KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU SINA
Oleh: Waspada, M.Ag
Nama lengkapnya adalah Abu
’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan pebedaan
pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa
nama tersesut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain
mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab
berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut
dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.[1]
Dalam sejarah pemikiran
islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat
gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana,
suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya
bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang
Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat
kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina
bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun
demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada
abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain
sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu
kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga
karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui
pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan
yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia
melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh,
ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil
menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang
belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya
dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu.
Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi
2, yaitu:
1.
Ilmu yang tak kekal
2.
Ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari
peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka
ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[2]
Sejarah mencatat sejumlah
guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
Mahmud al-Massah (ahli
matematika)
1.
Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
2.
Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara
otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia
menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh
kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan
ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu
kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh
al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang
didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Upaya memperdalam dan
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan dilanjutkan ibnu sina pada saat ia
memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada
saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa
ibnu sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri
dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina
berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun
cabang i9lmu pengetahuan yang tieda dipelajari. Hampir setahun lamanya ia
membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat perpustakaan tersebut, sampai
datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran
pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa
masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan
itu mengatakan demikian.
“ semua buku yang aku
inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang
bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya
dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca
kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku
menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. “
ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan
berbagai cabangnya.
Dalam bidang karir dan
pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu
membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun
kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- ‘Arudi. Untuk ini ia
menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan
al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu
Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut
politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik saling berebut
kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan
yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi,
sehingga seluruh wilayah kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh
ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi
politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi
meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang yang termasuk ibu kota
Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti
Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu
Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu ibnu sina melanjutkan
perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu sina
berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab
As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Setelah itu ibnu sina
terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat,
sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun
jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri
sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu sina juga dikenal sebagai seorang
ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang
ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika,
logika, politik dan satra arab.
Karya Ibnu Sina dalam
bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat
As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang
logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama
dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1.
Ilmu Akhlak
2.
Ilmu cara mengatur rumah tangga
3.
Ilmu tata negara
4.
Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga
termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada
pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuki melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan.
Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1.
Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa
tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang
dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan
fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu
Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup
dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang
dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang
bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak
melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti
olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat
bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani
olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas
otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak
memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan
dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam
perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan
tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan
bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja
yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan
pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada
pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang
terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus
mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga
harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah di masyarakat.
2.
Kurikulum
Secara sederhana istilah
kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu.[3]
Kurikulim disini berfungsi
sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan
bakatnya secara optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan
mutu kehidupan dalam masyarakatnya.[4]
Konsep Ibnu Sina tentang
kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak
3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran
olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.[5]
Pelajaran olahraga tersebut
diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya
organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk
membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup
sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak
memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan
kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai
serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran
olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan
psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam
berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta
bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana
saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya
saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih
banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang
memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang
tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya
semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak
didik.
Dari sekian banyak
olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah
olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu
kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan,
Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak
bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan
cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup
sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk
usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan
menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan
menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan
ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung
keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an,
Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya
Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung
keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an
berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan
demikian penetapan pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan
mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari
segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri.
Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari
yang lain-lain.
Hikmahnya: untuk mengambil
berkat dan mengharapkan pahala
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
Selanjutnya kurikiulum
untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan
amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan
bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan
kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk
menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para
pendidikagar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu
yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi
penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran
yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari
ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau
berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan
pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada
dimasyarakat.
Ketiga, strategi
pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang
terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam,
ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata
lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan
keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan meliha cirri-ciri
tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi
persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini.
Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk
diterapkan dimasa sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
3.
Metode Pengajaran
Konsep metode yang
ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam
setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara
mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina
berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan
kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai
dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi
pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi
pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak
akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina
antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang,
dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode
talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an,
dimulai dengan cara memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian
demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh
mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga
hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor
sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode
demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis.
Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih
dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah
itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah
sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara
menulisnya.
Berkenaan dengan metode
pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk
salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dmengajarkan
akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang
disesuaikan denganm perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah
disinggung pada uraian diatas.
Selanjutnya metode diskusi
dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada
suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk
dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode
magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang
dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan
agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari
teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai
kesehatan.
Selanjutnya berkenaan
dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru
memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa
arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dnegan istilah at-ta’iim bi
al-marasil ( pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian
mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni:
uraian tentang berbagai
metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari ibnu sina
terhadap keberhasilan pengajaran. setiap metode yang ditawarkannya selalu
dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya
serta tingkat usia peserta didik.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri metode tersebut
hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini
menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih
relevan dengan tuntutan zaman.
4.
Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan
Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu
Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama,
mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka
masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina
menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan
menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing
anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak
dll.
Berkenaan dengan tugas
pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas
pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan
kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna
mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi
pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan
kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.[7]
Jika diamati secara
seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang
lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam
pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan
dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang
guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang
diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5.
Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya
tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini
didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam
keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu
Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin
disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas
dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan
hukuman.
Penggunaan-penggunaan
bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi
seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak
dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[8]
Ibnu Sina membolehkan
pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh
dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan
normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan
dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan
sebagainya.
Innoote
[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab
Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta, IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin & Drs. Usman
Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136
[3] Crow dan Crow, Pengantar Ilmu
Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III hal.75
[4] Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn Sina, Kitab As-Syiasah Fi
attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906)hal.1076
[6] Prof. Dr. H. M. Yunus,SPI, PT
Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra MA,
Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat,
1999 hal.81
[8] Prof. Dr. Azumardi Azra MA<
Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat,
1999 hal. 83
0 komentar:
Posting Komentar