KONSEPSI HADD PEMINUM KHAMR DALAM AL-QUR’AN (Pendekatan
Tafsir maudlu’iy Abdul Al-Hayyi Al-Farmawy)
I.
PENDAHULUAN
Orang Islam menyakini bahwa al-Qur’an
adalah firman Allah yang ada disisi-NYA dalam kekekalan induk al-kitab (Lauh
Mahfuzh, QS. [43]: 4), catatan yang terpelihara (QS [85]: 22). Al-Qur’an
yang pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar
(QS [97]: 1) dan disampaikan secara lisan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat
Jibril AS (QS [2]: 97).
Ketika Al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah SAW, para sahabat dengan sabar menekuni dan mendalami kandungan
isinya, menghafalkan dengan penuh semangat serta merenungkan dan mendalami
lafadz-lafadz dan kandungan maknanya. Bahkan Rasulullah sendiri telah menjadi
referensi (maraji’) mereka yang pertama untuk mendapatkan penjelasan
lafadz Al-Qur’an yang sukardipahami oleh akal pikiran mereka atau memperoleh
penjelasan tentang makna-maknanya, atau tentang hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. (QS. An-Nahl:44).
Maka untuk menafsirkan Al-Qur’an
sebenarnya telah dimulai dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW serta beliau
sendiri menjadi sumber tafsir pada masa hidupnya. Maka bagaimana halnya dengan
kondisi umat sesudah beliau wafat dalam memahami tafsir Al-Qur’an. Padahal
tafsir Al-Qur’an adalah kunci untuk membuka gudang simpanan Al-Qur’an guna
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. (As-Sabuni, 1980:59-60).
Al-Qur’an juga memiliki susunan bahasa
yang luar biasa, yang tidak ada seorang pun bisa menirunya. Tidak hanya sekedar
itu di dalam al-Qur’an juga terdapat lafal-lafal yang tidak bisa di mengerti
pada masa ketika di turunkan tetapi baru terungkap berabad-abad. (IDEA, 2011:
58)
Hal ini membutuhkan suatu pengetahuan
tentang keseluruhan kitab bersama dengan satu pengertian tentang dua prinsip
dasar yang ditetapkan oleh para penafsir terdahulu. Yang pertama, mengingat
bukti bahwa al-Qur’an sendiri (QS. [3]: 7) menunjukkan perbedaan antara
ayat-ayat yang maknanya jelas (Muhkamat) dan ayat-ayat yang maknanya
tidak jelas bagi kebanyakan orang (Mutasyabihat) ayat-ayat yang kedua
harus di pahami dengan pedoman ayat yang pertama. Kedua, kontradiksi
yang jelas dalam masalah hukum di jelaskan dengan istilah penghapusan (Nasikh
lihat QS [2]: 106). (Robinson, 2001: 104)
Dalam makalah ini (pengharaman khamr)
penulis berasumsi bahwa perintah untuk tidak shalat diwaktu mabuk (QS. [4]: 43)
telah dihapus dengan larangan total berikutnya terhadap minuman keras (QS. [5]:
90) setelah berusaha memahami al-Qur’an dari sudut pandang al-Qur’an para
penafsir harus berganti kepada sunnah yang terpelihara dalam
hadist-hadist (laporan tentang apa yang diucapkan, dilakukan dan diamnya
nabi untuk menunjukkan persetujuan dan ketidak setujuan beliau) untuk melihat
sunnah ini terhadap bagian yang sedang mereka pelajari.
Dalam pembahasan ini akan di uraikan
bagaimana tahapan khamr itu di haramkan? Bagaimana had peminum khamr?
penulis berusaha mengkaji dengan menggunakan metode pendektan tafsir tematik
(al-maudlu’iy). Maka terlebih dahulu sebelum melangkah ke dalam pembahasan,
terlebih dahulu penulis akan sedikit mengemukakan tentang tafsir maudlui’iy.
Artinya Maudlu’iy yang dimaksudkan
disini adalah yang dibicarakan atau judul atau topik. Sehingga tafsir Maudhu’iy
berarti penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengenai satu judul atau topik
pembicaraan tertentu. Adapun menurut pengertian terminologi ialah mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas
topik atau judul tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat
tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya
dengan ayat-ayat yang lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum.
(Farmawi,1977: 52)
Kesemuanya di jelaskan dengan rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta (kalau ada) yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah; baik argumen yang berasan dari al-Qur’an
haidist maupun pemikiran rasional. (Baidan, 2002: 72)
Dalam tafsir Maudlu’iy ini terdapat dua
bentuk metode kajian sebagaimanaberikut :
1. Penafsiran
satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan
khusus atau tema sentral surat tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang
beraneka ragam itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut.
2. Menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat
Al-Qur’an (sedapat mungkin diurut sesuai dengan masaturunnya, apabila jika yang
dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, munasabah
masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang
mempunyai kaitan dengan tema atau pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh
penafsiran dalam satukesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban
Al-Qur’an menyangkut tema (persoalan) yang dibahas. (Quraish Shihab, 1992:156).
Metode penafsiran Maudlu’iy meskipun
telah ada sejak dahulu (jaman Rasul, Sahabat dan Tabi’in) namun hal itu baru
dikatakan hanya suatu usaha untuk melahirkan metode semacam ini. Batasan yang
terperinci dan jelas barumuncul pada periode belakangan oleh Al-Ustadz Dr.
Ahmad Al-Sayyid Al-Kummi Ketua Jurusan tafsir Universitas Al-Azhar beserta
beberapa teman beliau dari para dosen Al-Azhar. tafsir Al-Qur’an yang
menggunakan metode Maudlu’iy/topikal pada dasarnya bisa saja memakai sistim
penafsiran yang sederhana atau sedang maupun yang lengkap. Namun kebanyakan
kitab-kitab tafsir Maudlu’iy menempuh sistematika yang lengkap, yang meliputi
beberapa tahap penafsiran. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1.
Mencari judul
atau topik Al-Qur’an yang hendak dibahas.
2.
Mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dibicarakan judul atau topik tersebut.
3.
Menertibkan
urutan ayat-ayat sesuai dengan tertib turunnya, makkiyah dan madaniyahnya,
sesuai dengan riwayat sebab turunnya.
4.
Menjelaskan munasabah
(persesuaian) antara ayat yang satu dengan yang lain dan diantara surat dengan
surat.
5.
Berusaha
menyempurnakan pembahasan judul atau topik tersebut dengan dibagi dalam
beberapa bagian yang berhubungan bagian satu dengan bagian yang lain.
6.
Melengkapi
penjelasan ayat dengan hadist Nabi, riwayat sahabat dan lain-lain, sehingga
makin terang dan jelas.
7.
Mempelajari
ayat-ayat yang satu judul atau topik secara sektoral, dengan menyesuaikan
antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqoyudad,
yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat yang
kelihatannya bertentangan satu sama lain serta menentukan yang nasakh dari yang mansukh. Sehingga mencakup
semua nash-nash mengenai satu judul atau topik. (Al-Farmawi, 1977: 61-62)
II. PEMBAHASAN
A. Diskursus
Kemaslahatan dan Kemadharatan Khamr
Bila kita amati di Eropa umpamanya,
kita dengan mudah menjumpai minuman keras hampir disetiap meja makan, padahal
sebenarnya masyarakat setempat jelas tahu bahaya yang ditimbulkan minuman
keras. Mereka juga mengetahui bahaya merokok. Tetapi kenyataan yang patut
direnungkan, iklan-iklan rokok seperti yang sering kita saksikan sekarang
bersamaan dengan pemberitahuan bahwa merokok dapat menyebabkan kesehatan.
Al-Ghazali (1991: 150) menilai jika bukan karena penganut Masehi tidak
menghendaki hokum Islam, sudah pasti mereka akan mengharamkan minuman keras.
Sebab pada kenyataanya minuman keras banyak di jauhi kaum intelektual di
kebanyakan Negara, atau paling tidak mereka mempunyai undang-undang yang
melarang seorang meminum minuman keras ketika sedang mengendarai sepeda
bermotor.
Secara epistemologi diharamkannya khamr
(minuman keras) bertahap, karena orang-orang pada masa permulaan Islam sangat
tergila-gila kepadanya. Sehinnga jika pada masa itu khamr diharamkan
dengan tegas tentulah hal itu akan membuat para pecandunya berpaling dari
Islam. Sebab itu ia diharamkan secara bertahap. Pertama dalam surat
al-Baqarah, diharamkan dengan cara memberi lapangan untuk berijtihad, sehingga
orang yang belum kecanduan akan meninggalkannya. Kedua di dalam surat
An-nisa’ pengharamannya hanya dalam waktu-waktu menjelang shalat. Sebab mereka
dilarang mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Dengan demikian orang yang
mencandu hanyalah akan minum ketika sesudah waktu shalat isya’, dan ini sedikit
sekali bahayanya. Kemudian setelah waktu subuh bagi orang yang tidak punya
pekerjaan, sehingga mabuknya tidak akan memanjang hingga waktu dzuhur. Kemudian
Allah membiarkan mereka dalam keadaan tersebut untuk beberapa massa, hingga
agama menjadi kuat dan banyak terjadi peristiwa yang dengan itu mereka dapat
melihat dengan jelas bahaya dan dosa khamr itu. Setelah itu Allah baru
mengharamkannya dengan tegas dan ketat. (Al-Maraghiy, 1974: 41-42)
Para Ulama’ (tradisional maupun
kontemporer) sepakat bahwa khamr haram hukumnya karena ia merupakan induk
segala kejahatan. Ahli kedokteran mengatakan bahwa khamr merupakan
bahaya besar yang mengancam kehidupan manusia, ini bukan saja karena
keburukan-keburukan yang langsung ditimbulkannya, tetapi juga karena efek-efek
yang fatal. Sebab, khamr akan menimbulkan penyakit yang tidak kecil, yaitu
paru-paru. Khamr juga melemahkan daya imunitasnya terhadap serangan
penyakit-penyakit lain dan berpengaruh terhadap seluruh organ tubuh, khususnya
terhadap liver (hati) dan juga bisa melemahkan seluruh saraf.
Oleh karena itu khamr merupakan
penyebab utama dari berbagai penyakit saraf. Ia merupakan faktor penting yang
menyebabkan kegilaan, kesengsaraan dan perbuatan kriminal, bukan hanya diri
sendiri tetapi juga keturunan. Dengan demikian khamr adalah penyebab kesengsaraan,
kekacauan, pemborosan, kecanduan dan lain sebagainya. Bila melanda suatu kaum
ia akan merusak secara material maupun spiritual, secara fisik dan mental,
secara jasad dan akal. (Sabiq, 2004: 274)
Meskipun begitu, efek dari alkohol ternyata tidak selamanya buruk. Dalam
lima tahun terakhir ini manfaat dari konsumsi alkohol dalam jumlah sedang sudah
menjadi topik utama berbagai pemberitaan meski masih dianggap kontroversial.
Salah satu yang harus digarisbawahi dari berbagai hasil-hasil riset mengenai manfaat
alkohol adalah konsumsi dalam jumlah sedang. Beberapa studi juga menyebutkan
dampak positif tersebut hanya ditemukan pada orang yang sudah berusia paruh
baya. Bahkan, konsumsi alkohol dalam jumlah sedang juga tidak dianjurkan untuk
wanita yang sedang hamil atau berencana untuk hamil, atau untuk mereka yang
berusia di bawah 21 tahun.
Bukti paling kuat dari konsumsi alkohol
dalam jumlah sedang adalah menurunkan risiko penyakit jantung. Riset itu
dilakukan dr Kenneth Mukamal, dokter penyakit dalam dan asisten profesor dari
Harvard Medical School yang melakukan studi selama 12 tahun. Dalam laporannya
di New England Journal of Medicine, ia menuliskan bahwa alkohol
berdampak positif pada kolesterol baik (HDL). Selain itu, alkohol diketahui
mengencerkan pembekuan darah sehingga mencegah penyumbatan pembuluh darah.
(Kompas. com)
Kendati demikian, Mukamal menyebutkan
bahwa potensi risiko dan manfaat dari konsumsi alkohol sebenarnya tidak sama
pada setiap orang, tergantung pada riwayat kesehatan, usia, jenis kelamin, dan
faktor genetik. Sementara itu, dr. Ari menambahkan bahwa meski dikonsumsi dalam
jumlah sedikit, toleransi dari penggunaan sedikit itu makin lama semakin tinggi
sehingga tetap berisiko menyebabkan ketagihan. (Kompas. com)
B. Gradualitas Pengharaman
Khamr dalam al-Qur’an
Imam Syafi’I (w. 204 H) mengelompokkan
ilmu menjadi dua; pertama ia sebut sebagai ilmu ‘ammah (ilmu yang diterima
secara umum) dan kedua ilmu khassah (ilmu yang menjadi wilayah orang
tertentu [ulama’]). Yang pertama ilmu ‘ammah mempunyai nash dengan tegas dalam
al-Qur’an atau sunnah (yang mutawatir) dan jelas diterima umat Islam yang cara
penerimaannya secara berkesinambungan oleh umat Islam beruntun dari Nabi serta
tidak terjadi perbedaan pendapat dalam periwayatan serta kewajibannya. Yang
tergolong kelompok ini adalah kewajiban shalat lima kali sehari, puasa
ramadhan, menunaikan Ibadah haji jika mampu, membayar Zakat; kemudian keharaman
berzina, membunuh mencuri, minum khamr. Untuk itu semua tidak ada ruang
perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin. Selain dari itu masuk dalam
kategori ilmu khassah. (al-Syafi’I, tth: 357-360) dari penggolongan ilmu
menurut Asy-Syafi’I, dapat kita lihat bahwa keharaman mengkonsumsi khamr
termasuk dalam ilmu ‘ammah, artinya hal itu berlaku universal bahwa
keharaman khamr selain sudah termaktub dalam al-Qur’an, juga sudah
menjadi ijma’ ulama’.
Namun orientasi penetapan hukum
(keharaman khamr) dalam al-Qur’an adalah untuk kepentingan manusia,
bukan kepentingan Allah. Orientasi tersebut dapat dilihat antara lain pada
proses pewahyuan al-Qur’an yang diturunkan secara beransur-ansur sesuai dengan
kemampuan manusia. Turunnya al-Qur’an secara beransur-ansur tersebut mempunyai
hikmah, antara lain agar manusia mudah memahami hukum-hukum yang ditetapkannya.
Pada tahap pertama Allah belum secara tegas mengharamkannya seperti pada
ayat berikut, yakni:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُون
Artinya; Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari
keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berpikir (QS. Al-Baqarah: 219)
Pada ayat tersebut belum mengharamkan khamr
bagi masyarakat Arab yang pada masa itu merupakan tradisi, melainkan
mengingatkan kepada mereka meskipun khamr mempunyai manfaat akan tetapi
manfaatnya tidak berarti jika dibandingkan dengan dosa yang diakibatkannya.
Setelah itu, turunlah ayat yang
selanjutnya untuk memberi peringatan yang kedua kalinya yang sudah mengandung
larangan, tetapi belum mencapai tingkat haram. (Shihab, 2005: 409)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,....(QS. Annisa:
43)
Firman Allah diatas turun sebelum ayat
yang menegaskan haramnya khamr secara total. Firman Allah diats menunjukkan
bahwa seorang tidak diperkenankan melakukan shalat karena keadaan mabuk. Hal
ini kemudian menjadi petunjuk ‘illat pentahriman yang terdapat dalam
ayat yang turun sesudahnya, sebagaimana di jelaskan pula oleh hadist Rasulullah
bahwa ‘illat di haramkannya khamr ialah karena sifatnya yang
memabukkan. (Abu Zahrah, tt: 374)
Peringatan yang dikandung ayat ini,
hanya berkisar pada larangan orang Islam yang meminum khamr ketika
menjelang shalat. Sebab dengan minum khamr dapat menjadikan seorang mabuk,
sehingga mengakibatkan ucapan seseorang tidak terkontrol. Karena tidak
terkontrol bacaan shalatnya bisa salah dan shalatnya sia-sia.
Hal ini dapat diketahui berdasarkan
riwayat yang menyebutkan peristiwa turunnya ayat diatas. Bahwa suatu ketika
Abdurrahman bin auf mengundang beberapa sahabat untuk makan bersama. Dalam
makan tersebut dihidangkan khamr yang menyebabkan mereka mabuk. Ketika waktu
shalat tiba, salah seorang diantaranya diangkat menjadi imam, Ibnu Jarir meriwayatkan
dari Ali bahwa ketika itu shalat yang dilakukan adalah shalat magrib, dan
ternya keliru membaca surat Al-kafirun menjadi seperti contoh berikut;
قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُون
Artinya; “katakanlah: hai orang-orang kafir, kami
menyembah apa yang kamu sembah....(QS. [109]: 1-2)
Berdasarkan peristiwa ini, ayat diatas
turun membari peringatan supaya orang-orang Islam menjauhi perbuatan
bermabuk-mabuk ketika mereka hendak mendirikan shalat. Sebah dengan keadaan
mabuk maka dapat mengakibatkan kekacauan dalam bacaan shalat. (Al-Maraghi,
1974: 74)
Ada perbedaan makna antara kedua Uslub;
La taqrabus-salata wa antum sukara dengan la taqrabus-salata sukara.
Yang pertama mengandung larangan untuk mabuk yang di takutkan akan
berketerusan hingga waktu shalat, sehinngga melakukannya dalam dalam keadaan
mabuk. Makna ringkasnya, hindarkanlah agar mabuk itu tidak menjadi sifat kalian
ketika datang waktu shalat, sehinnga kalian melaksanakan shalat dengan keadaan
mabuk. Kepatuhan larangan ini baru bisa terlaksana dengan meninggalkan mabuk
pada waktu shalat dan waktu menjelang shalat. Sedangkan yang kedua hanya
mengandung larangan shalat dalam waktu mabuk saja.
Peringatan Allah ini belum membuat
orang-orang Islam belum bisa berhenti dari kebiasaannya itu dan masih mencari
kesempatan antara dua shalat untuk minum khamr miasalnya, antara waktu
isya dan subuh. Waktu ini dijadikan kesempatan, sebab meskipun usai mereka
minum khamr sebelum tidur, tetapi kondisi mabuk mereka akan kembali normal
setelah bangun dari tidurnya. (al-Maraghiy)
Oleh karena itu untuk menghentikan
perbuatan minum-minuman keras bagi orang-orang Islam, turunlah ayat selanjutnya
untuk menerangkan bahwa perbuatan semacam itu merupakan perbuatan syaitan,
yakni;
Dalam ayat-ayat terdahulu , Allah telah
melarang mengharamkan parkara-perkara yang baik yang telah di halalkan-Nya dari
perkara yang halal lagi baik. Diantara perkara yang di pandang baik oleh
manusia diantranya adalah khamr. Karena itu Allah menjelaskan bahwa keduanya
tidak termasuk perkara yang dihalalkan, tetapi diharamkan. (al-Maraghiy, 1974:
32)
Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan mengenai turunnya ayat-ayat
ini, bahwa saad bin Abi Waqash ra. Berkata: “Ayat mengenai tentang khamr
diturunkan sekaitan dengan saya. Seorang laki-laki anshar membuat makanan, lalu
ia mengundang kami. Maka datang seorang kepadanya, lalu makan dan minum hingga
mereka mabuk karena meminum khamr. Itu terjadi sebelum pengharaman khamr.
Mereka saling menyombongkan diri: orang-orang Anshar berkata “kaum Anshar lebih
baik”. Dan orang Quraiys berkata “kaum Qurays lebih baik” kemudian seorang
lelaki memegang tulang dagu saya, lalu memukul dagu saya sampai koyak. Maka
saya datang kepada nabi saw. Untuk memberitahukan kejadian tersebut, maka turunlah
ayat;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah:
90)
‘Abad bin humaid, Ibnu Jarir, ibnu
Mundzir, Baihaqi dan Ibnu Mardawaih meriwaytkan dari Ibnu Abbas; ayat tentang
pengharaman khamr berkaitan dengan kabilah diantara kabilah anshar yang
minum-minum. Tatkala kaum itu mabuk, maka mereka saling baku hantam. Dan
tatkala mereka sadar, salah satu diantara mereka melihat bekas-bekas pada muka,
kepala dan janggutnya dan berkata “saudara-ku si fulan telah melakukan ini
kepadaku. demi Allah jika ia adalah seorang yang penyantun dan penyayang
tentulah dia tidak akan melakukan itu terhadapku”. Begitulah kemudian mereka
saling mendengki.
Ayat terakhir ini sudah tegas
mengharamkan khamr dan dikategorikan sebagai perbuatan syaitan yang
harus di jauhi orang Islam. Suatu kaidah menyebutkan bahwa setiap perbuatan
yang di nisbahkan kepada syaitan, menunjukkan keharaman untuk dilaksanakan. (Umar
Shihab, 410)
Diharamkannya khamr adalah sesuai
dengan ajaran-ajaran islam yang meginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang
memiliki kekuatan fisik, jiwa dan akal pikiran. Tidak diragukan agi khamr
melemahkan kepribadian dan menghilangkan potensi-potensi terutama sekali akal.
Apabila akal seseorang telah hilang maka akan menjadi binatang yang jahat dan
timbul juga darinya kejahatan dan kerusakan yang tak terperikan. Pembunuhan
permusuhan, membuka rahasia dan penghianatan terhadap tanah air adalah beberapa
bentuk pengaruh negatif khamr. (Sabiq, 2004: 271)
C.
Hadd Sesuatu yang Memabukkan Selain Khamr
Dewasa ini khamr tidak hanya
diartikan sebagai minuman keras saja akan tetapi lebih dari itu, devinisi
secara sempit, hanya sebatas yang memabukkan saja, Khamr yang berupa
minuman: Bir jenis, Wine Brandy Whyski Vodka, Mansion House, Tape ketan
minggu pertama,Tape ketan minggu kedua, Tape singkong minggu pertama, Tape
singkong minggu kedua Kadar alkohol. Maka muncul pertanyaan mengenai suatu
yang muncul dari yang memabukkan selain minuman keras (minuman yang
memabukkan). Zaman yang serba modern ini telah melahirkan berbagai hal (selain khamr)
yang dapat memabukkan seperti Heroin, Putaw, Sabu-sabu, Pil (dengan
macam-macam nama dan kadarnya) dan lain sebagainya, lalu bagaimana hukum
terhadapnya? Apakah dapat di analogikan dengan khamr?
Kata khamr diambil dari akar
kata khamara yang secara harfiah berarti menutup, maksudnya adalah
menutupi akal. Secara terminologi para
pakar hukum Islam berbeda pendapat. Sabiq (2004:276) Khamr adalah cairan
yang dihasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan mengubah sari
patinya menjadi alkohol dengan menggunakan katalisator (enzim) yang mempunyai
kekuatan untuk memisahkan unsur-unsur tertentu yang berubah melalui proses
peragian. Imam Abu hanifah dalam Quraiys
Sihab khamr adalah jenis minuman
yang terbuat dari buah perasan anggur sesudah di masak sampai mendidih serta
mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari itulah yang
mengandung unsur memabukkan dan karena itulah ia haram/terlarang. (Quraiys;
2011: 171)
Mayoritas ulama termasuk Imam Malik,
Syafi’i dan Hanafi menolak pendapat diatas. Khamr menurut mereka adalah;
semua minuman yang mengandung unsur memabukkan, sekalipun tidak terbuat dari
perasan anggur. Untuk memperkuat berikut dikemukakan beberapa hadist;
1.
Dari Annas bin
malik, dia menceritakan kepada manusia bahwa sesungguhnya khamr telah
diharamkan. Dan yang namanya khamr pada waktu itu ialah yang terbuat dari korma
”. (Bukhary, hadist no. 5305)
2.
Dari Abu Salmah
bin Abdurahman; sesungguhnya Aisyah ra. Mengatakan: “Rosulullah saw pernah di tanya tentang al
bit’u yaitu khamr dari madu, yang biasa diminum oleh orang-orang Yaman, dan
beliau menjawab: setiap minuman yang memabukkan hukumnya adalah haram”.
(Bukhary, hadist no. 5306)
3.
Dari Ibnu Umar
ra. Dia berkata: suatu hari umar berdiri diatas mimbar dan berpidato:
“selanjutnya ayat yang menyatakan keharaman khamr sudah turun. Dan khamr itu
terdiri dari lima macam; dari anggur dari kurma, dari madu, dari biji gandum,
dan dari gandum. Khamr adalah sesuatu yang bisa menutupi akal”. (Bukhary,
hadist no. 5302)
Dari beberapa hadits diatas menunjukkan bahwa
Khamr terbuat dari apapun, jika ada ‘illat yang memabukkan maka dihukumi
haram. Di era modern sekarang ini khamr tidak hanya berbentuk minuman, banyak
jenis seperti Brandy, wisky, martini, Liquor dan lain sebagainya, itu semua di
haramkan karena dilihat secara etimologi khamr menurut ahli-ahli bahasa diambil
dari akar kata khamara yang secara harfiah berarti menutup, maksudnya
adalah menutupi akal riwayat lain menyebutkan mengacaukan akal. Oleh karena itu
secara bahasa, khamr meliputi semua benda yang dapat mengacaukan akal.
(Sabiq, 2004: 280)
Apa yang dibahas diatas adalah
hukum-hukum tentang khamr. Adapun benda-benda yang dapat menghilangkan
akal selain minuman seperti; Cloroform, ganja, sabu-sabu dan lain-lain hukumnya
juga haram. Sebab benda-benda tersebut memabukkan. Dalam hadist muslim nabi
bersabda; “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
adalah haram”. (HR. Muslim).
Adapun khamr yang diubah menjadi
cuka, Ibnu Rusyid mengatakan bahwa ulama’ telah bersepakat tentang memakan atau
boleh meminum cuka yang terjadi dari khamr apabila khamr itu berubah dengan
sendirinya. Akan tetapi terjadi ikhtilaf tentang khamr yang sengaja
dijadikan cuka. Dalam hal ini terbagi menjadi tiga; pertama
mengharamkan, kedua menghukumi makruh ketiga, membolehkan[1][1]. (Sabiq, 2004:
286)
Adapun perbedaan pendapat tersebut ada
dua. Pertama adanya kontradiksi analogi (qiyas) dengan atsar. Kedua
adanya pemahaman memahami hadist yang di keluarkan oleh Abu Dawud dari Anas bin
Malik yang menceritakan bahwa Abu talhah bertanya kepada nabi saw. Tentang anak
yatim yang mendapatkan warisan berupa khamr. Rasulullah bersabda “Tumpahkan
khamr tersebut”. Abu talhah bertanya lebih lanjut, “Apakah tidak boleh aku olah
khamr itu menjadi cuka? Maka nabi berkata lagi, “jangan”.
Siapa yang mengartikan larangan diatas
sebagai pembendung kejahatan, maka hal itu akan membawanya menghukumkan
“makruh”. Dan siapa yang memahami larangan itu sebagai larangan tanpa
sebab/’illat, maka ia akan menghukumkan “haram”. Berdasarkan ini juga tidak ada
pengharaman bagi orang-orang yang menganggap larangan itu tidak berlaku dengan
musnahnya apa yang dilarang. (Shabiq)
Pertimbangan untuk menghukumkan
kehalalan cuka dan tidak menharamkannya ialah kenyataan syariat yang
mengajarkan kita barmacam-macam hukum itu disebabkan oleh bermacam-macam hukum
itu disebabkan oleh bermacam-macamnya zat atau benda itu sendiri dan zat khamr
bukan zat cuka. Cuka adalah halal menurut ijma’ ulama’ . apabila zat khamr
berubah menjadi zat cuka, maka ia mesti halal bagaimanapun ia berubah. (Rusyid,
1988: 438)
D.
Penetapan Hadd
Peminum Khamr
Setelah
al-Qur’an menyatakan dan memberikan komitmen tentang adanya tahapan sampai pada
titik diharamkannya khamr, maka kemudian para Sahabat melakukan ijtihad
dan menetapkan hadd kepada para peminum khamr. Sesungguhnya Allah
menciptakan makhluk sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam penciptaan mereka
dan terhadap mereka, sebagaimana yang telah lebih dahulu ilmu-Nya. Tidak ada
yang berhak memproses hokum-Nya dan Dia maha cepat perhitungan-Nya. Allah
menurunkan al-Qur’an kepada mereka sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk
dan Rahmat. Dia juga menetapkan kewajiban-kewajiban, meringankan dan memudahkan
mereka, sebagai tambahan atas nikmat yang telah diberikan. Dia memberi pahala surga
dan keselamatan dari siksa-siksanya kepada orang yang mau mengikuti Hukum-hukum
yang telah Dia tetapkan.
Dalam hal ini
Syirazi (2004: 51) menyebutkan dalam Islam ada dua jenis hukuman yang
ditetapkan, yang dikenal dengan hadd dan Ta’zir. Hadd bentuk
jamak dari hudud. Secara bahasa hadd berarti cegahan sedangkan menurut
istilah syara’ hadd adalah pemberian hukuman dalam rangka hak Allah. (Shabiq,
2004: 255)
Imam Izzudin Abdussalam berkata, “sesungguhnya penerapan sanksi hukum semata mata
ditegakkan bukan hanya untuk menghindari kerusakan belaka, namun lebih
bertujuan untuk merealisasikan maslahat bersama. Seperti hukum potong
tangan bagi hukum rajam, cambuk, penjara bagi para pezina demikian pula bagi
sanksi yang lainnya. Syariat Islam menetapkan bentuk hukuman tersebut dengan
menimbang maslahat yang dihasilkannya. Dalam hal ini terdapat dua
hukuman terhadap orang yang meminum khamr;
a)
Hadd Peminum khamr didunia
Ulama’ fiqh telah sepakat bahwa
menghukumi peminum khamr adalah wajib dan bahwa hukuman itu berbentuk
deraan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang deraan tersebut. Dalam
suatu riwayat ada yang berpendapat 40 seperti hadist dibawah ini;
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم أتي بر جل قد شر ب الخمرفجلدّه
بجريد تين نخو أربعين.
Artinya: Bahwa
Nabi saw. pernah didatangkan seorang lelaki yang telah meminum khamar, lalu
beliau menderanya dengan dua tangkai pohon korma sebanyak empat puluh kali.
(Shahih Muslim No.3218)
Anas mengatakan hal itu juga dilakukan
oleh Abu bakar. Ketika Umar sedang
bermusyawarah dengan orang-orang Abdur Rahman berkata “hadd paling
ringan sebanyak 80 kali”. Maka umar memerintahkan hal itu. Di dalam Ash-Shahihain
diriwayatkan dari Ali, tidak mungkin saya menegakkan hadd terhadap
seorang sampai mati, sedang saya merasa ada mengganjal didalam jiwa saya,
terhadap peminum khamr. Sebab, kalau dia mati saya harus membayar
diatnya. Hal itu disebabkan karena Rasulullah tidak pernah mensunnahkannya. Di
dalam shahih Muslim di riwayatkan ustman datang membawa walid, sedangkan
dia baru saja melaksankan shalat subuh dua rakaat. Dia berkata, “saya
menambahkan kepada kalian”. Beberapa saksi untuk memberikan kesaksian
terhadapnya, bahwa dia telah meminum khamr. Utsman memerintahkan supaya
menjilid dan menghitungnya. Ketika sampai 40 kali Ali berkata “Hentikan” lalu
katanya, nabi dan Abu bakar menjilid sebanyak 40 kali dan umar 80 kali.
Semuanya itu adalah sunnah, sedangkan saya lebih menyukai yang ini (40 kali).
(Al-Maraghiy, 1974: 46)
Pendapat tersebut didasarkan kepada
hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim;
قا ل علي: جلد ر سو ل الله صلى الله
عليه وسلم أربعين وأبو بكر أربعين وعمر ثما نين وكل سنة وهذا أحب إلي (رواه مسلم)
“Rasulullah telah menghukum
dengan empat puluh pukulan, Abu Bakar (ra) juga empat puluh kali pukulan, dan
Umar (ra) menghukum dengan delapan puluh kali pukulan. Hukuman ini (empat puluh
kali pukulan) adalah hukuman yang lebih saya sukai”. (HR. muslim)
Perbuatan Rasulullah adalah hujjah yang
tidak boleh ditinggalkan hanya karena adanya perbuatan atau contoh lain,
sementara ijma’ tidak diakui manakala bertentangan dengan apa yang dilakukan
nabi, Abu bakar dan Ali. Adapun ijtihad umar yang menambah jumlah pukulan itu
adalah untuk menandaskan celaan terhadap pelakunya dan hal ini memang boleh
saja dilakukan jika Imam melihat urgensinya. Pandangan ini dikuatkan oleh kasus
bahwa Umar pernah menghukum laki-laki yang gagah dan selalu minum khamr
dengan hukuman sebanyak delapan puluh pukulan, sedang dengan seorang
laki-laki yang lemah lagi kurus umar menghukum dengan empat puluh kali
pukulan. Ituilah dasar Umar bin khatab menetapkan dasar hadd peminum khamr
sebanyak delapan kali pukulan. (Shabiq, 2004: 297-298)
Nabi Muhammad
tidak pernah mensunnahkan hadd khamer sebab, pukulannya sebanyak 40 kali
dan pukulannya satu kali tidak dipandang sebagai sunnah yang terbatas, karena
dalam beberapa kesempatan, beliau menyalahi hal itu. Akan tetapi, itu menjadi
sunnah yang di berlakukan oleh Abu bakar.
Ringkasnya, hukuman yang disyariatkan
terhadap peminum khamr adalah pukulan yang dimaksudkan untuk menghinakan
si peminum, menghardiknya dan membuat orang-orang menjauhi perbuatan itu.
Sedangkan pukulan sebanyak 40 atau 80 kali adalah ijtihad dari para khalifah.
Abu bakar memilih 40 kali, sedangkan umar 80 kali berdasarkan kesapakatan Abdu
‘r-Rahman bin ‘auf yang menyerupakan dengan hadd menuduh wanita-wanita muhshanat
(yang memelihara diri).
(al-Maraghiy)
Dalam hal mengeksekusi hadd peminum
khamr para sahabat menderanya dengan menggunakan pelepah kurma, sebagaimana
dalam riwayat Imam Bukhari;
عن عقبة بن الحرث قال جئ بالنعيمان
اوابن النعيمان شاربا فأمررسول لله صلى لله عليه وسلم من كا ن فى البيت ان يضر بوا
قال فكنت انا فيمن ضربه فضربناه بالنعا ل والجريد (رواه بخرء)
“Dari Ukubah bin Harist ra, katanya,
Nu’aiman bin nuaiman, karena itu minum yang memabukkan, maka Rasulullah
memerintahkan kepada orang yang didalam rumah supaya memukulnya, maka uqbah
saja juga diantara orang-orang yang memukulnya lalu ia pukul dengan terompah
dan pelapah kurma”. (HR. Bukhary)
b)
Hadd peminum Khamr di Akhirat
Diriwayatkan dalam beberapa hadist orang yang minum khamr tidak hanya mendapatkan hukuman
dalam dunia, namun diakhirat kelak juga akan dimintai pertanggung jawaban, sebagai
mana dalam beberapa riwayat;
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa minum
khamr semasa di dunia dan belum sempat bertaubat maka diharamkan untuknya minum
di akhirat kelak” (HR Bukhari no. 5575 dan Muslim no. 2003).
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah r.a,
bahwasanya seorang lelaki datang dari Jaisyan (negeri Yaman) lalu ia bertanya
kepada Nabi saw. tentang hukum minuman dari jagung yang sering mereka minum di
negeri mereka. Minuman tersebut bernama mirz. Lalu Nabi saw. bertanya, “Apakah
minuman itu memabukkan?” Lelaki itu menjawab, “Benar.” Lalu Rasulullah saw.
bersabda, “Setiap yang memabukkan itu haram hukumnya dan sesungguhnya Allah
SWT telah berjanji bahwa orang yang minum minuman memabukkan akan diberi
minuman thinah al-khahal.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan thinah al-khahal?” Beliau menjawab, “Keringat penghuni
neraka atau air kotoran penghuni neraka” (HR Muslim no. 2002).
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa minum khamr, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat
puluh hari. Namun jika ia bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila
mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat
puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.
Apabila mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama
empat puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.
Apabila untuk yang keempat kalinya ia ulangi lagi maka Allah tidak akan
menerima shalatnya selama empat puluh hari dan jika ia bertaubat Allah tidak
akan menerima lagi taubatnya dan akan memberinya minuman dari sungai
al-khahal”. Ditanyakan, “Wahai Abu Abdurrahman apa yang dimaksud dengan
sungai al-khahal?” Ia menjawab, “Sungai yang berasal dari nanah penghuni
neraka,” (Shahih, HR. at-Tirmidzi no. 1862).
c)
Dasar
pengambilan Hadd (Hukuman)
Sebelum menyatakan atau menghukum pemabuk hamat penulis sebaiknya, melakukan
pembuktian terlebih dahulu. Sabiq (2004: 298) Pembuktian ini pun dapat
dilakukan, Hukuman ditetapkan berdasarkan salah satu antara
dua hal berikut;
1.
Pengakuan
Adanya pengakuan dari pelaku, pengakuan ini cukup sekali dan tidak perlu
diulang-ulang.
2. Saksi Jumlah saksi minimal dua orang
yang memenuhi syarat-syarat persaksian (adil).
3.
Dengan tanda;
a). Bau minuman b). Mabuk c). Muntah
4. Test urine
d)
Syarat
melakukan Hadd (Hukuman)
a.
Peminum adalah
orang yang berakal, karena akal merupakan tatanan taklif (Tuntutan tuhan).
b.
Peminum itu
sudah baligh.
c.
Di lakukan atas
kehendak sendiri.
d.
Mumayiz,
Peminum mengetahui bahwa apa yang diminum itu memabukkan. (sabiq, 2004:
298-299)
E.
Hukum Atas Pedagang Pemasok Dan
Pengedar Khamr
Syariat Islam tidak hanya
menjatuhkan hukuman atas pengguna barang memabukkan semata, namun seluruh pihak
yang terlibat dalam kasus penyalahgunannya juga terkena saksi hukum. Abu daud
meriwayatkan dalam sunannya dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda;
لعن الله في الخمر شاربها وساقيها وبائعها ومبتاعها وعاصرها ومعتصرها وحاملها والمحمولةإليه
Artinya: “Allah melaknat
pemabuk khamer, penuang, penjual, pembeli, pemeras anggur, yang meminta
diperaskan, yang membawa dan yang dibawakan”.
Perlu
diketahui, dalam kitab fiqih klasik tidak disebutkan hukuman tertentu atas
pemasok, pengedar dan pedagang obat terlarang. Namun sebagian ahli fikih
kontemporer cenderung menjatuhkan hukuman seberat beratnya terhadap pemasok,
pengedar dan pedagang narkoba. Hingga mereka menetapkan hukum orang yang
memerangi Allah dan RasulNya, yaitu dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan
kakinya secara bersilangan. Dalam hal ini pemerintah boleh mengambil tindakan
sepenuhnya untuk menjaga ketahanan masyarakat dan melindungi mereka dari mara
bahaya. Pemerintah boleh menetapkan sanksi yang berat, seperti hukuman penjara,
denda, penyitaan dan tindakan lain dapat mewujudkan maslahat bersama dalam
rangka menjaga stabilitas kamtibmas. Dengan demikian oknum perusak dapat
dieyahkan sekalipun dengan tindakan tegas seperti tembak ditempat dan hukuman mati
jika dibutuhkan. Dalilnya sebagai berikut;
a.
ketetapan ahli fiqih bahwa pemerintah boleh menjatuhkan hukuman
seberat-beratnya bahkan hukuman mati atas oknum yang menyebar kejahatan
ditengah umat manusia, baik berbentuk ta’zir atau berbentuk kebijaksanaan
politik.
b.
Sekiranya hukuman dijatuhkan lebih ringan, maka dia pasti akan melanjutkan
aksi perusakan. Kejahatannya tidak dapat dibendung kecuali dengan hukuman mati.
Berdasar hal itu, maka pemerintah yang berwenang boleh menjatuhkan hukuman mati
sebagai bentuk ta’zir maupun dalam bentuk kebijaksanaan politik.
c. Hadist shahih rasulullah berupa
perintah membunuh peminum khamer pada ke empat kalinya, bila sebelumnya
hukuman telah dijatuhkan atasnya dalam kasus sama, sementara ia tidak juga
insaf dari perbuatan itu.
من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد فاجلدوه فان عاد فاجلدوه فان عاد فاقتلوه
من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد فاجلدوه فان عاد فاجلدوه فان عاد فاقتلوه
Artinya: “Barangsiapa yang meminum khamer, hendaklah kamu mencambbuknya, jika diulangi, hendaklah kamu cambuk. Jika ia masih mengulaginya, hendaklah kamu cambuk, jika pada keempat kalinya ia masih juga mengulangi, maka bunuhlah ia.
Dari hadist diatas jika kita cermat, bahwa peminum khamr
yang madharatnya yang ditimbulkannya hanya sebatas dirinya saja, keempat
kalinya ia harus dihukum mati. Tentunya yang lebih dari itu, yaitu bagi para
pedagang atau pemasok yang sudah jelas jelas menimbulkan madharat lebih
luas tidak hanya menimpa perorangan, lebih layak mendapat vonis mati dari pada
peminum khamr.
III. Analisis
Sebagai Kesimpulan
Asas –asas terpenting dalam melandasi
ketetapan Hukum Islam (at-Tasyri al-Islami) antara lain; penegasan
kesulitan (harj), keminiman pembebanan hokum, keberansuran dalam
ketetapan hokum, kesulitan dengan kemaslahatan manusia, dan keadilan mutlak
(wasil et al, tt: 224).
Legislator hokum Islam sangat
mempertimbangkan unsur gradualitas (penahapan dan keberansuran) dalam
ketetapan-ketetapan hukumnya agar lebih mengena ke dalam diri manusia dan lebih
dekat pada ketundukan, dan agar jiwa manusia siap meninggalkan ketetapan hokum
yang lama dengan ketetapan hokum yang baru dan ia lebih mudah menerimanya. Khamr
(Minuman keras) misalnya tidak ditetapkan keharamannya dalam satu tahap,
akan tetapi pengharamannya berlangsung dalam beberapa tahapan dimana nash-nash
turun mengenai masalah ini dalam beberapa fase sebagai berikut.
Pertama Allah menurunkan firman-Nya “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS [16]: 67). Kata “Sakaran” pada ayat ini berarti
unsur memabukkan dari perasan buah kurma dan anggur dimana Asy-Syari’
mengisyaratkan dan memberikan tanda-tanda hokum bagi orang yang berakal bahwa
pengolahan buah-buahan menjadi sesuatu yang memabukkan adalah pengolahan
sesuatu tidak pada maksud penciptaannya. Ini adalah tindakan yang membahayakan
dan tidak dituntut untuk dilakukan karena mengandung unsur bahaya. Sementara
yang dianut adalah unsur pengolahannya pada suatau yang mendatangkan manfaat.
Dan ini sesuai dengan rancangan penciptaan Tuhan terhadapnya. Sebab manfaat
esensial tidak sempurna dengan hal tersebut. Buah-buahan adalah rezeki yang
baik dan diharapkan dan diharapkan manusia agar dapat memelihara
keberlangsungan eksistensi hidupnya. Disebutkan “yang baik” (hasan) pada yang
keduanya bukan yang pertama dalam ayat tersebut merupakan petunjuk bahwa yang
pertama tidak baik. Oleh karena itu, bagi orang yang berakal tentu dapat
memahami makna ini dan berhenti melakukan hal yang dibenci asy-Syari’.
Setelah memberi peringatan
ini dan setelah memberi isyarat bsgi orsng-orsng yang berskal secara riil dari
kandungan titah pembuat hokum syara’ dan
manusia mulai bertanya tentang kandungan kehendak syari’ secara nyata agar
mereka dapat menjalankan kehendak tersebut, maka pada tahap kedua diturunkan
firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. (QS. Al-Baqarah:
219)
“itsm kabir” di sini berarti
bahaya besar yang dapat mengakibatkan kerusakan akal, jiwa dan harta. Sedangkan
“manafi’” dalam ayat tersebut adalah apa yang diperkirakan manusia
mengandung berbagai manfaat yaitu kenikmatan mabuk itu sendiri. Konsep manafi’
ini bersumber dari sudut pandang pelaku minum, tidak dari sudut pandang pembuat
hokum syara’. Oleh karena itu syari’ menitahkan kepada mereka dari sudut
pandang mereka dan menjelaskan kepada manusia bahwa bahaya yang di timbulkan
oleh khamr lebih besar dari manfaat yang mereka asumsikan.
Kemudian setelah itu pada tahap ketiga
ketika diri manusia telah siap menerima bahwa mayoritas ketentuan mengarah pada
keharaman yang dikehendaki oleh pembuat hokum syara’ maka dilakukan pencegahan
secara lebih nyata bagi seorang yang minum khamr (minuman keras). Disini
Allah pun menurunkan firman: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (QS. An-Nisa: 43).
Terakhir dan setelah munculnya
kerinduan dari jiwa-jiwa yang suci terhadap nash pasti tentang keharaman dan
setelah jiwa manusia telah siap secara totalitas menerimanya, turunlah firman
Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90).
Ayat-ayat hokum yang diturunkan secara
graduatif ini bertujuan untuk mencabut akar kebiasaan minum khamr dari
komunitas masyarakat yang telah mengalami ketergantungan khamr, bahkan
telah mendarah daging dan terlembagakan dalam komunitas social tersebut.
Ketentuan hokum diberlakukan agar jiwa tiap individu didalamnya telah siap
melalui gradualitas ketetapan hokum agar dapat menerima syariat baru yang
diturunkan kepada mereka setelah dengan rela mengikuti ketetapan hokum
sebelumnya yang ditetapkan untuk kemaslahatan dan manfaat bagi diri mereka
sendiri.
Oleh karena itu terdapat hukuman kapada
orang yang meminumnya, sebut saja dalam
syariat Islam klasik terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama’ dalam
menentukan Hadd khamr. pendapat yang pertama mengatakan cukup
hanya 40 kali cambukan dan perdapat yang kedua 80 kali campukan. Dan
pensyariatan hukuman tersebut agaknya berhenti hanya sampai pada Negara yang
yang mempunyai ideology syariat Islam (Dar al-Islam).
Dewasa ini penulis melihat bahwa hadd
khamr tidak-lah secara tegas di praktek-kan di Negara-negara Islam. Di
Indonesia katakana-lah yang sebagian besar beragama Islam, Namun untuk
menerapkan nilai-nilai Islam sangatlah susah diganjal disana sini. Seperti
halnya di kota Solo. Untuk mengusulkan sebuah aturan (perda) tentang miras saja
begitu susah. Sejak tahun 2007 elemen umat Islam sudah mengajukan sebuah
draf yang berisi aturan mengenai larangan adanya miras namun sampai sekarang
perda itu bolak balik dari eksekutif dan yudikatif. Mensikapi hal itulah maka
Selasa (20/12) LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta) beserta elemen Islam lain
mendatangi DPRD Solo. Sesampainya di ruang dewan elemen umat Isam ditemui
ketua DPRD Solo YF Sukasno dan anggota Asih Sunyoto.
Dalam membacakan sikapnya ketua LUIS,
Edi Lukito menyampaikan bahwa LUIS beserta elemen Islam di Solo menolak Raperda
Minuman Keras dengan pertimbangan bahwa dalam raperda tersebut terdapat
beberapa keberpihakan pemerintah kepada Produsen miras dengan bukti membolehkan
produsen, distribusi, penyedia dengan membolehkan beredar di Solo dan juga
diberikan ijin dengan mudah. Padahal dengan kebijakan seperti itu Raperda
bertentangan dengan UU tahun 2002 tentang kepolisian pasal 15 ayat 1 huruf c
tentang menanggulangi pekat. Selain itu Raperda juga bersebrangan dengan UU No
36 tahun 2009 tentang kesehatan karena tidak memenuhi standard dan komposisi
minuman. Tak cukup sampai disitu kejanggalan Raperda Miras ini juga terletak
pada pembahasan bahwa peminum tidak diberi sanksi. (http://www.muslimdaily.net)
Secara yuridis tidaklah terdapat pelarangan mutlak untuk
miras. Yang ada adalah pengadaan, pengedaran, penjualan, pengawasan, dan
pengendalian minuman beralkohol. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 43/M-DAG/PER/9/2009, Minuman Beralkohol
dikelompokkan dalam golongan sebagai berikut:
1. Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol
dengan kadar ethanol (C2H5OH) diatas 0% (nol perseratus) sampai dengan 5% (lima
perseratus);
2. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol
dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima perseratus) sampai dengan 20%
(dua puluh perseratus); dan
3. Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol
dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai
dengan 55% (lima puluh lima perseratus).
Miras
yang sering dikenal di masyarakat adalah minuman beralkohol golongan B dan C
(dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997). Produksi,
pengedaran dan penjualan minuman keras ditetapkan sebagai barang dalam
pengawasan. Selama ini miras dijerat dengan UU Tindak Pidana Ringan, akibatnya
mendapat hukuman ringan. Hal itu tak membuat efek jera bagi pembuatnya. Untuk
menimbulkan efek jera maka UU Kesehatan juga digunakan untuk menjerat
pelanggaran dalam minuman keras.
Peraturan
tentang minuman keras secara lebih detail dirumuskan dalam Peraturan Daerah.
Daerah satu dengan daerah yang lainnya tentu memiliki kajian tersendiri dengan
berbagai pertimbangan kondisi dan situasi daerahnya dalam menyusun Perda
tentang miras ini. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi efek negative
yang ditimbulkan miras adalah dengan menggunakan UU yang memiliki sanksi lebih
besar (seperti UU Kesehatan) sehingga menimbulkan efek jera. Kedua
adalah dengan memperketat lagi Perda yang mengatur tentang pengadaan,
pengedaran, penjualan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol.
Mengingat besarnya madharat khamr
tersebut, maka hukuman itu tidak hanya
di dunia an sich melainkan banyak hadist yang riwayat bahwa khamr
dan sejenisnya juga mempunyai implikasi hukuman di akhirat. Bagi umat Islam
(khususnya Indonesia) penulis
melihat orientasi hukuman peminum khamr lebih kepada
pelanggaran nilai etika social (social etic), dari situ menjadi konstruk
social yang mempunyai pandangan bahwa seorang peminum khamr bukan-lah
orang muslim yang baik. Sehingga implikasi dari pandangan semacam itu lebih
mengembalikan itu semua kepada Allah
Swt, yaitu lebih tepatnya hukuman akhirat (dosa).
IV. PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang konstruktif
sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga
makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah
Intelektual kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakar, Bahrudin, et al, Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy Terj.
Tafsir al-Maraghiy, Semarang: Toha Putra, juz VII, 1987.
Al-Naisabuny,
Abi husain Muslim Bin Hallaj al-Kusairy, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-kutb,
1992.
Al-bukhary, abi
abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhary, Beirut: Dar al-kutb al-Ilmiah, 1992.
Ash-ShabunyAly,
Muhammad, Al-Tibyan Fi Ulumi Al-Qur’an, Bairut : Dar Al-Irsyad, 1970.
Baidan,
Nasirudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Kajian kritis terhadap
ayat-ayat yang beredaksi mirip), Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2002.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan
Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Al-Ghazali,
Muhammad, Kayfa Nata’amal ma’al Qur’an, al-Ma’had al-alami lil-fikr
al-Islami, 1991
Majalah
IDEA, Diskursus Transformasi Sosial “Haji Tak Haji”, Majalah Edisi 30,
tahun 2011.
Ma’sum,
Saefullah, et al, Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Ushul
Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010.
Rusyd, Ibnu, Bidayah
al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Qalam, juz I, 1988.
Sabiq, Sayyid, Fiqhus
Sunnah, Dar al-Fath, 2004.
Shihab,
Umar, Kontekstualita al-Qur’an,(Kajian Tematik atas ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an), Jakarta: Penamadani, 2005.
Shihab,
Quraysh, “Membumikan” al-Qur’an; fungsi dan peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, T.tp, t. th.
______________,
Membumikan Al-Qur’an jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Sutopo,
anam et al, Neal Robinson,Islam, a Conscise Introduktions terj.
Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta: PT. Fajar pustaka baru, 2001.
Al-Syafi’I,
al Risalah, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah. Tth
Taufiqurrahman,
Syirazi, Imam Muhammad, The Right of Prisoners According to Islamic
teachings, terj. Islam Melindungi Hak-hak Tahanan, Jakarta: Pustaka Rizki,
2004.
Wasil,
nashr farid Muhammad, et al, al-madkhal fi al-qawaidul fiqhiyah wa atsaruhaa
fi al-ahkam al-syariyah, tth.
0 komentar:
Posting Komentar