat yang diaturnya. Kini menjadi mungkin untuk membicarakan tentang hokum yang bertindak atas nama masyarakat. Sehingga hokum menjadi di pandang sebagai sebuah agen independen control social dan tuntunan social (Cottorrell, 2004: 63-64).
Social control biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik mengajak atau bahkan memeksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan dari social control tersebut mungkin berupa pemidanaan kompensasi, maupun konsiliasi. Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan akan adanya yang ideal dan yang actual, antara yang standar dan yang praktis antara yang seharusnya dan yang diharapkan untuk dilakukan dan yang dalam kenyataan dilakukan. (Ali, 2006: 22-23)
Sementara masyarakat berjuang ke arah kebebasan, orang-orang terkenal yang menempatkan diri mereka dikepalanya ini dipenuhi dengan semangat. Mereka hanya berfikir tentang menundukkan manusia pada tirani filantropis dari penemuan-penemuan social mereka sendiri. Seperti Rousseau, mereka berhasrat untuk memaksa umat dengan patuh menanggung belenggu kesejahteraan public yang telah mereka impikan dalam imajinasi mereka sendiri. Setelah rezim lama tersebut dihancurkan masyarakat tunduk pada tatanan-tatanan artifisial yang lain, yang selalu bermula dari titik yang sama; kemahakuasaan hokum (Frederic Bastiat, 1998: 51-52).
Lebih lanjut Bastiat juga mengutip sebuah puisi yang bertajuk hokum dari Saint Just;  Si pembuat hokum memerintah masa depan. Ia-lah yang menginginkan kebaikan umat manusia, ia membentuk manusia sebagaimana ia inginkan”. Dan juga puisi Robespierre “Fungsi pemerintah adalah mengarahkan kekuatan fisik dan moral bangsa kearah tujuan yang menjadi alasan keberadaan bangsa tersebut” (Bastiat, 52).
Fungsi hokum dalam kelompok dimaksud di atas adalah menerapkan mekanisme social control yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga suatu ukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat akan hencur, bercerai-berai atau punah bukanlah disebabkan hokum gagal  difungsikan untuk melaksanakan tugasnya, melainkan tugas hokum harus dijalankan untuk menjadi social control dan social enginerring di dalam kehidupan masyarakat. Sebab tugas dan fungsi hokum tidak murupakan tugas dan tujuan itu sendiri, melainkan instrument yang tidak dapat digantikan mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia (Ali, 2006: 23-24).
Selain sebagai control social hokum juga sebagai pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah system social dan didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk perubahan bahkan mungkin menyebabkan perubhan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada didalam pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan social engineering (Seokanto, 2009: 122).
Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer.  “Hukum melalui respons legislatif dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi kembali dari konstitusi, statuta atau preseden secara meningkat tidak hanya mengartikulasikan/mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari perubahan-perubahan sosial besar” (Friedman, 1972: 513).  Sehingga, “Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern” (Friedman, 1975: 277). 
Dari hal tersebut dapat dimungkinkan dalam mendorong terjadinya perubahan social, hokum mempunyai dua pengaruh yaitu pengaruh langsung dan tidak langsung. Sebagaimana yang banyak dikutip Yeheskel Dror (1959) dalam Cottereell membedakan antara penggunaan hukum secara langsung dan tak langsung dalam mendorong perubahan.
Pertama pengaruh hokum secara tidak langsung  misalnya suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga Negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan social. Karena hokum terentang dalam masyarakat dimana sebagian orang memiliki pengetahuan dan sebagian yang lain tidak. Dimana sebagian warga perlu belajar dan sebagian yang lain bisa mengajar (Bastiat, 1998: 28).
Seperti di Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945, semua sekolah Dasar (SD) harus menggunakan bahsa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan mahasiswa di Indonesia. Sebelum UU No. 22/1961 ditetapkan, terdapat 14 universitas Negeri dengan 65.000 mahasiswa. Terlepas dari sisi baik beruknya, sejak undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah universitas negeri naik 34 buah dengan 158000 mahasiswa. Contoh ini untuk membuktikan bahwa suatu keputusan hokum dapat memper banyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut merupakan alat sosialisasi, akulturasi perubahan, mobilitas atau gerak social, dan pendidikan bagi golongan elit potensiil.
Kedua hukum yang mempunyai pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan langsung antara hokum dan perubahan-perubahan social. Suatu kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan social, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola perikelakuan dan hubungan antara warga masyarakat. Kaidah-kaidah hokum tersebut ditetapkan dalam ketetapan MPRS No. II/1960 yang mencoba membentuk suatu system hokum waris yang seragam di Indonesia (Seokanto, 2009: 124).
Menurut Zaenudddin Ali (2006: 39) untuk mengubah masyarakat   Setidaknya ada empat factor yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan hokum sebagai alat pengubah masyarakat;
1.         Mempelajari efek social yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hokum.
2.         Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan serta dampak dari undang-undang yang ditimbulkan tersebut.
3.         Melaksanakan studi tentang pengaturan perundang-undangan yang efektif.
4.         Memperhatikan sejarah hokum tentang bagaimana suatu hokum itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
          
F.      Penutup  
Perubahan sosial terjadi dengan seketika walaupun dengan laju yang berbeda-beda pada masyarakat kontemporer, dan hal itu mempengaruhi kehidupan individu-individu dalam berbagai cara.  Perubahan di dalam masyarakat adalah suatu produk dari berbagai faktor dan dalam banyak kasus adanya keterkaitan atau faktor-faktor tersebut.  Selain hukum, ada sejumlah mekanisme tentang perubahan sosial.  Semua mekanisme ini saling terkait, dan kita harus hati-hati untuk tidak memberikan bobot yang sama kepada salah satu dari “penyebab ini. 
Hukum adalah peubah/variabel bebas dan peubah tak bebas di dalam perubahan sosial.  Hubungan antara hukum dan perubahan masih kontroversial.  Beberapa orang berpendapat bahwa hukum adalah reaktor/akibat dari perubahan sosial, sedangkan orang-orang lainnya berargumen bahwa hukum adalah inisiator/sebab dari perubahan sosial. Dalam banyak bidang kehidupan, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah digadang-gadang sebagai instrumen perubahan.  Hukum mempengaruhi perubahan sosial secara langsung maupun tidak langsung.  Hukum mendefinisikan kembali aturan normatif, memperluas hak-hak formal, dan digunakan untuk maksud-maksud perencanaan.
Terlihat jelas bahwa disatu sisi dapat dikatakan bahwa hukum itulah yang berfungsi sebagai kontrol sosial, dan alat rekayasa sosial yang berperan untuk melakukan perubahan sosial. Tapi di sisi lain, perubahan sosial juga bisa dinyatakan sebagai langkah utama yang menentukan terjadinya perubahan hukum, dimana hukum itu difungsikan sebagai gejala sosial, yang apabila terjadi perubahan sosial maka akan terjadi pula perubahan hukum menyertainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia (masyarakat).
**********
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Cet I.
Bastiat, Frederic, 1998, The Law, Freedom Institute.
Cotterrell, Roger, 2004, The Sosiologi of Law; an Introduction, London: Buttersworths.
Friedman, 1975, The Legal Sistem; A social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation.
________, 1972, Law State and Society, London: Croom Helm.
Fuady, Munir, 2011, Teori-teori dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.
Manan, Abdul,  2009. Aspek-Aspek Pengubah Hukum, jakarta: Kencana, Cet-3.
Mertokusumo, Sudikno, 2005. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, Cet-2.
Miller, D, 1979, Social Justice, Oxford: Oxford University Press.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
______________, 2007, Biarkan Huum Mengalir; Catatan Kritis Pergulatan Hukum dan Manusia, Jakarta: PT. Kompas Media Nuasantara.
______________, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditiya Bakti,
______________, 1986, “Hukum dalam Persfektif Sejarah dan Perubahan Sosial”, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amir (editor), Pembangunan Hukum dalam Perfektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: PT. Rajawali,
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, T.tp: PT Refika Aditama,
Salman, Otje, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni.
Soekanto, Soerjono, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Artikel, “Hukum dan Perubahan Sosial”, Diakses pada 11/05/2013, dari: http://mjrsusi.wordpress.com hukum-dan-perubahan-sosial.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar