PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DALAM BINGKAI NEGARA BANGSA
(Asep W. M. Ag)
- Pendahuluan
Penerapan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan
melaksanakan hukum “jilid” atau cambuk bagi pelaku tindak pidana perjudian
telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Seakan-akan jenis
hukuman ini adalah baru dalam khasanah ketentuan hukum pidana di Indonesia.
Padahal pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktekkan di
berbagai kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh penjajah Belanda. Dalam
disertasi doktornya, Rifyal Ka’bah menulis bahwa “sebelum kedatangan penjajah
Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan Islam
yang berdiri di persada Indonesia” (Rifyal Ka’bah, 1999 : 264). Demikian juga
berbagai data yang ditulis dalam disertasi doktor dari Abdul Gani Abdullah yang
menulis tentang peradilan agama dalam pemerintahan Islam di kesultanan Bima
1947-1957 (lihat Gani Abdullah, 2004 ).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam
bukanlah hal baru dalam khasanah hukum Indonesia. Persoalannya adalah dengan
perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah Indonesia merdeka masalah
penerapan syari’at Islam ini menjadi aneh dan menimbulkan perdebatan publik
yang luas. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang sisi efektifitas
dalam pelaksanaannya dan sisi penerapannya dalam bingkai negara bangsa. Bahkan
terdapat kekhawatiran akan terjadi diskriminasi dalam pemberlakuan hukum agama
dalam negara Indonesia. Benarkah anggapan demikian dalam praktik kenegaraan
kita.
B. Pelaksanaan Syari’at Islam di Indonesia
Sebenarnya istilah syari’at Islam dapat mengandung dua
makna, yaitu dalam makna luas dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas
syari’at Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an
dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak, ibadah serta hukum-hukum mua’malah.
Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun
mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh. Istilah syari’at
Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih
khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah
berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah
kedatangan penjajah Belanda penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang
keperdataan saja khsususnya bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang
hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah
diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi
Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai
peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah,
antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik
(Lihat Daniel S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap
berlaku bagi golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku
hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri
Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya
masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa.
Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah
Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut
dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau
masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional
Indonesia adalah bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa
warisan Belanda, hukum Islam serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan
tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk
Agama Islam pada bidang-bidang hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris,
waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha
untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan
transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses
resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh
kalangan Islam.
Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun
Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai
perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan nampak terjadi
gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia, seperti dalam
pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang pengadilan agama
dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun harus diakui
bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika
mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan
perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis
keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan
untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat
halangan sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang
bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan
urusan internal agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada
sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara
mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat
pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk
dalam ranah negara atau publik.
C. Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Kasus Nanggroe Aceh
Darussalam
Penerapan hukum pidana Islam di Indonesia selalu mendapat
tantangan dari sebagian masyarakat Indonesia, apalagi penerapan itu dalam
bentuk transplantasi syari’ah dalam hukum pidana Indonesia. Sebenarnya jenis-jenis
tindak pidana dalam hukum pidana Islam yang secara tegas diatur dalam Al Qur’an
dan As Sunnah hanya terdiri dari 9 jenis tindak pidana (lihat Bagan 1), yang
secara garis besar terdiri dari tindak pidana “hudud” yaitu 7 jenis tindak
pidana (lihat Bagan 2) dan tindak pidana “qishash” dan “diyat” yaitu 4 jenis
tindak pidana (lihat Bagan 3). Adapun bagian terbesar tindak pidana dalam hukum
pidana Islam adalah diserahkan pada kewenangan pemerintah setempat atau hakim
untuk menetapkannya yang dalam terminologi hukum Islam disebut “ta’zir” (lihat
Bagan 4), yaitu seluruh tindak pidana yang dapat ditetapkan oleh pemerintah
setempat atau oleh hakim selain yang ditentukan dalam jenis tindak pidana
“hudud” dan tindak pidana “qishash” .
Bagi sebagian ummat Islam berkeyakinan bahwa pelaksanaan
syari’at Islam termasuk dalam bidang hukum pidana ini adalah bagian dari
ketaatannya pada perintah ajaran agama, dan jika tidak melaksanakannya dianggap
telah menentang pelaksanaan ajaran agama. Dalam kerangka pemikiran inilah perjuangan
untuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluk agama Islam di Indonesia dapat
dipahami, walaupun harus diakui ada sebagian ummat Islam yang berpandangan
lain. Bagi kalangan ummat Islam yang mendukung pelaksanaan syari’at Islam,
perdebatan lebih jauh lagi sebenarnya adalah bukan pada melaksanakan syari’ah
atau tidak melaksanakan syari’ah, akan tetapi bagaimana syari’ah (hukum pidana
Islam) itu dijalankan pada masa kini. Sehingga timbulah kehendak untuk
melakukan rekonstruksi dan kaji kembali metode dan pelaksanaan syari’ah ini.
Dalam hal ini perdebatan telah memasuki bidang yang lebih prinsip dan sangat
sensitif bahkan sudah masuk pada sisi aqidah.
Karena bagi sebagian kalangan ummat berprinsip bahwa
persoalan hudud dan qishash tidak bisa direkonstruksi dalam arti merubah jenis
pidana yang dijatuhkan kecuali dalam batas-batas yang ditentukan oleh Al Qur’an
atau As Sunnah. Pada sisi lain sebagian kalangan ummat Islam berkeyakinan bahwa
yang prinsip adalah prinsip-prinsip substansi (material delik) pidana Islam
dilaksanakan, adapaun masalah bentuk hukuman pidananya di sesuaikan dengan
idiologi humanisme yang sedang trend pada saat ini.
Sebenarnya menurut pandangan saya masalah ini tidak harus
menjadi perdebatan diantara kalangan ummat Islam, karena nash-nash Al Qur’an
dan As Sunnah mengenai hudud maupun qishash adalah jelas (qath’i) sifatnya.
Karena itu, tidak bisa dihilangkan, dirubah atau dihapuskan. Adapun masalah
akan diterapkan atau tidak, dapat dilihat pada penerapannya dalam kasus in
concrito. Artinya hudud maupun qishash hanya dapat diterapkan apabila
memenuhi syarat-syarat perbuatan pidana yang sedemikian rupa kwaliatsnya baik
dari sisi beratnya tindak pidana yang dilakukan, dari sisi causanya, maupun
pengaruhnya pada bidang sosial dan publik. Bukankah Umar ra pernah tidak
menghukum pencuri dengan potong tangan karena kondisi sosial dan keadaan
sipencuri yang sedemikian sulitnya. Dengan deimkian kita tidak melakukan
perubahan atas hukum yang telah ditentukan dengan pasti oleh Allah ini.
Sebenarnya penerapan bentuk pemidanaan dari hukum pidana
Islam memiliki efek keuntungan ganda baik dari sisi efektivitasnya dalam
pencegahan kejahatan maupun dari sisi efisiensi pembiayaan negara yang
dikeluarkan. Bayangkan sekarang ini, menurut laporan Menteri Hukum dan
Perundang-undangan jumlah narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia mencapai
jumlah 105.000 orang. Jika setiap narapidana atau tahanan mendapat jatah
makanan setiap hari adalah Rp 5000,- maka biaya negara untuk membiayai makan
mereka adalah sejumlah Rp 525.000.000 per hari. Sehingga dalam satu tahun
negara harus mengeluarkan biaya makan bagi para tahanan dan narapidana sebesar
Rp 189 milyar. Belum lagi biaya lainnya yaitu gaji petugas, pengadaan serta
pemeliharaan gedung dalam lain-lain. Dengan penerapan pidana yang secara
langsung dan dapat disaksikan oleh publik memiliki efek jera yang luar biasa
dan secara psikologis memiliki efek malu dan pendidikan bagi pelaku tindak
pidana dan masyarakat lainnya dan ditambah lagi tidak memerlukan biaya dan anggaran
besar.
Penerapan syar’iat Islam di NAD dilaksanakan berdasarkan
undang-undang otonomi khusus dengan melakukan transplantasi syar’iah ke dalam
hukum positif dalam bentuk “Qanun”. Kebijakan ini dikeluarkan sehubungan dengan
tuntutan dan permintaan masyarakat Aceh atas pelaksanaan hukum yang khusus
dalam wilayah NAD yang memiliki kekhasan sosial dan sejarahnya. Dari cantoh
kasus NAD ini, ternyata bahwa politik hukum nasional Indonesia menjadi sangat
fleksibel dalam menerapkan pluralitas hukum yang berlaku dalam wilayah NKRI.
Artinya politik unifikasi hukum terutama dalam bidang hukum pidana (hukum
publik) yang terus diperjuangkan sejak lepas dari tangan penjajah Belanda mulai
berubah.
Saya berpendapat bahwa paradigma politik unifikasi hukum
yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan majemuk yang memiliki ragam hukum yang berbeda-beda, apalagi
sudah masuk dalam bidang hukum yang sensitif yang terkait dengan ajaran agama.
Karena itu unifikasi hukum tidak dapat dipaksakan. Kebijakan penerapan syari’at
Islam di NAD adalah langkah tepat untuk menghormati kehendak masyarakat yang
menginginkannya. Walaupun tahap awal ini menimbulkan banyak perdebatan
dilkalangan masayarakat, semoga ke depan akan mendapat bentuknya yang baku.
Wallahu
a’lam bissawab!
Daftar
Pustaka:
1.
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di
Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
2.
Abdul Gani Abdullah, Peradilan
Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yayasan
Lengge, Mataram, 2004
3.
Topo Santoso, Menggagas Hukum
Pidana Islam, Asy Syamil, Bandung, 2000.
4.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik
di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.
[1]
Dismapikan dalam Acara Kajian KKA Ke-203 Pusat Studi Islam Paramadina di
Jakarta, tanggal 19 Agustus 2005.
[2] Wakil
Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang, Mantan Anggota DPR RI dan Sekarang Advokat
di Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar