Senin, 11 November 2013

“Mutawatir dan Ahad”



Pembagian Hadist Ditinjau Dari Aspek Kuantitas Sanad
“Mutawatir dan Ahad”
1.Pengertian, Syarat-yarat, Pembagian, dan Contoh Hadist Mutawatir.
a. Definisi
Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak[1]. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta[2]. Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur-Addin hadist mutawatir adalah hadist yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.[3]
Konsep mutawatir ini baru secara difinitif dikemukakan oleh al-Baghdadi, meskipun al-Syafii, ulama sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah”khabar ammah”. Menurutnya hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.
b. Syarat-syarat hadits mutawatir
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membicarakan hadist mutawatir. Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli’ usul suatu hadist dapat ditetapkan sebagai hadist mutawatir bila memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut:
· Hadist mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yamh membawah keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama’ perbeda pendapat ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama’ yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama’ yang menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Dan pendapat inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadis.
· Bedasarkan tanggapan panca indra:
Bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
· Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H)
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadis mutawatir.
c. Pembagian Hadist Mutawatir
1. Mutawatir lafdzi
Yaitu suatu hadits yang bunyi teks atau lafadl haditsnya sama antara satu riwayat dengan riwayat-riwayat lainnya. Hal ini, menurut Ibnu Shalah yang di ikuti oleh Al-Nawawi bahwasanya sangat jarang dan sukar dikemukakan contohnya selain hadits Nabi:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ(صحيح البخاري).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(صحيح مسلم).
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْمَعْنَى عَنْ بَيَانِ بْنِ بِشْرٍ قَالَ مُسَدَّدٌ أَبُو بِشْرٍ عَنْ وَبَرَةُ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تُحَدِّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ عَنْهُ أَصْحَابُهُ فَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ لِي مِنْهُ وَجْهٌ وَمَنْزِلَةٌ وَلَكِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(سنن أبي داود).
حَدَّثَنَا أَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(سنن الترمذي).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَسُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ زُرَارَةَ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُوسَى قَالُوا حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ(سنن ابن ماجه).
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.
Ada juga ulama yang menganggapnya bahwa hadits ini mustahil adanya. Akan tetapi sebagian ulama meyakinkan pada kita bahwa di dalam hadits Nabi sendiri banyak hadits mutawatir, semisal hadits yang menerangkan tentang terbelahnya rembulan, membangun masjid karena Allah, mengenai syafaat, tentang mengusaf khuf, isr’a mi’raj, dan tentang keluarnya mata air dari jari-jari Nabi, serta hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ (مسند أحمد)
“Al- Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ( tujuh macam bacaan)”
Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh tujuh sahabat.
1. Mutawatir maknawi
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih dari seratus perawi[4].
2. Pengertian, Pembagian beserta Contoh Hadist Ahad
a. Definisi
kata ahad berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka hadits ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang jumlah perowinya tidak mencapai batasan minimal dari hadits mutawatir.
b. Pembagian Hadist Ahad
1) Mashur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Contoh:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَاصِمٍ قَالَ عَبْدٌ أَنْبَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا الزُّبَيْرِ يَقُولُ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ(صحيح مسلم)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ(سنن الترمذي) قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Hadits tersebut sejak tingkatan pertama (sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadtis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
Hadtis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih.
2) Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Contoh:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ(صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ(صحيح البخاري)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan–ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
3) Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.
§ Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat.
Contoh :الولاء لحمة كلحمة النسب لا يبــاع ولا يوهب
Artinya: “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
§ Hadis ghorib nisbi terjadi apabila penyandiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ke-Tsiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadis ghorib nisbi mengenai kesiqahan rawi:
كان صلى الله عليه وسلم يقرأ في الاضحى والفطر ب (ق) واقتربت الساعة وانشق القمر
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, Malik, Dumrah bin Said, Ubaidillah, Waqid Al-Laisi, Rasulullah. Pada rentetan sanad yang pertama Dumrah bin Said disifati sebagai muslim yang siqah. Tida seorangpun dari perawi-perawi siqah yang meriwayatkan hadits tersebut selain dia sendiri.
Contoh dari hadits ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu:
أمرنا رسول الله صلعم أن تقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر منه
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.
3. Cara Mengukur Kemutawatiran Hadits
Sebagai dasar sebuah hadits bisa dikategorikan mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah perawi pada tingkat shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadits mutawatir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah perawi di tingkat shahabat sebanyak sepuluh orang.
Dengan demikian, apabila suatu hadits diriwayatkan kurang dari sepuluh shahabat, maka bukan termasuk kategori hadits mutawatir.
4. Peran al-Syahid Dalam Analisis Kuantitas Sanad
Syahid adalah hadits yang rawinya diikuti oleh perawi lain yang menerima dari sahabat lain, dengan matan yang menyerupai hadits baik dalam lafad dan ma’nanya atau ma’nanya saja. Syahid juga terbagi menjadi dua, yaitu syahid lafdzi dan syahid ma’nawi.
Syahid lafdzi adalah hadits yang menguatkan matan hadits dari segi lafadz dan ma’nanya. Adapun syahid ma’nawi adalah hadits yang menguatkan ma’na hadits bukan lafazdnya. Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ(صحيح البخاري)
أخبرنا مالك ، عن عبد الله بن دينار ، عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « الشهر تسع وعشرون ، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »( مسند الشافعي)
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ(صحيح البخاري)
“Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa sebelum kalian melihat hilal (bulan yang terlihat pada awal bulan) dan janganlah kalian berbuka sebelum kalian melihatnya pula. Jika hilal itu tidak jelas atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari”
Adapun syahid lafdzi adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari gurunya Malik dari Abdillah bin Dinar dari Abdillah bin Umar dengan lafazd
فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين.
Sedangkan syahid ma’nawi adalah apa yang diriwayatkan Bukhari dari jalur Syu’bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah yang menggunakan lafadz.
فاكملوا عدة شعبان ثلاثين

[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Misbah Al-Munir fi Garib Asy-Syarh Al- Kabir li Ar-Rafi, juz ll, Dar Al-Kutub ,Beirut.
[2] Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI
[3] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia.
[4] Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul al-Hadis.

Hadits menurut kuantitas sanad


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an. Kedudukan hadits sebagai sumber terpenting telah lama menjadi objek kajian para ulama dari masa ke masa hingga kemudian mengkristal dalam disiplin keilmuan tersendiri. Karena sifatnya yang begitu penting, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan bagi setiap muslim.
Disamping memahami dan mengkaji hadits, mempelajari ilmu hadits juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang terkait dengan hadits nabi dari beberapa segi. Dimulai dengan memahami pengertiannya, syarat-syarat, macam-macamnya dan lain-lain.
B.     Tujuan Penulisan Makalah
Adapun makalah ini ditulis untuk menjelaskan tentang
1.      Macam-macam hadits dari segi kuantitasnya.
2.      Pengertian, syarat, dan contoh hadits ditinjau dari segi kuantitasnya.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam Hadits dari Segi Kuantitasnya
Macam-macam hadits sangat banyak. Sebagian orang bingung melihat pembagian hadits yang banyak dan beragam tersebut. Kebingungan tersebut menjadi hilang dengan banyaknya buku atau kitab yang menjelaskan pembagian hadits dengan terperinci dan gamblang dari berbagai segi dan sudut pandang.
Hadits dari segi kuantitas jumlah perawi dalam sanad terbagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1][1] Adapun penjelasan tentang keduanya adalah sebagai berikut.
B.     Hadits Mutawatir
Ada beberapa pendapat yang merumuskan pengertian dari hadits mutawatir dengan kalimat yang berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap sama.
1.      Pengertian Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi atau thabaqah, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk berbohong.[2][2] Sedangkan menurut pendapat lain, hadits mutawatir adalah:[3][3]
ما رواه جمع عن جمع بلا حصر، بحيث يبلغون حدا تحيل العادة تواطؤَهم على الكذب.
“Hadits yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang banyak, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan)”.[4][4]
Dari beberapa definisi hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak, perawi tersebut tidak mungkin bersepakat untuk berbohong tentang hadits tersebut. Tentunya dari penjelasan tersebut dapat di artikan bahwa perawi tersebut sudah tentu kejujurannya.
2.      Syarat Hadits Mutawatir
Sebuah hadits dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syarat tersebut antara lain:[5][5]
a.       Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b.      Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c.       Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
Mengenai jumlah periwayat, para ulama’ berbeda pendapat tentang batas minimal jumlah periwayat. Ada yang berpendapat batas minimalnya adalah 5, 7, 10, 12, 20, 40, 50 dan 70.[6][6]
3.      Macam-macam Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir ada dua, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Mutawatir lafdzi adalah hadits yang mutawair dalam hal lafal dan maknanya, (ما تواتر لفظه ومعنه). Misalnya:
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Hadits tersebut menurut Alwiy al-Maliki diriwayatkan oleh 62 sahabat.
Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits yang berbeda bunyi lafalnya dari beberapa jalur periwayatan, tetapi mempunyai kesamaan dalam hal makna, isinya mengandung suatu hal, suatu sifat, atau suatu perbuatan. Misalnya hadits yang menjelaskan tentang Nabi Muhammad mengangkat tangannya ketika berdo’a.[7][7] Ada sekitar 100 hadits yang menceritakan hal tersebut, tetapi mempunyai versi lafal yang berbeda.[8][8]
Jalal ad-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi dalam kitabnya Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, mendefinisikan hadits ma’nawi sebagai berikut:
ان ينقل جماعة يستحيل تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفة تشترك في امر.
Hadits yang di nukilkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil merek bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a yang diriwayatkan dalam lebih dari 100 hadits. Meskipun redaksi hadits berlainan tetapi isinya sama. Demikian pula hadits tentang rukyat, bilangan rakaat dalam shalat, membaca al-qur’an dengan nyaring pada waktu shalat maghrib, isya’, subuh, tawaf di baitullah, melempar jumrah, melakuan sya’i, antara shafa dan marwah, dan manasik haji lainnya.[9][9]  Hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a tersebut adalah:[10][10]
ما رفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطيه في شيء من دعائه إلا في الإستسقاء
Hadits yang semakna dengan hadits diatas antara lain hadits-hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:
كان يرفع يديه حذو منكبيه
Ada juga yang berpendapat bahwa hadits mutawatir bukan hanya dua. Ada yang menyebutkan bahwa hadits mutawatir ada tiga. Selain dari yang telah disebut, hadits mutawatir amali juga termasuk dari macam hadits mutawatir.
C.    Hadits Ahad
1.      Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir.[11][11]
2.      Macam-macam Hadits Ahad
Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib.
a.       Hadits Masyhur
Masyhur secara bahasa adalah terkenal, yang dikenal atau popular dikalangan umat manusia. Menurut istilah hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqohnya tetapi tidak sampai pada tingkat mutawatir. Contoh hadits yang masyhur dikalangan masyarakat umum seperti:
العجلة من الشيطان
“terburu-buru termasuk (perbuatan setan)”[12][12]
b.      Hadits Aziz
Kata aziz menurut bahasa adalah jarang atau sedikit. Menurut istilah hadits aziz adalah hadits yang pada semua tabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat.[13][13] Contoh hadits aziz adalah:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين .
Dari abu hurairah r.a. bahwa rasulullah SAW. Bersabda: ‘tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).[14][14]
c.       Hadits Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Hadits gharib sama juga dengan hadits fard karena keduanya sinonim. Adapun menurut istilah hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat. Contoh hadits gharib adalah sebagaimana dituturkan al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان. [15][15]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir dan Ahad.
2.      Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi
3.      Syarat hadits mutawatir antara lain ada tiga, yaitu:
a.       Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b.      Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c.       Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
4.      Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.




DAFTAR PUSTAKA
Al Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. (tanpa tahun).  Al Qowa’id Al Asasiyah Fi Ilmi Mustolah Al Hadits. Makkah: As Shafwah.
Al-Thahhan, Mahmud. 1979. Taysir Mustalah Al-Hadits. Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
As-Syahrawi, Ibrahim Dasuki. (tanpa tahun). Musthalah Al-Hadits. Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah Al-Muttahidah.
Hasyim, Ahmad Umar. 1984. Qowa’id Ushululhadits. Beirut: Darul Kitab Al Araby.
Idri. 2010.  Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel.  2011.  Studi Hadits. Surabaya: IAIN SA Press.
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.





[1][1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 128.
[2][2] Muh Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 83.
[3][3] Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, Al Qowa’id Al Asasiyah Fi Ilmi Mustolah Al Hadits, (Makkah: As Shafwah, t. th), h. 33.
[4][4] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 131.
[5][5] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 105.
[6][6] Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushululhadits, (Beirut: Darul Kitab Al Araby, 1984), h. 143.
[7][7] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 228.
[8][8] Ibrahim Dasuki As-Syahrawi, Musthalah Al-Hadits (Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah Al-Muttahidah, t. th), h. 10.
[9][9] Idri, Op. Cit., h. 139.
[10][10] Tim Penyusun MKD, Op. Cit., h. 108.
[11][11]M. Alfatih Suryadilaga, Op. Cit., h. 229
[12][12] Idri, Op. Cit., h. 142
[13][13] Mahmud Al-Thahhan, Taysir Mustalah Al-Hadits. (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979), h. 26
[14][14] Idri, Op. Cit., h. 149
[15][15] Tim Penyusun MKD, Op. Cit., h. 112

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar