FENOMENA
NIKAH SIRRI DALAM SEBUAH NEGARA HUKUM
INDONESIA
DEWASA INI
(Sebuah
Kajian Tematik Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam)
Oleh
: Asep W. M. Ag
A. PENDAHULUAN
Bagi komunitas muslim Indonesia dan masyarakat Indonesia
pada umumnya, nikah sirri merupakan istilah yang sudah lazim di pergunakan
dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Fenomena nikah sirri, di era teknologi
informasi ini, semakin muncul ke permukaan dan menjadi issue nasional yang
cukup menyita perhatian masyarakat hukum di Indonesia sejalan dengan terbukanya
akses informasi dan maraknya pemberitaan mengenai pelaku nikah sirri, terutama
yang dilakukan oleh beberapa public fugure di negeri ini yang notabene
seharusnya menjadi contoh masyarakat bawah dalam menegakkan keberlakuan
undang-undang perkawinan Indonesia.
Dalam Islam perkawinan disebut pernikahan. Pernikahan bagi
umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk
keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Dalam
Islam, pernikahan dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat
kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena demikian pentingnya perkawinan
atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh
karena itu keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum Negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai
kekuatan hukum.
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau
pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam,
maka setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat
Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak
dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide
Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada - bahkan
cukup banyak - di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan
pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh
pejabat yang berwenang untuk itu. Tema ini yang akan kita telaah dari sudut
pandang hukum positif dan komprehensifitas hukum Islam.
B. TERMINOLOGI NIKAH SIRRI
Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut
juga perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristeri;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]
Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab yang
terdiri dari dua kosa kata yaitu “nikah” dan “sirri”. Nikah yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk
arti bersetubuh (wathi)[2].
Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus),
juga untuk arti akad nikah.[3]
Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang
berarti rahasia.[4]
Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan
sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan
yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan
dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kalangan
terbatas keluarga dekat, tidak dimeriahkan dalam bentuk resepsi walimatul
ursy secara terbuka untuk umum.
Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah
sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau
model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:
Pertama: pernikahan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas
keluarga dekat, tidak diumumkan dalam suatu resepsi walimatul ursy.
Kedua, pernikahan antara seroang pria dan
seorang wanita yang masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya
masih bersekolah. Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah
pihak calon suami isteri yang sepakat menjodohkan anak-anak mereka dengan
tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih
akrab. Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah
mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan
lagi secara resmi di hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut “munggah”.
Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada
tahun 1970an ke bawah.
Ketiga, model pernikahan antara seroang
pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi
mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di
KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan
menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut agama sehingga tidak
perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu dilakukan oleh seseorang
yang mampu secara ekonomi, akan tetapi karena alasan tidak mau repot dengan
segala macam urusan administrasi dan birokrasi sehingga atau karena alasan
lain, maka ia lebih memilih nikah sirri saja.
Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas,
pernikahan sirri model terakhir adalah yang paling relevan dengan topic bahasan
dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Nikah Sirri
dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama atau dengan kata lain disebut dengan Nikah di bawah tangan.
Perlu ditambahkan bahwa terminologi nikah sirri, dengan
demikian, dapat dipandang sebagai sebuah nomenklatur dalam hazanah hukum Islam
dan sebenarnya telah dikenal di kalangan para ulama, setidaknya sejak zaman
Imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa lalu berbeda
pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang
dimaksud dengan nikah sirri, yaitu pernikahan yang memenuhi syarat dan rukunnya
menurut syari'at, namun tidak dipublikasikan dalam bentuk walimatul-'ursy.
Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Islam Indonesia sekarang ialah
pernikahan yang dilakukan menurut hukum Islam, tetapi tidak dilakukan di
hadapan PPN dan/atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga tidak
memperoleh akte nikah sebagai satu-satunya bukti legal formal.
C. HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN
Dalam kajian fiqih Islam terdapat beberapa pendapat para ulama mengenai hukum
pernikahan. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha’, yakni jumhur
(mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan
zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirrin
berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian
lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.[5]
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan
perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya
wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah
mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnat,
wajib, haram dan makruh.[6]
Di Indonesia umumnya memandang hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal
ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi’iyah. Untuk mengetahui lebih
jelas status masing-masing hukum nikah sesuai dengan kondisi al ahkam al
khamsah, berikut ini akan ditelaah secara sekilas:
1. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada rasionalitas hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak
berbuat yang terlarang. Jikan penjagaan diri itu harus dengan melakukan
pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan
itu wajib sesuai dengan kaidah: Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali
dengannya, maka sesuatu itu hukum wajib juga.
2. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Sunnah
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan berbuat zina, maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.
3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah
dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah haram.
4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup
mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya
tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak
mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri
dengan baik.
5. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan
bila melakukannya juga tidak akan menterlantarkan isteri. Perkawinan orang
tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
D. PERMASALAHAN PERKAWINAN SIRRI
Kalau kita cermati uraian tentang hukum nikah yang terdiri
dari lima kategori hukum tersebut di atas dalam mana tidak ditemukan bahasan
mengenai larangan nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Dengan kata lain,
keadaan “sirri” - dalam arti tidak dilangsungkan dan dicatatkan di
hadapan PPN - bukan menjadi factor penyebab sah atau tidaknya suatu perkawinan
tersrebut. Dengan demikian, secara linier dapat dipahami bahwa hukum pernikahan
sirri pada dasarnya juga tidak terlepas dari kategori hukum perkawinan
tersebut, yaitu adakalanya wajib, sunnah, makruh, sunnah dan mubah.
Apabila kondisi seperti tersebut di atas dihubungkan dengan
ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, tentu tidak sejalan dengan semangat
ketentuan hukum positif Indonesia yang menentukan bahwa perkawinan di samping
harus dilakukan secara sah menurut tatacara agamanya, juga harus dicatat oleh
pejabat yang berwenang (vide Ps. 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Th.1974, jo. Ps. 4
dan Ps.5 ayat (1) dan (2) KHI.
Permasalahannya adalah, bagaimanakah penerapan hukum
perkawinan terhadap masayarakat muslim Indonesia, dan bagaimana kedudukan nikah
sirri dalam perspektif hukum positif Indonesia dan hukum Islam yang bersifat
komprehensif?
D. PEMBAHASAN MASALAH
Untuk membahas permasalahan atau
problematika nikah sirri dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam, perlu
kita telaah dua hal pokok yakni, pertama tentang factor penyebab nikah sirri
dan kedua tentang kedudukan hukum nikah sirri dalam perspektif hukum positif
dan hukum Islam.
1. Faktor Penyebab Nikah Sirri
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di
Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat
bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Sebut saja kasus
nikah sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut dan kasus nikah sirri Syekh Puji
beberapa tahun silam. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang
melatarbelakanginya. Tentu saja, untuk mengetahui berapa besar persentase
pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya
pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi
secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:
a. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman
Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum menyadari dan memahami
sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya
perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar
ikut-ikutan belaka. Atau mungkin mereka menganggapnya sebagai tradisi yang
lazim dilakukan oleh masyarakat setempat. Barangkali pencatatan perkawinan itu
hanya dipandang sekedar soal administrasi, belum dibarengi dengan kesadaran
sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut. Padahal
pencatatan perkawinan yang merupakan perintah undang-undang itu sesungguhnya
mempunyai tujuan penting, yakni proses dokumentasi atas perbuatan hukum
perkawinan itu sendiri sehingga kemudian akan memberikan perlindungan hukum
bagi suami isteri yang bersangkutan beserta anak turunnya di kemudian hari,
sehingga dimulai dari terbentuknya keluarga sebagai unit masyarakat terkecil
yang tertib hukum akan tercipta kehidupan masyarakat bangsa yang madani.
Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran dan pemahaman hukum
sebagian masyarakat Indonesia dalam hal pencatatan perkawinan dan bagaimana
upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka. Semua itu tentu
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah yang memposisikan dirinya
sebagai Negara hukum dan keseluruhan bangsa Indonesia sebagai masyarakat hukum.
Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum
mempunyai kesadaran dan pemahaman hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan
semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang
maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang terkait dalam memberikan
edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan
mereka.
Sebagai contoh (sample) rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya
mencatatkan perkawinan, berdasarkan pengamatan penulis, dapat dilihat di
beberapa Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera
Utara dan di beberapa Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lampung Utara Propinsi
Bandar Lampung. Menurut pengamatan penulis, ketika penulis masih bertugas di
kedua daerah tersebut, ternyata ditemukan fakta yang cukup mencengangkan, yaitu
ternyata masih terdapat begitu banyak masyarakat yang perkawinannya tidak
dicatat oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya masyarakat
yang mengajukan permohonan pengesahan perkawinan (isbat nikah) ke Pengadilan
Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan mereka secara hukum
Negara dalam sebuah program sidang keliling. Salah satu fakta yang menarik,
bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinannya antara lain adalah karena alasan
mahalnya biaya pencatatan perkawinan. Fenomena mahalnya biaya pencatatan
perkawinan ini harus jadi catatan penting bagi para pengambil keputusan untuk
menekan biaya pencatatan perkawinan seminimal mungkin agar kelompok masyarakat
bawah tidak terhalang kepentingannya untuk memperoleh akte nikah. Terlebih lagi
pernikahan dalam Islam adalah ibadah, sehingga sangat patut untuk dipermudah
dan dibebaskan dari semua biaya pencatatan tanpa mengabaikan ketentuan hukum
yang berlaku.
Di sisi lain, banyaknya perkara permohonan isbat nikah
tersebut menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai bangkit.
Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang
baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di kawasan daerah
tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya kalau mereka menikahkan
anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah
mereka lakukan.
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat
Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan
yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di
bawah umur bernama Ulfah dan kasus pernikahan sirri Aceng Fikri, mantan Bupati
Garut, sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis
terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan media massa tersebut, dapat
kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji maupun Aceng Fikri
yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak
melalui izin di pengadilan, dan kedua, dalam kasus pernikahan sirri
Syekh Puji, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun
calon isteri tersebut masih di bawah umur menurut undang-undang perkawinan.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh public figure,
sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena
apa yang dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat, biasanya akan dicontoh oleh
mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus
yang menimpa Syekh Puji dan Aceng Fikri adalah tepat agar tidak menjadi
preseden buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan
supremasi hukum dalam sebuah Negara hukum yang bernama Indonesia.
c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang
Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok
dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus
dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu
perkawinan. Dari norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi
umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi
ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan
juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain
ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak
tegas dan ambigu. Itulah sebabnya revisi UUP sudah saatnya dilakukan
secepatnya.
Menurut catatan penulis, pemerintah telah lama membuat RUU Hukum Terapan
Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di
parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara
jelas dan disertai sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Dalam Pasal 4 RUU
tersebut menegaskan bahwa: setiap perkawinan wajib dicatat oleh PPN berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1)
menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib
dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal
4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yuang menyangkut pelanggaran pencatatn
perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6
(enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan
kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam
undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas
bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya. Hal
tersebut juga menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
d. Ketatnya Izin Poligami
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran
bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya
agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak
melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat
alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
- isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi
izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif
sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Dalam hal adanya persetujuan isteri/isteri-iserinya dapat
dilihat dengan mudah karena di samping ada persetujuan tertulis juga si isteri
pertama harus datang secara in persona di persidangan untuk menyatakan
persetujuannya. Adapun yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi
isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat
subjektif sifatnya, sehingga akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat
tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan:
perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine”
adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi
terdapat cacat yuridis di dalamnya.[7]
Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka
atau menggunakan izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan
lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata
cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai
tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk
dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus
memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990. Demikian pula bagi TNI harus
memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga
bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi
dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan
perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal
kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang
baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat
larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka
pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.[8]
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin
lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis[9]
namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan
oleh:[10]
- 1.tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
- 2.bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
- 3.tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk
poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
- 1.hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;
- 2.bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa
ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di
bawah tangan, alias tidak dicatat, alias nikah sirri.
2. Kedudukan Hukum Nikah Sirri Dalam Pespektif Hukum Positif
dan Hukum Islam
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan
perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di
samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh
pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan
perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan
hukum. Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap
hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Mereka
tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang
sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan,
bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya. Dengan
kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih
banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu
peraturan perundang-undangan menentukan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan
di hadapan pejabat dan dicatat dalam register yang disediakan untuk itu.
Keharusan dilaksanakan di hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar
tercipta ketertiban dan kepastian hukum.
Bagi umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang
harus kita kondisikan sebagai syarat kumulatif, yang menjadikan perkawinan sah
menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan
menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU
No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam
pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan
dapat dibatalkan.
Berdasarkan logika hukum dari pasal 2 ayat 1 UUP tersebut
dapat ditarik kaidah hukum bahwa sah tidaknya perkawinan hanya ditentukan oleh
ajaran agama, bukan oleh undang-undang. Dengan demikian yang memiliki otoritas
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah Syari’ (pembuat syari’at),
bukan manusia atau kelompok manusia, baik melalui legislasi ataupun
yurisprudensi. Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah
menurut peraturan perundang-undangan. Tidak ada dikhotomi antara hukum agama
dan hukum negara. Oleh karena itu pemahaman terhadap ketentuan pasal 2 ayat (1)
dan (2) harus bersifat integral kumulatif, bukan parsial fakultatif.
Akan tetapi sebaliknya, kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai
syarat fakultatif, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan
menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai
sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi
polemic berkepanjangan selama ketentuan undang-undangnya sendiri tidak
mengaturnya secara tegas. Yang terpenting bagi umat Islam adalah bahwa
pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam harus bersifat komprehensif sesuai
dengan karakteristik hukum Islam itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa dasar hukum syar’inya
pembuat undang-undang mengharuskan pencacatan sebuah perkawinan, padahal pada
masa Rasulullah saw maupun pada zaman Khulafa al Rasyidin belum dikenal adanya
pencatatan perkawinan tersebut?
Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya
mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan
atau perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya
Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa.
Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan). Dengan kata lain, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan
tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat
an-Nisa' ayat 21:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Menurut para Ulma Islam kontemporer, sekurang-kurangnya ada
dua alasan hukum yang dijadikan dasar perintah pendaftaran/pencatatan nikah.
Pertama, berdasarkan qiyas (analogi) dan kedua atas dasar maslahah mursalah
(utility).
Keharusan mencatatkan perkawinan untuk pembuatan akte nikah,
dalam hukum Islam, danalogikan kepada pencatatan dalam masalah transaksi
utang-piutang yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Hal
tersebut ditegaskan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar.
Berdasarkan dua firman Allah tersebut di atas dapat diambil
sebuah logika hukum sederhana namun pasti, yakni bagaimana mungkin pernikahan
sebagai sebuah ikatan yang sangat kuat tidak perlu dicatatkan? Sedangkan ikatan
perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang saja perlu dicatat, mengapa
ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu
saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi
umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi
mereka mengabaikannya.
Di samping itu, Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat:
59 yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada
Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.
Berdasarkan dalil Firman Allah SWT QS An Nisa: 59 tersebut
di atas, dapat ditarik garis tegas tentang adanya beban hukum “wajib”
bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah , taat kepada Rasul
SAW dan taat kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua
sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara
imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika Ulil
Amri dipahami sebagai sebuah pemerintah/Negara, termasuk di dalamnya
perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam terjadi penolakan terhadap
pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih banyak
terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan hukum syara’.
Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam adalah
terletak pada pemahaman siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat
tersebut di atas. Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu,
antara lain ada yang mengatakan bahwa ulil amri adalah kelompok Ahlul
Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri
adalah pemerintah. Dalam tulisan ini, idealnya tidak memperdebatkan
tentang siapakah Ulil Amri itu. Yang perlu dikedepankan adalah bahwa
pemahaman terhadap hukum Islam itu harus komprehensif sesuai dengan
katakteristik hukum Islam itu sendiri.
Komprehensifitas (dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari
keberlakuan hukum dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang
individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa
masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat
lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu
bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa
penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).[11]
Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum
pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan
terhadap penalaran makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban
pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan
perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi
nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari
Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang
keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila
Undang-undang memerintahkan setiap perkawinan harus dicatat, maka wajib
hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang
tersebut.
Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia
merupakan sesuatu perbuatah hukkum yang haq. Oleh karena
pernikahan adalah suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham
atau system hukum Negara yang mengaturnya. Sungguh sangat tepat penulis
nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali r.a.:
الحق
بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام
Artinya : Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah
hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.
E. PENUTUP
Pernikahan sirri (pernikahan di bawah tangan) tidak
mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang
tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia.
Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan
di bawah tangan atau nikah sirri. Pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya,
bukan saja dipandang dari sudut pandang hukum positif melainkan juga dalam
perspektif hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian pencatatan perkawinan bukan
sekedar merupakan pelaksanaan hukum administrasi Negara tetapi wajib secara
syar’i.
Perkawinan merupakan awal terbentuknya unit keluarga
terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan
hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan
masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu
diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk bagi generasi masa depan. Semoga
bermanfaat..
Wallahu a’lam bis shawab.
DAFTAR BACAAN
- 1.Al Quran Al Karim
- 2.Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2006, hlm 7
- 3.Abddullah bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Mutiara, MCMLXXIV, hlm132
- 4.Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hal 518 bandingkan dengan
- 5.Ditbinpapera Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dallam Lingkungan Peradilan Agama, Tahun 2001 ;
- 6.Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul Al Salam, Bandung; Dahlan, tt, Jilid 3 hlm 109
- 7.Prof.DR.R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994, hlm 51
- 8.Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2000, hal 156
----jmz----
[1]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hal 518
[4] Abddullah
bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris,
Jakarta, Penerbit Mutiara, MCMLXXIV, hlm132
[7]
Prof.DR.R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994, hlm 51
[9] Hasil
penelitian Soetojo dapat dilihat pada tabel I dan II, dalam tabel penelitian
tersebut mengambil sample kodya Surabaya antara tahun 1976 s.d. 1985. Terlihat
penurunan cukup drastis yaitu pada tahun 1976 nikah sebanyak 9345 poligami 50
dan pada tahun 1985 nikah sebanyak 10604 poligami 3, sebagaimana dimuat dalam
buku: Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,
hlm 169
[11]Yusuf
Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang
Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, diterjemahkan
oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2000, hal 156
0 komentar:
Posting Komentar