FENOMENA PERDA SYARIAT ISLAM DI DAERAH
(Asep W. M. Ag)
1. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak soeharto jatuh dari
kekuasaanya dan kran kebebasan mulai terbuka, arus deras dinamika sosial
politik masyarakat kian hari kian bergerak cukup panjang. Berbagai agenda dan
aspek kehidupan bernegara mulai dari penegakan hukum. kebebasan media hingga
peneraparan otonomi daerah kini direspon secara massive
oleh masyarakat.
Terlihat kemudian, bahwa mass euphoria tersebut
tidak hanya menimbulkan konstruksi yang positif bagi arah dan perkembangan
kehidupan sosial politik masyarakat, tapi juga muncul dalam bentuk yang kurang
diinginkan bagi pencapaian cita-cita bernegara dan bermasyarakat. Hal ini
muncul antara lain karena selain akibat dari nature response masyarakat
dalam mengakhiri era rezim yang tertutup dan menindas di masa orde baru, juga
karena perubahan yang dicita-citakan tidak pernah memiliki konsep dan disain
yang jelas baik konsepsi pelaksanaan maupun evaluasi penerapannya.
Akibatnya, muncul berbagai opini yang tidak sepenuhnya
benar tentang kekacauan dan kondisi bahwa Orde Baru lebih kondusif ketimbang
Orde Reformasi.
2. Syariat Islam Sebagai Agenda
Ditengah hiruk pikuknya dinamika keterbukaan di era
reformasi ini, berbagai kelompok Islam kembali menyuarakan syariat Islam
sebagai sebuah agenda yang harus mendapat perhatian. Tidak hanya itu, tuntutan
yang mengusung syariat Islam juga telah sampai pada upaya positifikasi syariat
kedalam perundang-undangan nasional baik di pusat maupun daerah. Disyahkannya
Undang-Undang Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu lalu adalah bentuk dari
semakin munculnya Syariat Islam sebagai agenda nasional.
Tidak hanya dipusat, peletakan syariat Islam sebagai agenda
pemerintahan daerah juga cukup marak dilakukan oleh masyarakat. Berbagai lembaga
dan kegiatan yang ditujukan untuk mengkampanyekan ‘pelembagaan’ syariat Islam
dalam ruang-ruang publik terus dikumandangkan. Dengan berbagai kekurangan dan
kelebihannya lembaga-lembaga masyarakat yang memfokuskan diri dalam kegiatan
kampanye dan penerapan syariah didirikan.
Walaupun begitu, upaya-upaya masyarakat dalam mempublikasi
penerapan syariah Islam tidak menemui jalan yang bebas hambatan. Berbagai
kontroversi dan penolakan juga muncul dari dalam kelompok dimasyarakat itu
sendiri dengan argumen yang berbeda-beda. Namun begitu tidak juga
sedikit yang meragukan bahkan menolak penerapan syariah sebagai hukum.
Tidak hanya terjadi
di Indonesia, dibeberapa Negara muslim di Afrika dan Asia juga masih
memperdebatkan tentang pelaksanaan syariat Islam didalam kehidupan mereka.
Kontroversi ini sesungguhnya bukanlah suatu kejutan. Lebih dari itu, Abul A’la
Al-Maududi, pemikir muslim Pakistan sudah memprediksi bahwa ketika diskursus
tentang penerapan syariah ini muncul maka sesungguhnya pertanyaan dan protes
bukan hanya muncul dari kalangan non muslim tapi juga dari elit muslim yang
terdidik.[1]
Tetapi ramainya
kontroversi tersebut seakan tetap menyertai upaya pemerintah dalam menjadikan
syariah sebagai salah satu kerangka yang ingin diterapkan dalam kebijakan
terutama dalam perundang-undangan. Keadaan ini semakin terwujud lebih cepat
lagi, ketika rezin pemerintah memasuki era Reformasi. Dengan posisi UUD 1945
yang telah diamandemen, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di
tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin
banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk
Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak
diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional terutama sekali
pada ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini
dikategorikan sebagai hukum ekonomi.
Pemerintah juga
pernah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan
Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum
Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif.
Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan
Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus
bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan
diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang
tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum
positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah
memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan
dengan perbankan dan asuransi.
3. Syari’ah Islam dan Sejarah Hukum
Sebagai suatu sistem
hukum yang diyakini paling lengkap, syariah kemudian menjadi sebuah daya tarik
tersendiri bagi para tokoh, pemerhati, peneliti dan komunitas diberbagai
belahan dunia tidak hanya dijadikan sebagai code yang
mengatur kehidupan tapi lebih jauh telah menjadi bagian dari diskursus global
dan tarik menarik ideologisasi yang dihubungkan dengan datangnya tata dunia
baru. Kecenderungan tersebut tak terkecuali terjadi di Indonesia saja, negeri
yang secara faktual dihuni oleh mayoritas muslim terbesar di dunia. Berbagai
kelompok masyarakat berlomba-lomba mengkaji dan menyebarkan gagasan bahkan
mengajak tentang perlunya menjadikan syari’ah sebagai system kehidupan baru
yang layak dipilih.
Dalam peta system
hukum global, syariah telah menempatkan dirinya sejajar dengan dua system hukum
lainnya yaitu: Roman Law (hukum Romawi) dan Common Law (hukum kebiasaan tak
tertulis yang berasal dari Inggris). Sistem Roman Law[2] yang mulai berkembang abad 12 dan
13 melahirkan system hukum dibeberapa Negara Eropa seperti Prancis (French Civil Code/Napoleon Code)
1804, Jerman (German Civil Code) abad 17 dan
Itali (Italian Civil Code) juga ikut
melahirkan system hukum Belanda yang selama tiga setengah abad menerapkan
system hukum tersebut di Indonesia. Aksi kolonisasi ini juga membawa system
hukum Roman Law ke beberapa Negara
jajahan di luar Eropa seperti di benua Asia dan Afrika. Ciri utama system hukum
Romawi ini mendasarkan pada ketersusunan peraturan perundang-undangan dalam
suatu kitab undang-undang yang tertulis. Berbeda dengan system Common Law yang mendasarkan pada
ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent),
yang berasal dari hukum tidak tertulis bukan pada undang-undang. Salah satu
pengaruh System Roman Law yang memperkaya
khazanah terminologi hukum antara lain stare decisis, culpa in contrahendo atau pacta sunt servanda.[3]
Begitu juga dengan
system Common Law Inggris yang mulai
berproses sekitar abad 11 (1154). Raja Henry II menjadi orang yang berperan
melembagakan Common Law dalam sebuah unifikasi
sistem hukum Common Law antara lain melalui:
[1] penggalian tradisi lokal menjadi aturan nasional, [2] memberdayakan sistem
juri pada kasus warga negara untuk menyelidiki tuduhan kriminal yang lebih
realistis dan klaim publik. Sistem ini menyebar ke seantero dunia melalui
penjajahan dan ekspansi politik negeri kerajaan tersebut. Akibatnya system
hukum ini dianut tidak hanya dinegeri bekas jajahannya yang umumnya menjadi
persemakmuran (Common wealth) Inggris Raya,
seperti Wales (Irlandia Utara, Republik Irlandia) Malaysia, Brunei, Hong Kong,
Singapura, Australia dan lain-lain, tapi juga di anut oleh sebagian besar
Amerika Serikat (Kanada kecuali Quebec, Hukum Federal Amerika kecuali
Lousiana). Walaupun didasarkan pada bentuk hukum tak tertulis, namun Common Law tetap menekankan pada
keberadaan kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari pengalaman-pengalaman
empirik akan tetapi antara Roman Law dan Common Law sempat bertemu dalam
satu garis yaitu sama-sama menekankan akal, nalar dan rasionalitas.[4]
Bila akal, nalar dan
rasio menjadi ciri dua sistem hukum tersebut, syariah selain juga logika,
menambahkan kekhasannya dengan unsur-unsur immanent yang
tidak sekedar berdiri sebagai sebuah system aturan kehidupan tapi juga
merupakan wahyu yang diturunkan (revealed). Namun
demikian menurut George Abraham Makdisi[5], hukum Islam
juga memiliki kesamaan dengan system Common Law pada
awal perkembangnya pada pertengahan abad, yaitu sama-sama terletak pada:
keaslian (Indigenous), hukum nasional (National Laws), berdasarkan
pengalaman (based on custom) antara lain berupa
yurisprudensi hakim dengan system pengadilan juri dan saksi yang disumpah.
Itulah mengapa hukum Islam lebih dekat dengan system Common Law daripada Roman Law. Perbedaan utama keduanya
terletak pada sumber utama yaitu wahyu pada hukum Islam dan logika manusia
murni pada Common Law dan Roman Law.[6]
Pengakuan syariah
sebagai salah satu sistem hukum dunia bukanlah suatu hal yang di ada-adakan.
ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat ke 14 (1953-1969), Earl Warren (1891-1974)[7] pernah
menjelaskan dengan lugas di depan peserta pertemuan ahli-ahli hukum dunia (World Peace Through Law) 1963 di
Athena Yunani bahwa:
“ di dinding ruang tempat kami menyidangkan
perkara-perkara yang di putus oleh Mahkamah Agung, terpahat lukisan/lambang
para tokoh pembangun hukum dunia. Kami susun sedemikan rupa, sehingga di
sebelah kiri dinding ada nama-nama seperti Menes (mesir), Hammurabi (Babylon), Musa dan Salomon (Israel), Lycurgus, Solon dan Draco (Yunani), Confius (Cina) dan Augustus (Roma) sebagai sembilan tokoh pembangun hukum
yang hidup sebelum masehi. Sedangkan nama-nama seperti Justisianus (Roma), Muhammad (Islam), Charlemagne (Jerman), King Jhon dan Black Stone (Inggris), Saint Louist dan Napoleon (Prancis), Hugo Grotius (Belanda) dan Marshall (Amerika Serikat) berada disebelah kanannya
yang diletakan sebagai sembilan tokoh pembangun hukum dunia yang hidup sesudah
masehi. Dan selalu setiap ketika kami bersidang termasuk ketika mendengarkan
argumen-argumen para pengacara dan memutuskan perkara-perkara, tokoh-tokoh
pembangun hukum dunia itu seakan-akan memandang kebawah sedang memperhatikan
kami dan tak jarang kami yang menengadah ke atas kepada mereka untuk mencari
ilham dalam memutus perkara”[8]
Dalam mengeksplorasi
nilai-nilai yang hidup di masyarakat ke dalam sebuah tatanan hukum, tokoh-tokoh
tersebut tak jarang saling mengadopsi bahkan ‘mencuri’ konsep-konsep asli yang
telah di rumuskan oleh tokoh lainnya seperti yang di lakukan Napoleon Bonaparte
ketika melakukan ekspedisi ke Mesir. Dengan segala taktik dan strateginya,
Napoleon mampu memboyong naskah dan manuscript
berbagai ilmu pengetahuan Islam termasuk ilmu hukum yang tersimpan di Musium
Iskandariah ke Prancis untuk dipelajari para cendikiawan di sana.[9] Oleh karena
itu, paska kepulangan Napoleon dari Mesir, penguasa Prancis menerbitkan sebuah
kitab kodifikasi hukum perdata yang disebut sebagai Code
Napoleon.[10]
Tak lama setelah
kitab kodifikasi itu lahir, lewat proses kolonialisme yang panjang kitab
tersebut kemudian diadopsi menjadi inspirasi Belanda untuk membuat Kitab
Undang-undang Hukum (KUH) Perdata Belanda yang selanjutnya di akui dengan asas
konkordansi sehingga Indonesia memiliki Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata
sendiri. Maka tak berlebihan bila bagaimanapun juga Code
Napoleon sangat dipengaruhi oleh hukum Islam yang berlaku di Mesir
pada saat itu.
Harus diakui bahwa konkordansi KUH
Perdata Belanda menjadi KUH Perdata Indonesia merupakan klimaks pilihan hukum
dari Eklektisime[11]
antara berbagai hukum yang ada dan berkembang di Indonesia. Sudah menjadi
bagian dari perjalanan sejarah pemberlakuan hukum nasional bahwa antara Hukum
Islam dan Hukum Belanda pada waktu itu saling mengisi ‘berebut posisi’ sebagai
hukum yang mengatur masyarakat Indonesia. Namun begitu, jauh sebelum Belanda
menjajah Indonesia, hukum adat antar suku-suku di Indonesia yang kebanyakan tidak
tertulis mulai di warnai oleh Hukum Islam.
Sejak kurun waktu
tahun 1400-1500 Masehi, para ahli hukum kerajaan Islam Malaka sering datang ke
Kerajaan Samudera Pasai di Aceh untuk memecahkan permasalahan hukum yang sering
muncul di Malaka. Karena perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, pada abad
ke XIV Kerajaan Samudera Pasai dibawah Sultan Malikul Zahir menyebarkan Hukum
Islam ke kekerajaan Islam di nusantara lainnya. Karya Nuruddin ar-Raniri yang
berjudul as-sirath al-mustaqim yang ditulis
sekitar tahun 1628 menjadi buku panduan hukum Islam pertama yang mulai
diperkenalkan ke wilayah-wilayah kerjaaan Islam lain di nusantara. Buku ini
kemudian di urai kembali oleh Syekh Arsyad al-Banjari dalam karyanya yang
berjudul Sabil al-Muhtadi yang pada
gilirannya menjadi pegangan berbagai penyelesaiaan sengketa di kesultanan
Banjar.[12]
Setelah dua karya
fenomenal tersebut, beberapa kerajaan Islam di Palembang, Banten, Demak,
Gresik, Ngampel, Tuban, Kutai, Sumbawa, Jepara, Butuni (Buton) dan Mataram
mulai menerbitkan beberapa produk panduan hukum bagi kerajaan dan rakyatnya.
Tapi yang lebih unik lagi beberapa buku tentang aturan-aturan yang berdasarkan hukum
Islam terbit atas prakarsa dan inisiatif penguasa Belanda untuk dijadikan
pegangan oleh para hakim dan pejabat pemerintah kolonial seperti Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring
Getrokken uit het Mohammedaansgh Wetbok Mogharraer (Mogharraer Code) yang diterbitkan untuk Landraad Semarang pada tahun 1750.
Di Cirebon terdapat Cirbonsch Rechtboek yang
di susun atas usul Residen cirebon, P. C. Hosselaar
(1757-1765), Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van
Bone en Goa yang diterbitkan Gubernur Jenderal VOC di Sulawesi, Jan
Dirk Van Clootwijk dan kitab hukum perkawinan dan kewarisan Islam oleh
pengadilan VOC (Compendium Freijer) yang terbit pada 25 Mei 1760.[13]
Atas beberapa fakta
tersebut Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927) menyimpulkan
beberapa fenomena tersebut dalam sebuah teori yang di sebut reception in complexu yang bermakna
bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam
keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain berarti bagi
rakyat pribumi berlaku hukum agamanya. Teori Van den Berg ini juga dibenarkan oleh Solomon Keyzer (1823-1868) penulis buku pedoman hukum Islam dan hukum pidana
Islam untuk masyarakat Islam Jawa.[14]
Selain beberapa
kodifikasi hukum yang dilakukan penguasa Belanda di berbagai tempat di
Indonesia, banyak ahli hukum dan pejabat Belanda termasuk pada era kekuasaan
Raffles yang berpendirian bahwa hukum yang berlaku di Jawa adalah hukum Islam (The Kor’an Noerm General Law of Java)
dan Deandles yang menginspirasi Van den Berg untuk melahirkan teori pengakuan
pemerintah kolonial terhadap berlakunya hukum Islam bagi masyarakat setempat.
Karya JEW van Nes yang fokus bahasannya tertuju pada madzhab Syafi’I (1850)
berjudul Boedelsscheidingen of Java Volgens de Kitab
Saphi’i dan A. Meurenge yang mengeluarkan saduran Handboek van het Mohammedaansche Recht (1884) adalah dorongan nyata bagi ahli
hukum Belanda yang tertarik pada hukum Islam tersebut untuk terus mencermati
hukum yang hidup di masyarakat Indonesia.[15]
Posisinya yang juga
merangkap sebagai pemangku kebijakan dibidang hukum penguasa Belanda pada waktu
itu membuat Van den Berg tidak segan-segan membuat pengakuan terhadap kewenangan
badan-badan peradilan agama untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan
hukum Islam berdasarkan staatsblaad 1882
No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian dan pengumpulan beberapa bahan
tertulis tentang asas-asas hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882)
menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian tentang hukum keluarga dan hukum
waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan menerjemahkan beberapa kitab fiqh
berbahasa arab seperti Fath al-Qarib dan
Minhaaj ath-Thalibin ke dalam
bahasa Prancis.[16]
Melihat akomodasi Van
den Berg yang cukup luas terhadap penerapan hukum Islam di daerah jajahannya,
penguasa kolonial Belanda mulai berpikir ulang dan mencoba mengevaluasi kembali
kebijakan tersebut. Keputusan tersebut diambil karena upaya mengakomodasi hukum
Islam menjadi hukum masyarakat di anggap hanya akan menumbuhsuburkan ideologi
dan gerakan yang semakin menguatkan kekuatan perlawanan di masyarakat terhadap
pemerintah Belanda. Terlebih pada waku itu sedang berlangsung pengaruh
keislaman yang juga cukup kuat dari pihak eksternal yang masuk ke Indonesia.[17]
Oleh karena itu, untuk memutus segala pengaruh dan timbulnya akibat yang
merugikan pemerintah Belanda, penasihat pemerintah Belanda yang juga ahli hukum
Islam, Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya
hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan
menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat dengan tradisi dan budaya pemerintah
kolonial Belanda dan Eropa lainnya. Kebiijakan tersebut akhirnya di rinci oleh
Hurgronje menjadi teori Receptie seperti
yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling (IS) dimana hukum Islam hanya dapat
diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat.[18]
Dengan kebijakan
tersebut, bandul eklektisisme hukum nasional Indonesia bergerak menuju hukum
adat yang mulai menggeser peran hukum Islam sebagai sistem hukum yang banyak
berlaku di masyarakat disamping hukum Belanda. Tidak kurang dari 19 wilayah di
Indonesia mulai mengembangkan hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai
dibatasi oleh sebuah komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh
Bertrand Ter Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan
Kalimantan Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai di tanggalkan dan
diserahkan ke Landraad.
4. Keberlakuan Hukum Islam di
Indonesia
Kalau
kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam
itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti
diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam
mengatur tatacara menjalankan sholat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan
kaidah hukum positif. Bahwa sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain
menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi,
dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah
mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa
dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan
yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan
hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum
administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah
contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan
kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga
di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya.
Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus
memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula
dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan
dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam
sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang
dasar negara merdeka.
Adapun
hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan
kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang
majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan
dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan
agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan
hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh
undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan
bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium
Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum
Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Hasil
telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial,
ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di
suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et
impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak.
Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat
dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari
sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling,
yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku
tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi
golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi
Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu
lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang
beragama Kristen.
Hukum
Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah
diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan
hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Profesor Hazairin
sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit
di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di
kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada
penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka.
Karena
merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda,
maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar
di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya,
seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini
dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan
penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam
Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut,
baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua
menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi
hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai
dukungan mayoritas.[19]
Patut
kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari
Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan
Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang
mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku
itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan
peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula
meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir
negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.[20]
Setelah kita merdeka,
tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun
hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara
yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan
politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta
struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan
administrasi negara tumbuh pesat.
Di
manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama
dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa.
Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular,
tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern.
Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional
Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian.
Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar
pengaruhnya di negara itu.[21]
Dengan berbagai penjelasan tersebut, perlu diingatkan kembali bahwa hukum Islam
itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat
merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika
sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan
kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
5. Syariat Islam di Berbagai Daerah
Sejak
awal sejarah Indonesia, perkembangan penerapan syariat Islam di Indonesia telah
dimulai dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau.
Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak
mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan
penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan.
Kita
masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan
pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan
Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan
Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di
Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu
penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama.
Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di
bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di
negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai
simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan
hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat
sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat
kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di
daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui
dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan
Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari
berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni
orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal
di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.[22]
Berbagai
suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa
kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama
mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi
lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun
mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran
Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di
antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya
masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang
beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam
suatu komunitas yang baru.[23]
Pada
awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang
berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini.
Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian
melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam
Compendium Freijer yang terkenal itu.
Compendium
Freijer itu sendiri ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan
Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya
menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek
yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa
itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu
menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di
pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu
melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren,
demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana
terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah
menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam
struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan
fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa
dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di
bidang keluarga dan perdata lainnya.
Di
Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum
adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum
perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik.
Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun
lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah
terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan
seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan
Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun
proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama
kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka.
Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan
hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat
pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian
empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk
pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
6. Syari’at Islam Dalam Era
Otonomi Daerah
Genderang otonomi daerah merupakan pintu masuk utama
munculnya seluruh peraturan lokal sebagai wujud dari titah regulasi baik yang
kewenangannya bersifat atributif (melekat) maupun yang bersifat delegatif
(turunan). Dari peluang transfer kewenangan ini, arus balik sentralisasi
kekuasaan antara lain dimaknai dengan membuka seluas mungkin upaya memandirikan
daerah dengan segenap kemunculan kebijakan lokal dalam kondisi yang serba
transisi dan terbatas. Dengan segala keterbatasan tersebut lahirlah berbagai
produk hukum daerah berupa peraturan dan keputusan pejabat daerah.
Tidak
ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang bernuansa syariat
itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya Perda syari’ah mulai
tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan UUD 1945 1999-2002 yang juga
terjadi perdebatan tentang berlakunya syari’at islam di Indonesia. Kemudian
diterapkan di daerah khusus NAD. Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring
menguatnya dorongan atas pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal 1999.
Ditahun-tahun tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana pemerintahan daerah
seperti burung yang mendapati kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang
dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, pemerintah lokal
tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga melengkapi
birokrasinya dengan berbagai produk peraturan daerah.
Seperti
juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul tenggelam, wacana
perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah keramaian perdebatan
nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat Islam. Walau dengan definisi
dan batasan yang tidak begitu jelas mengenai apa sesungguhnya indikator yang
tepat bagi penamaan sebuah kebijakan syariat Islam, perda-perda tersebut pada
akhirnya lebih dikenal sebagai perda syariat. Karena, sekalipun tak disebut
secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa disangkal bahwa dalam
kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang hendak ditegakkan melalui
perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran, memberantas kezaliman dengan
asumsi-asumsi keislaman. Tentu saja itu sebuah tujuan yang mulia.
6. Penutup
Terlepas dari
sekeranjang kontroversi tersebut, perlu kiranya kita ketahui bersama bahwa
syariah mau tidak mau memang telah menjadi sebuah system hukum yang amat
mempengaruhi khazanah hukum secara global. Walaupun secara lokal, naik turunnya
hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kebijakan penguasa,
tapi seiring dengan arus deras tren global, sistem yang dibawa nabi Muhammad 15
abad yang lalu mulai dilirik dan dikembangkan sebagai satu solusi oleh
masyarakat dan menjadi kajian dan perdebatan utama forum hukum dunia. Karena
itu para sarjana barat seperti Matthew Lippman, Sean Mc Coville dan Mordechai
Yerushalmi kembali mengakui bahwa Hukum Islam kini telah menjadi salah satu
dari tiga tradisi hukum yang utama terkait dengan dunia hukum dan filosofi dari
mayoritas bangsa-bangsa di dunia.[24]
Harus diakui sebagai
sebuah sistem hukum yang sangat komprehensif, subtansi doktrin hukum yang
bersumber khususnya dari Al-Qur’an memang amat sulit untuk dibantah ke
universalannya. Namun sangat sering ditemukan bahwa problem syariat selalu
terletak pada penafsiran, pengelolaan dan penerapannya yang banyak dilakukan
oleh Negara dan birokrasi pemerintahan. Sebagai sebuah sumber dari kebenaran
hukum, subtansi-subtansi yang dikandung oleh syariat juga sering mulai memudar
di mata masyarakat terutama dikalangan yang sejak awal tidak mau memahami dan
cenderung memberikan stigma negatif terhadap syariat.
Tumbuhnya Perda
Syari’ah merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari berbagai sisi, baik
sisi politik, budaya, hukum maupun agama. Perda syari’at mencuat ketika otonomi
luas diberikan kepada daerah dan pada saat yang sama dialog dan perdebatan
tenetang syari’at islam dalam perubahan undang-undang dasar terus menghiasi
pemberitaan media. Pada sisi lain terdapat perkembangan yang menakjubkan atas
kesadaran keagamaan yang muncul di seluruh Indonesia seperti sebuah gelambang
yang terus menarik hati masyarakat muslim Indonesia yang sebelumnya mayoritas
abangan (sebagaima pengelompokan oleh Geertz). Kesadaran inilah nampaknya yang
memberikan dorongan kuat bagi pembentukan Perda Syariah di Indonesia, walaupun
disadari ditemukan banyak sekali kelemahan dan kesalahan definisi atas Perda
Syari’ah itu, yang ternyata sebagian besarnya adalah Perda mengenai ketertiban
umum.
Perlu ada pemahaman
yang benar tentang penyusunan perda yang bersumber dari syari’ah ini, termasuk
tehnik penyusunan Perda secara umum, sehingga tidak menimbulkan salah
pengertian dan dianggap keluar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lahirnya Perda-perda yang bersifat khusus di daerah-daerah termasuk Perda yang
bersumber dari nilai-lai syari’ah, seharusnya dipahami sebagai bentuk
penghormatan terhadap keragaman daerah di Indonesia sebagai sebuah Negara yang
plural, tentu dengan memperhatikan kekompakan hirarkis dengan
perundang-undangan yang ada di atasnya.
Wallahu al’lam bissawab.
[1] Abul A’la
Al-Maududi, Islamic Law and Constitution, Karachi: Jama’at al-Islami
Publication, 1995, hal.13
[2] Prof. Satjipto
Rahardjo menyebut system hukum yang berlaku di Indonesia sebagai system Romawi-
Jerman atau Civil Law System. Prof. Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.
[5] George Makdisi, Ph.D, professor emeritus bahasa arab
dan kajian Islam pada Universitas Pennsylvania. Kuliahnya yang terkenal antara
lain “Church, Classical Islam, and University”. Makdisi meraih bachelor’s
degree dalam hubungan luar negeri dan master’s degree sejarah
dari Universitas Georgetown Washington, D.C. ia juga mendapatkan docteur
es-lettres dari Universitas Paris, Sorbonne, dengan konsentrasi bahasa
arab dan kajian Islam. Aktif berpartisipasi pada berbagai masyarakat
profesional, Makdisi banyak menerima berbagai scholastic awards
termasuk dua kali mengikuti Guggenheim Fellow. Makdisi juga menerima
penghargaan prestisius Giorgio Levi Della Vida Award untuk prestasinya
dalam melakukan kajian Islam California selama tahun 1993. http://www.loyno.edu/newsandcalendars/loyolatoday/1998/03/makdisi.html
[6] http://www.questia.com/library/book/ibn-aqil-religion-and-culture-in-classical-islam-by-george-makdisi.jsp
[7] Earl Warren adalah seorang Ketua Mahkamah Agung Amerika (Chief
Justice) yang selama jabatannya, Mahkamah Agung sering berhadapan dengan
kasus-kasus kontroversial berkaitan dengan hukum kewarganegaraan dan politik
ketatanegaraan. Lahir di Los Angeles dan dibesarkan di Bakersfield, California
dimana ayahnya berprofesi sebagai mekanik kereta api. Bakersfield telah menjadi
tempat belajar yang berharga bagi Warren, ia mengatakan “crime and vice of
all kinds countenanced by a corrupt government.” Warren menjadi penegak
hukum Amerika yang sangat anti-rasisme terutama perlakuan orang Amerika
terhadap orang asia yang pada waktu itu sering terjadi di West Coast. http://www.landmarkcases.org/brown/warren.html
[8] Prof. Busthanul
Arifin, S.H, Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah, dalam Pidana
Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2001, Hal. 34
[9] Dalam soal non
hukum, dunia barat menurut Watt Montgomary banyak berhutang budi pada para
pemikir dan cendikiawan Islam seperti dalam bidang sains, teknologi,
perdagangan dan disiplin keilmuan lainnya. Watt Montgomary, The Influence
of Islam on Medieval Europe, Edinburgh, Edinburgh University Press, 1987.
D. De Santillana secara khusus malah menyebut bahwa beberapa system dan
institusi dagang seperti perkongsian terbatas yang dikembangkan oleh Islam
memberikan kontribusi positif bagi system hukum dagang barat. Kontribusi
tersebut telah memberikan standar etika yang luhur bagi pengembangan
konsep-konsep dagang yang modern. Menurutnya, itulah sebagian kebaikan jasa
yang abadi dari hukum Islam kepada hukum eropa. D. De Santillana, The
Legacy of Islam, Oxford, Oxford University Press, 1931 hal 310.
[10] Untuk mengetahui
lebih dalam tentang Code Napoleon bisa dilihat dalam E. A. Arnold, ed. and trans.,
A Documentary Survey of Napoleonic France, Lanham, MD: University
Press of America, 1993, hal. 151-164, dan Laura Mason and Tracey Rizzo, eds., The
French Revolution: A Document Collection, (New York: Houghton Mifflin,
1999, hal.340-347.
[11] Eklektisisme ialah
suatu system yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari bermacam-macam
sumber dan doktrin hukum. Prof. DR. Busthanul Arifin, S.H, Prolog buku
DR. Qodry Azizy, MA, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum
Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hal. viii
[12] DR. Rifyal Ka’bah,
MA, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 hal.
122-123
[13] DR. Rifyal Ka’bah,
MA, Sejarah Hukum Adat, Bahan Kuliah Magister Hukum UIJ, Jakarta, TT,
hal. 2-3
[14] Pidato pengukuhan
Prof. Dr. Thohir Luth sebagai guru besar hukum Islam Universitas Brawijaya, Kewarisan
Islam, Satu Renungan untuk Orang-orang Beriman, http://www.brawijaya.ac.id/id/8_directory/staf.php?detail=131573967
[15] Drs A. Rahmat
Rosyadi, S.H, M.H, H.M. Rais Ahmad, S.H, M.C.L, Formalisasi Syariat Islam
di Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2006, hal. 75
[16] Sayuti Thalib, Receptio
A Contrario (Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982
hal.121
[17] Mengenai ini,
Anthony Reid menjelaskan adanya arus kuat pan-islamisme pada waktu itu yang
antara lain berhembus dari Turki. Anthony Reid, The Contest of North
Sumatra, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969, hal. 3, 65, 66
dan 109. sedangkan istilah PAN-ISLAMISME sendiri diciptakan oleh Sultan Abdul
Hamid II untuk melawan kekuasaan barat yang akhirnya mendorong kekhawatiran
kolonialis Belanda dan Inggris pada tanah jajahan mereka di Melayu. Snouck
Hurgronje menyebut Pan Islamisme ini sebagai tindakan yang berbahaya tapi
sia-sia, Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX,
Jakarta: INIS, 1994, hal. 102
[18] Peristiwa paling penting yang mengubah pemikiran
Snouck adalah ketika ia bertemu dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang
keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, yang “dibeli”
Belanda dan dikirim ke Mekkah, sehingga mengubah minat Snouck dari sekedar
menjadi akademisi berlanjut menjadi pejuang kolonial Belanda. Atas bantuan
Zahir dan Konsul
Belanda di Jeddah
JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya
untuk memenangi pertempuran terhadap orang Aceh. Ketika Habib
Zahir tak lagi ‘dipakai’ Gubernur Belanda di Nusantara, semua naskah penelitian
Zahir di serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi
dosen di Leiden. Snouck seperti mendapat durian runtuh, naskah itu kemudian dia
berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie van
Kolonieën). Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga
ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh. Pada 1889, dia menginjakkan
kaki di pulau
Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat
pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh hingga ia menjadi orang Belanda yang
ahli tentang Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat
penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai
wafatnya,26 Juni
1936, dia tetap
menjadi penasehat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. http://id.wikipedia.org/wiki/Snouck_Hurgronje.
[19] Yusril Ihza
Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional di Indonesia,”
<http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-dan-pengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia/>,
19 Juni 2008.
[20] Yusril, ibid.
[21] Yusril, ibid.
[22] Yusril, ibid
[23] Yusril, ibid
[24] Topo Santoso, Menggagas
Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah dalam Konteks Modernitas, Bandung,
Asy-Syamil, 2000, hal. 15
0 komentar:
Posting Komentar