MATERI FIQH
SIYASAH II
JURUSAN : SIYASAH
SEMESTER : IV-A
PERTEMUAN : I
HARI/TGL : JUM’AT, 06 MARET 2014
KONSEP SIYASAH:
KONSTITUSI, LEGISLASI, UMMAH DAN SYURA
(MATERI PERTEMUAN PERTAMA)
Oleh: Asep W. M. Ag
Sebagai Pengantar, sistem politik Islam juga disebut sebagai Siyasah.
Siyasah juga terbahagi kepada dua iaitu:
a. Siyasah Wadh’iyah: Iaitu siyasah yang
dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil
oleh pemikiran manusia dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara.
b. Siyasah Syar’iyyah: Iaitu Siyasah yang
dihasilkan oleh pemikiran manusia mengikut etika agama dan moral dan
memerhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup
bermasyarakat dan bernegara.
A.
Konstitusi
Perpaduan antara politik
dan agama yang merupakana akibat lagsung dari hakikat teologi Islam jugs
terungkap dalam kawasan teori konstitusioanal.
AI-Quran
sebagai undang-undang, perilaku keagamaan, tetapi
yang lebih tinggi, kitab suci itu merupakan hukum dasar dan tertinggi yang
tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi Negara Islam.
Sumber
hukum konstitusi Islam yang kedua yang tidak kalah penting adalah
Sunah atau segala perkataan dan
praktek kehidupan Nabi Muhammad saw, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada
sernua. manusia.
Sumber
hukum konstitusi Islam yang ke tiga adalah Ijma' yang berarti
kesepakatan universal atau kosensus yang bersifat umum. Ijma' melibatkan upaya
kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan
masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hukum tentang suatu masalah
tertentu.
Sedangkan
sumber hukum konstitusi yang ke empat adalah Qiyas yaitu metode
yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas
suatu bentuk perilaku tertentu. Dalam Islam metode ini digunakan untuk
memperluas hukumhukum syariab yang bersifat umum kepada berbagai kasus
individu yang tak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan
beberapa kasus lama yang telah dijelaskan dalam Qur'an dan Sunnah.[i]
B.
Legislasi
Di dalam Islam,
Legislasi ( perundang-undangan ) terbagi ke dalam empat bentuk;
1.
Interpretasi
Dalam masalah-masalah
tertentu, Al-Quran clan Al-sunnah telah meletak perintah-perintah yang jelas atau tersamar untuk mewajibkan aturan
bertindak tertentu. Untuk
masalah-masalah ini, tidak ada seorang ahli hukum, hakim,badan legislatif,
bahkan ummat secara keseluruhan yang diperbolehkan mengubah ketentuan-ketentuan Syariah tertentu atau aturan
yang telah digariskannya. Tetapi hal ini
berati bahwa manusia tidak diberi jatah untuk melaksanakan fingsi legislasinya.
Peran manusia disini adalah sebagai berikut :
a.
secara tepat dan cermat mencari apa sebenarnya hukum tersebut; hakikat dan
isinya,
b.
menentukan makna dan maksudnya,
c. menyelidiki syarat-syarat yang dikehendakinya dan
cars penerapannya dalam masalah-masalah praktek,
d. menggarap rincian-rinciannya dalam kasus
hukum-hukum untuk penerapan secara langsung dalam praktek kehidupan
sehari-hari, dan
e. menentukan sampai sejauh mana hukum-hukum tertentu
dapat diterapkan dan tidak dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi
perkecualian.
2.
Analogi (
Qiyas )
Kemudian ada
jenis-jenis masalah yang meskipun didalam syariah belum digariskan tetapi ada
isyarat yang terjadinya beberapa situasi yang sifatnya analog. Dalam situasi
semacam ini fungsi pembentukan undang-undang akan menerapkan perintah-perintah, serta memahami secara tepat
alasan-alasan serta penyebabpenyebab yang mendasarinya, untuk masalah
yang benar-benar memiliki hubunganhubungan sebab-akibat serta menghindari
penerapan aturan-aturan ini jika tidak ada hubunagn
sebab-akibat itu.
3.
Inferensi
Masih ada lagi
katagori masalah manusia yang di dalam syariah tidak ada tuntutannya tetapi
diganti dengan prinsip-prinsip umum atau pengisyaratan atas kehendak Pemberi
Hukum mengenai spa yang harus digalakkan dan spa yang harus ditutup kemungkinan tedadinya. Untuk
masalah-masalah semacam ini, fungsi pembentukan undang-undang
disini adalah memahami prinsip-prinsip syariah serta kehendak Pemberi Hukum
tersebut dan merumuskan hukum-hukum mengenai masalah-masalah
praktek yang didasarkan pads prinsip-prinsip ini, serta yang memenuhi
kehendak Pemberi Hukum.
4.
Wilayah Legislasi yang Independen
Terlepas dari
ketiganya, masih ada rangkaian Was masalah manusia yang tidak diungkit-ungkit oleh syariah. Syariah tidak
memberikan isyarat secara langsung maupun
tuntutan jelas bagi situasi-situasi indentik maupun sejenis yang sedemikian rupa sehingga kita mampu menggali suatu inferensi
analogis didalamnya. Sikap syariah
ini sendiri ini merupakan petunjuk bagi kenyataan bahwa Pemberi-Hukum telah
menyerahkannya kepada umat manusia; untuk memutuskan masalah-masalah berdasarkan kecenderungan serta
pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri. Dengan demikian, untuk kasus-kasus semacam ini kita dapat menerapkan pembentukan undang-undang secara mandiri sepanjang
sesuai dengan semangat Islam yang benar dan prinsip-prinsip umumnya,
serta yang lebih penting lagi, tidak bertolak
belakang dengan pola umum serta temperamen Islam. Perundang-undangan ini harus secara alamiah dan wajar sejalan dengan
rancanang ideologi Islam secara Umum[ii].
C. Ummah
Kata-kata
umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan pertama, kata
umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burungpun disebut umat, semut
yang berkeliaran pun jugs bisa disebut umat dari umat-umat Allah. Lapisan
kedua, kata umat berarti umat manusia secara keseluruhan. Lapisan
ketiga, kata umat berarti suatu kemunitas manusia. Dalam lapisan ini bare
bisa dibedakan antara umat Islam dan umat non-muslim[iii].
Konsep
terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep Ummah atau komunitas
orang-orang beriman.
Permulaan
kata Ummah diterjemahkan sebagai suatu kesatuan yang menimbulkan kesatuan semua
warga muslim. Jika tubuh Ummah yang konkret muncul ke permukaan sebagai suatu konsep kehidupan dengan
mempert-imbangkan budaya, maka Ummah dapat berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan memN&uat-1esaU_dan
kekuatan. Jadi, konsep tersebut berperan sebagai simbul kesatuan dan
kekuatan yang mewujudkan kesatuan secara bersamaan.
Menurut makna istilah,
Ummah “meliputi totalitas (jamaah ) individu-individu yang Baling terkait
oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras. Di dalam Ummah itu segenap anggota bersaksi
sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Dihadapan Allah, semua anggota
mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas atau
ras. "
Sedangkan
makna Ummah dalam arti lebih luas tidak hanya terbatas pads masyarakat madinah.
Dalam dokumen yang disebut " Konstitusi Madinah" istilah Ummah
digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian dokumen:
a.
pada bagian awal istilah itu digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat
keagamaan orang-orang yang beriman; dan
b.
pada bagian kedua, kata itu diartikan sebagai masyarakat persekutuan secara
umum.
Namun
demikian, corak dengan masyarakat non-muslim itu dipandang tidak merubah
keunikan dasar dan kekhususan umat Islam.
Sisi paling penting
peran Ummah sama dengan solidaritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia
dalam suatu dalam Islam adalah tingkat solidaritasnya yang tinggi. Bentuk
solidaritas itu tid masyarakat dengan faktor-faktor yang umum seperti wilayah,
budaya dan bahasa ( faktor-faktor yang lazim ada pads sebuah bangsa ).
Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas
organik ( keluarga ) yang menciptakan dan berupaya menggayuh tujuan yang bersifat umum dan
menghendaki parsitifasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu
dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas (
kewajiban ) masing-masing [iv].
D.
Syura
Sistem kenegaraan yang
dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah SWT telah mewajibkan
berlakunya sistern syura kepada umat manusia dalam dun ayat Al-Quran. Teks kedua ayat tersebut cukup jelas
dalam mewajibkan untuk mengikuti prinsip syura. Ayat pertama disampaikan
dalam bentuk perintah terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura. Jika
demikian, tentu umatnya lebih pantas untuk diperintah melakukannya. Sementara ayat yang kedua menerangkan bagaimana sifat utama
dari kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan dan memutuskan
permasalahan dengan selalu saling memahami
satu sama lainnya dan saling tukar pikiran melalui syura[v].
Firman
Allah SWT, dalam surah Ali Imran : 159, yaitu Artinya :
"Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap
kerns lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karen itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu..”.
Ayat
kedua, dalam surah asy-syuura : 36-38, yaitu
Artinya
:
“ maka sesuatu apapun yang
diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan yang ada pads sisi
Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan ( bagi ) orang-orang yang menjahui
doss-doss besar dan pebuatanperbuatan keji, dan apabila mereka marsh mereka
memberi manfaat. Dan ( bagi ) orang-orang yang menerima ( mematuhi ) seruan
Tithannya dan mendirikan shalat, Belong urusan mereka ( diputuskan ) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kamu
berikan kepada mereka ".
Dalam ayat itu
menjelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin diantara yang lain adalah
bermusyawarah dengan yang lainnya.
Ada juga beberapa
hadits yang menyuruh dan memperkuat pentingnya bermusyawarah, juga menjelaskan
keutamaannya. Rasulullah saw bersabda; " minta bantuanlah dalam menyelesaikan permasalahan kalian melalui
musyawarah." .. tidak akan berhasil seorang yang hanya mengikuti
pendapatnya sendiri dan tidak ada seorangpun yang akan hancur hanya
karena bermusyawarah."[vi].
[i]
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah,
PT Rineka Cipta, Jakarta Juni 1994, cet pertama, hal 1.
[ii]
Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, PT Mizan Bandung
November 1998 Cetakan VI hal. 94-96.
[iii]
H.A Dzajuli, Fiqh Siyasah; Implimentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, Kencana Jakarta 2003, Cetakan Ketiga edisi Revisi, hal. 23
[iv]
Kuntowijono, Identitas Politik Umat Islam, PT MIzan Bandung, Cet Pertama 1997,
hal 232
[v]
Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, Gema Insani Press Cet. Pertama
1997 hal.66.
[vi]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teeori Politik Islam, Gema Insani Press Jakarta,
Cetakan pertama 2001, hal. 272.
Istilah Konstitusi Dalam Islam
Istilah konstitusionalisme mempunyai makna suatu paham
mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[1] Pemakaian istilah konstitusi yang
dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu
negara.[2] Dalam hal ini, yang dimaksud negara
adalah organisasi kekuasaan. Dikatakan organisasi kekuasaan, karena dalam
setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan.
Catatan
sejarah mengenai timbulnya negara konstitusional di kalangan umat Islam
sesungguhnya merupakan suatu proses sejarah yang panjang. Sejarah Islam telah
mencatat bahwa sejak zaman Rasulullah Saw telah telah lahir konstitusi tertulis
pertama yang kemudian dikenal dengan konstitusi Madinah atau disebut Piagam
Madinah.[3] Persoalan konstitusi menjadi
perdebatan yang tidak pernah berakhir di kalangan pemikir muslim, terutama
ketika dihadapkan pada masalah hubungan agama dan negara. Dalam hal ini, ada
tiga perbedaan pendapat tentang hubungan negara dan agama ; Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah kenegaraan. Karena
itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa konsep negara ditemui dalam
Islam. Kedua, Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan karenya tidak
alasan untuk memisahkan keduanya. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa
agama dan agama saling membutuhkan.[4]
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dalam makalah yang singkat ini, pemakalah
mencoba berupaya menkaji masalah konstitusi dalam pemikiran hukum Islam dengan
mengacu pada pendekatan historis keteladanan Nabi Saw dalam membangun sebuah
negara di Madinah.
[3] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan
Ni’matul Huda, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta; Raja Grafindo
Persada, hal. 57.
PEMBAHASAN
Istilah Konstitusi dalam Hukum Islam
Dalam hukum
ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah), konstitusi disebut dengan dusturi (berasal
dari bahasa Persia). Semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas,
baik dalam bidang politik maupun agama. Dalam perkembangannya, kata ini
digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster
(Majusi). Setelah mengalami penyerapan kedalam bahasa Arab, kata dustur berkembang
pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti
kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama
anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun
yang tertulis (konstitusi).[1]
Prinsip-prinsip yang diletakkan
dalam perumusan konstitusi ini adalah jaminan hak-hak asasi manusia setiap
anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang dimata hukum tanpa
membeda-bedakan klasifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.[2] Perumusan
konstitusi ini sangat berkaitan dengan sumber-sumber dan kaidah
perundang-undangan di suatu negara, baik sumber material, sumber sejarah,
sumber pengundangan maupun sumber penafsirannya. Sumber material adalah hal-hal
yang berkenaan dengan materi pokok undang-undang dasar. Materi pokok
undang-undang dasar adalah peraturan tentang hubungan antara pemerintah dengan
rakyat yang diperintah. Perumusan konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari
latar belakang sejarah negara yang bersangkutan, baik masyarakatnya, politik,
maupun kebudayaannya. Dengan demikian, materi dalam kontitusi tersebut sejalan
dengan aspirasi dan jiwa masyarakat dalam negara tersebut. Kemudian, agar
mempunyai kekuatan hukum, undang-undang dasar yang akan dirumuskan harus
mempunyai landasan atau dasar pengundangannya. Dengan landasan yang kuat
undang-undang tersebut akan memiliki kekuatan pula uuntuk mengikat dan mengatur
masyarakat dalam suatu negara yang bersangkutan. Sementara sumber penafsiran
adalah otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan atau menjelaskan hal-hal yang
perlu pada saat undang-undang dasar tersebut diterapkan.[3]
Sejarah Muncul Konstitusi
Menurut ulama fiqh, pada mulanya
pola hubungan pemerintah dengan rakyat ditentukan oleh adat istiadat. Karena
adat istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat
batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Akibatnya karena pemerintah memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap
absolut dan otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebagai reaksi,
rakyatpun melakukan pembrontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan
pemerintah yang berkuasa secara absolut tersebut.[4]
Akibat dari
revolusi tersebut, lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar
atau konstiusi sebagai pedoman dan “aturan main” dalam hubungan antara
pemerintah dan rakyat.[5] Namun tidak
selamanya konstitusi itu dibentuk lewat revolusi, ada juga yang dibangun karena
lahirnya sebuah negara baru, contoh seperti ini seperti Pakistan dan Indonesia.
Pendiri negara yang bersangkutan itulah yang terlibat dalam perumusan
undang-undang dasar (konstitusi).
Upaya untuk
mengadakan Undang-Undang Dasar tertulis sebenarnya sudah dimulai semenjak abad
ke 17 M di Eropa yang menjadi sumber utama dari konstusi itu adalah adat
istiadat yang terus menerus dipelihara dan dipraktekkan dari generasi ke
generasi berikutnya. Dari adat inilah muncul teori hubungan timbal balik antara
penguasa dan rakyat, yaitu disebut dengan “Kontrak Sosial” yang ditemukan oleh
Thomas Hobbes. Teori ini mencikalbakali lahirnya Konstitusi tertulis yang
mengatur batas-batas hak dan kewajiban kedua belah pihak secara timbal balik.[6]
Perkembangan
Konstitusi
Sumber utama
pembentukan konstitusi dalam hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunah. Berhubung
al-Qur’an bukan buku undang-undang, karena tidak merinci secara detail
bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya serta hak dan kewajiban
masing-masing pihak.Al-Qur’an hanya memuat dasar-dasar atau prinsip umum
ketatanegaraan secara global dan ayat yang mengatur tentang
ketatanegaraan pun tidak banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ayat yang masih
global tersebut dijabarkan oleh Nabi dalam sunahnya, baik perkataan, perbuatan
atau ketetapannya. Namun penerapannya tidak harus mutlak, karena al-Qur’an dan
Sunah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membentuk dan mengatur
pemerintahan serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan
konteks sosial masyarakatnya.
Bertitik
tolak dari hal itu, teori-teori hukum Islam seperti ijma’, qiyas, istihsan dan maslahah
mursalah memegang peranan yang sangat penting dalam perumusan
konstitusi, namun penerapan teori-teori tersebut tidak boleh bertentangan
dengan ruh syari’at.
Nabi yang
kapasitasnya sebagai penjelas terhadap ayat al-Qur’an, dalam menghadapi
masyarakat Madinah yang majemuk antara golongan muslim dan non muslim,
khususnya kaum Yahudi, Nabi membuat perjanjian tertulis dengan mereka. Isi
perjanjian itu, terutama menitikberatkan persatuan kaum muslimin dan kaum
yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerjasama,
persamaan hak dan kewajiban di antara semua golongan dalam mewujudkan
pertahanan dan perdamaian, dan mengikis segala bentuk perbedaan pendapat yang
timbul dalam kehidupan bersama. Perjanjian ini dibuat pada tahun pertama
Hijrah, sebelum perang Badar dan dikenal dengan nama “Piagam Madinah”.
Langkah-langkah Nabi membuat perjanjian Piagam Madinah sebagai keputusan yang
amat luhur dan merupakan fase politik yang telah diperlihatkan Nabi dengan
segala kecakapan, kemampuan, dan pengalamannya yang membuat orang tunduk hormat
kepadanya dengan rasa kagum.[7] Banyak
pakar politik menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan Konstitusi Negara
tertulis pertama di Dunia. Beberapa prinsip penting telah diletakkan dalam
konstitusi itu, yaitu, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, jaminan sosial
dan tanggung jawab bersama dalam keamanan.[8] Dalam
piagam inilah untuk pertama kali dirumuskan ide-ide yang sekarang menjadi
pandangan hidup modern di dunia, seperti kebabasan beragama, hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan
ekonomi antar golongan serta kewajiban bela negara. Piagam Madinah sebagai
dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah dan sekaligus membuktikan
bahwa Nabi Muhammad Saw bukan hanya seorang rasul melainkan juga seorang
negarawan. Piagam tersebut sangat revolusioner dan sangat mendukung gagasan
Nabi bagi terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan majemuk, yang sebelumnya
masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antar suku dengan
suatu kesepakatan dan piagam madinah sekaligus sebagai landasan hukum hidup
bernegara bagi masyarakat majemuk di Madinah. Oleh sebab itu, terwujudnya
suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh Nabi dan diterima oleh semua
golongan dapat dipandang sebagai proses pendahuluan dari terbentuknya negara di
Madinah dibawah pimpinan Nabi Saw.[9]
Madinah dapat
dipandang sebagai sebuah negara, karena telah memenuhi syarat minimal
terbentuknya negara yaitu. wilayah, penduduk dan pemerintah. Dalam konteks
masyarakat Madinah yang dipersatukan oleh Nabi Saw, ketiga unsur tersebut
terlihat secara nyata.
Pertama, masyarakat tersebut memiliki
wilayah tertentu yaitu Madinah. Kedua, semua golongan masyarakat
(muslim, Yahudi dan orang-orang musyrik) mengakui dan menerima Nabi sebagai
pemimpin dan pemegang otoritas politik yang sah dalam kehidupan mereka. Ketiga,
golongan-golongan yang ada memiliki kesadaran dan keinginan untuk hidup bersama
dalam rangka mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan bersama. Keinginan tersebut
tertuang dalam perjanjian tertulis yaitu Piagam Madinah.[22]
Peristiwa
hijrah ke Madinah merupakan kehidupan baru bagi Nabi yaitu kehidupan
politik, yang secara implisit di dalamnya terkandung pengertian bahwa di
Madinah merupakan tempat dimulai kehidupan bernegara bagi umat Islam. Sejarah
menunjukkan bahwa Nabi membentuk suatu pemerintahan berdasar visi kenabiannya
yang sarat dengan muatan nilai-nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan.
Setelah Nabi wafat sampai pada masa Dinasti Bani Abbassiyah tidak ada lagi
konstitusi tertulis untuk mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.
Pemikiran
kembali untuk membentuk konstitusi dikalangan ahli tatanegara diberbagai dunia
Islam, setelah dunia Islam mengalami penjajahan dunia barat. Pemikiran ini
sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan merespon gagasan politik barat
dengan kolonialismenya terhadap dunia Islam. Negara yang pertama kali
mengadakan konstitusi adalah Kerajaan Usmani (1976). Dalam konstitusi tersebut,
ditegaskan bahwa Sultan Usmani adalah pemegang kekuasaan kekhalifahan Islam
yang menjadi pelindung Agama Islam.[23] Namun sifat konstitusi ini
sebagai semi otokratis, karena hak-hak dan kekuasaan Sultan lebih dominan atau
lebih besar.[24] Konstitusi ini tidak berjalan
secara efektif, karena Sultan Usmani masih memegang kekuasaan yang begitu
besar, yang akhirnya oleh sebagian pemikir yang menamakan dirinya sebagai Turki
Muda berusaha mencoba membatasi kekuasaan Sultan Usmani dengan membuat
konstitusi baru, kemudian pada puncaknya berhasil menghancurkan kekhalifahan
Sultan Usmani dan terbentuklah RepublikTurki yang sekuler di bawah pimpinan
Mustafa kamal ( 1880-1938). Dalam Konstusi ini ditegaskan bahwa Turki adalah
negara republik, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekuleris dan
revolusioner.[25]
Negara
muslim lainnya, seperti Saudi Arabia yang menjadikan al-Qur’an sebagai
Undang-Undang Dasar negara dan syari’ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Syari’ah. Kerajaan Saudi tidak punya partai politik, dan dewan
perwakilan rakyat, yang ada adalah dewan syura yang anggotanya diangkat oleh
raja, namun demikian, tidak berarti raja berkuasa mutlak tetapi harus
mendasarkan pada syari’at.[26] Kemudian konstitusi Kerajaan
Maroko yang menganut sistem demokrasi. Dalam konstitusinya tidak menyebutkan
syari’ah sebagai sumber hukum. Oleh sebab itu hukum perdata dan pidana
tidak berdasarkan pada syari’at melainkan sebagian diwarnai oleh hukum barat.[27]. Sementara di Yordania, dalam
konstusinya menganut bentuk kerajaan turun temurun. Dalam konstitusi disebutkan
bahwa Islam adalah agama negara dan bahasa arab sebagai bahasa resmi negara dan
juga disebutkan persamaan hak warga negara tanpa membedakan asal usul dan
agama.[28]Negara lain adalah Tunisia yang
dalam konstitusinya menegaskan bahwa negara Tunisia berbentuk republik dan
Islam sebagai agama resmi negara. Dalam konstitusinya juga disebutkan ada
pemisahan kekuasaan eksekutif Yudikatif dan Legislatif. Hukum Islam (fqih) adalah
sebagai sumber hukum untuk mengatur masalah hukum keluarga, kewarisan dan
perwakafan. Sedang masalah hukum pidana, fiqh sebagai salah satu sumber hukum
dari banyak sumber hukum lainnya.Model konstitusi negara Tunisia ini di ikuti
oleh negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Suriah dan Aljazair.[29]Sedangkan di Indonesia,
konstitusinya menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. (pra amandemen).
Dalam konstitusinya (UUD 1945) tidak menegaskan salah satu agama sebagai agama
resmi negara tetapi menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya.[30]
Berangkat
dari catatan sejarah konstitusi diatas, dapat diklasifikasi ada tiga tipe
konstitusi. Pertama, negara yang tidak ada pembaharuan dan
memberlakukan hukum fiqh secara mutlak, seperti Saudi Arabia. Kedua,
negara yang menghilangkan sama sekali Islam dari dasar negaranya, dan
mengadobsi sepenuhnya hukum dari negara barat, seperti Turki. Ketiga, negara
yang memadukan Islam dan sistem hukum lainnya. Contoh negara ini adalah
Mesir, Tunisia, Aljazair dan Indonesia.[31]
Prinsip-Prinsip
Dasar Konstitusi
Hasil
penelitian para ahli menyimpulkan bahwa tidak ada satu ayatpun yang secara khusus
menerangkan bentuk negara. Oleh karena itu, tidak heran jika bentuk negara
dalam Islam berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat, sejak zaman Nabi
Muhammad saw. hingga kini.[32] Hal ini, tidak berarti bahwa
al-Qur’an sama sekali tidak mengandung petunjuk bagi kehidupan bernegara. Dalam
rangka mengatur kehidupan manusia di bumi, termasuk dalam kehidupan bernegara,
al-Qur’an cukup menggariskan prinsip-prinsip dasar berupa seperangkat nilai
etika untuk dijadikan bahan rumusan konstitusi sebagai landasan bagi kehidupan
bernegara. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah persaudaraan sesama manusia,
persamaan antar manusia dan kebebasan manusia.[33] Ketiga prinsip dasar inilah
yang dipraktekkan Nabi dalam membangun kehidupan bernegara ketika mulai
hijrah dan selama menetap di Madinah.
Prinsip
persaudaraan sesama manusia dalam kehidupan bernegara berimplikasi kepada
timbulnya persatuan yang kokoh dan toleransi beragama di antara warga negara
yang majemuk. Aplikasi ajaran persaudaraan dimaksudkan agar penguasa
memperlakukan orang-orang yang dipimpinnya sebagai saudara dan tidak boleh
berbuat sewenang-wenang atau bersikap despotis terhadap mereka.
Prinsip
persamaan antar manusia berimplikasi pada pelaksanaan musyawarah dan
ditegakkannya keadilan. Penguasa dalam mengambil keputusan kenegaraan yang
penting, harus terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan wakil-wakil rakyat
atau dengan orang-orang yang dipandang ahli dalam bidang tersebut. Penguasa
semestinya memperlakukan rakyat dengan adil tanpa membedakan keturunan,
kesukuan, kekayaan maupun agama.
Prinsip kebebasan
manusia mengimplementasikan kepada kebebasan berpikir, dan kebebasan beragama.
Oleh sebab itu, hak-hak individu dijamin, kepercayaan dan keyakinan warga
negara tetap dijunjung tinggi. Penerapan ajaran kebebasan, khususnya kebebasan
berpikir dan menyatakan pendapat dalam suatu negara dapat mendorong negara
bersangkutan untuk maju, berkembang dan berperadaban. Ajaran kebebasan ini,
juga menghendaki agar warga negara dibebaskan dari kelaparan dan ketakutan
sehingga mereka dapat hidup dalam kondisi yang sejahtera dan
tentram. Prinsip-prinsip itulah yang seharusnya ditransformasikan ke
dalam rumusan-rumusan konstitusi kenegaraan yang dapat memenuhi hajat kebutuhan
masyarakat sesuai dengan kondisi dan situasi pada zamannya sebagaimana yang
telah dipraktekkan oleh Nabi didalam merumuskan konstitusi Piagam Madinah.
Berdasarkan
ketiga prinsip dasar diatas, maka dalam hukum Islam tidak mengenal bentuk
pemerintahan tertentu, artinya apapun sistem dan bentuknya, asalkan sistem
tersebut dapat menjamin persamaan di antara para warga negaranya, baik dalam
hak maupun kewajiban mereka dan juga persamaan di muka hukum. Disamping itu,
urusan negara diselenggarakan dengan cara musyawarah dengan berpegang pada tata
nilai nilai moral dan etika yang diajarkan oleh Islam bagi pengelolaan hidup
bermasyarakat. Atas dasar prinsip musyawarah, maka pemerintahan dalam hukum
Islam terikat oleh kehendak rakyat, larangan dan perintah Allah Swt.
Oleh sebab
itu, pemerintahannya bersifat konstusional. Maksudnya tidak
bersifat absolut karena penguasa harus bermusyawarah dengan rakyatnya dan
terikat oleh hasil musyawarahnya dan terikat pula oleh apa yang diwahyukan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hukum Islam
tidak menentukan bentuk maupun sistem pemerintahan, tetapi kalau
dicermati implementasi dari ketiga prinsip persaudaraan,
persamaan dan kebebasan diatas, lebih mengarah atau sejalan dengan sistem
pemerintahan yang bercorak demokratis.
Hal ini
dapat dikemukakan alasan, yaitu : Pertama, sejarah awal
terbentuknya negara Madinah sampai pada Khulafaurrasyidin,
kedudukan kepala negara tidak bersifat turun temurun dan tidak mempunyai
kekuasan yang absolut melainkan tunduk pada syari’at (konstitusional). Prinsip-
ini, akhirnya diabaikan oleh kepemimpinan Bani Umayah dan Bani Abassiyah yang berakibat
membawa pemerintahannya berbentuk monarkhi dan bercorak
absolut yang lebih banyak dipengaruhi oleh unsure kebudayaan barat.Kedua, dalam
hukum Islam terdapat sistem bai’at yang dapat diartikan
sebagai kedaulatan rakyat, sebagaimana sistem demokrasi Barat. Ketiga,
pemerintahan Islam pada awalnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Bangsa
Arab sejak dulu dikenal dengan bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan
individu. Kebebasan sangat dihargai oleh bangsa Arab, hal ini terbukti terdapat
lembaga Dar al-Nadwah di Makkah, tempat berkumpul para kabilah
arab untuk membicarakan urusan kepentingan mereka, semacam lembaga perwakilan
rakyat sekarang.
Dalam
prakteknya, Nabi saw menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di tangan
beliau. Misalnya, dalam pengambilan keputusan politik, Nabi selalu melakukan
konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada empat cara yang ditempuh oleh
Nabi dalam pengambilan keputusan politik. Pertama, mengadakan
musyawarah dengan sahabat senior, kedua, meminta pertimbangan
dengan kalangan professional, ketiga, melemparkan masalah-masalah
tertentu yangt biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang
lebih besar, keempat, mengambil keputusan sendiri.[10]
Sistem
pemerintahan bercorak demokratis, yang ciri utamanya yaitu urusan kenegaraan
dilakukan atas dasar musyawarah, disamping telah dipraktekkan Nabi Saw sejak
pertama hijrah dan selama menetap di Madinah, juga karena didasarkan pada
firman Allah surat Ali Imran;3:159 dan surat al-Syura;42:38. Ayat-ayat ini
mengajarkan bahwa segala urusan termasuk urusan kenegaraan harus didasarkan
pada prinsip musyawarah. Sistem musyawarah mengakui prinsip-prinsip
persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Ketiga prinsip ini adalah sebagai
pengejawantahan dari prinsip demokrasi.
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan pada masa awal
Islam yaitu sejak hijrah Nabi Saw dan selama menetap di Madinah lebih bercorak
demokratis. Prinsip demokratis merupakan ciri utama sebagai negara hukum.
Karena dalam demokrasi terdapat pengakuan prinsip persaudaraan ,persamaan
dan kebebasan warga negara. Prinsip persamaan dan kebebasan yang bertumpu pada
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam kepemerintahan Nabi
telah tertulis dalam konstitusi yaitu pada Piagam
Madinah. Khusus teori pemisahan kekuasaan negara yaitu Eksekutif, Yudikatif
dan Legislatif, walupun belum dikenal oleh pemerintahan dimasa Nabi, namun Nabi
telah mewujudkan dalam pemerintahannya pembagian tugas kenegaraan dengan cara
mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat dibidangnya. Tercatat dalam sejarah
Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal adalah dua orang diangkat Nabi sebagai
Qadi (Hakim) yang bertugas dipropinsi yang berbeda, mereka ini telah memenuhi
kualifikasi tersebut. Ini memberi isyarat bahwa jauh sebelum orang mengenal
prinsip Peradilan Bebas, Nabi saw pada abad ke 7 secara subtansial telah
melaksanakan prinsip tersebut dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran.
Terkait unsur pemisahan negara Eksekutiuf, Yudikatif dan Legislatif yang belum
dikenal dimasa Nabi, tidak menjadi persoalan, karena dalam suatu negara hukum
yang penting bukan atau tidaknya pemisahan secara mutlak trias politica,
persoalannya adalah dapat dan tidaknya alat-alat kekuasaan negara itu terhindar
dari praktek birokrasi dan tirani.
Kesimpulan
Bertitik
tolak dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa aturan hukum Islam
mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk kepada suatu model tertentu,
termasuk bentuk atau model konstitusi sebagai hukum tertulis yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan .Oleh karena itu, soal negara dan pemerintahan
serta rumusan konstitusinya lebih banyak diserahkan kepada ijtihad manusia yang
sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah negara yang bersangkutan, baik
masyarakatnya, politik maupun budayanya. Namun dari sinopsis sejarah Nabi dalam
memimpin negara Madinah ada kecenderungan kearah bentuk negara republik
demokratis yang berdasar pada konstitusi Piagam Madinah yang mengadopsi prinsip
persaudaraan , persamaan dan kebebasan manusia dan ini lebih sejalan dengan
semangat al-Qur’an.
[1] Muhammad Iqbal, 2001, Fiqh Siayasah
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, hal.
153-154.
[5] Contoh kasus ini adalah revolusi
Perancis tahun 1789 yang melawan kesewenang-wenangan Raja Lauis XVI. Dalam
revolusi ini, rakyat berhasil menjatuhklan raja dan memenggal leherrnya dan
keluarganya. Contoh lain yang kontemporer adalah revolusi Iran yang dipimpin
oleh Ayatullah Khumeini yang berhasil menjatuhkan penguasanya, Reza Pahlavi dan
mengusirnya dari tanah Iran (1979).Pasca revolusi Iran mengadakan dan
merumuskan kembali Undang-Undang Dasar.
[7] Musdah Mulia, 2001, Negara
Islam Pemikiran Politik Husain Haekal, Jakarta; Paramedadina,. hal.187-188.
[8] Muhammad Hamidullah, 1974, Pengantar
Studi Islam, Jakarta; Bulan Bintang, hal. 25-26. Lihat Munawir Sadzali,
1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta; UI Press, hal. 9-10
[10] Munawir Sadzali,
1993, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan pemikiran, Jakarta; UI
Press, hal. 16-17.
0 komentar:
Posting Komentar