Pembagian
Hadist Ditinjau Dari Aspek Kuantitas Sanad
“Mutawatir
dan Ahad”
1.Pengertian,
Syarat-yarat, Pembagian, dan Contoh Hadist Mutawatir.
a. Definisi
Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara
yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan
lainnya tanpa ada jarak[1].
Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta[2].
Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya
sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur-Addin hadist mutawatir adalah hadist
yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca
indra.[3]
Konsep mutawatir ini baru secara difinitif
dikemukakan oleh al-Baghdadi, meskipun al-Syafii, ulama sebelumnya sudah
mengisyaratkan dengan istilah”khabar ammah”. Menurutnya hadis mutawatir
adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah
tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.
b. Syarat-syarat hadits mutawatir
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membicarakan
hadist mutawatir. Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli’ usul suatu hadist dapat
ditetapkan sebagai hadist mutawatir bila memenuhi syarat-ayarat sebagai
berikut:
· Hadist mutawatir harus di riwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yamh membawah keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat
untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama’ perbeda pendapat ada yang
menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama’
yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting
dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan
mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama’ yang
menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang
mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya
minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah.
Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan
atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang
dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang
tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas
orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada
waktu Perang Badar.
Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang
layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
Dan pendapat inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadis.
· Bedasarkan tanggapan panca indra:
Bahwa berita yang mereka sampaikan harus
benar-benar merupan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
· Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban
dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar
Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H)
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir adalah
hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan
kandungan-kandungan yang ada pada hadis mutawatir.
c. Pembagian Hadist Mutawatir
1. Mutawatir lafdzi
Yaitu suatu hadits yang bunyi teks atau lafadl haditsnya sama
antara satu riwayat dengan riwayat-riwayat lainnya. Hal ini, menurut Ibnu
Shalah yang di ikuti oleh Al-Nawawi bahwasanya sangat jarang dan sukar
dikemukakan contohnya selain hadits Nabi:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ
عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ(صحيح البخاري).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ
الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(صحيح مسلم).
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا
خَالِدٌ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْمَعْنَى عَنْ بَيَانِ
بْنِ بِشْرٍ قَالَ مُسَدَّدٌ أَبُو بِشْرٍ عَنْ وَبَرَةُ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قُلْتُ لِلزُّبَيْرِمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تُحَدِّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ عَنْهُ أَصْحَابُهُ فَقَالَ أَمَا
وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ لِي مِنْهُ وَجْهٌ وَمَنْزِلَةٌ وَلَكِنِّي سَمِعْتُهُ
يَقُولُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ(سنن أبي داود).
حَدَّثَنَا أَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ عَنْ زِرٍّ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(سنن الترمذي).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَسُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ زُرَارَةَ
وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُوسَى قَالُوا حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(سنن ابن ماجه).
”Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat
tinggalnya adalah neraka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari enam
puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan
lebih dari dua ratus sahabat.
Ada juga ulama yang menganggapnya bahwa hadits
ini mustahil adanya. Akan tetapi sebagian ulama meyakinkan pada kita bahwa di
dalam hadits Nabi sendiri banyak hadits mutawatir, semisal hadits yang
menerangkan tentang terbelahnya rembulan, membangun masjid karena Allah,
mengenai syafaat, tentang mengusaf khuf, isr’a mi’raj, dan tentang keluarnya
mata air dari jari-jari Nabi, serta hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ
عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَزَلَ
الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ (مسند أحمد)
“Al- Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ( tujuh
macam bacaan)”
Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh tujuh
sahabat.
1. Mutawatir maknawi
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh
hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika
berdoa. Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih dari seratus perawi[4].
2. Pengertian, Pembagian beserta Contoh Hadist
Ahad
a. Definisi
kata ahad berdasarkan segi bahasa berarti satu,
maka hadits ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang jumlah perowinya tidak mencapai
batasan minimal dari hadits mutawatir.
b. Pembagian Hadist Ahad
1) Mashur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi
atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Contoh:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ
بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ
عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ
عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ
بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَاصِمٍ قَالَ عَبْدٌ أَنْبَأَنَا أَبُو
عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا الزُّبَيْرِ يَقُولُ
سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ(صحيح
مسلم)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ
عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ(سنن
الترمذي) قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Hadits tersebut sejak tingkatan pertama
(sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadtis (dalam hal ini
adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
Hadtis masyhur ini ada yang berstatus sahih,
hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits
masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad
maupun matannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur
hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga
dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih.
2) Aziz
Dinamakan
Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits
yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Contoh:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ
قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ(صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ(صحيح
البخاري)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari
dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan
dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan–ketentuan yang
berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
3) Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi
saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.
§ Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi
hanya terdapat pada satu thabaqat.
Contoh :الولاء لحمة
كلحمة النسب لا يبــاع ولا يوهب
Artinya: “kekerabatan dengan jalan
memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan
tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan
dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan
Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat
dipercaya.
§ Hadis ghorib nisbi terjadi apabila
penyandiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi.
Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ke-Tsiqahan
rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadis ghorib nisbi mengenai kesiqahan
rawi:
كان صلى الله عليه وسلم
يقرأ في الاضحى والفطر ب (ق) واقتربت الساعة وانشق القمر
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, Malik,
Dumrah bin Said, Ubaidillah, Waqid Al-Laisi, Rasulullah. Pada rentetan sanad
yang pertama Dumrah bin Said disifati sebagai muslim yang siqah. Tida
seorangpun dari perawi-perawi siqah yang meriwayatkan hadits tersebut selain
dia sendiri.
Contoh dari hadits ghorib nisbi berkenaan dengan
kota atau tempat tinggal tertentu:
أمرنا رسول الله صلعم أن
تقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر منه
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan
sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini
berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.
3. Cara Mengukur Kemutawatiran Hadits
Sebagai dasar sebuah hadits bisa dikategorikan
mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah perawi pada tingkat shahabat
yang meriwayatkan hadits tersebut. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama,
parameter hadits mutawatir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
jumlah perawi di tingkat shahabat sebanyak sepuluh orang.
Dengan demikian, apabila
suatu hadits diriwayatkan kurang dari sepuluh shahabat, maka bukan termasuk
kategori hadits mutawatir.
4. Peran al-Syahid Dalam Analisis
Kuantitas Sanad
Syahid adalah hadits yang
rawinya diikuti oleh perawi lain yang menerima dari sahabat lain, dengan matan
yang menyerupai hadits baik dalam lafad dan ma’nanya atau ma’nanya saja. Syahid
juga terbagi menjadi dua, yaitu syahid lafdzi dan syahid ma’nawi.
Syahid lafdzi adalah hadits
yang menguatkan matan hadits dari segi lafadz dan ma’nanya. Adapun syahid
ma’nawi adalah hadits yang menguatkan ma’na hadits bukan lafazdnya. Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ(صحيح البخاري)
أخبرنا مالك ، عن عبد
الله بن دينار ، عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال : « الشهر تسع وعشرون ، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى
تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »( مسند الشافعي)
حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ(صحيح البخاري)
“Satu
bulan itu dua puluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa sebelum kalian
melihat hilal (bulan yang terlihat pada awal bulan) dan janganlah kalian
berbuka sebelum kalian melihatnya pula. Jika hilal itu tidak jelas atas kalian,
maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari”
Adapun syahid lafdzi adalah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari gurunya Malik dari Abdillah bin
Dinar dari Abdillah bin Umar dengan lafazd
فإن غم عليكم فاكملوا
العدة ثلاثين.
Sedangkan syahid ma’nawi adalah apa yang diriwayatkan Bukhari dari
jalur Syu’bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah yang menggunakan lafadz.
فاكملوا عدة شعبان ثلاثين
[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Misbah
Al-Munir fi Garib Asy-Syarh Al- Kabir li Ar-Rafi, juz ll, Dar Al-Kutub
,Beirut.
Hadits menurut kuantitas sanad
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan hadits sebagai sumber terpenting telah lama menjadi objek kajian para
ulama dari masa ke masa hingga kemudian mengkristal dalam disiplin keilmuan
tersendiri. Karena sifatnya yang begitu penting, maka mempelajari hadits juga
merupakan keharusan bagi setiap muslim.
Disamping memahami dan mengkaji hadits, mempelajari ilmu
hadits juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang
terkait dengan hadits nabi dari beberapa segi. Dimulai dengan memahami
pengertiannya, syarat-syarat, macam-macamnya dan lain-lain.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun makalah ini ditulis untuk menjelaskan tentang
1. Macam-macam hadits dari segi kuantitasnya.
2. Pengertian, syarat, dan contoh hadits ditinjau dari segi kuantitasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam Hadits dari Segi Kuantitasnya
Macam-macam hadits sangat banyak. Sebagian orang bingung
melihat pembagian hadits yang banyak dan beragam tersebut. Kebingungan tersebut
menjadi hilang dengan banyaknya buku atau kitab yang menjelaskan pembagian
hadits dengan terperinci dan gamblang dari berbagai segi dan sudut pandang.
Hadits
dari segi kuantitas jumlah perawi dalam sanad terbagi menjadi dua
macam, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1][1] Adapun penjelasan tentang
keduanya adalah sebagai berikut.
B. Hadits Mutawatir
Ada beberapa
pendapat yang merumuskan pengertian dari hadits mutawatir dengan kalimat yang
berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap sama.
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Hadits
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi
atau thabaqah, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab),
orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk berbohong.[2][2] Sedangkan menurut pendapat
lain, hadits mutawatir adalah:[3][3]
ما رواه جمع عن جمع بلا حصر، بحيث يبلغون حدا
تحيل العادة تواطؤَهم على الكذب.
“Hadits
yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang banyak, yang menurut adat kebiasaan
mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan)”.[4][4]
Dari
beberapa definisi hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir
adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak, perawi tersebut
tidak mungkin bersepakat untuk berbohong tentang hadits tersebut. Tentunya dari
penjelasan tersebut dapat di artikan bahwa perawi tersebut sudah tentu
kejujurannya.
2. Syarat Hadits Mutawatir
Sebuah hadits
dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syaratnya,
adapun syarat-syarat tersebut antara lain:[5][5]
a. Harus
diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b. Menurut adat
kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c. Periwayatan
yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
Mengenai
jumlah periwayat, para ulama’ berbeda pendapat tentang batas minimal jumlah
periwayat. Ada yang berpendapat batas minimalnya adalah 5, 7, 10, 12, 20, 40,
50 dan 70.[6][6]
3. Macam-macam Hadits Mutawatir
Pembagian
hadits mutawatir ada dua, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir
ma’nawi. Mutawatir lafdzi adalah hadits yang mutawair dalam
hal lafal dan maknanya, (ما تواتر لفظه ومعنه). Misalnya:
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Hadits tersebut menurut Alwiy al-Maliki diriwayatkan oleh 62 sahabat.
Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits yang berbeda bunyi lafalnya dari beberapa jalur periwayatan,
tetapi mempunyai kesamaan dalam hal makna, isinya mengandung suatu hal, suatu
sifat, atau suatu perbuatan. Misalnya hadits yang menjelaskan tentang Nabi
Muhammad mengangkat tangannya ketika berdo’a.[7][7] Ada sekitar 100 hadits yang
menceritakan hal tersebut, tetapi mempunyai versi lafal yang berbeda.[8][8]
Jalal ad-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi dalam kitabnya Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, mendefinisikan hadits ma’nawi
sebagai berikut:
ان ينقل جماعة يستحيل
تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفة تشترك في امر.
“Hadits yang di nukilkan oleh banyak orang yang
menurut adat mustahil merek bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang
berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits-hadits tentang mengangkat
tangan ketika berdo’a yang diriwayatkan dalam lebih dari 100 hadits. Meskipun
redaksi hadits berlainan tetapi isinya sama. Demikian pula hadits tentang rukyat,
bilangan rakaat dalam shalat, membaca al-qur’an dengan nyaring pada
waktu shalat maghrib, isya’, subuh, tawaf di baitullah, melempar jumrah,
melakuan sya’i, antara shafa dan marwah, dan manasik haji lainnya.[9][9] Hadits tentang mengangkat tangan ketika
berdo’a tersebut adalah:[10][10]
ما رفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى
رؤي بياض إبطيه في شيء من دعائه إلا في الإستسقاء
Hadits yang semakna dengan hadits diatas antara lain
hadits-hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, al-Hakim dan Abu Daud yang
berbunyi:
كان يرفع يديه حذو منكبيه
Ada juga yang berpendapat bahwa hadits mutawatir
bukan hanya dua. Ada yang menyebutkan bahwa hadits mutawatir ada tiga.
Selain dari yang telah disebut, hadits mutawatir amali juga
termasuk dari macam hadits mutawatir.
C. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad
ialah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir.[11][11]
2. Macam-macam Hadits Ahad
Hadits Ahad
dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits
gharib.
a. Hadits Masyhur
Masyhur secara bahasa
adalah terkenal, yang dikenal atau popular dikalangan umat manusia. Menurut
istilah hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau lebih pada tiap thabaqohnya tetapi tidak sampai pada
tingkat mutawatir. Contoh hadits yang masyhur dikalangan
masyarakat umum seperti:
العجلة
من الشيطان
“terburu-buru
termasuk (perbuatan setan)”[12][12]
b. Hadits Aziz
Kata
aziz menurut bahasa adalah jarang atau sedikit. Menurut istilah hadits aziz
adalah hadits yang pada semua tabaqah sanadnya tidak kurang dari dua
orang periwayat.[13][13] Contoh hadits aziz
adalah:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين .
“Dari abu hurairah r.a. bahwa rasulullah SAW.
Bersabda: ‘tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku lebih
dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).[14][14]
c. Hadits Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau
jauh dari kerabatnya. Hadits gharib sama juga dengan hadits fard karena
keduanya sinonim. Adapun menurut istilah hadits gharib adalah hadits
yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat. Contoh hadits gharib
adalah sebagaimana dituturkan al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
قال
النبي صلى الله عليه وسلم الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان. [15][15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir
dan Ahad.
2. Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafdzi
dan mutawatir ma’nawi
3. Syarat hadits mutawatir antara lain ada tiga, yaitu:
a. Harus
diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b. Menurut adat
kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c. Periwayatan
yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
4. Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Masyhur, Hadits
Aziz dan Hadits Gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawi Al
Maliki. (tanpa tahun). Al Qowa’id Al
Asasiyah Fi Ilmi Mustolah Al Hadits. Makkah: As Shafwah.
Al-Thahhan, Mahmud. 1979. Taysir Mustalah Al-Hadits. Beirut: Dar
Al-Qur’an Al-Karim.
As-Syahrawi, Ibrahim Dasuki. (tanpa tahun). Musthalah
Al-Hadits. Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah
Al-Muttahidah.
Hasyim, Ahmad Umar. 1984. Qowa’id Ushululhadits. Beirut: Darul Kitab Al Araby.
Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta:
Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul
Hadits. Yogyakarta: Teras.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hadits. Surabaya:
IAIN SA Press.
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[3][3] Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, Al Qowa’id Al Asasiyah Fi
Ilmi Mustolah Al Hadits, (Makkah: As Shafwah, t. th), h. 33.
[8][8] Ibrahim Dasuki As-Syahrawi, Musthalah Al-Hadits (Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah Al-Muttahidah, t. th), h. 10.
[13][13] Mahmud
Al-Thahhan, Taysir Mustalah Al-Hadits. (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim,
1979), h. 26
0 komentar:
Posting Komentar