Kedudukan Hukum Islam Dalam Hukum Nasional
A. Wacana Pembaharuan Hukum Islam
Kata
“ pembaruan” menyiratkan makna “perubahan”. Menyangkut hukum Islam,
adanya “perubahan” ini dapat dipastikan dari adanya perbedaan di dunia
Islam. Sitem-sistem hukum di dunia Islam sekarang, menurut Anderson,
secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkan secara utuh, sepeti Arab Saudi. Kedua, sistem yang meninggalkan syari’ah dan mengantikannya dengan hukum sekuler. Ketiga, sistem yang mengkrompomikan kedua sistem di atas.[1] Indonesia termasuk model ketiga ini. Penyebabnya adalah karena di Indinedisia dianut berbagai agama.
Terkait
dengan perubahan hukum Sayeed Khalid Nasr menyatakan, hukum Tuhan
bersifat permanen, tetapi prinsip dan tujuan hukum tersebut dapat
diaplikasikan pada situasi dan kondisi baru. Pengaplikasian prinsip dan
tujuan hukum Islam di Indonesia di dasari oleh Masyarkat, yang menjadi
tempat berlakunya hukum, selalu berubah. Padahal, hukum hanya bisa
berjalan baik jika sesuai dengan kesadarn hukum masyarakat yang dibentuk
oleh lingkungan dan kebudayaan setempat. Misalnya, perbedaan fatwa imam
Syafi’I ketika masih berada di irak (qaul qadim) dengan fatwanya setelah berada di Mesir (qaul jadid) karena perbedaan linkungan dan adat-istiadat dengan Mesir.[2]
Praktek
perubahan hukum dalam Islam juga pernah terjadi pada masa Khalifah Umar
bin Khattab, yaitu dalam surat beliau yang ditujukan kepada Abu Musa
al-Asy’ari. Adapun isi surat tersebut antara lain adalah sebagai berikut[3]:
Janganlah
kamu sekali-kali merasa terhalangi oleh keputusan yang kamu tetapkan
hari ini, kamu dapat merevisi keputusan yang telah kamu ambil, apabila
kamu mendapat petunjuk (baru) yang dapat membawamu kepada kebenaran.
Karena, sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, dan ia tidak dapat
dibatalkan oleh apapun, sebab kembali kepada kebenaran itu adalah lebih
baik daripada terjatuh terus-menerus bergemilang dalam kebatilan
(kesesatan).
Dalam
komentarnya terhadap isi surat tersebut Ibnu Qayyim meyatakan bahwa
maksudnya adalah: ijtihad yang pernah dilakukan untuk menetapkan hukum
suatu kasus tidak menghalangi dilakukannya ijtihad kembali untuk kasus
yang sama.[4]
Pernyataan
Ibnu Qayyim tersebut didukung oleh ulama Muslim terkemuka sesudahnya.
Muhammad Abduh, salah satu tokoh pembaharu Islam terkemuka
menyatakan,”pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan dari
kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah orang di zaman klasik
berbeda dengan masalah yang muncul di zaman modern. Abduh menolak bahwa
ajaran Islam yang ditetapkan oleh ulama terdahulu berlaku abadi. Menurut
Abduh, umat Islam kontemporer harus memformulasikan hukum dan ajaran
agama sesuai dengan tuntutan masa dan linkungannya, dengan tetap
didasarkan pada syari’at.
Di
Indonesia, gagasan pembaharuan hukum Islam didukung, baik oleh kalangan
tradisionalis (“trademark” NU) maupun moderenis (“trademark”
Muhammadiyah) meskipun dalam wujud dan tekanan yang tidak sama.
Dikalangan NU, gagasan pembaruan Islam sesuai dengan situasi dan kondisi
Indonesia mengejawantahkan, misalnya, dalam gagasan pribumisasi Islam
yang dikemukakan oleh Gus Dur. Di kalangan Muhammadiyah, gagasan serupa
dikemukakan oleh Hazairin[5].
Berkaitan
dengan pembaharuan ini, menurut Rifyal Ka’bah masalah dapat digolongkan
menjadi dua. Pertama, masalah yang murni agama. Kedua, masalah yang
sebenarnya bukan agama, melainkan memerlukan hubungan agama dan dalam
masalah ini berlaku sabda Nabi,” Kamu lebih mengetahui tentang urusan
duniamu”.[6]
Sasaran perjuangan kaum pembaru berisi ganda yakni: ke dalam,
menyuntikan semangat baru bagi umat Islam dengan memahami agama yang di
interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan dan kebutuhan masa
kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm terhadap serangan kritikan dari Barat. Pembaruan disebut juga tajdid. [7]
Menurut Amin Rais, sekurang-kurangnya ada tiga strategi kebangkitan Islam. Pertama,
strategi moderinisme, yaitu meniru Barat dan mengikuti jalan yang
ditempuh oleh modernisasi Barat. Kelemahanya, nilai-nilai Islam cepat
atau lambat akan tinggal menjadi bayang-bayang belaka, disubordinasikan
di bawah nilai-nilai asing. Islam akan mejadi sekedar legitimasi bagi
program pembangunan yang sesungguhnya sangat sekularistik. Kedua,
strategi tradisionalisme, yang bersikap konservatif dan isolatif dan
berusaha mengawetkan warisan Islam seperti karya fikih dan menganggapnya
sebagai prestasi puncak yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Strategi
ini akan mandul menghadapi hegemoni peradaban dan budaya Barat yang justru seharusnya diterobos. Ketiga,
strategi tajdidisme, yang merupakan strategi terbaik, yaitu memelihara
nilai-nilai dan warisan Islam sekaligus menghadapi dominasi atau
hegemoni budaya dan peradaban Barat, melakukan penafsiran yang positif
dan kreatif terhadap ajaran Islam menurut konteks perubahan zaman yang
multidimensional.[8]
Dalam upaya pengaplikasian tajdidisme Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menyusun kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk da sistematika yang sesuai dengan kemajuan zaman.
2) Menyusun kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
3) Membahas masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat, dan
4) Melakukan kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.[9]
Dalam ilmu fikih, ada metode perbandingan (fiqh al-muqaran), yang oleh Habsi didefinisikan:
Suatu
ilmu yang menerangkan hukum syara’ dengan mengemukakan pendapat yang
berbeda terhadap suatu masalah dan dalil-dalil dari masing-masing
pendapat itu, kaidah-kaidah yang dipergunakan serta membanding yang
satu dengan yang lain, kemudian mengambil mana yang lebih dekat kepada
kebenaran dan di samping itu membandingkannya dengan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
Metode
ini berguna untuk mengetahui pendapat-pendapat yang disepakati dan yang
diperselisihkan, sebab-sebab timbulnya perselisihan dengan mengetahui
metode yang digunakan , serta mengetahui sumber
pengambilan hukum. Kajian perbanigan hukum diperlukan untuk melacak
hukum yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini
dilakukan, antara lain oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abduh.[10]
Menurut Najib Mahfudz, sebagimana dikutip John J. Donohue dan John L.
Espito, keinginan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam
harus dilakukan dengan cara:
1) Melakukan penafsiran secara menyeluruh tentang bagaimana ajaran-ajaran ini seharusnya dipahami pada saat sekarang.
2) Menampilkan penafsiran yang tepat yang membantu kita untuk memahami secara sempurna kenyataan dalam kehidupan kita; dan
3) Menyatakan
rasa hormat yang tulus kepada asas-asas yang merupakan tali pengikat
dari organisasi-organisasi politik kita, yaitu asas-asas yang telah
jelas tentang pemecahan masalah sosial, perdamaian sosial, dan juga
kesatuan sosial.
B. Persinggungan dan Persaingan (Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat)
Di
Indonesia ada bermacam-macam hukum. Salah satunya adalah hukum Islam.
Menurut M.A. Japsan, pada tahun 1960-an, di Indonesia ada tiga atau
empat aliran utama teori hukum: adat, Islam, positif (Barat) dan “
sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional, dengan demikian, bukan
pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson, filasafat sinkretis tentang
hukum yang didasarkan pada keanekaragaman tradisi dan ideologi yang
sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.[11]
Interkasi
antara bermacam-macam hukum itu mengakibatkan adanya persinggungan dan
persaingan satu sama lain. Hukum Islam pada dasarnya bersifat terbuka
terhadap unsur-unsur dari luar. Islam sendiri sebagaimana dikutip oleh
Khalil Abdul Karim, mengakomodasi banyak warisan pra-Islam, baik dalam
ritus peradaban, ketentuan hukum, maupun politik.[12]
Menurut Hasyim Muzadi, kaidah al-‘adat al-Muhakkamah (adat-istiadat
berkekuatan hukum) memberi peluang besar pada tradisi apa pun untuk
dikonversi menjadi bagian dari hukum Islam. Ungkapan “ memelihara
tradisi lama yang baik, dan menagambil hal baru yang lebih baik” juga
menunjukkan keterbukaan hukum Islam. Menurut Nurcholish Madjid, ungkapan
tersebut ada kaitanya dengan perumpamaan “ kalimat yang baik laksana
pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi dan cabangnya (menjulang) ke
langit”. Dalam firman Allah
öNs9r& ts? y#ø‹x. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7Íh‹sÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ
“Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit”.
Akarnya
teguh ke bumi adalah “ memelihara tradisi lama yang baik” dan cabanngya
yang menjulang ke langit adalah “ mengambil hal-hal baru yang lebih
baik” . Maksudnya, di samping harus berpegang teguh pada agama, kita pun
harus mengembangkan tradisi intelektual yang otentik dan intensif.
Sejalan
dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan, kesadaran
hukum masyarakat juga mengalami perkembangan. Salah satu wujudnya
adalah: bisa terjadi pengaruh-mempengaruhi antar satu aliran atau mazhab
hukum Islam. Sebagai contoh, konsep “ kesetaraan” dalam perkawinan
dilahirkan oleh kesadaran kelas pada masyarakat kuffah yang beragam.
Konsep tersebut tidak dikenal di masyarakat Madinah pertama yang tidak
merasakan perbedaan kelas, tetapi dalam perkembangannya konsep tersebut
diikuti oleh madzhab Maliki. Lebih dari itu hukum Islam bersikap terbuka
terhadap unsur-unsur dari luar, baik berupa unsur asing (Barat) maupun
adat-istiadat setempat, selama tidak bertentangan dengan Syariat. Dengan
begitu, kaum Muslimin tidak harus mengesampingkan aspek positif
kebudayaan Barat. Hal itu dibuktikan oleh, corak hukum Islam kontemporer
yang banyak menyerap konsep yang berasal dari Barat. [13]
Antara
Islam dan adat-istiadat setempat saling mempengaruhi. Salah satu bukti
pengaruh Islam di Indonesia adalah pengalihan sistem penanggalan tahun
Saka yang berdasarkan solar sistem, kepada lunar sistem (penanggalan
Hijriah) yang dilakukan oleh Sultan Agung. Pengaruh Islam terhadap adat
ditentukan oleh tingkat pembaurannya dengan kebudayaan dan sejarah
daerah yang bersangkutan, di mana antar satu derah dengan lainya tidak
sama. Demikian sebaliknya, adat juga memilik pengaruh terhadap hukum
Islam. Coulson menyebut pengaruh tersebut sebagai “ penggabungan antara
hukum syaria’ah dan hukum adat”. Pengaruh ini tergambar dalam
kaidah-kaidah al-adat al-muhakkamah . Namun, harus diingat bahw adat ada yang dianggap shahih (sah, benar) dan ada kalanya fasid (rusak, tidak berlaku). Adat yang mempunyai kekuatan hukum hanya yang tidak berlawanan dengan syari’at.[14]
Di
Indonesia, hukum adat menghargai hukum Islam. Adat menempatkan hukum
Islam di atas hukum adat itu sendiri, seperti tampak dalam ungkapan
Minangkabau: “Syara’ disunggi, adat dipangku”. Di aceh, Minangkabau,
Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung ada kepercayaan bahwa adat
mereka dapat dijalankan dengan aman kalau dilindungi oleh-dan tidak
bertentangan dengan agama Islam. Menurut Seminar Hukum Adat di
Yogyakarta pada tahun 1975, pengertian hukum adat adalah:
“Hukum
Asli Indonesia yang tidak tertulis/ tertuang di dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia dan di sana sini mengandung unsur
agama”.
Persaingan
dan bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat serta antara hukum
Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur tangan
penjajah, yang untuk melihat kesinambungan kenyataan dan pemikiran yang
berkembang tentangnya, pembahasan ini harus juga memperhatikan dan tidak
boleh mengabaikan kebijakan sejak masa penjajahan. Dalam hal ini,
penjajah Belanda dan Jepang sama-sama mengeksploitasi Islam untuk
mereka. Akan tetapi, Belanda hanya menyisakan ruang yang sangat kecil
bagi kegiatan politik Islam. Sedangkan Jepang membuka pintu bagi umat
Islam untuk berpengalaman dan turut serta dalam politik dan latihan
militer. Hukum Islam yang akan dibahas di sini hanya pada masa
penjajahan Belanda karena Belanda menjajah Indonesia dalam waktu lama
dan banyak mengeluarkan peraturan menyangkut hukum Islam, sementara
penjajah Jepang cukup singkat dan lebih banyak disibukkan oelh persoalan
politik dan militer mereka sendiri. [15]
C. Teori-teori dan Periodeisasi Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
1. Teori-teori Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
a. Teori Receptie (Resepsi)
Teori
ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) kemudian
dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori Receptie
menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum Adat.
Hukum Islam berlaku kalau norma Hukum Islam telah diterima oleh
masyarakat sebagai Hukum Adat.[16]
Teori
Receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar
orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran
Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam
dan Hukum Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Oleh
karena itu ia memberi nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar
lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.
Digariskan berbagai kebijaksanaan sebagai berikut:
1) Dalam
kegiatan agama dalam arti sebenarnya (agama dalm arti sempit),
pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur
dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya.
2) Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati
adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jaln yang
dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang
tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan
bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3) Di
bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau
menghubungkan gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari
kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia
Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.[17]
Eksistensi
teori Receptie ini kemudian dikokohkan melalui pasal 134 I.S. yang
menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki,
diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat
Hukum Adat. Kebijaksanaan
pemerintah Hindia Belanda selanjutnya adalah berusaha melumpuhkan dan
menghambat pelaksanaan Hukum Islam dengan cara sebagai berikut:
1) Sama
sekali tidak memasukkan masalah hudud dan qishash dalam bidang Hukum
Pidana. Hukum Pidana yang diberlakukan diambil langsung dari Wetboek van
Strafrecht dari Nederland yang diberlakukan sejak Januari 1919
(Staatsblad 1915 No. 732).
2) Di
bidang tata Negara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan
sama sekali. Pengajian ayat-ayat suci Al- Qur’an yang memberikan
pelajaran agama dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang
kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang.
3) Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum
kewarisan. Khusus untuk hukum kewarisan Islam diusahakan tidak berlaku.
Sehubungan dengan hal itu diambil langkah-langkah:
a) Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili perkara waris.
b) Memberi wewenang memeriksa perkara waris kepada Landraad.
c) Memberi penyelesaian dengan Hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi Hukum Adat.[18]
Sebagai
tindak lanjut dari Islam Policy tersebut, sejak tahun 1922 mulai
dirumuskan reorganisasi badan-badan peradilan yang telah ada dengan
terlebih dahulu mengubah pasal-pasal I.S pada tahun 1922 dibentuk sebuah
komisi peremajaan kekuasaan peradilan agama yang diketahui Ter Haar,
yang menghasilkan Staatsblad 1937 No. 116, 610, 638, dan 639. Dalam
Staatsblad tersebut peradilan agama dikurangi wewenangnya dalam
menyelesaikan perkara waris. Berdasarkan Staatsblad tersebut sejak 1
April 1937 secara yuridis formal Pengadilan Agama dilarang memutuskan
perkara waris, dan kewenangannya dialihkan menjadi kewenangan Landraad.
Menurut
Alfian, teori Receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa kalau
orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat denagan
kebudayaan Eropa maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan
baik dan tidak akan timbul goncangan-goncangan terhadap kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda.[19]
Oleh karena itu pemerintah Belanda harus mendekati golkongan-golongan
yang akan menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan-dorongan kepada
mereka untuk mendekatkan golongan Hukum Adat kepada pemerintah Hindia
Belanda.
b. Teori Receptie In Complexu
Teori
ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikiatkan oleh Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, hukum
mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama
Islam, hokum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini
menyebut bagi rakyat pribumi yang beraku bagi mereka adalah hokum
agamanya. Namun penting untuk dicatat, hokum Islam yang berlaku tetap
saja dalam masalah hokum keluarga, perkawinan dan warisan.[20]
Jadi
teori ini bagi orang Islam sebab mereka telah memeluk agama Islam
walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[21]
Teori
ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC berkuasa
di Indonesia bnyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma
Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam antara
lain kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,
Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan,
Kutai, Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan
tersebut diberlakukan Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama.
Menurut
Hukum Islam, pengamalan Hukum dan adanya peradilan agama merupakan
kewajiban yang bersifat fardhu kifayah; artinya merupakan tugas
kewajiban bersama. Jadi apabila ada yang melaksanakan, maka kewajiban
social telah dipeuhi dan orang muslim secara individual tidak
berkewajiban melakukannya. Di kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan tersebut dibentuk badan-badan peradilan dengan
menerapkan hukum acara peradilan Islam. Hukum kewarisan dan hukum
perkawinan telah mejadi hukum yang hidup dan menjadi budaya hukum
Indonesia. Badan peradilan agama telah secara tetap dan mantap
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan warisan orang Islam.
Teori
Receptio in Complexu ini muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum yang
ada dan bersumber dari prinsip hukum Islam bahwa bagi orang Islam
berlaku Hukum Islam. Van de Berg meng-konsepkan Staatsblad 1882
Nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat
jajahan berlaku hukum agamanya yang berada didalam lingkungan hidupnya.
Jadi yang berlaku untuk rakyat jajahan yang beragam islam di Indonesia
adalah Hukum Islam. Karena yang berlaku ketentuan hukum Islam atau Norma
Hukum Islam maka badan peradilan agama yang pada waktu pemerintahan
Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah ada dilanjutkan dan diakui
kewenangan hukumnya. Berdasarkan teori ReceptioinCmplexu ini mak hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum agama yang berada di Negara tersebut.
Peraturan perundangan yang terkait pada masa itu antara lain Reglement ophet Beleidder Regeeringvan NederlandschIndie (RR) Staatsblad
1885 No. 2, yang dalmn kaitannya dengan Hukum Islam diatur melalui Pasl
75 dan Pasl 78. Pasal 75 ayat (3) menentukan: “Oleh hakim Indonesia
hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdientigewetten)
dan kebiasaan penduduk Indonesia. “Pasal 75 ayat (4 menentukan
Undang-undang Agama, intelling, dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai
untuk mereka oleh hakim Eropa untuk pengadilan yang lebih tinggi
andaikata terjadi hoge beroep atau permintaan banding. Pasal 78 ayat (2)
menentukan bahwa: “dalam hal terjadi perkara perdata di antara sesame
orang Indonesia atau dengan mereka yang dipersamakan maka mereka tunduk
pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut
undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.[22]
c. Teori Receptie Exit
Teori
ini dikemukakan oleh Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah
Indonesia merdeka, setelah proklamasi, dan setelah UUD 1945 dijadiakn
UUD Negara, maka walaupun Aturan Peralihan menyatakan hukum yang lama
masih berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori
Receptie harus exit karena bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Sunnah
Rasul. Ia berpendirian, bahwa kemerdekaan Indonesia mempunyai arti besar
terhadap berlakunya ajaran hukum yang harus ditaati di Indonesia.
Bahakan Hazairin menyebut bahwa teori Receptie adalah teori Iblis.[23]
Setelah
proklamasi, UUD 1945 dinyatakan berlaku yang didalamnya ada semangat
merdeka di bidang hukum. Adanya Aturan Peradilan dimaksudkan guna
menghindari kevakuman hukum, oleh karena itu masih diperlakukan
ketentuan-ketentuan hukum dan keinginan-keinginan hukum yang ada, selama
jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hazairin masih
banyak aturan pemerintah Hinda Belanda yang bertentangan dengan
Undang-undang Dasar terutama yang merupakan produk dari teori Receptie.[24]
Hazairin
melandasi pemikirannya itu dengan menggunakan pembukaan UUD 1945,
alenia III, yang menyatakan: “atas berkata rahmad Allah Yang Maha Kuasa
dan didorong oleh keinginan untuk hidup bebas maka dengan ini bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan.” Pada alenia IV UUD 1945. Menyatakan:
“Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal
29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaan itu.
Menurut Hazairin, pasal 29 ayat (1) mempunyai fungsi besar dalam tata
hukum Indonesia, karena dalam kehidupan bernegara Indonesia tidak boleh
ada aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang
Maha Esa.
Menurut
Hazairin, memperlakukan atau melanjutkan teori Receptie bertentangan
dengan niat membentuk Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang
dalam pembukaan UUD 1945, dan juga bertentangan BAB XI UUD 1945.
Memahami Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 haruslah dengan jiwa besar,
jiwa merdeka dari penjajahan Belanda di bidang hukum.[25] Berdasarkan teori Hazairin ini dapat dinyatakan:
1) Teori
Receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata Negara Indonesia
sejak tahun 1945 dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mulai
berlakunya UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia. Demikian pula keadaan
ini setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali
kepada UUD 1945.
2) Sesuai
dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia
berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah
hukum agama.
3) Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya
Huykum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama
lain tersebut. Hukum agama di bidang Hukum Perdata dan Hukum Pidana
diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah Hukum baru Indonesia
dengan dasar Pancasila.[26]
c. Teori Receptio a Cotrario
Teori
ini dikembangkan oleh seorang pengajar utama di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, yaitu H. Sayuti Thalib. Ia menulis dalam bukunya Receptio a Contrario:”Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam”.[27]H.
Sayuti Thalib dalam bukunya diatas mengungkapkan Hukum Islam dari segi
politik hukum, terkait juga denga politik hukum penjajah belanda selama
di Indonesia hingga melahirkan teori ”Receptio in Complexu” dan juga
teori “Receptie”; perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam prakti;
sekaligus juga membahas teori Receptio a Contrario yang juga
merupakan sebagai pemikirannya. Lahirnya teori ini dilatari oleh hasil
penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat
itu, dengan mengmukakan sebagai berikut:
1) Bagi orang Islam berlaku hulum Islam
2) Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita huku, cita-cita batin dan cita-cita moralnya.
3) Hukum adat berlaku bagi orang Islam Jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan huku Islam.
Teori ini disebut dengan teori “Receptio a Contrario” karena substansinya memuat teori kebalikan (Contra) dari
teori Receptio. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia
hukumnya berdasarkan pada Pancasila dan UUD1945, semestinya orang yang
beragama menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa, berisi dan berisi maksud dan tujuan tersebut. Disamping
itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
bersama Fakultas Hukum UI, IAIN, Antasari Banjarmasin, dan lporan
penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan dan
Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita-cita
moral, cita-cita batin dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum
nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita-cita hukum Islam
sehingga akan berkembang keinginan batin bagi orang-orang Islam menaati
hukum Islam.[28]
Pembuktian
yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dan badan-badan penelitian agama
menemukan, bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia ada cita-cita moral
atau keinginan untuk berhukum dengan hukum agamanya. Di antaranya
penelitian dengan hukum waris di DKI Jawa, yaitu perbandingan
perkara-perkara waris yang masuk ke pengadilan negeri dan pengadilan
agama, ternyata keinginan orang Islam untuk berhukum dengan dengan hukum
Islam dipengadilan agama lebih besar daripada keinginan orang Islam
berhukum dengan adat dipengadilan negeri, perbandingannya: 1034
berbanding 47.[29]
Penelitian-penelitian
terhadap masyarakat Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumbawa
Besar dab Buton (Sulawesi Tenggara) terdeskripsikan bahwa dalam
masyarakat tersebut telah ada kaidah-kaidah hukum yang merupakan pedoman
dari masyarakat untuk mencari garis-garis hukum yang menyangkut
hubungan antara hukum adat dan Islam. Misalnya, di Sumatera Barat ada
semboyan dan pedoman yang menyatakan “adat basandi syarak, syarak basandi pada kitabullah”.
Dari pedoman itu maka tergambarlah bahwa adat Sumatera Barat
berdasarkan Al-Qur an, tidak ada dalam idenya adat yang bertentangan
dengan Al-Qur an. Jika ada norma adat atau kebiasaan bertentangan dengan
syarak atau Al-Qur an, maka norma adat itu tidak dibenarkan.[30]
Sayuti Thalib dalam menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada kaidah-kaidah sebagai berikut:
1) Pada perinsipnya dalam kaitan dengan perintah Tuhan dan rosu-Nya, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib.
2) Larangan pada dasarnya adalah ketidak bolehanuntuk dikerjakan (haram).
3) Adat kebiasaan (Urf) dapat dijadikan hukumselama tidak bertentangan dengan hukum Islam (Al-‘Adah Muhakkamah).[31]
Hampir dari sama antara teori resepsi kontra dengan resepsi exit yang
dikemukakan oleh Hazairin. Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara
arah berpikir Hazairin dan Thalib dalam mengemukakan teori pemberlakuan
hukum Islam ini. Pangkal tolak antara teori resepsi exit dan teori
resepsi kontra juga berbeda. Jika Prof. Hazairin menyebutkan teori
resepsi exit, pangkal tolak pemikirannya adalah bahwa sejak kemerdekaan
bangsa Indonesia dan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi dianggap
tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan,
landasan berpikir Sayuti Thalib mengemukakan teori respsi kontra
didasarkan pada pemikiran bahwa dinegara republik Indonesia yang
merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan
kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan
ajaran agama dan hukum agama. Hal tersebut dibuktikan dengan
kegiatan-kegiatan penelitian yang menghasilkan suatu prinsip bahwa bagi
orang Islam kalau hukum adat itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
hukum Islam.
d. Teori Eksistensi
Teori
Eksisitensi ini dikemkakan oleh seorang dosen pengajar mata kuliah
kapita selekta Hukum Islam dan Sejarah Hukum Islamdi Fakultas
Pascaserjana di Universitas Indonesia (UI), yaitu H,Ichtijanto S.A..[32] Ia
berpendapat, bahwa teori eksistensi dalam keterkaitannya dengan hukum
Isalam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional. Teori ini mengungkapkan bentuk eksistensinya hukum
Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, bunyi dari teori ini
adalah sebagai berikut :
1) Hukum Islam merupakan integral dari hukum nasional Indonesia.
2) Keberadaaan, kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta serta diberi status sebagai hukum nasional.
3) Norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
4) Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Menurut
Ichtijanto, perjuangan dalam memformulasikan hukum dan
perundang-undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran islam
tentang teori-teori penataan hukum, diantaranya teori penerimaan
otoritas hukum, teori resepsi komplek, teori resepsi exit, teori resepsi
kontra, merupakan suatu bukti bahwa hukum tertulis Indonesia banyak
dipengaruhi dan mengambil ajaran hukum Islam. Oleh karenanya, hukum
islam itu ada (exist) didalam hukum nasional Indonesia. Hal ini
diperkuat dengan berdirinya Departement Agama pada tanggal 13 Januari
1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara hukum
Islam dan hukum nasional. Sehingga hukum Islam yang hidup di Indonesia
bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan
hukum nasional pada masa mendatang.
Kerangka
pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan
nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang yang berjalan di
masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenaan dengan
puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hibah, baitul-mal, hari-hari
raya besar islam, dan do’a pada hari-hari raya nasional selalu ditaati
dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan
yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat
menjadi suatu indikator bahwa hukum islam telah exist dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Kenyataan
hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia ini menggambarkan bahwa
setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat
ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka
diperjuangkan perwujudan hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum
nasional. Eksistensi hukum islam dalam tata hukum nasional ini nampak
melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam
hukum tertulis juga telah ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam
hukum nasional. Untuk memperkuat teori pemikirannya ini, Ichtijanto
merujuk beberapa hukum tertulis berupa peraturan dan perundang-undangan
yang mengandung unsur-unsur Islam.
Dari
gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum Islam ada didalam hukum
nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam
dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam
secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan,
seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat,
dan perbankan syariah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa hukum Islam
yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap
dilaksanakan melalui secara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti doa
dalam kenegaraan, isra mikraj, nuzulul quran, maulid Nabi Muhammad saw,
dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Praktik-praktik seperti inilah yang disebut oleh Ichtijanto sebagai
teori eksistensi.[33]
e. Teori Nomokrasi
Dalam
konteks hukum tata negara, Istilah Nomokrasi (nomocracy: Inggris)
berasal dari bahasa latin „nomos‟ yang berarti norma dan „cratos‟ yang
berarti kekuasaan, yang jika digabungkan berarti faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum[34], karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai kekuasaa tertinggi[35].
Jika
istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu komunitas baik agama
maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan hukum Islam
sebagai penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan supremasi
Syari‟ah. Islam
padahakekatnyamemilikikebajikan-kebajikandankualitas-kualitas yang dapat
memenuhi aspirasi-aspirasi spiritual dan material manusia.Islam
memberikan sebuah hukum yang komprehensif untuk membimbing ummat manusia hukum ini pada saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari 600 juta penduduk dunia.
Perbedaan
konsep spiritual dan keduniawian sebagaimana dikenal dalam agama
Kristen tidak terdapat dalam Islam. Islam tidak menghendaki adanya
penginstitusian agama sebagai otoritas mutlak sebagaimana institusi
gereja dalam agama kristen. Islam tidak menghendaki berlakunya dua macam
hukum di dalam masyarakat. Islam hanya memiliki satu hukum, yaitu hukum
Syari‟ah yang serba mencakup, membimbing, dan mengontrol seluruh
kehidupan orang-orang yang beriman. Kepala negara dalam islam merupakan
pemimpin agama dan politik sehingga pertentangan di antara kekuatan
agama dan kekuatan politik tidak mungkin terjadi, demikian idealnya,
namun dalam prakteknya kekuatan politik kadang-kadang terpisah dan
menyimpang dari kekuatan agama walaupun tidak pernah menentang atau
menghapuskan Syari‟ah. Adalah suatu kenyataan bahwa di luar
masalah-masalah konstitusional, hukum Syari‟ah hampir merupakan kekuatan
tertinggi di negara-negara Islam di sepanjang sejarah.[36]
Terpecah-pecahnya
dunia Islam secara geografis adalah sebuah kenyataan; setiap bagian
telah menjadi sebuah entitas politik yang berdiri sendiri.Teori klasik
mengenai kekhalifahan yang universal tidak dapat menerima dan
menghilangkan kenyataan ini dan supremasi Syari‟ah pun mengalami babak
baru, zaman modern.
2. Periodesasi Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
Apabila disimak sejarah hukum sejak zaman Hindia Belanda hingga zaman kemerdekaan, dapat dibuat periodesasi sebagai berikut[37]:
a. Zaman Hindia Belanda
1) Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya
Periode ini ditandai dengan munculnya teori receptive in compelxu,
yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena
mereka memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak adanya
kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum keluarga
Islam-khususnya hukum perkawinan dan waris-tetap diakui belanda. Bahkan
VOC mengakuinya dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering
tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh belanda diberi dasar hukum dalam
Regering Reglemen (RR) tahun 1885.
2) Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Periode ini ditandai dengan munculnya toeri receptie.
Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku apabila
diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar hukum
dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR,
yaitu Wet op de Staatsinrichtining van Nederlans Indie (IS). Oleh karena
itu, tahun 1929 melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. No. 212 hukum
Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin
menguatkan kekuasaannya di bumi Nusantara ini serta berusaha menjauhkan
hukum Islam dari masyarakat Islam dengan dasar teori tersebut.
b. Zaman Kemerdekaan
1) Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
Sumber
persuasif dalam hukum konstitusi adalah sumber hukum yang baru diterima
orang apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam, Piagam
Jakarta sebagai salah satu hasil siding BPUPKI merupakan sumber
persuasif bagi grondwert-interpretatie dari UUD 1945 selama empat belas tahun. (Sejak tanggal 22 Juni 1945 ketika ditandatangi gentlemen agreement antara pemimpin nasionalis islami dengan nasionalis ‘ sekuler’ sampai 5 Juli 1959-sebelum Dekrti Presiden RI diundangkan.
2) Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoratif
Sumber
autoratif dalam kontitusi adalah sumber hukum yang telah mempunyai
kekuatan hukum. Sebuah. Hukum Islam menjadi sumber persuasive dalam
hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrti
Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak dalam konsideran
Dekrit tersebut berikut ini:
“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tentanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut”.
Kata
“menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan
perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam
diwajibkan menjalankan syaiat Islam. Oleh karena itu, harus dibuat
undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional.
Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda tahun 1959
yang berbunyi “ Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis
bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadpaz
Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29
UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan
hukum di bidang keagamaan.
D. Sistem Hukum Nasional
Sistem hukum nasional terbentuk dari dua istilah, sitem dan hukum nasional. Sistem diadaptasi dari bahasa Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian. Dalam bahasa inggris system mengandung
arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah sistem itu
mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan
secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[38]
Adapun
hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun atas kreativitas atau
aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri.
Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah
sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah
lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional
merupakan sistem hukum yang timbul sebagai sebuah usaha budaya rakyat
Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi
seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.[39]
Perlu
dijelaskan di sini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan
dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah merdeka bangsa
Indonesia belum memilki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri
tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda. Kebdati memang, atas dasar pertimbangan
politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami
proses nasionalisasi, seperti penggantian nama: Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari weetboek van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dari weetboek van Koophandel,
dan lain-lain. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak
sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan
religious turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.[40]
Atas
dasar pertimbangan tidak boleh ada kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa “ Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ketentuan ini memberika
legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang-undangan warisan
colonial untuk tetap berlaku. Namun, fenomena itu tentu saja tidak boleh
berlaku selamanya karena ternyata visi dan misi yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan
dengan tradisi dan agama masyrakat.
Bila
merujuk penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem
hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil;
pokok dan sektoral)[41] yang dibangun berdasarkan ideology negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.[42]
Dalam rangka membangun hukum nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.[43]
Pada era kolonial ketiga sistem hukum itu kerap kali diperhadapkan
sebagai sistem-sitem hukum yang saling bermusuhan. Kondisi konflik itu
tidak terjadi secara alami, tetapi sengaja diciptakan oleh penjajah.
Menurut Bustanul Arifin, kalau ada pertemuan antara dua atau lebih
sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, akan selalu selesai
dengan wajar. Karena setiap masyarakat mempunyai daya serap dan daya
penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem niali tersebut. Namun, kalau
konflik-konflik sistem nilai ditimbulkan dengan sengaja dan
kadang-kadang secara artifisial sesuai denga kebutuhan politik colonial
waktu itu, sullitlah menghapuskan konflik-konflik itu secara memuaskan.[44]
Dari penjelasan di atas, terungkap bahwa kita belum memilki sistem hukum nasional yang representatife. Namun,
itu bukan berarti pula bahwa idealitas tentang “sistem hukum nasional
yang dikehendaki” itu tidak turut didiskusikan. Tentang hal ini,
sebenarnya tidak kurang pemerintah dan pihak kampus mengadakan ragam
pertemuan ilmiah yang berskala local dan nasional guna merumuskannya
atau bahkan para ahli hukum sendiri. Dalam hal ini, Arief Sidharta
mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri[45]:
1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4) Bersifat nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5) Aturan
procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian
rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Senada
usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, yang setelah dibukukan menjadi Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah[46]:
1) Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);
2) Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.
Selanjutnya menurut Mahfud M.D Pengakuan akan kedaulatan Tuhan disebut Religious Nations State. Secara konkrit Prof. Hazairin menafsirkan UUD/konstitusi pasal 29 ayat 1 berdasarkan teori Resepsi exit prof. Hazairin Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 “ Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, itu hanya terdapat enam penafsiran. Tiga diantaranya yaitu:
1) Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi Umat Islam;
2) Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam;
3) Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan sendiri.
E. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan
warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah
Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum
nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan
sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang
hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang
merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang
dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan
oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.[47]
Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai
perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum
kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[48] seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari
ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa
hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi
pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga
karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak
kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan
sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan
utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum
Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam
layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:[49]
a. Undang-undang
yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat,
dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa
undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum
Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui
keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas
kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
c. Kesadaran
umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan
kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti
pembagian zakat dan waris.
d. Politik pemerintah atau political will dari
pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan
politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi
bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk
lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam
di dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab
sebelumnya.
Bila
dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia
nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti
terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin
memperkokoh Hukum Islam:
a. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan
Lembaran Negara Nomer 3019).
b. Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3
tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan
Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di
bidang ekonomi syari'ah.
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang
berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah
mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam
penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan
yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3
tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam
mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan
fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah,
menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama
khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak
mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri
dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang
No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU
pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini
mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI].
Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan
dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3885).
e. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa
Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No.3893).
f. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
4134).
g. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan
hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di
kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman
dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya
memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah
menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan
Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar
yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada
tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991
yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
h. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459).
Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan
pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan
peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan
yang
mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan
legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud
dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang
memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum
Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap
orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang
memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi
bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
j. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998,
menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan
sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual
telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei
2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang
Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Akad-akad
dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah,
ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh,
wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.
KESIMPULAN
Pembaharuan
(tajdidisme) hukum Islam adalah suatu yang mutlak dilakukan sebagaimana
pernyataan Muhammad Abduh “pemikiran Islam akan menjadi salah manakala
dipisahkan dari kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah orang
di zaman klasik berbeda dengan masalah yang muncul di zaman modern”.
Adapun sasaran utama dari tajdidisme ini adalah ke dalam,
menyuntikan semangat baru bagi umat Islam dengan memahami agama yang di
interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan dan kebutuhan masa
kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm terhadap
serangan kritikan dari Barat. Dalam upaya pengaplikasian tajdidisme
Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus dilakukan,
yaitu:
5) Menyusun kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk dan sistematika yang sesuai dengan kemajuan zaman.
6) Menyusun kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
7) Membahas masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat, dan
8) Melakukan kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.
Selanjutnya
dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia, perlu diketahui bahwa
di Indonesia ada tiga atau empat aliran utama teori hukum: adat, Islam,
positif (Barat) dan “ sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional,
dengan demikian, bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson,
filasafat sinkretis tentang hukum yang didasarkan pada keanekaragaman
tradisi dan ideologi yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.
Persaingan dan bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat serta
antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur
tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan kenyataan dan
pemikiran yang berkembang tentangnya, pembahasan ini harus juga
memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak masa
penjajahan.
Terkait dengan pemberlakuan hukum di Indonesia. Dalam hal ini terdapat bebarap teori antara lain:
1) Toeri Receptie
2) Teori Receptie in complexeu
3) Teori Receptie exit
4) Teori Eksistensi
5) Teori Nomokrasi
Secara keseluruhan, pada dasarnya antar satu toeri dengan toeri lain adalah saling menguatkan, kecuali teori receptie yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) yang bertujuan untuk melemahkan
orang-orang pribumi rakyat jajahan yang memegang kuat ajaran Islam,
sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan Hukum
Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Dan toeri receptie
exit oleh Hazairin yang merupakan counter terhadap teori receptive
tersebut.
Mengacu
pada nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang
sekarang dan aspek kesejarahan yang ada. disimpulkan bahwa sistem hukum
nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok
dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
Sebagimana usulan Arief Sidharta yang menyatakan bahwa tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri:
7) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
8) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
9) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
10) Bersifat nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
11) Aturan
procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian
rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
12) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Untuk
itulah, sebagai upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia hal-hal di
atas haruslah menjadi pokok pertimbangan utama, setelah Al-Qur’an dan
al-Hadist serta sumber hukum di bawahnya.
Berdasar
pada penjelasan di atas, maka secara keseluruhan kesimpulan dari isi
makalah ini penulis menyatakan bahwa dari ketiga sistem hukum di atas
secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang
lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan
emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial
sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum
adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan
hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional
adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum
Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
hukum nasional. Oleh karena itu, dalam tingkat kedudukan sebagai hukum
nasional, hukum Islam menduduki tingkatan pertama dalam tatanan hukum
yang ada.
[1] J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Islamic Law in the Modern World), diterjemahkan oleh Machnun Husein,Cet I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1994,h.100-109.
[2] Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.h.176-177.
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam (I’lam al-Muwaqqin ‘an Rabb al-‘Alamin), diterjemahka oleh Asep Saefullah F.M dan Kamaluddin Sa’diyatulharamain, Cet I, Jakarta: Pustaka Azzam,2000.h.473.
[4] Al Jauziyah,op.cit.,h.105-106.
[5] Jazuni,Legislasi Hukum Islam,Op.Cit.,h.184-189.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Nourouzzaman Shiddiqi,Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.h.229.
[10] Ibid.,h.70-71.
[11]
M.A. Japsan, “ Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang
Membingunkan” dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut (ed.), Hukum,
Politik dan Perubahan Sosial, Cet I, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, 1988,h.269.
[12] Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan ( al-Judzur al-Takhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah), diterjemahkan oleh Kamran As’ad, Cet I, Yogyakarta: LKiS, 2003,h.5-18.
[13] Jazuni,Op.Cit.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]Ichtjanto, Op. cit., hal. 122.
[17]Abu Bakar Aceh, Islam Sumber Jihad dan Ijtihad, U.I.D., hal 23.
[18]Ichtijanto, S.A., S.H., Op. cit., hal. 125.
[19]Alfian, ed. 1977. Segi-segi Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: LP3ES, hal. 207-209.
[20]Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: studi kritis perkembangan hokum islam dari fiqih, UU No.1/1974 sampai KHI.(Jakarta: Kencana, 2006) hal. 10-11
[21]Ichtijanto, SA., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief dkk, Hukum Islam di Indonesia, Remadja Rosdakarya, 1994, hal. 117.
[22]Sajuti Thalib, S.H., 1980. Receptio A Contrario, Bina Aksara, hal 17-18.
[23]Ichtijanto, SA, Op. cit., hal. 128.
[24]ibid
[25]Ibid., hal. 129.
[26]Ibid., hal. 131.
[27]H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta, PT Bina Aksara, hal. 15
[28]Ibid, hal. 69
[29]Ibid, hal. 74.
[30]Ibid, hal.68.
[31]H.Ichtijanto S.A., Op. Cit, hal.135.
[32]H.Ichtijanto S.A., Op. Cit, hal.137.
[33]A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad. hal. 89.
[34]Bisa dibandingkan dengan asal kata demokrasi, „demos‟ yang artinya rakyat dan „cratos‟ yang berarti kekuasaan di tangan rakyat
[35]Dalam
buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah ada sejak lama dikembangkan sejak zaman
Yunani. Lihat Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004.
[36]Ibnu
Taymiyyah berpendapat bahwa menegakkan negara merupakan keharusan
doctrinal dan praktis, dan sesuai dengan pandangan klasik dari
al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya. Menurutnya Allah telah membuat
manfaat-manfaat agama dan manfaat dunia tergantung kepada para pemimpin,
tidak perduli apakah Negara tersebut merupakan salah satu asas agama
atau bukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah (teokratis); ia
hanya menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk dan struktur
pemerintahan tidak penting atau paling-paling merupakan hal yang
sekunder baginya, yang terpenting adalah pelaksanaan syari‟ah.Qamaruddin
Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, Pen: Anas Mahyuddin, Cet II, Pustaka, Bandung, 1995, Hlm.63-64.
[37] Ibid.
[38] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,Dasar-Dasar Politik Hukum,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006.h.59.
[39] Ibid.
[40] M. A Japsan.,Op.Cit.,h.250-251.
[41] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.,h.65.
[42] Ibid.
[43] Sunaryati
Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa
Indonesia belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru
hukum di Indonesia. John Ball, Guru Besar di Sidney University,
menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a national law." Lev
mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara
golongan-golongan ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga
hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum ada konsensus untuk
menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
[44] Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), h.34.
[45] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.
[46] Ibid.
[47] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22.
[48] Bustanul Arifin.,Op.Cit.,h.11-12.
0 komentar:
Posting Komentar