Selasa, 28 Januari 2014

DEMOKRATISASI DAN STABILITAS POITIK DI PAKISTAN

DEMOKRATISASI DAN STABILITAS POITIK DI PAKISTAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakistan adalah negara yang perpolitikannya kurang stabil. Kebanyakan rezim pemerintah yang berkuasa setelah kemerdekaan nasionalnya dikuasai oleh pemerintahan militer. Kekerasan-kekerasan sering terjadi di negeri ini, misalnya saja bom bunuh diri yang dapat melukai masyarakat yang sebenarnya tidak terkait masalah politik tersebut. Akar- akar kekerasan mudah pecah dalam negara ini dan kudeta militer telah menjadi tradisi. Pola-pola kekerasan militeristik mudah tampil ke panggung politik. Militerisme telah memangkas demikrasi yang sesungguhnya mampu merekah. Bahkan Pakistan memiliki julukan negara Islam yang sarat konflik.
Permasalahan yang timbul di Pakistan sangat banyak. Tahun 1971 terjadi perang saudara antara Pakistan Barat yang dipimpin Presiden Yahya Khan dan Pakistan Timur yang dipimpin Mujibur Rahman. Masalah ini pun mengakibatkan berkurangnya geografis Pakistan, yaitu Pakistan Timur yang kini menjadi Bangladesh. Selain itu, masalah Pakistan adalah wilayah Kasmir dengan India yang sampai pada sangat ini belum selesai. Bukan hanya itu saja, masalah internal juga senantiasa mengguncang sendi-sendi pemerintahan. Tahun 1974, Jenderal Yahya Khan dikudeta oleh Zulfikar Ali Butho. Juli 1977, Jenderal Ziaul Haq mengambil alih kekuasaan. Ali Butho dihukum gantung (4 April 1979).Tanggal 17 Agustus 1988, Zia-ul-Haq beserta beberapa pejabat militer Pakistan tewas dalam ledakan pesawat udara.Konon , ini juga ulah sabotase terhadap Kepala Negara Islam .[1]
Negara Pakistan dapat dikatakan diperintah oleh militer. Militer Pakistan telah memainkan perang yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri ini.[2] Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977- 1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negara ini kerap digunjang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantingan rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.
Partai-partai oposisi di negara ini tentu menawarkan pemerintahan yang lebih stabil. Partai oposisi ini kebanyakan ditangan sipil. Misalnya saja Benazir Butho yang sudah dua kali menjadi perdana menteri dengan partai Pakisatan People’s Party dan Nawaz Sarif dengan Partai Liga Islam. Benazir Butho sendiri digantikan Nawaz Sarif dan Nawaz Sarif dikudeta Jenderal Pervez Musarraf. Kekerasan yang semakin menyengsarakan rakyatnya dirasakan pada pemerintahan Pervez Musarraf.
Wilayah negara Pakistan setelah Pakistan Timur berpisah
Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penulisan paper ini penulis beranggapan sangat perlu membuat batasan penulisan. Batasan masa yang ditekankan adalah masa pemerintahan Pervez Musarraf dari militer dan pihak oposisinya, yaitu Nawaz Sarif dan Benazir Butho. Untuk menyempurnakan paper ini juga akan digunakan waktu lainya yang relevan Permasalahan yang dibahas ialah upaya demokratisasi dan stabilitas politik di Pakistan.
Setelah Perang Dunia II berakhir yang dimenangkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya maka banyak negara-negara memilih sistem demokrasi.[3] Amerika Serikat dan sekutunya kebanyakan menggunakan sistem yang demokrasi. Setiap negara yang merdeka menginginkan stabilitas politiknya aman, sedangkan sistem demokrasi menurut saya bukan pilihan terakhir agar kesejahteraan negara dapat dicapai. Menurut saya bagaimana pemerintahan menjalankan tugasnya yang mendapat dukungan dan tuntutan dari rakyatnya.
Indikator untuk mengetahui demokrasi atau tidaknya suatu negara adalah setelah mengetahui sejumlah hal penting dalam kaitannya dengan pemerintahan antara lain adakah manajemen pemerintahan didasarkan atas prinsip pembagian/pemisahan trias politika, adakah proses pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip bottom up, adakah diberlakukan desentralisasi pemerintahan dan/atau dekonsentrasi kekuasaan dan lain-lain.[4]
PEMBAHASAN
Pakistan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1947 kemudian resmi menjadi negara republik pada tanggal 23 Maret 1956. Militer Pakistan telah memainkan perang yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri ini.[5] Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977- 1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negara ini kerap digunjang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantingan rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.
Dominasi dan rivalitas militer versus sipil seolah menandai sejarah politik Pakistan kontemporer. Rezim sipil dan militer seperti bertumbal sulam. Setelah rezim militer runtuh digantikan oleh rezim sipil. Rezim sipil berkuasa dan digulingkan oleh militer, begitu seterusnya.
Kasus teranyar, misalnya, tampak melalui penggulingan pemerintahan sipil Nawaz Sharif tahun 1999 oleh kudeta militer tidak berdarah yang dipimpin oleh Musharraf. Begitu juga penggulingan Benazir Bhutto tahun 1989 oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan, dan pada tahun 1996 oleh Presiden Farooq Leghari yang sarat dengan kepentingan militer.[6]
Setelah kemenangan Pervez Musarraf Amerika Serikat, Gedung Putih, sangat senang. Sehingga tidak mengherankan kalau Pervez Musarraf atau Pakistan adalah sekutu AS. Ini dapat dilihat dengan semangat Pakistan yang juga memerangi teroris-teroris dunia seperti Alqaeda. Negara Pakistan ini juga memiliki militan-militan Islam yang radikal yang dianggap juga penyebab ketidakstabilan negeri ini. Sebelum menjadi perdana menteri Pervez dikenal sebagai jenderal yang lugu, namun setelah menjadi perdana menteri ia dikatakan menjadi agresif seperti Perdana Menteri Zia-Ul-Haq.
Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf kini tengah menghadapi dilema yang serius. Mengebiri demokrasi atau menegakkan demokrasi melalui moncong senjata. Kondisi Pakistan juga semakin tidak menentu. Penolakan dari kubu prodemokrasi menjadi tidak terelakkan setelah Presiden Musharraf mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara menjelang pemilu legislatif, Januari 2008.
Sehari sebelumnya mantan PM Benazir Bhutto dan mantan PM Nawaz Sharif berhasil membentuk koalisi antara Partai Rakyat Pakistan dan Partai Liga Muslim Pakistan yang bertujuan untuk mengulingkan Presiden Musharraf. Koalisi besar ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman yang menakutkan bagi masa depan karier politik Musharraf. Koalisi Bhutto-Nawaz ini tampaknya akan menguat menyusul dibebaskannya Bhutto dari tahanan rumah.
Pada lapis bawah [grass root] aliansi ini diperkirakan akan memperoleh dukungan massif dari publik menyusul meningkatnya kekecewaan publik terhadap kinerja politik Musharraf. Ia dipandang telah mengebiri demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) melalui pemberlakukan status darurat militer terhitung sejak 1 November lalu, membekukan konstitusi, dan memberangus kebebasan sipil, serta memenjarakan anggota pengadilan.
Musharraf tidak hanya mendapat tekanan yang massif di dalam negeri melalui advokasi kelompok-kelompok prodemokrasi yang digerakkan oleh Bhutto dan Nawaz. Ia juga mendapat tekanan dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, sekutu dekat Musharraf. Pengebirian Musharraf atas demokrasi dipandang AS akan berpengaruh terhadap prospek hubungan “ideologis” antara AS dan Pakistan. Tindakan Musharraf diperkirakan akan menyulut protes sosial yang tak pelak akan menganggu kepentingan ekonomi-politik AS di Pakistan.
Kekecewaan publik atas Musharraf tampaknya tengah mencapai titik akumulasi tertinggi. Tawaran Musharraf untuk melepaskan jabatan militernya terhitung mulai 1 Desember 2007 tampaknya tidak begitu mendapat apresiasi positif kelompok prodemokrasi.
Kini, kelompok prodemokrasi yang telah dirintis melalui aliansi politik Bhutto dan Nawaz. Konsolidasi kelompok prodemokasi terus menampakkan perkembangan yang signifikan. Yaitu melalui kesepatan masing-masing kelompok untuk bersama-sama membangun daulat rakyat (sipil) melalui pemerintahan demokratis. konsolidasi kelompok prodemokrasi dalam mengawal proses demokratisasi menjadi penting untuk mereduksi dominasi politik militer. Selain itu, tentu untuk meredam bangkitnya kelompok ektremisme agama dalam rangka stabilisasi demokrasi.
Benazir Butho yang dituntut Pervez Musarraf untuk membayar utang sebanyak 4 miliar dollar karena korupsi dengan batas pembayaran satu bulan. Jika dalam satu bulan tidak dibayar akan ditahan. Benazir Butho yang tidak membayar utang terrsebut menjadi buron akhirnya menjadi tahanan rumah. Ia sendiri karena sakit keras diizinkan untuk berobat ke Inggris. Setelah berakhirnya masa tahanan tersebut ia kembali ke Pakistan dengan disambut jutaan para pendukungnya. Disamping itu yang menjadi rekan koalisinya Nawaz Sarif juga kembali dari pengasing yaitu Mesir. Mereka telah menjadi rekan koalisi yang akan mengikuti pemilihan umum tanggal 8 Januari 2008.
Krisis politik yang terjadi di Pakistan ini terlihat lagi melalui kebijakan Perdana Menteri Pervez Musharraf. Negara dalam keadaan darurat diberlakukan oleh Presiden Pakistan, Pervez Musharraf karena meningkatnya krisis politik yang diawali ketika beliau mencoba memecat Ketua Mahkamah Agung (MA), Iftikhar Muhammad Chaudhry pada bulan Maret lalu. Pemberlakuan keadaan darurat ini dinyatakan beberapa saat menjelang pengumuman MA tentang apakah akan melegalkan kemenangan Musharraf dalam pemilu presiden di parlemen 6 Oktober 2007 lalu dan juga meningkatnya aksi kekerasan oleh kelompok Islam garis keras.[7]
Menyusul diberlakukannya keadaan darurat ini, pihak otoritas Pakistan di bawah kekuasaan Presiden Musharraf mulai menangkap para petinggi Liga Muslim Pakistan dan oposisi politik Musharraf. Penahanan-penahanan terhadap para petinggi tersebut terjadi pada saat Presiden Musharraf menangguhkan berlakunya konstitusi yang menurutnya menjadi ancaman bagi negara berkemampuan senjata nuklir itu oleh kalangan ekstrimis Islam dan campur tangan peradilan.
Tindakan ini tentunya sangat dikutuk oleh mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif. Dia pun meminta agar Musharraf mengundurkan diri segera. Menurutnya, memberlakukan keadaan darurat adalah sesuatu yang belum pernah terjadi, dan belum pernah dalam sejarah langkah tersebut diputuskan untuk diterapkan. Sudah sepatutnya Musharraf harus turun agar melancarkan jalan untuk pemilu yang adil.
Senada dengan mantan perdana menteri Pakistan, para pemimpin dunia pun menyerukan untuk segera mengembalikan kehidupan demokrasi dan aturan hukum di Pakistan setelah Presiden Musharraf memberlakukan keadaan darurat. Bahkan sekutu dekatnya, Amerika Serikat, menyatakan kekecewaannya atas langkah Musharraf tersebut.  Begitu pun dengan Cina yang menyatakan prihatin atas langkah yang telah diambil Musharraf tersebut. Inggris juga menyerukan agar Pakistan melaksanakan kekuasaan demokrasi dan aturan hukum untuk mencapai tujuan stabilitas, pembangunan dan memberantas terorisme.
Di Paris, kementerian luar negeri Perancis menyatakan prihatin dan menyerukan agar Musharraf menaati aturan hukum. Perancis menginginkan dialog antara semua kekuatan politik di Pakistan untuk menjamin stabilitas dan demokrasi di negara itu, yang menjadi mitra dan sahabat.
Masyarakat Pakistan telah mengharapkan akan dipimpin oleh pemimpin yang lebih adil dibandingkan Pervez. Masyarakat dunia juga menginginkan agar hal tersebut terjadi melalui pemilihan umum tanggal 8 Januari 2008. Namun, sebelum terjadi pemilihan itu terjadi, terjadi hal yang sangat mengecewakan terhadap diri Benazir Butho.
Benazir Butho, pemimpin Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People’s Party/PPP) tewas dibunuh secara brutal pada tanggal 27 Desember 2007 setelah ia selesai berpidato kampanye di Rawalpindhi. Media Barat pada umumnya menyebutkan kematian Benazir adalah ledakan bom bunuh diri. Ada pula yang menyebutkan bukan itu penyebabnya, melainkan tembakan yang diarahkan ke kepala Benazir sebelum ledakan terjadi. Disebutkan juga bahwa pelaku pembunuhan adalah “mullahs” (wali) kaum fundementalis Islam.
Pervez sendiri menyatakan bahwa kematian Benazir adalah salahnya sendiri, mengapa mengeluarkan badannya melalui sunroof mobilnya. Padahal ia tahu sendiri sering terjadi tindakan tersebut pada waktu peristiwa kampanye. Namun, setelah hal tersebut diidentifikasi, Perver sendiri mengakui bahwa kematian Benazir itu ditembak sebelum terjadi bom bunuh diri. Sebelum meninggal Benazir menyatakan bahwa pemerintah tidak memberikan perlindungan penuh kepadanya. Ketika ia katakan bahwa membutuh mobil yang antipeluru hal tersebut tidak pernah ada.
Terlepas dari itu, seperti dicatat oleh Woods bahwa pembunuhan yang menimpa Benazir adalah reaksi dari kaum kontra revolusioner yang tidak menghendaki adanya perubahan ekonomi-politik di Pakistan yang sudah bertahun-tahun di bawah kediktatoran militer. Datangnya gelombang dukungan dari massa pekerja atau buruh dan petani terhadap PPP- yang diyakini akan memenangkan pemilu pada 8 Januari 2008- telah membuat kawatir kelas yang sedang memerintah (ruling class) di Pakistan. Untuk mengobati kekawatiran itulah mereka menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu, kata Woods, mereka yang disebut kaum fundementalis- yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Benazir- hanyalah boneka yang diperintah oleh kekuatan-kekuatan reaksioner yang bercokol dalam ruling class dan aparatur negara. Pakistan Intelligence Services (ISI), serta gembong obat bius yang memiliki
hubungan dengan Taliban dan rezim Saudi yang memang selalu memberikan
dukungan dan mendanai setiap kegiatan kontra revolusioner di dunia.
Perang yang terjadi di Afganistn, kata Woods, telah melahirkan bencana di Pakistan. Kelas yang memerintah di Pakistan berambisi untuk memdominasi negara setelah Taliban berhasil menyingkirkan orang-orang Rusia dari Afganistan-yang dalam beberapa dekade melibatkan tentara Pakistan dan ISI di dalamnya. Hingga kini mereka masih memiliki hubungan dengan Taliban dan gembong obat bius. “Banjir uang” dari hasil perdagangan obat bius itulah yang meracuni Pakistan hingga membuat ekonomi masyarakat dan politiknya tidak stabil. Pembunuhan terhadap Benazir butho adalah ekspresi lain dari pembusukan, degenerasi dan korupsi yang menggerogoti Pakistan. Kesengsaraan massa (rakyat), kemiskinan, ketidakadilan adalah persoalan vital yang mendesak untuk diselesaikan di Pakistan. Massa-pekerja dan kaum tani- tidak melihat jalan ke luar itu ada di tangan tuan-tuan tanah dan kaum kapitalis, melainkan di PPP, partai yang dipimpin Benazir. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kaum kiri Pakistan berpendapat program-program Benazirlah yang dapat memberi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi Pakistan saat ini. Hal lain yang diperkuat kaum Marxis di tubuh PPP yang terus memperjuangkan program sosialisme yang notabene  merupakan program awal PPP.
Tak diduga sebelumnya akhirnya perubahan Pakistan yang diharapkan tersebut terganjal, membuat rakyat terguncang karena tokoh yang diharapkan terbunuh. “Rakyat meratap dan kaum perempuan menangis di rumah mereka: Aku dapat mendengar mereka “, kata seorang comrade di Karachi kepada Woods. Guncangan yang dialami massa saat ini, akan beubah menjadi kemarahan: “Tak ada apapun di jalan-jalan dan membakar ban” itu adalah sebuah peringatan kepada Ruling class bahwa kesabaran massa sudah habis. Gerakan massa tidak dapat dihentikan oleh satu bahkan ratusan pembunuhan.
Woods mencatat bahwa massa selalu melekat pada organisasi massa tradisionalnya. PPP dibangaun dalam konteks perlwanan reaksioner pada tahun 1968-1969 takkala pekerja dan petani berusaha mengambil-alih kekuasaan. Ketika diktator Zia (Zia ulHaq) membuh ayah Benazir Butho, Zulfikar Ali Butho, hal ini tidak menghalangi kebangkitan PPP pada tahun 1980_an. Demikian pula ketika Benazir diasingakan, tidak menyurutkan eksistensi PPP di tengah massa rakyat. Itu terbukti ketika dua sampai tiga juta orang turun ke jalan menyambut kedatangan Benazir. Menurut Woods, massa akan memulihkan dirinya dari guncangan dan kesedihan. Emosi mereka akan berubah menjadi kemarahan dan kehendak membalas. Namun, kata Woods, yang diperlukan bukan pembalasan pribadi, melainkan pembalasan kolektif. Apa yang diperlukan adalah mempersiapkan massa bagi sebuah serangan revolusioner baru guna menyelesaikan persoalan-persoalan di Pakistan oleh rakyat sendiri.
Kaum reaksioner memperhitungkan bahwa kematian Benazir akan melemahkan PPP. Itu penilaian yang sangat keliru, kata Woods. PPP tidak dapat direduksi sebagai satu individu (Benazir Butho), karena PPP adalah organisasi yang mengekspresikan kehendak massa demi perubahan masyarakat. Jumlah mereka jutaan. Mereka akan menemukan cara perlawanan yang efektif untuk membuat suara mereka didengar.
Lebih jauh Woods mengingatkan bahwa massa rakyat selayaknya melakukan protes yang berpuncak pada pemogokan umum: mengangkat panji demokrasi untuk melawan kediktatoran. Kepemimpinan PPP todak boleh menyerah pada tekanan apapun selama dalam masa penundaan pemilu. Di atas itu, PPP harus kembali pada program dan prinsip-prinsip awalnya seperti terumuskan dalam program PPP: memperjuangkan transformasi sosialis yang didalamnya mencakup nasionalisasi tanah, kontrol pekerja terhadap bank-bank dan industri, menggantikan tentara dengan milisi pekerja dan petani. Itulah yang harus dijalankan, karena ide-ide tersebut tepat dan relevan untuk saat ini.
Pemimpin dunia menyampaikan kemarahan atas pembunuhan pemimpin oposisi Pakistan Benazir Bhutto, Kamis, dan mengutuknya sebagai serangan terbuka terhadap demokrasi di Republik Islam itu. Presiden AS George W. Bush, yang pemerintahnya memiliki hubungan dengan Pakistan dalam “perang melawan teror”, menyebut pembunuhan tersebut “aksi pengecut” dan menelefon Presiden Pakistan Pervez Musharraf untuk menyampaikan dukungan. “AS dengan keras mengecam aksi pengecut ini oleh kaum ekstrem pembunuh yang berusaha merusak demokrasi di Pakistan,” kata Bush. “Kami bersama rakyat Pakistan dalam perjuangan melawan kekuatan teror dan ekstrem,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menggambarkannya sebagai “kejahatan keji” yang “merupakan serangan terhadap kestabilan di Pakistan dan proses demokrasinya” menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan 8 Januari. Dewan Keamanan PBB keluar dari sidang darurat mengenai pembunuhan tersebut dengan pernyataan yang mengutuk “aksi teror keji ini”. Gelombang rasa terkejut akibat pembunuhan itu menyentak harga minyak melampaui 97 dolar AS per barel dan menggetarkan pasar bursa AS, sementara Dow Jones Industrial Average merosot 1,41 persen.
Sedikinya 10 orang tewas dalam kerusuhan yang meletus di beberapa kota besar Pakistan sebagai reaksi atas pembunuhan itu, dan pemerintah di seluruh dunia mendesak Islamabad agar menjamin kestabilan sebelum pemilihan anggota parlemen.
Benazir, yang dua kali menjadi perdana menteri dan pemimpin partai politik paling tangguh di Pakistan, ditembak di tengkuk dan dada oleh seorang penyerang sebelum pelaku serangan meledakkan dirinya pada pertemuan terbuka politik di Rawalpindi, sehingga menewaskan tak kurang dari 20 orang.
Itu adalah serangan bunuh diri kedua yang ditujukan kepada Benazir (54), sejak ia kembali dari delapan tahun hidup di pengasingan yang diputuskannya sendiri pada Oktober. Serangan pertama menewaskan 139 orang, tapi Benazir selamat.
Tetangga Pakistan, yang khawatir kerusuhan merembes kalau kondisi Pakistan   yang memiliki senjata nuklir  tak terkendali, bereaksi cepat.
Perdana Menteri India Manmohan Singh mengatakan pembunuhan Benazir menjadi pengingat mengenai “bahaya bersama” yang dihadapi oleh India dan Pakistan. “Nyonya Bhutto bukan pemimpin politik biasa tapi orang yang meninggalkan jejak mendalam pada masa dan jamannya,” katanya.
Presiden Afghanistan Hamid Karzai, yang bertemu dengan Benazir hanya beberapa jam sebelum kematiannya, menyebut pembunuhan itu sebagai aksi “yang sangat brutal” terhadap salah seorang perempuan terkemuka di dunia Islam. “Saya sangat berduka, sangat sedih bahwa saudari kita yang berani ini, putri besar dunia Muslim ini tak lagi bersama kita,” katanya. Di Eropa, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan Benazir “dibunuh oleh para pengecut yang takut pada demokrasi”, sementara Kanselir Jerman Angela Merkel mencapnya sebagai “aksi teroris pengecut” yang dirancang untuk merusak kestabilan Pakistan.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyebut pembunuhan tersebut sebagai “aksi menjijikkan”, dan Perdana Menteri Italian Romano Prodi mengutuk “fanatisme” yang mengakibatkannya dan Spanyol berbicara mengenai “serangan terbuka terhadap demokrasi Pakistan”. Komisi Eropa menyatakan pembunuhan itu adalah “serangan terhadap demokrasi dan terhadap Pakistan”, sementara Slovenia yang memangku jabatan bergilir Uni Eropa pekan depan, menyatakan peristiwa tersebut dapat membahayakan pemilihan umum. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ia berharap “pelaku kejahatan akan ditemukan dan mereka diganjar hukuman yang layak”. Menteri Luar Negeri Kanada Maxime Bernier berkata, “Keinginan anti-demokrasi para pelakunya sangat jelas.”
Rudd ikut bergabung dengan para pemimpin dunia yang mengutuk pembunuhan Benazir dan mengkhawatirkan stabilitas Pakistan semakin  rapuh, di mana pemilihan umum akan diadakan 8 Januari mendatang.
Aksi kekerasan meletus menyusul pembunuhan, dan perdana menteri Australia menyerukan semua pihak di Pakistan mengendalikan diri dan dengan damai kembali ke rel demokrasi dalam rangka mengalahkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kaum militan.  “Kaum ekstrimis berada di balik serangan ini tak boleh dibiarkan menang,” kata Rudd. “Saya imbau semua pihak di Pakistan untuk bertindak dengan mengendalikan diri, dan bekerja untuk mengembalikan proses demokrasi yang damai. “Harapan saya adalah bahwa kehidupan demokrasi di Pakistan akan mewarisi semangat Benazir Bhutto,” katanya.
Rudd mengatakan kepada para wartawan bahwa dia prihatin bukan hanya pada stabilitas politik Pakistan, tapi juga di kawasan tersebut secara luas. “Australia seperti negara-negara demokrasi lainnya prihatin, dan mengharapkan proses demokrasi cepat kembali normal di Pakistan, dan memulihkan penegakan hukum di Pakistan,” ujarnya. “Lebih dari itu, kami juga memprihatinkan stabilitas politik Pakistan dan kami juga memprihatinkan stabilitas politik di kawasan itu secara luas,” ujarnya.
Demokrasi yang direncanakan oleh Benazir setelah kematiannya akan diteruskan dari partainya. Pemilu yang akan dilaksanakan pada tanggal 8 Januari 2008 akhirnya ditunda dan akan dilanjutkan pada tanggal 18 Febuari 2008. Dalam pemilihan tersebut PPP memenangkanya. Sementara itu pemimpin dua partai oposisi utama Pakistan yang ikut dalam pemilu 18 Februari lalu, bertemu untuk membahas pembentukan satu pemerintah koalisi yang dapar memaksa Musarraf melepaskan kekuasaannya.
PPP yang muncul sebagai pemenang utama dalam pemilu 18 Febuati  lalu, memulai pembicaraan koalisi dengan Pakistan Muslim League (Nawaz) pimpinan mantan perdana menteri Nawaz Sharif yang lebih dikenal dengan PML-N atau Liga Nawaz yang berada di posisi kedua. Kami akan menemukan solusi bagi segala masalah yang dihadapi Pakistan, tukas Asif Ali Zardari yang mengambil kepemimpinan PPP setelah istrinya Bhutto terbunuh tentang pertemuannya dengan Sharif. Parlemen akan memutuskan presiden mana yang dapat diajak bekerjasama dan presiden mana yang tidak, terang Zardari kepada wartawan. Zardari juga mengancam akan melengserkan Musharraf yang dianggap biang keladi dari semua kekacauan di Pakistan. Namun, Zardari tidak menyebutkan siapa sosok yang cocok untuk menggantikan Musarraf.
Pemimpin PPP (suami Butho) dan pemimpin Partai Liga Nasional.
Pernyataan tersebut mendapat anggukan Nawaz Sharif yang menyebut koalisi oposisi sebagai momen penting untuk membawa Pakistan menjadi negeri yang lebih demokratis. “Tidak boleh ada peluang untuk bersikap fleksibel dengan penguasa saat ini. Para diktator harus segera dihapus,” jelas perdana menteri yang digulingkan Musharraf lebih dari delapan tahun lalu itu. Seperti halnya PPP, Sharif jelas-jelas menyatakan keinginannya agar Musharraf mundur namun belum dapat memastikan siapa sosok yang tepat untuk dilantik sebagai pengganti Musharraf.
Meskipun partainya unggul dalam pemilu 18 Februari lalu, Zardari mengatakan bahwa dirinya tidak akan mengajukan diri jadi Perdana Menteri. Dalam sebuah konferensi pers usai pertemuan komite eksekutif pusat partainya, Zardari mengenyampingkan kemungkinan dirinya menjadi PM. Saya bukan kandidat PM, dikatakannya seperti dilansir The Hindu dalam situnya. Ia menambahkan ada sejumlah pemimpin dalam tubuh PPP yang layak mengambil alih peran itu. “PPP akan segera menunjuk kandidat PM untuk memimpin pemerintah koalisi yang dibentuk koalisi partai-partai,” tegas Zardari, beberapa saat sebelum menggelar dialog dengan Sharif tanpa merinci alasan mengapa dia tidak akan mencalonkan diri sebagai perdana menteri.[8] Kini, yang menjadi perdana menteri Pakistan adalah Yousaf Raza Gillani yang juga masih dari PPP. Musarraf yang dianggap menjadi biang keladi pengacau di negeri ini menurut oposisinya dulu, masih menjadi presiden Pakistan. Setelah masalah pembunuhan oposisi selesai, ketidakstabilan politik Pakistan mulai terlihat dari perekonomiannya.
KESIMPULAN
Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa stabilitas politik negara sangat penting. Negara Pakistan yang juga dikenal dengan kekayaan alamnya, tidak akan tentu menyejahterakan rakyatnya jika saja stabilitas politik tidak ada. Pakistan adalah negara yang sarat konflik, demikian tulis sebuah artikel. Permasalah dengan tetangga negara yang tak kunjung selesai ditambah permasalahan dalam negeri di mana para elite politik selalu berusaha untuk merebut kekuasaan walau melalui jalan apa pun. Setelah lelah dipimpin oleh diktator militer, rakyatnya menginginkan dipimpin oleh pemerintahan yang lebih adil. Sistem yang dipilih adalah demokrasi sebagaimana hal tersebut selalu disuarakan kaum oposisi militer.
Kediktatoran bagaimanapun lamanya memerintah serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya akan menemui ajalnya. Hal ini menurut saya ialah kemarahan rakyat yang terpendam akan meledak denga berbagai cara. Cara lain ialah kemenangan oposisi di negara tersebut. Itulah yang terjadi bagi Pakistan. Setelah lama stabilitas politik yang kurang mendukung dan sejumlah kesengsaraan rakyat oleh pemimpinnya, akhirnya demokrasi yang dicita-citakan dimenangkan partai oposisi.
Setelah masa diktator militer telah berlalu di Pakistan, kini yang telah dipimpin dari sipil, kestabilan politik Pakistan juga tidak dapat dijamin penuh stabil. Kemungkina kudeta akan tetap ada. Dalam hal ini, menurut hemat penulis kestabilan itu akan terjaga apabila pemerintah yang berkuasa sekarang adalah benar-benar melakukan apa yang dijanjikannya. Jika demokratisasi jalan yang terbaik untuk negara ini, jalankanlah, agar dapat dicapai suatu negara yang dulu dijuluki negara yang rawan konflik menjadi negara Islam yang stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Ranaderiksa,Hendarman. Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa Ada Negara Yang Gagal Menggunakan Demokras. Bandung: Fokusmedia. 2007.
Alfian, M. Alfan. http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/148/Pelajaran_dari_Pakistan_
Fernandes,Arya. Masa Depan Demokrasi Pakistanhttp://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188435.
Kubu Musharraf Dituding Ubah Hasil Pemilu Pakistan. http://hariansib.com/2008/02/21/kubu-musharraf-dituding-ubah-hasil-pemilu-pakistan/.
Kukuh.Pakistan, Negara Islam Yang Sarat Konfli.i http://persatuan.web.id/?p=192:
Krisi Politik Pakistan. http://forum-politisi.org/berita/article.php?id=539.
Oposisi Menangkan Pemilihan Parlemen Pakistan. http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3137274,00.html
Pakistan. http://en.wikipedia.org/wiki/Pakistan.
Pakistan Terancam Pecah, Kematian Benazir Bukti Kerapuhan Berdemokrasi-Penembakan Benazir Butho-Isak Tangai Iringi Kepergian Benazir. http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Pakistan-Terancam-Pecah—Kematian-Benazir-Bhutto,-Bukti-Kerapuhan-Berdemokrasi—Penembakan-Benazir-Bhutto—Isak-Tangis-Iringi-Kepergian-Benazir-td14534120.html.
Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.

[1] Kukuh,”Pakistan, Negara Islam Yang Sarat Konflik”, diakses dari http://persatuan.web.id/?p=192:
[2]Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan”, diakses dari http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.
[3] Hendarman Ranaderiksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa Ada Negara Yang Gagal Menggunakan Demokrasi, (Bandung:Fokusmedia, 2007), hal. 1.
[4] Hendarman Ranaderiksa, ibid., hal. 24.
[5]Stabilitas Yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan”, diakses dari http://blogfajri.wordpress.com/2007/12/27/stabilitas-yang-tak-kunjung-tiba-di-pakistan/.
[6] Arya Fernandes, ”Masa Depan Demokrasi Pakistan”, diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188435
[7]Krisi Politik Pakistan”, diakses dari http://forum-politisi.org/berita/article.php?id=539
[8]Kubu Musharraf Dituding Ubah Hasil Pemilu Pakistan diakses dari

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar