SIYASAH
DUSTURIYAH
Pendahuluan
Siyasah dusturiyah merupakan bagian dari kajian fiqh
siyasah yang membahas mengenai prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan bagi pemerintahan sebuah negara termasuk didalamnya perundang-undangan,
peraturan-peraturannya dan adat istiadat.
Ada empat konsep yang dibahas di dalam siyasah dusturiyah, yaitu konstitusi,
legislasi, ummah serta syura dan demokrasi. Berikut akan dibahas secara ringkas
mengenai masing-masing konsep siyasah dusturiyah tersebut.
Konsep-Konsep Konstitusi, Legislasi,
Syura dan Demokrasi Serta Ummah
1. Konstitusi
Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut
juga dengan dusturi. Menurut istilah, dustur berarti kumpula kaedah yang
mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesame anggota masyarakat dalam
sebuah negara, baik yang tertulis (konstitusi) maupun yang tidak tertulis
(konvensi). Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan Islam
dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia
setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum,
tanpa membeda-beda stratifikasi social, kekayaan, pendidikan dan agama.
Pada awalnya konstitusi berupa pola
hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang ditentukan oleh adat istiadat.
Namun karena adat istiadat tidak tertulis, maka pemerintah banyak yang berlaku
sewenang-wenang sehingga kemudian banyak rakyat yang memberontak sehingga
selanjutnya melahirkan pemikiran untu menciptakan undang-undang sebagai
konstitusi tertulis sebagai pedoman dalam hubungan antara masyarakat dan
pemerintah.
2. Legislasi
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi
atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam
membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan
untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam
mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam
konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah
al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk
menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya
berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at Islam.
Orang-orang yang duduk dalam lembaga
legislative ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para
pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam
hal-hal ketentuannya, sudah terdapat didalam nash Al-Qur’an dan Sunnah,
undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah
undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan
oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari
lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan negara. Dalam masalah ini,
lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan
negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara
kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan.
3. Ummah
Dalam terminologi Islam, istilah
“ummah” adalah sebuah konsep yang unik dan tidak ada padanannya dalam
bahasa-bahasa Barat. Pada mulanya, kalangan pemikir politik dan orientalis
Barat mencoba memadankan kata “ummah” dengan kata nation (bangsa) dan nation-state
(negara bangsa). Namun, padanan ini dianggap tidak tepat dan akhirnya
dipadankan pula dengan kata community
(komunitas). Meskipun demikian term “komunitas” juga tidak terlalu tepat untuk
disamakan dengan term ummah.
Kata ummah berasal dari kata
amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata ini
lahir antara lain kata umm yang berarti ‘ibu” dan imam yang bermakna
“pemimpin”. Kedua-duanya merupakan teladan, tumpuan pandangan dan harapan bagi
anggota masyarakat. Menurut Ali Syari’ati makna ummah terdiri dari tiga kata
yaitu: gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Dengan demikian kata ummah
berarti “jalan yang jelas”, yaitu “sekelompok manusia yang bermaksud menuju
jalan”.
Ada lima ciri yang menggambarkan ummah.
Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi
Muhammad sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (Al-Qur’an) dan
memiliki pengabdian yang satu pula yaitu kepada Allah. Kedua, Islam yang memberikan identitas pada ummah
mengajarkan semangat universal. Ketiga, karena umat Islam bersifat universal
maka secara alamiah umat Islam juga bersifat organic. Keempat, Islam tidak
mendukung ajaran kolektivitas komunisme, dan individualisme kaum kapitalis.
Kelima, berdasarkan prinsip-prinsip diatas maka system politik yang digariskan
Islam tidak sama dengan pandangan-pandangan Barat seperti nasionalisme dan
teritorialisme yang didasarkan pada batasan-batasan wilayah, darah, warna,
kulit dan bahasa.
4. Syura dan
Demokrasi
Kata “syura” berasal dari sya-wa-ra
yang secara etimologis berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sejalan dengan
pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah”
mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang
lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Agar prinsip syura ini
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ditentukan Allah, setidaknya
musyawarah harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu masalah apa saja yang menjadi
lapangan musyawarah, dengan siapa musyawarah dilakukan serta bagaimana etika
dan cara musyawarah dilakukan.
Sebagaimana halnya syura diatas,
demokrasi juga menekankan unsur musyawarah dalam mengambil keputusan. Demokrasi
juga menekankan sebagai bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat-sebagaimana didefinisikan. Menurut Sadek, ada tujuh prinsip
utama dalam demokrasi, yaitu :
a. Kebebasan berbicara. Setiap warga
negara berhak mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut.
b. Pelaksanaan pemilu-dalam bahasa
politik Indonesia-yang luber dan jurdil.
c. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas
tanpa mengabaikan control minoritas.
d. Sejalan dengan prinsip ketiga, partai
politik memegang peranan yang penting.
e. Demokrasi meniscayakan pemisahan
kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif.
f. Demokrasi menekankan adanya supremasi
hukum.
g. Dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas
melakukan perbuatam.
Selain itu ada prinsip-prinsip
demokrasi yang dapat disejajarkan dengan syura dalam Islam. Pertama, tauhid sebagai landasan asasi; kedua, kepatuhan hukum; ketiga, toleransi warga; keempat, demokrasi Islam tidak dibatasi
oleh wilayah geografis, ras, warna kulit atau bahasa; kelima, penafsiran hukum Tuhan harus dilakukan melalui ijtihad.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat
disimpulkan ada empat bagian konsep-konsep dalam siayasah dusturiyah, yaitu
konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi yaitu mengenai proses
perumusan undang-undang), dan demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting
dalam perundang-undangan negara serta ummah yang menjadi pelaksana
undang-undang tersebut.
Daftar Pustaka
Iqbal, Muhammad.2001.Fiqih
Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta:
Gaya Media Persada.
Pulungan, Suyuti.1997.Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar