Senin, 13 Januari 2014

Apakah Talak Tiga Sekaligus Jatuh Talak Tiga?

Apakah Talak Tiga Sekaligus Jatuh Talak Tiga?

Soal:
Bagaimana status hukum talak yang dinyatakan, “Kamu saya talak tiga” secara sekaligus; atau “Kamu saya talak, saya talak, saya talak” sampai tiga kali? Apakah jatuh tiga, atau hanya dihitung sekali? Lalu bagaimana status talak yang digantung mengikuti waktu tertentu?
Jawab:
Harus ditegaskan bahwa hukum-hukum talak yang diadopsi Hizbut Tahrir adalah hukum-hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i. Adapun hukum-hukum cabang lainnya, seperti kapan talak tiga bisa jatuh tiga tidak diadopsi oleh Hizb. Dalam hal ini bisa diambil pendapat dari mujtahid manapun. Meski demikian, pendapat yang paling kuat menurut kami terkait dengan jatuhnya talak tiga dengan sekali ucapan dan dalam satu majelis adalah sebagai berikut: Pertama, jika seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu saya talak tiga,” dengan sadar dan memahami apa yang dia katakan, serta bukan orang non-Arab yang tidak mengerti maksud perkataan, ketika diucapkan, maka talak seperti ini jatuh tiga; baik dinyatakan dengan niat di dalam hatinya bahwa talak tersebut talak tiga sekaligus atau tidak. Penunjukkan lafalnya dengan tegas dan jelas dalam ucapan ini, “Kamu saya talak tiga” tidak membutuhkan niat sehingga talaknya jatuh.
Allah SWT berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Jika suami mentalak istrinya, maka tidak halal bagi dirinya setelah itu, hingga istrinya menikahi suami (pria) lain (QS al-Baqarah [2]: 230).
Al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil, dalam kitabnya, Tafsir Surat al-Baqarah, ketika menjelaskan tafsir ayat di atas, menyatakan:
Allah SWT menjelaskan dalam ayat yang mulia ini, bahwa siapa saja yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, yaitu melebihi batas yang diizinkan, sebagaimana firman Allah, “ath-Thalaqu marratayn (talak itu dua kali).” maka istrinya telah terlepas dari dirinya dengan status Ba-in Baynunah Kubra. Dalam arti, dia tidak boleh lagi rujuk kepada mantan istrinya itu dalam masa ‘iddah-nya. Dia juga tidak boleh menikahi mantan istrinya itu dengan akad dan mahar baru. Bahkan dia haram melakukan itu, kecuali mantan istrinya itu menikah dengan pria lain, kemudian dia diceraikan oleh suami barunya, maka baru dibolehkan bagi mantan suaminya yang pertama untuk melamar dan menikahi dirinya dengan akad dan mahar baru; layaknya wanita asing lainnya.
Muncul persoalan, apakah status talak Ba-in Baynunah Kubra terjadi karena talak tiga yang dinyatakan secara terpisah, satu demi satu, atau terjadi dengan sekali ucapan?
Masalah ini memang telah menjadi perdebatan fuqaha’. Mereka telah panjang lebar berbeda pendapat. Dengan meneliti persoalan ini, maka bisa ditegaskan bahwa tidak ada bedanya talak tiga dinyatakan secara terpisah maupun sekaligus. Status hukum talak Ba-in Baynunah Kubramerupakan konsekuensi dari talak dengan kata “tiga”, baik sekaligus ataupun bertahap, satu demi satu. Dalilnya adalah:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik(QS al-Baqarah [2]: 229).
Dalam lanjutan ayat di atas dinyatakan:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Jika suami mentalak istrinya, maka tidak halal bagi dirinya setelah itu, hingga istrinya menikahi suami (pria) lain.
Frasa, marratani (dua kali) yaitu talak dua kali, atau fa in thallaqaha (jika dia mentalak istrinya), yaitu talak tiga, adalah lafal mutlak yang tidak disertai dengan adanya taqyid (batasan), baik batasan “sekaligus” maupun “terpisah”. Sebab, dilihat dari bentuk kata kerjanya, kalimat tersebut merupakan kalimat verbal yang berbentuk positif (mutsbat), bukan negatif (manfi). Dengan demikian, ayat ini menjelaskan jatuhnya talak Ba-in Baynunah Kubra (talak tiga), baik dilakukan secara serentak maupun terpisah.
Ada yang menyatakan, bahwa ada nas-nas hadis yang membatasi kemutlakan dalil di atas sehingga Ba-in Baynunah Kubra tersebut berlaku ketika dinyatakan secara terpisah, bukan sekaligus. Dengan kata lain, jika talak tiga dinyatakan sekali, maka jatuh hanya sekali. Pendapat seperti ini tidak tepat, karena tidak ada satu pun nas hadis yang menjelaskan hal ini bisa diterima. Hadis-hadis yang menyatakan hal ini semuanya lemah, tidak sampai pada derajat hasan atau sahih, kecuali dua hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas. Ibn ‘Abbas berkata, “Rukanah telah menceraikan istrinya dengan talak tiga di satu majelis, dia pun sedih. Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya yang berlaku hanya satu.” (HR Ahmad).
Selain riwayat ini, tidak ada riwayat lain yang menegaskan, bahwa Ibn ‘Abbas menyatakan talak tiga hanya berlaku satu. Sebaliknya, fatwa yang sahih dari Ibn ‘Abbas menyatakan, talak tiga yang dinyatakan sekaligus berlaku tiga, dengan konsekuensi Ba-in Baynunah Kubra. Riwayat tersebut dituturkan masing-masing oleh Mujahid, Said bin Jubair, ‘Atha’, Malik bin Haris dan ‘Amru bin Dinar.
Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, menurut kami, adalah bahwa talak tiga yang dinyatakan sekaligus maupun terpisah tetap jatuh tiga.
Kedua, jika talak tiga tersebut jatuh maka ada beberapa konsekuensi hukum, antara lain:
1) Istri telah dipisahkan dari suaminya dengan status Ba-in Baynunah Kubra sehingga dia tidak lagi halal bagi suaminya hingga menikah dengan pria lain. Kemudian suami kedua ini menceraikan dirinya, dan masa ‘iddah perempuan tersebut selesai, maka saat itulah bagi mantan suaminya yang pertama baru boleh maju untuk melamar dan menikahi dirinya dengan akad dan mahar baru.
2) Wanita tersebut tidak boleh menikah, kecuali setelah masa ‘iddah-nya habis. Jika dia sedang hamil, maka masa ‘iddah-nya berakhir sampai melahirkan. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddah-nya selama 3 quru’ (3 bulan) menurut hitungan sekarang.
3) Wanita tersebut tidak boleh keluar dari rumahnya selama masa ‘iddah, kecuali karena adanya kebutuhan. Itu pun hanya boleh pada siang hari, sementara malam harinya tetap tinggal di rumah. Ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Jabir.
4) Adapun pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tersebut tidak mempunyai masa ‘iddah, karena ‘iddah ini terkait dengan talak raj’i, agar suaminya bisa rujuk, sebenarnya ini merupakan salah satu hikmah‘iddah. Namun, ada hikmah lain, yaitu untuk mengetahui kesucian rahim perempuan tersebut. Karena dengan ‘iddah, wanita yang ditalak tersebut bisa diketahui kesucian rahimnya.
Lalu mengenai status talak yang digantung dengan menggunakan waktu tertentu, maka status talak seperti ini boleh. Misalnya, seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu akan saya jatuhkan talak, setelah sebulan.” Pernyataan talak seperti ini sah. Karena itu, kalau ada seseorang yang ditahan, kemudian dia mengatakan kepada istrinya, “Jika dalam enam bulan saya tidak bebas, kamu saya talak. Silakan menikah dengan pria lain,” maka talaknya jatuh setelah enam bulan, dan dia berhak menikah lagi, setelah masa ‘iddah-nya berakhir.
Begitu pun jika dalam kondisi ditahan, suaminya tidak menjatuhkan talak, kemudian istrinya mengajukan gugatan cerai, maka para ulama menyatakan:
1) Jumhur ulama menegaskan bahwa gugatan cerai perempuan yang diajukan kepada hakim, karena suaminya ditahan, tidak boleh dikabulkan. Dengan kata lain, hakim tidak boleh menjatuhkan vonis yang memisahkan hubungan suami-istri dari pasangan yang salah satunya berstatus sebagai tahanan (mahbus); berapapun lamanya waktu penahanannya. Sebab, dia tidak ada di sisi istrinya, tetapi diketahui bahwa statusnya masih hidup. Ketiadaannya di sisi istrinya juga karena udzur, yaitu ditahan. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi, Syafii dan Hanbali.
2) Adapun Imam Malik berpendapat sebaliknya, yaitu boleh. Dengan kata lain, jika seorang istri mengajukan gugatan cerai kepada hakim, dan dia menyatakan dirinya teraniaya, maka setelah satu tahun masa penahanan suaminya, dia berhak mengajukan gugatan cerai. Pengadilan pun boleh mengabulkan.
Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak mengadopsi hukum tertentu dalam masalah ini. Karena itu, para istri boleh saja memilih untuk mengikuti pendapat mazhab manapun dalam masalah ini. Hanya saja, Hizb menasihati para istri agar dalam kondisi seperti ini mereka bersabar. Semoga Allah memberikan jalan keluar kepada para suami mereka sehingga bisa kembali ke rumah mereka dan berkumpul dengan mereka. Keluarga mereka pun kembali utuh dan tetap dalam kondisi yang baik.
Dengan kesabarannya, para istri akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT, karena Allah SWT selalu bersama orang-orang yang bersabar. Namun, jika mereka tetap menuntut cerai, maka yang terbaik adalah meminta dari suaminya. Saya kira, tidak ada suami yang tidak mau menceraikan istrinya jika dia memintanya, karena tahu bahwa kalau istrinya tetap terikat dengan dirinya dalam kondisi tanpa harapan, dan terus merasa teraniaya. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar