Senin, 04 April 2016

SEDETIK UNTUK DIRENUNGKAN "ISLAM SEBAGAI SUMBER PEMBANGUNAN HUKUM UNTUKMU NEGARA"

ISLAM SEBAGAI SUMBER PEMBANGUNAN HUKUM DALAM RANGKA MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT (Waspada, M.Ag) Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin). Oleh karenanya sifat dari ajaran Islam adalah komprehensif dan universal. Semua aspek kehidupan manusia tidak luput dari aturan Islam, karena Islam juga merupakan agama hukum yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Allah Tuhannya sekaligus hubungan antara manusia dengan manusia lain dan alam sekitarnya. Berlakunya hukum agama dalam kehidupan bernegara sangat tergantung pada kebijakan yang diambil penguasa negara di bidang pembangunan hukum nasionalnya masing-masing. Ada negara yang dalam konstitusinya menyebutkan bahwa hukum agama tertentu berlaku, namun di sisi lain terdapat negara yang secara tegas-tegas memisahkan antara negara dan agama atau yang lazim dikenal sebagai negara sekuler. Berkaitan dengan hal ini dalam konteks Indonesia ditegaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud yang terkandung di dalamnya adalah bahwa Indonesia bukan negara yang didasarkan pada agama tertentu, namun juga bukan negara sekuler, melainkan negara yang mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Alenia IV Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas disebutkan mengenai tujuan negara, yakni: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka ....” Realisasi dari tujuan tersebut adalah melalui kegiatan pembangunan nasional. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di bidang tertentu tidak boleh mengabaikan bidang yang lain. Pembangunan ekonomi sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat hendaknya dilakukan bersamaan dengan pembangunan hukum. Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat merupakan sumber hukum materiil bagi pembangunan hukum, khususnya di Indonesia. Berdasarkan pada pemikiran tersebut bagaimana eksistensi Hukum Islam sebagai sumber pembangunan sistem hukum dan implementasinya bagi upaya mensukseskan pembangunan nasional akan menjadi bahasan dalam makalah ini. Pendekatan histroris (historical approach) dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) akan dipakai dalam membahas permasalahan dimaksud. EKSISTENSI HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL Sistem merupakan tatanan atau kesatuan utuh yang terstruktur terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain, yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.[1] Dalam ilmu hukum dijumpai faham yang mengemukakan bahwa pemanfaatan hukum untuk tujuan tertentu. Dalam tataran praksis sebagai contoh, peran sekaligus fungsi hukum dapat dilihat dalam hubungannya dengan kebijakan negara (state policy). Roscoe Pound (1870-1964) mengemukakan bahwa Law as a Tool of Social Engineering, intinya bahwa hukum mempunyai fungsi sosial yang besar untuk merubah suatu masyarakat ke arah yang lebih baik.[2] Lebih lanjut Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum dipergunakan untuk menjamin kepentingan (interests) dengan tiga kategori utama (a) public interest; (b) individual ineterests; dan (c) social interests. Konsep ini dianut di Indonesia dan diartikan sebagai sarana pembaharuan (pembangunan masyarakat).[3] Efektivitas hukum sebagai alat perubahan akan lebih banyak tampak pada bidang-bidang kehidupan yang netral. Dengan kata lain, hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat akan lebih efektif apabila diterapkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang tidak mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok dari warga masyarakat secara pribadi.[4] Hukum yang fungsional dapat tersusun, apabila hukum tadi dapat berfungsi sebagai alat sistem pengendalian sosial dan sebagai alat untuk mengadakan social-engineering.[5] Kemudian Teori Kesejarahan (Historical School) mengajarkan bahwa hukum bukanlah sesuatu yang diciptakan tetapi tumbuh sejalan dan seiring dengan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dibentuk oleh berbagai faktor seperti kepercayaan atau keyakinan, ideologis, sistem sosial budaya, dan lain-lain.[6] Salah satu tokoh hukum dari Mazhab Historis, yakni Von Savigny menyatakan bahwa hukum mengikuti volkgeist (jiwa hukum masyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa realitas perkembangan hukum berbanding lurus dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Pemikiran mengenai pembangunan hukum Indonesia telah dilontarkan oleh para ahli hukum nasional. Sebagai contoh Prof. Djojodigoeno yang mengartikan hukum sebagai suatu karya yang bersifat pengugeran terhadap tingkah laku dan perbuatan para anggotanya yang bertujuan pada tata, keadilan, dan masyarakat yang menjadi pendukungnya. Menurut Beliau hukum merupakan hasil dari sifat kebudayaan, sedangkan kebudayaan mempunyai sifat langgeng tansah owah gingsir (kekal dan selalu berubah). Beliau pernah mengeluarkan ide mengenai pencabutan kodifikasi hukum kolonial dan diganti dengan yang baru. Prof. Suhardi mengemukakan bahwa negara bukanlah religion institution, melainkan human institution belaka yang ruang kerjanya terletak pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang semuanya itu harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Prof. Muchsan pernah mengusulkan untuk mengganti sistem peradilan di Indonesia dengan sistem juri di Amerika, Beliau menyatakan bahwa Indonesia tidak seperti Belanda yang kontinental. Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki 19 lingkungan hukum adat sehingga sistem hukum yang tepat adalah sistem hukum Anglo Saxon. Kemudian Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan gagasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) agar hukum menjadi dinamis.[7] Secara faktual bahwa sistem hukum di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan. Hal ini dapat diketahui pada produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan nilai religius, misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.[8] Nilai Ketuhanan berupa nilai agama merupakan nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Terdapat beberapa ahli hukum yang sudah memberikan pemikirannya tentang sistem hukum Indonesia yang berdimensi Ketuhanan. Qodri Azizy menawarkan konsep eklektisisme hukum nasional. Eklektisisme diartikan sebagai suatu sistem (agama atau filsafat) yang dibentuk dengan secara kritis memilih dari pelbagai sumber dan doktrin. Membentuk hukum nasional dengan secara kritis memilih unsur-unsur dari doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Qodri Azizy menolak adanya dikotomi hukum yakni antara hukum Islam dengan hukum positif. Inti yang dikemukakan oleh Qodri Azizy adalah bahwa hukum Islam dapat menjadi hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif, namun juga akademik dan analisis. Hukum Islam yang mempunyai janji untuk menegakkan dan mewujudkan kemaslahatan umat semestinya harus mampu mengisi hukum nasional. Qodri Azizy memperingatkan dengan mempertegas konsepsi hukum Islam itu sendiri untuk menghindari kesalahfahaman atas apa yang dimaksud.[9] Sebelumnya terdapat Prof. Hasby Ash-Shideqy yang menggagas Fikih Indonesia, Prof. Hazairin menggagas Madzhab Hukum Nasional, K.H. Ali Yafie menggagas Fikih Sosial, dan Prof. Bustanul Arifin dengan konsep pelembagaan hukum Islam di Indonesia. Pemikiran mereka dapat dikatakan sebagai embrio pembangunan sistem hukum Indonesia yang lebih menekankan pada inklusifitas dan meninggalkan eksklusifitas hukum Islam. Mereka tidak menghendaki pengkotak-kotakan hukum, bahkan untuk hukum Islam sendiri. Secara khusus disadari bahwa hukum Islam dengan pranata fikihnya dapat menjelma dan beradaptasi dalam wujudnya yang berbeda pada suatu saat dan pada masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Adapun responsibilitas dan adaptabilitas hukum Islam ini telah dibuktikan, misalnya dalam hukum waris dan hukum perkawinan. Perkembangan yang signifikan di bidang hukum kaitannya dengan keberadaaan Hukum Islam terjadi di bidang ekonomi. Hal ini dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (1991) dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengintrodusir Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengakui keberadaan Bank Berdasarkan Prinsip Syariah di samping Bank Konvensional yang mendasarkan pengelolaanya pada bunga. Perkembangan berikutnya, karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat, dimana perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka timbul pemikiran agar terhadapnya perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang sendiri. Hal ini lah yang melatarbelakangi diundangkannya Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Terdapat beberapa lembaga hukum baru dan ketentuan baru yang tertuang dalam undang-undang ini. Kesemuanya ditujukan untuk memberikan landasan hukum yang kokoh sekaligus memberikan pijakan menuju perbankan syariah Indonesia yang mampu bersaing secara global dan lebih taat terhadap prinsip syariah. IMPLEMENTASI HUKUM EKONOMI ISLAM BAGI SUKSESNYA PEMBANGUNAN NASIONAL Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development). Hal ini didasari oleh fungsi strategis bank sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[10] Sistem perbankan di Indonesia semula menerapkan bunga sebagai bentuk prestasi dan kontraprestasi atas produk-produk yang diberikan kepada masyarakat. Di sisi lain banyak warga masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim belum memanfaatkan jasa perbankan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah karena dalam sistem perbankan yang telah ada dan sedang berjalan menggunakan instrumen bunga yang oleh sebagian besar Ulama dipersamakan dengan riba, dimana hukum riba adalah haram. Menyikapi hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan lokakarya di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990 tentang bunga bank. Dalam lokakarya tersebut memunculkan dua pandangan yang berbeda terhadap bunga bank. Pandangan pertama berpendapat bahwa bunga bank itu riba dan oleh karena itu hukumnya haram, kemudian pandangan kedua berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba dan oleh karena itu hukumnya halal. Meskipun diakui oleh lokakarya bahwa pandangan kedua tersebut adalah “rukhshah” (penyimpangan) dari ketentuan baku, namun dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan (musyaqqah) karena sebagian umat Islam terlibat dalam sistem bunga bank, maka hal itu dimungkinkan untuk ditempuh sepanjang dipastikan adanya kebutuhan umum demi kelanjutan pembangunan nasional.[11] Keberatan Islam terhadap sistem konvensional bukan hanya dalam hal bunga, akan tetapi juga karena di dalamnya terdapat unsur-unsur lain yang dilarang, yakni unsur perjudian (maisyir), ketidakpastian (gharar), dan bathil. Islam memberikan alternatif bagi kegiatan usaha lembaga keuangan dengan menerapkan akad-akad tradisional Islam. Berbicara mengenai penerapan akad-akad tradisional Islam dalam lembaga keuangan, berarti kita masuk dalam ranah Hukum Ekonomi Islam. Secara yuridis, implementasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:[12] 1. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya; 3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam pasal tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Melalui Pasal 29 UUD 1945 ini negara pada hakikatnya mengakui berlakunya hukum Agama bagi pemeluknya masing-masing. Hal ini juga didukung oleh tafsiran Hazairin yang menyatakan bahwa Negara wajib menjalankan syariat agama yang dipeluk oleh Bangsa Indonesia, bagi kepentingan mereka, termasuk menjalankan syariat Islam bagi kepentingan orang Islam. Lebih lanjut Beliau tegaskan bahwa negara tidak boleh membuat peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syariat suatu agama bagi pemeluknya.[13] Hukum ekonomi Islam secara prinsip tertuang dalam sumber hukum Islam, yakni al-Quran, al-Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Kedudukannya dalam hukum positif termasuk dalam kategori hukum tidak tertulis sehingga ketaatan setiap subyek hukum terhadapnya lebih didasarkan karena hukum Islam termasuk sebagai hukum yang hidup (living law).[14] Positivisasi hukum Islam di bidang hukum ekonomi, khususnya di bidang hukum perbankan dimulai tahun 1992 yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Perbankan ini memperkenalkan istilah Bank Bagi Hasil untuk bank yang tidak mendasarkan pada bunga (interest free banking). Istilah prinsip syariah dalam perbankan baru muncul sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian sejak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 inilah eksistensi perbankan syariah diakui keberadaannya dalam sistem perbankan nasional. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini pula yang memberikan kesempatan bagi Bank Umum Konvensional untuk memberikan layanan syariah dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) di Kantor Pusatnya. Hukum Ekonomi Islam, khususnya penerapannya dalam perbankan mendapatkan legitimasinya secara lebih kokoh melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008. Undang-undang ini secara filosofis di latar belakangi oleh adanya tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi dan dikembangkannya sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah.[15] Berdasarkan pada pemaparan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa penerapan Hukum Ekonomi Islam dalam operasional sistem perbankan di Indonesia telah mendapatkan dasar hukum yang kokoh. Oleh karena itu sinergisitas peran Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia, serta Perbankan pada umumnya perlu ditingkatkan demi efektifnya peraturan perundang-undangan di bidang perbankan syariah ini. Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam sistem perbankan di Indonesia akan dikemukakan dalam bagian berikut. Pembahasannya meliputi: (1) Prinsip Syariah dalam Peraturan Perundang-undangan; dan (2) Implementasi Prinsip Syariah dalam Produk Perbankan. 1. Prinsip Syariah dalam Peraturan Perundang-undangan Pengertian prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan pertama kali dikemukakan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).[16] Pengertian Prinsip Syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip syariah dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya dapat berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang terkait dengan Perbankan Syariah. Di era Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 juga diatur bahwa dalam rangka mengimplementasikan fatwa DSN-MUI ke dalam PBI, diperlukan masukan dari komite yang bertugas melakukan penafsiran dan pemaknaan fatwa di bidang perbankan syariah. Komite dimaksud kini telah terbentuk melalui PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah. Dalam Pasal 1 angka 1 PBI disebutkan bahwa: Komite Perbankan Syariah, yang selanjutnya disebut Komite adalah forum yang beranggotakan para ahli di bidang syariah muamalah dan/atau ahli ekonomi, ahli keuangan, dan ahli perbankan, yang bertugas membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa Majelis Ulama Indonesia menjadi ketentuan yang akan dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia. Tujuan pembentukan Komite ini adalah untuk membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan mengembangkan perbankan syariah. Sebagai realisasi untuk mewujudkan tujuan dimaksud, maka Komite diberikan tugas dalam:[17] a. menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah. b. memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia. c. melakukan pengembangan industri perbankan syariah. Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk rekomendasi Komite. Oleh karena itu diharapkan, bahwa dengan adanya Komite Perbankan Syariah akan memberikan angin segar bagi upaya penerapan prinsip syariah dalam operasional perbankan secara lebih murni. 2. Implementasi Prinsip Syariah dalam Produk Perbankan Pengertian mengenai produk bank ini dapat kita jumpai dalam PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pasal 1 angka 5 PBI menyebutkan bahwa Produk Bank, yang selanjutnya disebut Produk, adalah produk yang dikeluarkan Bank baik di sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank yang sesuai dengan Prinsip Syariah, tidak termasuk produk lembaga keuangan bukan Bank yang dipasarkan oleh Bank sebagai agen pemasaran. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Perbankan syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya pada tahap awal berpedoman pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa-fatwa dimaksud antara lain Fatwa No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Fatwa No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, Fatwa No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, ketiganya merupakan fatwa dalam produk penghimpunan dana. Sementara untuk produk penyaluran dana juga terdapat fatwa yang dapat dijadikan pedoman, antara lain Fatwa No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan seterusnya. Melihat minat masyarakat yang semakin meningkat serta didorong oleh adanya perkembangan yang terjadi di negara lain, Bank Indonesia kemudian juga mengeluarkan regulasi berupa PBI, antara lain PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI dimaksud pada tahun 2007 dicabut dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Ketentuan terbaru sekaligus merupakan perubahan terhadap PBI No. 9/19/PBI 2007, yakni PBI No. 10/16/PBI/2008. PBI ini diundangkan dalam rangka penyesuaiannya dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. PBI No. 10/16/PBI/2008 mengatur mengenai teknis kegiatan usaha Bank Syariah, kemudian untuk produknya diatur dalam PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud, produk perbankan syariah dapat kita klasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) produk penghimpunan dana; (2) produk penyaluran dana; dan (3) produk di bidang jasa. Penjelasan mengenai ketiga produk tersebut secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Produk Penghimpunan Dana Sama halnya dengan produk pada perbankan konvensional, produk perbankan syariah di bidang penghimpunan dana ini disebut sebagai simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Implementasi prinsip syariah dalam produk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan adalah sebagai berikut: a. Giro. Produk giro dapat menggunakan akad wadiah maupun akad mudharabah. Giro yang menggunakan akad wadiah di dalamnya, maka pihak bank selaku penerima titipan dana dapat menggunakan dana titipan tersebut (yang dipakai akad wadiah ad-dhamanah), sehingga biasanya bank akan memberikan imbalan kepada nasabah penyimpan sejumlah bonus yang besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak diperjanjikan di awal. Sedangkan dalam hal bank menggunakan akad mudharabah dalam operasionalnya maka di dalamya terdapat penentuan nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah di awal perjanjian. Pada giro wadiah nasabah terhindar dari risiko kehilangan/berkurangnya dana yang disimpan (jadi lebih safety), sedangkan pada giro mudharabah nasabah menanggung risiko berkurangnya dana yang disimpan dan sekaligus peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mendapatkan kompensasi berupa bagi hasil yang besarnya sesuai dengan nisbah sebagaimana telah diperjanjikan di awal. b. Deposito. Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik perbankan syariah hanya digunakan akad mudharabah. Melalui akad mudharabah ini pada awal perjanjian sudah ditentukan berapa nisbah bagi hasil baik bagi pihak nasabah maupun bagi pihak bank syariah sendiri. c. Tabungan. Seperti pada giro, maka dalam produk tabungan ini nasabah dapat memilih untuk menggunakan akad wadiah atau mudharabah. Keuntungan maupun risiko yang ada sama halnya dengan pada giro, sedangkan perbedaannya terletak pada mekanisme pengambilan dana yang disimpan oleh nasabah. 2) Produk Penyaluran Dana Sebagai lembaga intermediasi, maka bank syariah di samping melakukan kegiatan penghimpunan dana secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk simpanan juga akan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan (financing). Instrumen bunga yang ada dalam bentuk kredit digantikan dengan akad-akad tradisional Islam atau yang sering disebut perjanjian berdasarkan prinsip syariah. Penerapan dari akad-akad tradisional Islam ke dalam produk pembiayaan bank adalah sebagai berikut: a. Pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli ini dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual-beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok (historical cost) ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin/mark up) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu. b. Pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Jenis pembiayaan ini diberikan kepada nasabah yang ingin mendapatkan manfaat atas suatu barang tertentu tanpa perlu memiliki. Untuk memenuhi kepentingan nasabah dimaksud, maka pihak bank syariah dapat menyewakan barang yang menjadi obyek sewa dan untuk itu pihak bank berhak mendapatkan uang sewa (ujrah) yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Varian dari akad sewa-menyewa ini selain berupa pembiayaan ijarah, maka dimungkinkan pihak nasabah untuk memiliki barang yang disewa di akhir masa sewa dengan penggunaan hak opsi melalui mekanisme hibah maupun mekanisme beli. Yang terakhir ini disebut Pembiayaan Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT). c. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil ini ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasabah akan modal atau tambahan modal untuk melaksanakan suatu usaha yang produktif. Dalam praktik perbankan dikenal dua macam pembiayaan yang didasarkan pada akad bagi hasil, yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudharabah pada prinsipnya adalah pembiayaan yang diberikan oleh bank (shahibul maal) kepada nasabah (mudharib) sejumlah modal kerja (100%) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan berupa penanaman dana dari pemilik dana/modal (dalam hal ini bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka (nasabah/mudharib) pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan sesuai dengan porsi dana/modal masing-masing. d. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam-meminjam. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini ditempuh bank dalam keadaan darurat (emergency situation), karena pada prinsipnya melalui pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini bank tidak boleh mengambil keuntungan dari nasabah sedikitpun, kecuali hanya sebatas biaya administrasi yang benar-benar dipergunakan oleh pihak bank dalam proses pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan akan pinjam-meminjam dibedakan menjadi dua yaitu pembiayaan qardh dan pembiayaan qardh al hasan. 3) Produk Jasa Produk jasa bank merupakan produk yang saat ini terus dikembangkan. Produk ini dikatakan sebagai produk yang berbasis pada fee sebagai kompensasi yang harus diberikan nasabah kepada bank atas penggunaan jasa perbankan tertentu. Akad-akad tradisional Islam yang dapat diimplementasikan dalam produk jasa bank syariah antara lain berupa akad wakalah, akad hiwalah, akad kafalah, akan rahn, akad sharf, dan sebagainya. Penggunaan akad wakalah dalam produk jasa perbankan berupa kliring, inkaso, jasa transfer, dan Letter of Credit (L/C), kemudian akad hiwalah dipakai oleh bank dalam melakukan jasa berupa factoring, dan akad kafalah dipakai oleh bank dalam bentuk fasilitas bank garansi. Keberadaan lembaga keuangan berupa Bank Syariah sebagaimana dikemukakan di atas diharapkan dapat berperan signifikan dalam pembangunan nasional. Kemudian dalam rangka untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, maka Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.[18] Penerbitan SBSN sebagai instrumen keuangan dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan perekonomian nasional secara berkesinambungan. Melalui penerbitan SBSN ini diharapkan mampu memobilisasi dana publik secara luas dengan memperhatikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan karena potensi sumber pembiayaan pembangunan nasional yang menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Institusi lain yang mendukung proses pembangunan adalah Lembaga Keuangan Bukan Bank, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan. Lembaga-lembaga dimaksud telah mulai menerapkan prinsip syariah dalam operasional kegiatan usahanya. Berdasarkan pada pemaparan di atas, menunjukkan bahwa proses pembangunan nasional, khususnya di Indonesia telah didukung oleh Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan. Lembaga-lembaga dimaksud selain dapat beroperasi secara konvensional juga dapat berdasarkan Prinsip Syariah, dimana untuk hal dimaksud telah mendapatkan dasar hukum yang memadahi. Penutup Demikian makalah singkat dari kami. Semoga dapat memberikan gambaran mengenai eksistensi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional dan implementasinya dalam praktik dalam rangka mendukung proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Amin.   DAFTAR PUSTAKA Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah, Artikel pada Kajian Studi Ekonomi Islam, http://kasei-unri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=34, accesed 28 Januari 2009. Anonim, Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, Desember 2008, www.bi.go.id, accesed 5 Maret 2009. Anshori, Abdul Ghofur,(ed), 2006, Begawan Hukum Gadjah Mada, Yogyakarta: Pilar Media. -----------------------------, 2009, “Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana, Universitas Islam Riau, 7 Februari 2009. Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan Prospek, Jakarta: Alvabet. Azizy, Qodry, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media. Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press. Kabul, Imam, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Media. Kaelan, 2008, Dasar Filosofis Ilmu Hukum Dalam Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum, makalah disampaikan pada lokakarya Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum UGM dalam Menjawab Tantangan di Masa Depan, 06 Februari 2008. Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Soekanto, Soerjono, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI Press Usman, Suparman, 2002, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah   ________________________________________ [1] Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hal 18. [2] Imam Kabul, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Media, hal 8. [3] Ibid, hal. 8. [4] Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI Press, hal 162. [5] Ibid, hal 170. [6] Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, hal xi-xii. [7] Abdul Ghofur Anshori (ed), 2006, Begawan Hukum Gadjah Mada, Yogyakarta: Pilar Media, hal vi-viii. [8] Kaelan, 2008, Dasar Filosofis Ilmu Hukum Dalam Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum, makalah disampaikan pada lokakarya Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum UGM dalam Menjawab Tantangan di Masa Depan, 06 Februari 2008, hal 8. [9] Qodry Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, hal. xvii. [10] Lihat Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 [11] Zainul Arifin, 1999, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan Prospek, Jakarta: Alvabet, hal 27. [12] Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah, Artikel pada Kajian Studi Ekonomi Islam, http://kasei-unri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=34, accesed 28 Januari 2009. [13] Suparman Usman, 2002, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 6. [14] Abdul Ghofur Anshori, 2009, “Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana, Universitas Islam Riau, 7 Februari 2009. [15] Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2008. [16] Lihat Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998. [17] Lihat Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008. [18] Lihat Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 19 Tahun 2008.

Minggu, 03 April 2016

Materi PENGETAHUAN SAINS; TINJAUAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

Sabtu, 27 Februari 2016

DJ Sulaiman - Ya sayyidi Ya Rasulullah

Rabu, 24 Februari 2016

39 Usia Ku

Rabu, 03 Februari 2016

5 Kiat Bersyukur Atas Nikmat yang Allah Berikan

5 Kiat Bersyukur Atas Nikmat yang Allah Berikan
  (Arief Waspada, M.Ag)
Suatu hal yang pasti tidak akan luput dari keseharian kita adalah yang disebut masalah atau persoalan hidup, dimanapun, kapanpun, apapun dan dengan siapapun, semuanya adalah potensi masalah. Namun andaikata kita cermati dengan seksama ternyata dengan persoalan yang persis sama, sikap orangpun berbeda-beda, ada yang begitu panik, goyah, kalut, stress tapi ada pula yang menghadapinya dengan begitu mantap, tenang atau bahkan malah menikmatinya.
Berarti masalah atau persoalan yang sesungguhnya bukan terletak pada persoalannya melainkan pada sikap terhadap persoalan tersebut. Oleh karena itu siapapun yang ingin menikmati hidup ini dengan baik, benar, indah dan bahagia adalah mutlak harus terus-menerus meningkatkan ilmu dan keterampilan dirinya dalam menghadapi aneka persoalan yang pasti akan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya seiring dengan pertambahan umur, tuntutan, harapan, kebutuhan, cita-cita dan tanggung jawab.
Kelalaian kita dalam menyadari pentingnya bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang cara menghadapi hidup ini dan kemalasan kita dalam melatih dan mengevaluasi ketrampilan kita dalam menghadapi persoalan hidup berarti akan membuat hidup ini hanya perpindahan kesengsaraan, penderitaan, kepahitan dan tentu saja kehinaan yang bertubi-tubi. Na’udzubillah.
1. Siap
Siap apa? Siap menghadapi yang cocok dengan yang diinginkan dan siap menghadapi yang tidak cocok dengan keiinginan.
Kita memang diharuskan memiliki keiinginan, cita-cita, rencana yang benar dan wajar dalam hidup ini, bahkan kita sangat dianjurkan untuk gigih berikhtiar mencapai apapun yang terbaik bagi dunia akhirat, semaksimal kemampuan yang Allah Swt berikan kepada kita.
Namun bersamaan dengan itu kitapun harus sadar-sesadarnya bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki sangat banyak keterbatasan untuk mengetahui segala hal yang tidak terjangkau oleh daya nalar dan kemampuan kita.
Dan pula dalam hidup ini ternyata sering sekali atau bahkan lebih sering terjadi sesuatu yang tidak terjangkau oleh kita, yang di luar dugaan dan di luar kemampuan kita untuk mencegahnya, andaikata kita selalu terbenam tindakan yang salah dalam mensikapinya maka betapa terbayangkan hari-hari akan berlalu penuh kekecewaaan, penyesalan, keluh kesah, kedongkolan, hati yang galau, sungguh rugi padahal hidup ini hanya satu kali dan kejadian yang tak didugapun pasti akan terjadi lagi.
Ketahuilah kita punya rencana, Allah Swt pun punya rencana, dan yang pasti terjadi adalah apa yang menjadi rencana Allah Swt.
Yang lebih lucu serta menarik, yaitu kita sering marah dan kecewa dengan suatu kejadian namun setelah waktu berlalu ternyata “kejadian” tersebut begitu menguntungkan dan membawa hikmah yang sangat besar dan sangat bermanfaat, jauh lebih baik dari apa yang diharapkan sebelumnya.
Alkisah ada dua orang kakak beradik penjual tape, yang berangkat dari rumahnya di sebuah dusun pada pagi hari seusai shalat shubuh, di tengah pematang sawah tiba-tiba pikulan sang kakak berderak patah, pikulan di sebelah kiri masuk ke sawah dan yang di sebelah kanan masuk ke kolam. Betapa kaget, sedih, kesal dan merasa sangat sial, jualan belum, untung belum bahkan modalpun habis terbenam, dengan penuh kemurungan mereka kembali ke rumah. Tapi dua jam kemudian datang berita yang mengejutkan, ternyata kendaraan yang biasa ditumpangi para pedagang tape terkena musibah sehingga seluruh penumpangnya cedera bahkan diantaranya ada yang cedera berat, satu-satunya diantara kelompok pedagang yang senantiasa menggunakan angkutan tersebut yang selamat hanyala dirinya, yang tidak jadi berjualan karena pikulannya patah. Subhanalloh, dua jam sebelumnya patah pikulan dianggap kesialan besar, dua jam kemudian patah pikulan dianggap keberuntungan luar biasa.
Oleh karena itu “fa idzaa azamta fa tawaqqal alalloh” bulatkan tekad, sempurnakan ikhtiar namun hati harus tetap menyerahkan segala keputusan dan kejadian terbaik kepada Allah Swt. Dan siapkan mental kita untuk menerima apapun yang terbaik menurut ilmu Allah Swt.
Allah Swt, berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 216, “Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal bagi Allah Swt lebih baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal buruk dalam pandangan Allah Swt.”
Maka jikalau dilamar seseorang, bersiaplah untuk menikah dan bersiap pula kalau tidak jadi nikah, karena yang melamar kita belumlah tentu jodoh terbaik seperti yang senantiasa diminta oleh dirinya maupun orang tuanya. Kalau mau mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, berjuanglah sungguh-sungguh untuk diterima di tempat yang dicita-citakan, namun siapkan pula diri ini andaikata Allah Yang MahaTahu bakat, karakter dan kemampuan kita sebenarnya akan menempatkan di tempat yang lebih cocok, walaupun tidak sesuai dengan rencana sebelumnya.
Melamar kerja, lamarlah dengan penuh kesungguhan, namun hati harus siap andaikata Allah Swt, tidak mengijinkan karena Allah Swt, tahu tempat jalan rizki yang lebih berkah.
Berbisnis ria, jadilah seorang profesional yang handal, namun ingat bahwa keuntungan yang besar yang kita rindukan belumlah tentu membawa maslahat bagi dunia akhirat kita, maka bersiaplah menerima untung terbaik menurut perhitungan Allah Swt. Demikianlah dalam segala urusan apapun yang kita hadapi.
2.Ridha
Siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, dan bila terjadi, satu-satunya langkah awal yang harus dilakukan adalah mengolah hati kita agar ridha/rela akan kenyataan yang ada. Mengapa demikian? Karena walaupun dongkol, uring-uringan dan kecewa berat, tetap saja kenyataan itu sudah terjadi. Pendek kata, ridha atau tidak, kejadian itu tetap sudah terjadi. Maka, lebih baik hati kita ridha saja menerimanya.
Misalnya, kita memasak nasi, tetapi gagal dan malah menjadi bubur. Andaikata kita muntahkan kemarahan, tetap saja nasi telah menjadi bubur, dan tidak marah pun tetap bubur. Maka, daripada marah menzalimi orang lain dan memikirkan sesuatu yang membuat hati mendidih, lebih baik pikiran dan tubuh kita disibukkan pada hal yang lain, seperti mencari bawang goreng, ayam, cakweh, seledri, keripik, dan kecap supaya bubur tersebut bisa dibuat bubur ayam spesial. Dengan demikian, selain perasaan kita tidak jadi sengsara, nasi yang gagal pun tetap bisa dinikmati dengan lezat.
Kalau kita sedang jalan-jalan, tiba-tiba ada batu kecil nyasar entah dari mana dan mendarat tepat di kening kita, hati kita harus ridha, karena tidak ridha pun tetap benjol. Tentu saja, ridha atau rela terhadap suatu kejadian bukan berarti pasrah total sehingga tidak bertindak apa pun. Itu adalah pengertian yang keliru. Pasrah/ridha hanya amalan, hati kita menerima kenyataan yang ada, tetapi pikiran dan tubuh wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhai Allah Swt. Kondisi hati yang tenang atau ridha ini sangat membantu proses ikhtiar menjadi positif, optimal, dan bermutu.
Orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental untuk menerima kenyataan yang ada. Selalu saja pikirannya tidak realistis, tidak sesuai dengan kenyataan, sibuk menyesali dan mengandai – andai sesuatu yang sudah tidak ada atau tidak mungkin terjadi. Sungguh suatu kesengsaraan yang dibuat sendiri.
Misalkan tanah warisan telah dijual tahun yang lalu dan saat ini ternyata harga tanah tersebut melonjak berlipat ganda. Orang-orang yang malang selalu saja menyesali mengapa dahulu tergesa-gesa menjual tanah. Kalau saja mau ditangguhkan, niscaya akan lebih beruntung. Biasanya, hal ini dilanjutkan dengan bertengkar saling menyalahkan sehingga semakin lengkap saja penderitaan dan kerugian karena memikirkan tanah yang nyata-nyata telah menjadi milik orang lain.
Yang berbadan pendek, sibuk menyesali diri mengapa tidak jangkung. Setiap melihat tubuhnya ia kecewa, apalagi melihat yang lebih tinggi dari dirinya. Sayangnya, penyesalan ini tidak menambah satu senti pun jua. Yang memiliki orang tua kurang mampu atau telah bercerai, atau sudah meninggal sibuk menyalahkan dan menyesali keadaan, bahkan terkadang menjadi tidak mengenal sopan santun kepada keduanya, mempersatukan, atau menghidupkannya kembali. Sungguh banyak sekali kita temukan kesalahan berpikir, yang tidak menambah apa pun selain menyengsarakan diri.
Ketahuilah, hidup ini terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Ini adalah kenyataan hidup, kenanglah perjalanan hidup kita yang telah lalu dan kita harus benar-benar arif menyikapi setiap episode dengan lapang dada, kepala dingin, dan hati yang ikhlas. Jangan selimuti diri dengan keluh kesah karena semua itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi memperparah masalah.
Dengan demikian, hati harus ridha menerima apa pun kenyataan yang terjadi sambil ikhtiar memperbaiki kenyataan pada jalan yang diridhai Allah swt.
3. Jangan Mempersulit Diri
Andaikata kita mau jujur, sesungguhnya kita ini paling hobi mengarang, mendramatisasi, dan mempersulit diri. Sebagian besar penderitaan kita adalah hasil dramatisasi perasaan dan pikiran sendiri. Selain tidak pada tempatnya, pasti ia juga membuat masalah akan menjadi lebih besar, lebih seram, lebih dahsyat, lebih pahit, lebih gawat, lebih pilu daripada kenyataan yang aslinya, Tentu pada akhirnya kita akan merasa jauh lebih nelangsa, lebih repot di dalam menghadapinya/mengatasinya.
Orang yang menghadapi masa pensiun, terkadang jauh sebelumnya sudah merasa sengsara. Terbayang di benaknya saat gaji yang kecil, yang pasti tidak akan mencukupi kebutuhannya. Padahal, saat masih bekerja pun gajinya sudah pas-pasan. Ditambah lagi kebutuhan anak-anak yang kian membengkak, anggaran rumah tangga plus listrik, air, cicilan rumah yang belum lunas dan utang yang belum terbayar. Belum lagi sakit, tak ada anggaran untuk pengobatan, sementara umur makin menua, fisik kian melemah, semakin panjang derita kita buat, semakin panik menghadapi pensiun. Tentu saja sangat boleh kita memperkirakan kenyataan yang akan terjadi, namun seharusnya terkendali dengan baik. Jangan sampai perkiraan itu membuat kita putus asa dan sengsara sebelum waktunya.
Begitu banyak orang yang sudah pensiun ternyata tidak segawat yang diperkirakan atau bahkan jauh lebih tercukupi dan berbahagia daripada sebelumnya. Apakah Allah SWT. yang Mahakaya akan menjadi kikir terhadap para pensiunan, atau terhadap kakek-kakek dan nenek-nenek? Padahal, pensiun hanyalah salah satu episode hidup yang harus dijalani, yang tidak mempengaruhi janji dan kasih sayang Allah.
Maka, di dalam menghadapi persoalan apa pun jangan hanyut tenggelam dalam pikiran yang salah. Kita harus tenang, menguasai diri seraya merenungkan janji dan jaminan pertolongan Allah Swt. Bukankah kita sudah sering melalui masa-masa yang sangat sulit dan ternyata pada akhirnya bisa lolos?
Yakinlah bahwa Allah yang Mahatahu segalanya pasti telah mengukur ujian yang menimpa kita sesuai dengan dosis yang tepat dengan keadaan dan kemampuan kita. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan, dan sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan” (QS Al-Insyirah [94]:5-6). Sampai dua kali Allah Swt menegaskan janji-Nya. Tidak mungkin dalam hidup ini terus menerus mendapatkan kesulitan karena dunia bukanlah neraka. Demikian juga tidak mungkin dalam hidup ini terus menerus memperoleh kelapangan dan kemudahan karena dunia bukanlah surga. Segalanya pasti akan ada akhirnya dan dipergilirkan dengan keadilan Allah Swt.
4. Evaluasi Diri
Ketahuilah, hidup ini bagaikan gaung di pegunungan: apa yang kita bunyikan, suara itu pulalah yang akan kembali kepada kita. Artinya, segala yang terjadi pada kita adalah buah dari apa yang kita lakukan. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula” (QS Al-ZalZalah [99]: 7-8)
Allah Swt Maha Peka terhadap apapun yang kita lakukan. Dengan keadilan-Nya tidak akan ada yang meleset, siapa pun yang berbuat, sekecil dan setersembunyi apapun kebaikan, niscaya Allah Swt, akan membalas berlipat ganda dengan aneka bentuk yang terbaik menurut-Nya. Sebaliknya, kezaliman sehalus apapun yang kita lakukan yang tampaknya seperti menzalimi orang lain, padahal sesungguhnya menzalimi diri sendiri, akan mengundang bencana balasan dari Allah Swt, yang pasti lebih getir dan gawat. Naudzubillah.
Andaikata ada batu yang menghantam kening kita, selain hati harus ridha, kita pun harus merenung, mengapa Allah menimpakan batu ini tepat ke kening kita, padahal lapangan begitu luas dan kepala ini begitu kecil? Bisa jadi semua ini adalah peringatan bahwa kita sangat sering lalai bersujud, atau sujud kita lalai dari mengingat-Nya. Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, pasti segalanya ada hikmahnya.
Dompet hilang? Mengapa dari satu bus, hanya kita yang ditakdirkan hilang dompet? Jangan sibuk menyalahkan pencopet karena memang sudah jelas ia salah dan memang begitu pekerjaannya. Renungkankah: boleh jadi kita ini termasuk si kikir, si pelit, dan Allah Mahatahu jumlah zakat dan sedekah yang dikeluarkan. Tidak ada kesulitan bagi-Nya untuk mengambil apapun yang dititipkan kepada hamba-hamba-Nya.
Anak nakal, suami kurang betah di rumah dan kurang mesra, rezeki seret dan sulit, bibir sariawan terus menerus, atau apa saja kejadian yang menimpa dan dalam bentuk apapun adalah sarana yang paling tepat untuk mengevaluasi segala yang terjadi. Pasti ada hikmah tersendiri yang sangat bermanfaat, andaikata kita mau bersungguh-sungguh merenunginya dengan benar.
Jangan terjebak pada sikap yang hanya menyalahkan orang lain karena tindakan emosional seperti ini hanya sedikit sekali memberi nilai tambah bagi kepribadian kita. Bahkan, apabila tidak tepat dan berlebihan, akan menimbulkan kebencian dan masalah baru.
Ketahuilah dengan sungguh-sungguh, dengan mengubah diri, berarti pula kita mengubah orang lain. Camkan bahwa orang lain tidak hanya punya telinga, tetapi mereka pun memiliki mata, perasaan, pikiran yang dapat menilai siapa diri kita yang sebenarnya.
Jadikanlah setiap masalah sebagai sarana efektif untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri karena hal itulah yang menjadi keuntungan bagi diri dan dapat mengundang pertolongan Allah Swt.
5. Hanya Allah-lah Satu satunya Penolong
Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan izin Allah Swt. Baik berupa musibah maupun nikmat. Walaupun bergabung jin dan manusia seluruhnya untuk mencelakakan kita, demi Allah tidak akan jatuh satu helai rambut pun tanpa izin-Nya. Begitu pun sebaliknya, walaupun bergabung jin dan manusia menjanjikan akan menolong atau memberi sesuatu, tidak pernah akan datang satu sen pun tanpa izin-Nya.
Mati-matian kita ikhtiar dan meminta bantuan siapapun, tanpa izin-Nya tak akan pernah terjadi yang kita harapkan. Maka, sebodoh-bodoh kita adalah orang yang paling berharap dan takut kepada selain Allah Swt. Itulah biang kesengsaraan dan biang menjauhnya pertolongan Allah Swt.
Ketahuilah, makhluk itu “La haula wala quwata illa billahil’ aliyyil ‘ azhim” tiada daya dan tiada upaya kecuali pertolongan Allah Yang MahaAgung. Asal kita hanyalah dari setetes sperma, ujungnya jadi bangkai, ke mana-mana membawa kotoran.
Allah menjanjikan dalam Surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya.”
Jika kita menyadari dan meyakininya, kita memiliki bekal yang sangat kukuh untuk mengarungi hidup ini, tidak pernah gentar menghadapi persoalan apapun karena sesungguhnya yang paling mengetahui struktur masalah kita yang sebenarnya berikut segala jalan keluar terbaik hanyalah Allah Swt Yang Mahasempurna. Dia sendiri berjanji akan memberi jalan keluar dari segala masalah, sepelik dan seberat apapun karena bagi Dia tidak ada yang rumit dan pelik, semuanya serba mudah dalam genggaman kekuasaan-Nya.
Pendek kata, jangan takut menghadapi masalah, tetapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah dalam menghadapinya. Tanpa pertolongan-Nya, kita akan terus berkelana dalam kesusahan, dari satu persoalan ke persoalan lain, tanpa nilai tambah bagi dunia dan akhirat kita・benar-benar suatu kerugian yang nyata.
Terimalah ucapan selamat berbahagia, bagi saudara-saudaraku yang taat kepada Allah dan semakin taat lagi ketika diberi kesusahan dan kesenangan, shalatnya terjaga, akhlaknya mulia, dermawan, hati bersih, dan larut dalam amal-amal yang disukai Allah.
InsyaAllah, masalah yang ada akan menjadi jalan pendidikan dan Allah yang akan semakin mematangkan diri, mendewasakan, menambah ilmu, meluaskan pengalaman, melipatgandakan ganjaran, dan menjadikan hidup ini jauh lebih bermutu, mulia, dan terhormat di dunia akhirat.
Semoga, dengan izin Allah, uraian ini ada manfaatnya.

Selasa, 12 Januari 2016

Materi RPL Kelas XI RPL

Untuk mendapatkan PPT Materi Pembelajaran Basis Data Kelas XI RPL E, F dan G silakan unduh disini: 1, 2 dan 3

Materi Administrasi Basis Data Klas XII RPL

Untuk materi pelajaran Administrasi Basis Data
Kelas XII RPL A, B, C dan D silakan unduh disini: 1, 2, 3 dan 4

Selasa, 17 November 2015

KONSEP MENDASAR PENDIDIKAN MENURUT PARA FILOSOF TIMUR TENGAH

KONSEP MENDASAR PENDIDIKAN MENURUT PARA FILOSOF TIMUR TENGAH

Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) dengan berbagai coraknya, berorientasi memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsepnya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati, tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam. Dewasa  ini,  pendidikan  Islam  di  seluruh  dunia  sedang  menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi.
Menyikapi persoalan di atas telah banyak melahirkan sejumlah tokoh di berbagai pelosok dunia islam seperti yang mewakili wilayah Timur Tengah serta Asia Tenggara. Misalnya: Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ikhwan Al-Shafa, Ibn Khaldun, Iqbal, Naquib al-Attas, Hasan Langgulung, Nur Cholis Madjid, dan Rahmah El-Yunusiyah. Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Bagitu juga dengan Al-Farabi. Al-Farabi adalah salah satu pemikir dalam pendidikan islam yang dikenal juga sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama dan umum. Dengan berbagai ilmu yang diperolehnya, Al-Farabi menjadi seorang ahli filosof yang terkenal.
Al-Ghazali juga punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu. Tokoh lainnya seperti Ikhwan Al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat.
Iqbal telah merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu-individu muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi Timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.Naquib Al-Attas, juga termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya.
Hasan Langgulung, yang berupaya untuk memberikan kontribusinya dalam mengembangkan pemikiran pendidikan islam sebagai langkah konkrit dalam ikut menyelesaikan berbagai problematika sistem pendidikan islam dan menghendaki adanya keutuhan “sistem pendidikan islam modern”. Nurcholis Madjid adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi untuk banyak orang. Pemikiran-pemikirannya tak luput dari sorotan banyak ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang banyak pemikirannya yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan terkait keIslaman, keIndonesiaan, Politik bahkan Pendidikan. Adapun filosof wanita yaitu Rahmah El-Yunusiyah dalam memajukan pendidikan, ia berpendapat bahwa pendidikan tidak diperuntukkan oleh orang laki-laki saja namun wanita juga mempunyai hal yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan sejajar dengan kaum laki-laki.
Berlandaskan dari penuturan di atas, maka makalah ini akan membahas pemikiran mendasar para filosof tentang konsep dasar pendidikan yang mewakili wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara
Perm,asalahan Masalah
1.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Ibn Sina?
2.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Al-Farabi?
3.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Al-Ghazali?
4.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Ikhwan Al-Shafa?
5.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Ibn Khaldun?
6.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Iqbal?
7.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Naquib Al-Attas?
8.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Hasan Langgulung?
9.      Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Nur Cholis Madjid?
10.  Bagaimanakah pendidikan Islam dalam pemikiran Rahmah El-Yunusiyah?

PEMBAHASAN

A.     Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ibn Sina
1.      Riwayat Hidup Ibn Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. Bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia. Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu: ilmu yang tak kekal dan ilmu yang kekal. Ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis. Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
Mahmud al-Massah (ahli matematika). Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh). Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah). Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.

2.      Konsep Pendidikan Ibn Sina
a.    Tujuan Pendidikan
Menurut Ibn Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan. Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
b.    Kurikulum
Konsep Ibn Sina tentang kurikulum didasarkan pada perkembangan usia anak.
Ø  Untuk anak usia 3-5 tahun, menurut Ibn Sina perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, kesenian.
Ø  Untuk anak usia 5-14 tahun, menurut Ibn Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran syair, dan pelajaran olah raga.
Ø  Untuk anak usia 14 tahun keatas, pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya tapi perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak.
c.    Metode Pengajaran
Suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sina diantaranya talqin, demonstrasi, pembiasaan, teladan,magang dan penugasan.


d.      Konsep Guru
Guru yang baik ialah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan bermain-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci murni.
e.      Konsep Hukuman
Ibn Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya bolah dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal, sedangkan dalam keadaan normal hukuman tidak boleh dilakukan.

B.     Pendidikan Islam dalam Pemikiran Al-Farabi
1.      Riwayat Hidup Al-Farabi
AL-Farabi nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasy, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Tukistan pada 257 H (870 M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.
Beliau adalah seorang Tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Ia juga terkenal sebagai ahli dalam bahasa Arab, Parsi, Suria, dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam diantara para komentator karya Aristoteles. Karangan beliau tidak kurang dari 128 kitab. Kemudian beliau wafat pada usia 80 tahun tepat 337 H (950 M).

2.      Konsep pendidikan Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing individu menuju kesempurnaan. Karena manusia yang sempurna, menurut al-Farabi, sebagaimana dipaparkan Professor Ammar Al-Talbi dalam tulisannya yang berjudul “Al-Farabi’s Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological Theory”, adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian. Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis.
Kesempurnaan manusia, kata dia, terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan di masyarakat. Karena, jika tidak diterapkan, ilmu itu tak berguna. Penekanan pendidikan dalam pandangan Al-Farabi adalah akal budi. Ia menyarankan bahwa anak yang bertabiat jelek dapat diluruskan dengan cara penanaman pendidikan akhlak. Untuk anak yang tingkat inteligensinya rendah dapat dicerdaskan melalui metode keteladanan, yakni melalui contoh yang diberikan secara berulang-ulang. Sedangkan untuk anak yang cerdas dan bertabiat baik, kata Al-Farabi, hendaknya disikapi dengan penuh penghargaan. Karena bagaimanapun menurutnya, pelajaran yang harus diprioritaskan bagi setiap anak adalah pembinaan akhlak. Sebab, akhlak merupakan modal dasar untuk menguasai segala macam disiplin ilmu lainnya. Metode pembelajaran yang ditekankan Al-Farabi mengacu pada tujuan akhir pendidikan, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Mengacu kepada tujuan akhir ini, metode pembelajaran yang paling baik untuk diterapkan kepada anak didik adalah metode instruksi. Namun, menurut dia, metode ini tidak begitu saja bisa diajarkan ke semua orang. Harus ada pembedaan kelompok, yakni kelompok orang-orang biasa dan kalangan elite. Bagi orang-orang biasa, dasar metodenya adalah persuasif dan bagi orang elite adalah demonstratif. Dalam metode demonstratif, anak didik diajak untuk mencapai nilai-nilai teoretis. Prosesnya dijalankan dengan melakukan instruksi oral (lisan), misalnya, melalui kegiatan pidato. Al-Farabi juga menekankan pentingnya diskusi dan dialog dalam metode instruksi agar anak didik mampu meraih pemahaman yang sebenarnya.
Pencapaian nilai-nilai seni dan moral merupakan ciri dari metode persuasif. Metode ini merupakan metode yang mengajak atau memengaruhi anak didik tanpa butuh kepastian pengetahuan atau tanpa ada bukti-bukti yang mendukung. Metode ini akan berjalan bila orang yang dipengaruhi merasa senang dan puas. Lebih jauh Al-Farabi menekankan metode instruksi yang digagasnya ini memiliki dua aspek, yaitu model audisi dan model imitasi. Dalam model audisi, anak didik belajar dengan didasarkan pada kemampuan berbicaranya yang disertai dengan pemahaman dan pengertiannya akan realitas. Sedangkan model imitasi adalah dengan terlebih dahulu mengamati gerak-gerik orang lain dan kemudian menirunya, tetapi dalam hal-hal yang baik saja. Untuk meraih kesempurnaan dari metode yang dibuatnya ini, Al-Farabi sangat menekankan kebiasaan. Kebiasaan yang mengakar, kata dia, akan menjadikan anak didik semakin mengerti akan isi pembelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Nilai-nilai etis juga digapai dengan melakukan kebiasaan dan pengulangan sehingga nilai-nilai ini dapat tertanam dengan kuat di dalam pikiran anak. Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertingkah laku baik.

C.     Pendidikan Islam dalam Pemikiran Al-Ghazali
1.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir 1058 di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran), wafat 1111, Thus) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan (Iran). Beliau berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi Al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama’ yang bermazhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Di antara mata pelajaran yang telah dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hokum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang dalam ilmu pengetahuan. Banyak buku yang di tulis oleh Al-Ghazali diantaranya, Ghayah Al Maram Fi Ilm Kalam (tujuan mulia dari ilmu kalam), Ihya’ Ulum Al Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Al-Musytasyfa’ (yang menyembuhkan), Maqasidal Falasifah (tujuan dari filsafah), dan Tahafut Al-Falasifah (kehancuran dari filsafat).
Gelar yang disandang Al-Ghazali yaitu Hujjatul Islam (pembela Islam), Syaikh Al Sufiyyin (guru besar dalam tasawuf) dan Imam Al Murabin (pakar bidang pendidikan).

2.      Konsep pendidikan Al-Ghazali
a.      Peranan Pendidikan
Al-Ghazali menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, disebabkan ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak tergantung dari orang tua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah yang artinya :
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orangtualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (H.R. Muslim).
Sejalan dengan hadits tersebut, Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama’ besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.
b.      Tujuan Pendidikan
Setelah menjelaskan peranan pendidikan sebagaimana diuraikan diatas, al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian , kebencian dan permusuhan. Rumusan tersebut sejalan dengan firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat:59)
      Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa Qanaah (merasa cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga karena al-Ghazali memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak abadi dn akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal, dan maut senantiasa mengintai setiap saat.
            Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat.
c.       Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah :
1.      Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
2.      Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
3.       Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4.      Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.      Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
6.      Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
7.      Guru harus mengamalkan apa yang di ajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
8.      Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di sampaing tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
9.      Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didinya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Tipe ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak dan masih dianggap relevan, jika tidak dianggap hanya satu-satunya mode, melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian sebagai mana yang dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan akademis dan profesional.
d.      Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut.
1.      Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
2.      Merasa satu bangunan dengan murid yang lain sehingga merupakan bangunan yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
3.      Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
4.      Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagi ilmu dan berupaya bersungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.
e.      Kurikulum
Secara tradisional kurikulum dapat diartikan suatu mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum disusun dengan sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun diakhirat. Seperti ilmu sihir, ilmu nujun dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
2.      Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit, jika ilmu ini dipelajar akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti Ilmu Tauhid dan Ilmu agama.
3.      Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan Ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu diatas, al-Ghazali membagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
1.      Ilmu yang wajib (fardhu) yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
2.      Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik dan ilmu pertanian.
Sejalan dengan kategori diatas Imam al-Ghazali merinci lagi menjadi empat kelompok, dan inilah yang di usulkannya untuk dipelajri disekolahIlmu pengetahuan tersebut adalah:
1.      Ilmu al-Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadist dan tafsir.
2.      Ilmu-ilmu bahasa, seperti nahmu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena hal ini berfungsi untuk membantu ilmu agama.
3.      Ilmu-ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematikan, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
4.      Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa al-Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajid dan fardhu kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada yang terpuji dan tercela.

D.    Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ikhwan Al-Shafa
1.      Riwayat Hidup Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua hijriah di kota Bashrah, Irak. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didaarkan pada persaudaraanislamiyah (ukhuwah islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisasi ia memiliki semangat dakwah dan tabligh yang amat militant dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.di sinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Shafa dengan pendidikan.

2.      Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa
a.      Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1.      Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2.      Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3.      Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalahmarkuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu;matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b.      Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalahmu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1.      Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2.      Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3.      Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4.      Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.

E.     Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ibn Khaldun
1.      Riwayat Hidup Singkat
Sebuah ciri khas yang melatar belakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politisi, intelektual, dan aristocrat. Latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya, sebelum menyeberang ke Afrika, adalah para pemimpin politik di Moorish, Spanyol, selama beberapa abad. Ia lahir pada tanggal 7 Mei 1332 di Tunisi. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd ibn Muhammad Ibn Khaldun.
Khaldun pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya, sejak kecil ia telah mempelajari tajwid, menghafal Al-Quran, dan fasih dalam qira’at al-sab’ah, di samping dengan ayahnya, ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqh (Maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Tunisia. pendidikan formalnya dilaluinya hanya sampai pada usia 17 tahun. dalam usia yang masih relatif muda ini ia telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu klasik, termasuk ‘ulum ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat, tasawuf, dan metafisika). Di samping itu, Khaldun juga tertarik untuk mempelajari dan menggeluti ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi dan lain sebagainya. ketika usianya melewati 17 tahun ia kemudian belajar sendiri (otodidak), meneruskan apa yang telah diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai karirnya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. adapun hasil karya-karyanya yang terkenal diantaranya adalah: Kitab Muqaddimah Buku pertama dari kitab al-‘ibar yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku ini juga yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum.

2.      Konsep pendidikan Ibnu Khaldun
a.      Pandangan tentang manusia didik
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya. Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya. Akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu, lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak perilaku seorang manusia. Pandangan Khaldun tentang manusia sebagai suatu makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya karena manusia mempunyai akal (Makhluk berfikir). Lewat kemampuan berfikirnya itu manusia tidak hanya membuat kehidupannya sehingga mampu melahirkan ilmu (Pengetahuan) dan teknologi, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makan hidup. Proses-proses semacam ini yang melahirkan peradaban.
Pada bagian lain, Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh – sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam – macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
b.      Pandangan tentang ilmu atau materi pendidikan
Ada dua yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang pertama dipengaruhi oleh peradapan, misalnya sebuah sekolah yang didirikan didalam perkotaan yang disitu terdapat pertumbuhan ilmu, pabrik-pabrik dan pasar yang tersusun rapi, maka keadaan ini akan berpengaruh terhadap corak pendidikannya. Dan yang kedua karena adanya perbedaan lapisan sosial yang timbul dari hasil kecerdasannya yang diperoses melalui pengajaran. Hal ini berbeda dengan apa yang diduga oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa perbedaan ini bersumber pada perbedaan hakikat kemanusiaan. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, ibnu khaldun membaginya menjadi tiga macam yaitu:
1.      Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang disusun secara puitis (syair).
2.      Ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi, ilmu ini berupa membaca kitab suci al-quran dan tafsirnya, sanad dan haditsdan pentashiannya serta istimbath tentang keadaan-keadaan fiqih. Dari al-quran itulah didapat ilmu-ilmu tafsir, ilmu usul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum allah itu melalui istimbath.
3.      Ilmu aqli yaitu ilmu yang dapat menunjukan manusia dengan daya fikir atau kecendrungan kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk didalam katagori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu tehnik, ilmu hitung, ilmu tingkahlaku (behafior), termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan).
Mengenai ilmu nujum menurutnya adalah ilmu yang fasid karena ilmu dapat meramalkan segala kejadian yang belum terjadi, hal itu merupakan hal tercela. Dari beberapa cabang ilmu yang telah disebutkan diatas, ada tiga cabang ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik, yaitu:
a.       Ilmu syari’ah dengan segala jenisnya
b.      Ilmu filsafat seperti; ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
c.       Ilmu alat, seperti ilmu bahasa (gramatika) ilmu filsafat (mantiq).
Dalam literatur yang lain ibnu khaldun menjelaskan tentang pentingnya nilai ilmu menulis dan berhitung karena kedua ilmu tersebut mempunyai lapangan yang lebih luas dari ilmu-ilmu lainnya dalam menambah akal. Selain itu ibnu khaldun berpendapat bahwa al-quran adalah ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak, karena mengajarkan al-quran pada anak termasuk syariat islam yang dipegang oleh para ahli agama dan dijunjung oleh setiap negara islam. Al-quran yang telah ditanamkan pada anak akan menjadi pegangan hidupnya.
c.       Metode Pengajaran
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran yaitu di dalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. Setelah itu pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. Pada langkah selanjutnya, pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Itulah metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir lebih inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Dalam pandangan Ibnu Khaldun prinsip dari belajar bukanlah penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik.
Demikianlah terlihat betapa besarnya  Ibnu Khaldun memberikan perhatiannya di bidang pendidikan. Dan jika diperhatikan dengan seksama secara umum Ibnu Khaldun menekankan pada proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru. Adapun beberapa prinsip dasar yang senantiasa harus diperhatikan oleh para pendidik yang akan dianalisa secara rinci pada point berikutnya.
d.      Spesialisasi
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendspat keshlian dalam suatu pertukangan jarang sekalil yang ahli dalam pertukangan lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini disebabkan karena sekali seseorang telah menjadi ahli dalam menjahit hingga keahliannya itu hingga tertanam berurat berakar dalam jiwanya, maka setelah itu dia tidak akan ahli dalam pertukangan kayu dan batu, kecuali apabila keahlian yang pertama itu belum tertanam dengan kuat dan belum memberi corak terhadap pemikirannya. Hal ini juga didasarkan pada alasannya bahwa keahlian itu adalah sikap atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. Dan mereka yang pikirannya masih mentah, dan dalam keadaan masih kosong akan lebih mudah mendapatkan keahlian-keahlian baru yang dapat mereka peroleh dengan lebih mudah. Tetapi apabila jiwa itu telah bercorak dengan semacam keahlian tertentu dan tidak lagi dalam keadaan kosong, maka cetakan keahlian itu akan menjadikan jiwa itu kurang tertarik dan kurang bersedia menerima keahlian-keahlian baru.

F.      Pendidikan Islam dalam Pemikiran Iqbal
1.      Riwayat Hidup Iqbal
Lahir di Sialkot, kota peninggalan Dinasti Mughal India pada tanggal 22 Februari 1873. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat. Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan study di Scottish dan pergi ke Lahore. Salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold. orientalis Inggris yang terkenal yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahor. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia. Ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London.

2.      Konsep Pendidikan Iqbal
a.      Kurikulum
Kurikulum secara garis besar dapat diartikan dengan seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Adapun isi kurikulum pendidikan menurut Muhammad Iqbal adalah:
1.      Isi kurikulum pendidikan harus mencakup agama, sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya Muhammad Iqbal menggunakan kata “pengetahuan (knowledge) yang didasarkan pada panca indra. Pengetahuan dalam arti ini kepada manusia memberikan kekuasan yang harus ditempatkan di bawah agama. Muhammad Iqbal berpendapat bahwa agama adalah suatu kekuatan dari kepentingan besar dalam kehidupan individu juga masyarakat. Apabila pengetahuan dalam arti ini tidak ditempatkan dibawah agama, ia akan menjelma menjadi kekuatan syetan. Pengertian dalam arti ini dipandang berfungsi sebagai langkah pertama dalam rangka mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Oleh karenanya kitab merupakan sarana dalam penyampaian ilmu pengetahuan. Jadi menurut Muhammad Iqbal, antara agama dan ilmu pengetahuan harus berjalan secara selaras, karena agama mampu menyiapkan manusia modern untuk memikul tanggung jawab yang besar yang dimana ilmu pengetahuan juga pasti terlibat.
2.      Isi kurikulum pendidikan juga harus mencakup pembentukan kepribadian atau watak. Pendidikan watak menurut Muhammad Iqbal merupakan faktor yang penting dalam pendidikan. Untuk mengembangkan watak, menurut Muhammad Iqbal pendidikan hendaknya memupuk tiga sifat yang merupakan unsur-unsur utama dari pendidikan itu sendiri, yakni:
1.      Keberanian,
2.      Toleransi
3.      Faqir
b.      Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat untuk membentuk manusia mukmin sejati atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. Iqbal menggambarkan manusia yang ideal atau sejati itu melalui hasil karya-karyanya. Dalam filsafatnya dijelaskan ada beberapa ciri manusia yang ideal, di antaranya:
1.    Hidup yang baik adalah hidup yang penuh usaha dan perjuangan, usaha itu tersebut hendaknya bersifat kreatif dan orisinil. Sebagaimana tertulis dalam syairnya :
Bila anda ingin melihat dunia sementara ini, Bila anda ingin beralih dari ketiadaan kepada keberadaan, Bertahanlah! Jangan mudah anda lenyap seperti kilatan cahaya sekejap! Pupuk keberanian bersusah payah agar berhasil meraih lumbung penuh melimpah. Bila anda memiliki sinar matahari Beranilah menjelajah langit lazuardi! Orang yang baik hendaknya belajar menerapkan intelegensinya secara meningkat terus dalam rangka penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam, sambil menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri. Sebagaimana dalam syairnya : Intelek memerintah segala sesuatu yang terbuat dari cahaya maupun dari tanah liat dan tiada yang tak terjangkau karunia Illah ini Seluruh jagad tunduk merunduk pada keagungan yang abadi hanya hati yang berani menghadapi setiap derap langkahnya yang tegap.  Di samping itu, Muhammad Iqbal juga mengemukakan mengenai tujuan diselenggarakannya pendidikan Islam. Sebenarnya menurut dia pendidikan itu diawali dari adanya rasa ego. Ego akan mengalami proses evolusi dan selalu berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Ego yang sempurna itulah menurut M. Iqbal disebut sebagai insan kamil dan inilah yang menjadi tujuan pendidikan. Adapun rincian dari tujuan pendidikan itu, di antaranya: Pendidikan tidak semata-mata untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat dalam pengenalan jiwa dengan Tuhan.
2.    Tujuan akhir dari pendidikan hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka dapat menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka.
3.    Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju. Dalam kaitanya dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan beberapa pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah kehendak kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz . Yaitu diri yang selalu bergerak kesatu arah. Aktivitas kreatif, perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif dalam permasalahan dunia harus menjadi tujuan hidup. Berkat kreativitas itulah manusia telah berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.
4.    Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
c.       Fungsi Pendidikan
Melahirkan melahirkan interaksi yang dinamis dan progesif agar saling bertautan secara serasi.
d.      Metode Pembelajaran
Dalam pengertian leterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari “meta” yang berarti” melalui “ dan “hodos” yang berarti” jalan yang dilalui” Metode pendidikan didasarkan pada tingkat usia anak didik berdasarkan pertimbangan periode perkembangan anak didik, Nabi mengemukakan cara mendidik yang baik. Beliau menyatakan didiklah anak-anakmu dengan cara bermain-main pada usia tujuh pertama dan tananamkanlah disiplin kepada mereka pada tujuh tahun berikutnya kemudian ajaklah mereka berdiskusi saat mereka mencapai periode usia tujuh tahun yang ketiga dan selanjutnya barulah mereka dapat di lepaskan untuk menentukan sikap hidupnya secara mandiri. Adapun metode pendidikan yang sesuai menurut Muhammad Iqbal adalah :
1.      Self activity
Metode ini di gunakan untuk mencari potensi diri atau mengembangkan potensi diri peserta didik dengan kebebasan mengembangkan kreativitas sesuai dengan yang di kehendaki
2.      Learning by doing.
Jenis pengajaran yang di kehendakinya adalah menghadapkan siswa pada situasi baru yang mengundang mereka untuk bekerja dengan penuh kesadaran akan tujuan yang di galinya dari sumber yang tersedia dalam lingkungan mereka.
3.      Tanya jawab.
Pendidikan harus mampu untuk mencetak pribadi yang kritis, yaitu terus bertanya dan tidak begitu saja menerima pandangan atas dasar kepercayaan belaka.
4.      Metode proyek atau unit
Adalah cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari sesuatu masalah, kemudian di bahas dari segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna. Penggunaan metode ini bertitik tolak dari anggapan bahwa pemecahan masalah harus ditinjau dari berbagai macam segi agar tuntas dalam melibatkan mata pelajaran yang ada kaitannya sebagai sumber dari pemecahan masalah tersebut.
5.      Metode pemecahan masalah atau problem solving.
Bukan hanya sekedar metode berfikir sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainya yang di mulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
e.      Peranan peserta didik
Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan kepribadianya. Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah mahluk yang sedang berada dalam proses perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pendidikan khususnya pada peranan peserta didik adalah berpangkal pada kebebasan manusia. Manusia merupakan ego yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri dengan segala konsekuensinya. Dengan kebebasannya itu, peserta didik memungkinkan untuk diarahkan agar memiliki kreativitas berfikir tinggi sehingga dapat memunculkan inovasi-inovasi baru yang dapat dipergunakan untuk menjawab berbagai tantangan dimasa sekarang dan akan datang yang merupakan dampak negatif dari globalisasi dan industrialisasi. Muhammad Iqbal sepenuhnya meyakini besarnya nilai kebudayaan suatu masyarakat terhadap pendidikan serta terhadap hak pengembangan idividu. Muhammad Iqbal mengharap agar sekolah dapat membina dan mengembangkan pribadi-pribadi yang bebas, berani dan kreatif. Arti kebebasan mengandung arti yang besar. Kebebasan terkadang mengandung arti selain memilih sesuatu yang baik juga bebas untuk nenentukan pilihan yang jahat. Namun yang dimaksud kebebasan disini adalah tugas manusia untuk melaksanakan dan mewujudkan kepercayaan-Nya itu dengan jalan memanfaatkan karunia berupa kebebasan tersebut secara bijaksana dan konstruktif.
f.        Peranan pendidik
Pendidik dalam menggali dan mengembangkan konsep pendidikannya akan harus mengkaji dan meneliti hakikat individualitas dan lingkungan. Muhammad Iqbal berpendapat bahwa tumbuh kembangnya individualitas tidak mungkin terjadi tanpa kontak langsung dengan lingkungan yang konkrit dan dinamis.
Sikap pendidik yang baik menurut Muhammad Iqbal adalah dengan jalan membangkitkan kesadaran yang sungguh pada anak didiknya berkenaan dengan aneka ragam relasi dengan lingkungannya dan dengan jalan demikian merangsang pembentukan sasaran-sasaran baru secara kreatif. Muhammad Iqbal kurang menyetujui pendidikan sistem kelas, maksudnya guru yang mengurung siswanya diantara keempat dinding kelasnya. Hal ini dikarenakan bahwa anak perlu berhubungan dengan alam dalam setiap proses belajarnya, yaitu untuk menumbuhkan sikap keingintahuan serta untuk menumbuhkan kreativitasnya.

G.    Pendidikan Islam dalam Pemikiran Naquib Al-Attas
1.      Riwayat Hidup Naquib Al-Attas
Nama lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak,baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Hang (1936-1941). Pada masa pendidikan Jepang, dia kembali ke Jawa  untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa, Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zahra School kemudian di English College (1946-1951). Setelah itu, beliau mengikuti pendidikan militer, pertama di Erron Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Millitary Academy, Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti  pendidikan militer, Al-Attas juga sering pergi ke Negara-negara Eropa lainnya (terutama Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Setelah tamat dai Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan Malaya. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal. Sedangkan gelar Ph.D. diperoleh dari Universitas London 1965.

2.      Konsep Pendidikan Naquib Al-Attas
Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas  adalah  salah  seorang  cendekiawan  dan filsuf muslim dari Malaysia yang menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah dan literatur. Kepakarannya dalam bidang-bidang tersebut tidak diragukan lagi dan sudah diakui oleh  berbagai  kalangan  intelektual.
Berikut  merupakan  sebagian  dari pemikiran-pemikiran yang beliau gagas.
1.      Makna dan Tujuan Pendidikan
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemayarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.
Ada  tiga  istilah  yang  dianggap  memiliki  arti  yang  dekat  dan  tepat  dengan makna pendidikan. Ketiga istilah itu adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang masing-masing  memiliki  karakteristik  makna  disamping  mempunyai  kesesuaian  dalam pengertian pendidikan Islam.
Ø Makna tarbiyah dalam rangka pendidikan Islam
Menurut Najib Khalid  al-Amir  ada  lima  sisi  dari  pengertian  tarbiyah  secara berkesinambungan  yang  satu  sama  lain  berbeda  sesuai  dengan  pembentukannya yaitu:
a.       Tarbiyah  adalah menyampaikan  sesuatu  untuk mencapai  kesempurnaan. Bentuk  penyampaian  satu  dengan  yang  lain  berbeda  sesuai  dengan  cara pembentukannya.
b.      Tarbiyah adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
c.       Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi).
d.      Tarbiyah  dilakukan  secara  berkesinambungan.  Artinya  tahapan-tahapan sejalan  dengan  kehidupan,  tidak  berhenti  pada  batas  tertentu,  terhitung dari buaian sampai liang lahat.
e.       Tarbiyah  adalah  tujuan  terpenting dalam kehidupan baik  secara  individu maupun keseluruhan.
Ø  Makna ta’lim dalam rangka pendidikan Islam
Adapun al ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja “allama” yang berarti mengajar. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa arab dinyatakan Tarbiyah wa ta’lim berarti “pendidikan  dan  pengajaran”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al tarbiyah al Islamiyah”.
Ø  Makna ta’dib dalam rangka pendidikan Islam
Adapun ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti memberi adab mendidik (Yunus, 1972: 37). Istilah ini dalam kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah ynag dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menambahkan adab pada manusia.
Dalam bukunya yang lain, beliau menyebutkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik. Orang yang baik disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Maka, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab. Dalam pengertian yang asli adab adalah mengundang ke suatu perjamuan. Perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat dan banyak orang yang hadir. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang hadir itu adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat atas undangan itu. Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terluput dari noda dan cela.
Pendidikan menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini diebut ta’dib” al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW. Yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’adib adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’adib sudah mencakup unsur-unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
2.      Kurikulum Dan Metode Pendidikan
Metode  merupakan  sarana  yang  bermakna  dan  faktor  yang  akan mengefektifkan  pelaksanaan  pendidikan.  Demikian  pentingnya  metode dalam pendidikan  Islam,  telah menempatkan  faktor  ini  sebagai  faktor yang esensial dalam pelaksanaan  pendidikan.
Ø  Persiapan Spiritual
Abu Sa’id Al-Kharraz , seorang sufi terkenal abad ke-9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan, disamping kebenaran dan kesabaran. Disamping itu Al-Attas menekankan kejujuran dan keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
Ø  Ketergantungan Pada Otoritas dan Peranan Guru
Al-Attas mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru.
Ø  Peranan Bahasa
Al-Attas selalu menganalisis dan menjelaskan konsep dan istilah kunci, serta menekankan pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan komsep kunci yang termuat didalamnya tifak berubah atau dikacaukan. Mungkin Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islamadalah melalui Islamisasi bahasa Arab itu sendiri. Demikian pula de-Islamisasi atau sekulerisasi pemikiran Muslim juga berlangsung secara efektif melalui aspek linguistik.
Ø  Metode Tauhid
Metode tauhid ini menyelesaikan problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif ilmu pengetahuan. Sayangnya apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan karena itu lebih valid daripada yang subjektif.
Ø  Pancaindra, Akal, dan Intuisi
Al-Attas membenarkan adanya kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa dan proses kognitif, kemampuan tersebu diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat. Sebab Islam mengakui kebenaran pelbagai saluran ilmu pengetahuan , seperti pancaindra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung di dalam akidah.
Ø  Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri metode pendidikan A-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Salah satu metafora yang sering digunakan adalah metafora papan penunjuk iklan (sign post). Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional. Ia juga secara tegas mengusulkan pentingnya pemahaman dan aplikasi yang benar mengenai fardu ain dan fardu kifayah. Penekannanya pada kategorisasi ini mungkin juga karena perhatiannya terhadap kewajiban manusia dalam menuntut ilmu dan mengembangkan adab. Ilmu fardhu ’ain (ilmu-ilmu agama), yaitu :
v  Kitab suci Al-Qur’an.
v  Sunnah.
v  Syari’at.
v  Teologi.
v  Metafisika.
v  Ilmu Bahasa (bahasa Arab).
Ilmu fardhu kifayah, yaitu:
v  Ilmu Kemanusiaan
v  Ilmu Alam
v  Ilmu Terapan.
v  Ilmu Teknologi.
v  Perbandingan Agama.
v  Kebudayaan Barat.
v  Ilmu Linguistik: Bahasa Islam, dan
v  Sejarah Islam.
3.      Murid dan Guru Dalam Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas
Peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru, sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para ilmuwan Terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar.
Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam. Sebaliknya, ia meguasai materi sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Gurupun seharusnya tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemammpuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik  dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati.

H.    Pendidikan Islam dalam Pemikiran Hasan Langgulung
1.      Riwayat Hidup Hasan Langgulung
Hasan Langgulung lahir pada tanggal 16 oktober 1934 , di Rappang, Sulawesi Selatan. Pendidikan Dasar yang ditempuhnya adalah SD Rappanbg ujung Pandang. Setelah itu melanjutkan studinya ke SMP dan Sekolah Menengah Islam di ujung Pandang yang berlangsung dari tahun 1949-1952. Setelah menyelesaikan sekolah menengah , Ia melanjutkan pendidkan ke B.I. Inggris di Ujung Pandang dan mendapat gelar M.A. dalam bidang psikologi dan mental Hygiene di Ein Shams University Kairo  pada tahun 1967. Sebagai puncak studinya , ia berhasil menyelesaikan program Doktor pada University of Georgia Amerika Serikat pada tahun 1971, dengan judul Disertasi: A. Cross Cultural Study of The Child Coneption of Situational  Causality in India, Westem Samao, Mexico, and the United States.     
Ia adalah salah sesorang pemikir Muslim Asia Tenggara  yang banyak mencurahkan perhatiannya pada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terutama pada bidang pendidikan  dan Psikologi. Beliau berupaya untuk memadukan pemikiran-pemikiran barat modern dengan pemikiran Islam.

2.      Konsep Pendidikan Hasan Langgulung
Ada Beberapa pokok Pikiran Hasan Langgulung tentang Pendidikan Islam:
a.      Hakekat Pendidikan Islam
Menurut tokoh progrsivisme John Dewey, pendidikan merupakan keharusan dalam kehidupan manusia. Ini berarti bahwa pendidikan merupakan  kebutuhan hakiki, karena manusia tidak bisa hidup secara wajar tanpa adanya proses  pendidikan. Pada umumnya pendidikan diartikan sebagai pemberian bantuan orang dewasa kepada yang belum dewasa melalui pergaulan, dengan tujuan agar yng dipengaruhi kelak dapat melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia secara mandiri dan bertanggung jawab. Sehingga menurut Langgulung pendidikan dapat dilihat dari tiga segi. Pertama segi individu, kedua, masyarakat, dan ketiga individu dan masyarakat atau sebagai interaksi antara individu dan masyarakat . Dari segi individu, ia beranggapan bahwa manusia didunia ini mempunyai kemampuan yang bersifat umum, kemampuan melihat dan mendengar, berbeda beda sesuai derajat masing-masing. Dalam Pengertian ini Pendidkkan didefinisikan sebagai proses penemuan dan pengembangan kemampuan. Jadi pendidikan adalah proses menampakkan yang tersembunyi pada anak. Aspek yang tersembunyi tersebut adalah kecerdasan, pribadi, kreatifitas dan lain-lain.
Menurut Hasan Langgulung Pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi pada dasarnya telah diberikan oleh Allah kepada Manusia, sebagaimana firman Allah  yang artinya :
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh, (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.( Q.S. Al Hijr 29) 
Sifat sifat Tuhan yang disebut dalam Al Qur’an disimbulkan dengan nama-nama yang indah (al Asmaul Husna)  yang menyatakan Tuhan sebagai Maha Pengasih (al Rahman), Maha Penyayang (al Rahim), dan lain-lain. Bagi Hasan langgulung kalau sifat Tuhan yang berjumlah 99 itu diaktualisasikan pada diri manusia, ia merupakan potensi yang agung.
Sementara pendidikan Islam sebagai warisan budaya adalah suatu upaya bagaimana memindahkan unsur pokok peradaban dari suatu generasi ke generasi berikutnya supaya identitas umat tetap terpelihara. Sedangkan pendidikan Islam sebagai interaksi antara potensi dan budaya. Menurut Hasan Langgulung, sangat terkait dengan konsep fitrah. Fitrah dapat dipandang dari dua sisi yaitu fitrah sebagai potensi yang melengkapi manusia sejak lahir dan fitrah sebagai  din  yang menjadi tiang tegaknya peradaban Islam, kedua hal tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Langgulung menegaskan, jika pendidikan dianggap penting bagi individu dan masyarakat secara umum yang berlaku sepanjang zaman, maka masyarakat Islam berkewajiban memberi perhatian penuh pada pendidikan. Jadi, pendidikan Islam berusaha mengembangkan manusia seutuhnya, seperti yang berlaku pada sistem pendidikan lainnya.
b.      Tujuan Pendidikan Islam
Hasan Langgulung  menerjemahkan tujuan pendidikan islam kedalam tiga ketegori, yaitu tujuan tertinggi atau akhir (aim), tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objectives). Tujuan umum adalah perubahan yang dikehendaki, yang diusahakan oleh pendidikan untuk dicapai. Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan yang diinginkan yang merupakan bagian tujuan umum. Tujuan khusus ini merupakan realisasi dari pengetahuan, ketrampilan, tingkah laku, sikap dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir dan umum. Menurut Hasan langgulung tujuan pendidikan baik akhir, umum, maupun khusus, semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, tetapi ia telah diungkapkan dalam bahasa dan istilah modern yang dapat dilaksanakan di bangku sekolah.
Dalam memperbincangkanm tujuan pendidikan Islam, Langgulung banyak menekankan pada tujuan akhir, karena tujuan ini tidak terbatas pada lembaga pendidikan tertentu, sehingga rumusannya terlihat sangat abstrak dan tidak operasional. Para pemikir Islam kontemporer, kurang memberikan perhatian pada tujuan khusus, bahkan menyerahkan kepada guru dan pemikir pendidikan lainnya.  Berbeda dengan pemikir Barat yang berusaha merumuskan secara jelas tujuan pendidikan khusus tersebut.
c.       Asas Pendidikan Islam
Asas pendidikan Islam menurut Hasan langgulung  memiliki nuansa yang distingtif dalam spektrum pemikiran pendidikan Islam. Dalam hal ini, ia berbeda dengan pemikir muslim lainnya. Pendidikan mempunyai asas yang merupakan tempat ia berpijak tegak dalam suatu materi, interaksi, inovasi dan cita-citanya. Adapun asas yang dimaksud adalah :
1.      Asas historis yang memberi bekal kepada pendidik pengalaman masa lalu.
2.      Asas sosial yang memberi kerangka budaya dari mana ia bergerak dan bertolak  dalam upaya memilih dan mengembangkannya.
3.      Asas ekonomi yang memberi prospek potensi manusia untuk mengatur keuangan dan bertanggungjawab terhadap anggaran belanjanya.
4.      Aspek politik  dan administrasi  yang memberi kemungkinan untuk memilih sistem, mengontrol, dan memberi arahan kepada semua asas yang lain.
d.      Kurikulum Pendidikan Islam
Hasan Langgulung dalam membahas kurikulum pendidikan Islam, memberikan definisi seperti pendapat Al-Syaibany yaitu; kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan , sosial, olah raga, dan kesenian yang disediakan oleh sekolah untuk murid, baik didalam maupun diluar sekolah  dengan maksud menolong perkembangan secara menyeluruh, dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dari definisi diatas, Langgulung berkesimpulan bahwa kurikulum mempunyai empat unsur utama yaitu :
1.      Tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan, yaitu orang yang bagaimana yang ingin dibentuk melalui kurikulum tersebut.
2.      Pengetahuan ( knowledge), informasi, data aktifitas, dan pengalaman di mana kurikulum  terbentuk yang lazim disebut mata pelajaran.
3.      Metode dan cara mengajar yang dipakai oleh guru, untuk mendorong murid belajar dan membawa mereka kearah yang dikehendaki oleh kurikulum.
4.      Metode dan cara penelitian yang digunakan untuk mengukur dan menilai kurikulum serta hasil proses pendidikan yang direncanakan kurikulum.
e.      Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak. Evaluasi ini berkaitan dengan pertanyaan “Bagaimana efektifitas pengalaman belajar dapat dievaluasikan dengan menggunakan tes atau menggunakan prosedur pengumpulan data yang sistematik lainnya”.
Dengan demikian, evaluasi sangat penting unruk mengukur sejauh mana  keberhasilan siswa maupun guru dalam proses belajar mengajar. Menurut Hasan Langgulung, evaluasi dalam pendidikan Islam adalah mutlak adanya, karena tujuan pendidikan Islam berlaku untuk sepanjang hayat, maka kriteria penilaian  juga harus berlainan  dengan pendidikan  berasal dari falsafah lain. Bukan sekedar lulus ujian saja, namun harus dimasukkan juga kebijaksanaan (wisdom)  dan budi mulia (virtue) sebagai kriteria. Penilaian dalam pendidikan Islam, menurutnya tidak mesti bersifat materialistik,  kalaupun dipergunakan harus ditunjukkan bahwa ia hanyalah sebagai alat bukan tujuan.

I.       Pendidikan Islam dalam Pemikiran Nur Cholis Madjid
1.      Riwayat Hidup Nur Cholis Madjid
Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, dan ibunya Hj. Fathonah, Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; melanjutkan ke perguruan tinggi di IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen I
IFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.
Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersamaan dengan tugas-tugasnya itu, ia pernah juga berkesempatan menjadi dosen tamu pada universitas McGill, Montreal, Canada, pada tahun 1990 didampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), Islam Doktrin dan PeradabanSebuah Telaah Krisis tentang Masalah Keimanan, Kemanusian dan Kemodernan, (Jakarta, yayasan wakaf paramadina, 1992).
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
2.      Konsep Pendidikan  Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Yang dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan konsep yang berkitan dengan pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba melihat dan menjajagi pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan islam .
a.      Pembaruan pesantren.
Nurcholish Madjid sebagai seorang cendikiawan berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu tinajuan kembali sedemikian rupa, sehigga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi meruapan jawaban yang komprehnesif dalam islam. Pelajaran yang dapat diberikan dalam membentuk pesantren diantaranya: (1). Mempelajari al-qur’an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitiberatkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. (2). Memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan-padangan keagamaan dan menanamkan kesadaran dan penghargaan yang lebih wajar pada hasilseni budaya islam atau menumbuh kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi keagamaan. (3). Mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajaran sehingga terjadi penghematan dan intensifikasi bagi pelajaran-pelajaran lainnya. (4). Memberikan pembekalan dan kemampuan yang nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai dan menyediakan jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.   
Berdasarkan analisis di atas Nurcholish Madjid berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran islam merupakan pembelajaran yang menyeluruh. Selain itu, produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).
b.      Kebangkitan gerakan inteleqtual dikalangan ummat islam.
Pemikiran Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan juga terlihat dari upayanya membangkitkan rasa percaya diri pada umat islam. Caranya antara lain dengan menunjukkan bahwa ummat islam pernah tampil sebagai pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, serta tampil sebagai adikuasa. Untuk ini Nurcholish Madjid memperkenalkan pemikiran para tokoh filosof tingkat dunia, seperti al-kindi, al-asy’ari, al, Farabi, ibn. Sina, al-Ghazali. Gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut dalam bidang teologi, filsafat, ilmu pengetahuan dan kedokteran diperkenalkan. Agar umat islam menggali khazanah intelektual islam di zaman klasik.
c.       Pendidikan akhlak.
Sejalan dengan pentingya pendidikan agama dalam lingkungan keluarga yang ditentangkan pada pengalaman agama yang terkait erat dan etika, moral dan akhlak. Untuk ini Nurcholish Madjid memiliki perhatian yang luar biasa, agar umat islam memiliki komitmen terhadap tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai kesempatan dalam tulisanya. Ia banyak menyinggung kehancuran suatu bangsa dari sejak zaman klasik yang penyebab utamanya adalah akhlak. Dalam berbagai kesempatan ia mengingatkan bahaya dengki yang dapat memakan segala kebaikan, dan merupakan pangkal kesengsaraan. Ia mengingatkan agar manusia menahan amarah, mengendalikan hawa nafsu, taat karena benar, satu kata dan perbuatan, memperhatikan perkataan orang lain, hormat pada tua, dalam bekerja hendaknya berorientasi pada prestasi, bukan prestise, agak berfikir dan bertindak strategis, fitrah dan akhlak, akhlak dan kemajuan bangsa, hubungan amal saleh dan kesehatan jiwa, menjauhi kemewahan, mau mengatakan yang benar walaupun terasa pahit, mau berkorban, mau berderma bakti.

J.      Pendidikan Islam dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah
1.      Riwayat Hidup Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah El- Yunusiyah lahir pada hari jum’at, 1 Rajab 1318 H / 26 Oktober 1900 M, di Padang Panjang dan wafat pada hari rabu 9 Dzulhijah 1388 H / 26 Febuari 1969 M. Ia anak bungsu pasangan Syaikh Muhammad Yunus dan Rofiah. Ayahnya merupakan seorang ulama dan sekaligus Qodhi di pandai Sikat, Kakeknya bernama Imanuddin, seorang ulama ahli falak  dan pemimpin tarekat naqsabandiah di Minangkabau pada usia 16 tahun, ia dipersunting oleh Haji Baharuddin Lathif dari Sumpur Pandang Panjang. Namun demikian enam tahun kemudian (1922) ia bercerai dengan suaminya terlibat “ Islam Merah”.

2.      Konsep pendidikan Rahmah El- Yunusiyah
a.      Pendidikan Untuk Semua
Itu adalah konsepsi pendidikan yang mendasari Rahmah El- Yunusiyah, ini diangkat dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits yang memposisikan manusia pada posisi yang sama. Perbedaan diantara manusia yang satu dengan yang lainnya hanya terletak pada tingkat ketaqwaannya. Tujuan ideal ini menempatkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama untuk menuntut ilmu pengetahuan. Proses ini dilakukan sejak manusia berada dalam alam rahim sampai meninggal dunia.
b.      Mendirikan Madrasah li al- Banat
Ini untuk merealisasikan konsepsi yang ditawarkan Rahmah El- Yunusiyah dalam mewujudkan cita-citanya. Dengan nama madrasahnya yaitu Madrasah Diniyah Puteri Padang Panjang. Pendirian lembaga pendidikan ini memiliki tujuan untuk membentuk puteri yang berjiwa Islami, ibu (pendidik) yang cakap dan aktif, serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT.
Tujuan Madrasah Diniyah puteri lainnya lebih menekankan urgensi pembentukan individu dalam hubungannya dengan tanggung jawab moral dan social, sementara di sisi lain, kelihatannya lembaga ini memiliki  konsistensi terhadap ajaran agama Islam, dalam hal ini pendidikan yang diterapkan berupaya membentuk pribadi-pribadi yang memiliki keterkaitan transenden (ruh Islam). Di samping itu, lembaga pendidikan ini juga berupaya memberikan latihan kecakapan (keterampilan) guna memunculkan kreatifitas dan realisasi peran kekhalifahan manusia di muka bumi.
c.       Pembaharuan Sistem Pendidikan
Untuk memperbaharui sistem pendidikan ia mengatakan beberapa studi banding di beberapa daerah untuk memperoleh masukan bagi menyempurnakan sistem pendidikan madrasahnya. Diantara hasil studi  banding ini, ia memandang perlu untuk melakukan medernisasi kurikulum, dengan memasukan mata pelajaran umum pada insitusi yang didirikannya.
d.      Pengembangan Aspek Kognitif, Efektif dan Psikomotorik
Dalam aktivitas proses pendidikannya, hal ini tampak pada usahanya untuk memberikan pendidikan ketrampilan praktis bagi kaum perempuan. Ketrampilan Praktik tersebut antara lain :
§  Ketrampilan Masak
§  Bertenun
§  Industri Rumah Tangga
§   Olahraga
§  Dan P3K kepada peserta didik
Jika pemikiran yang dilakukannya ini dilihat dari perspektif filsafat Islam.  Secara Komperhensif, pemikiran Rahmah El-Yunusiyah terlihat jelas pada kosep Tri Tunggal Pendidikan perempuan yaitu :
§  Pendidikan di sekolah
§  Pendidikan di asrama
§  Pendidikan di masyarakat
Ketika peta pendidikan Islam Indonesia mengarahkan orientasinya pada misi politik, megakibatkan pemerintah colonial menetapkan peraturan ordonansi sekolah liar. Peraturan ini bermaksud membatasi ruang gerak pelaksanaan pendidikan bumi putera dalam segala hal. Kondisi ini tidak membuat Rahmah El- Yunusiyah terwarnai dengan kondisi yang berkembang pada pendidikan waktu itu. Ia secara konsisten tetap mengacu pada tujuannya, tanpa mau terlibat dengan memasukan pelajaran polotik pada kurikulum lembaga pendidikannya.Sikap ini mendapat kritikan dari Rasuna Said. Menurut Rasuna Said politik sangat diperlukan bagi seseorang yang menginginkan perubahan dan pembaharuan dalam sebuah gerakan.
Kritik ini ditanggapi Rahmah El-Yunusiyah secara arif dan bijaksana. Menurutnya merujuk pada kondisi masa ini memberikan pendidikan agama yang kuat pada peserta didik lebih diperluka dari pada pendidikan politik. Politik tanpa didasari agama maka akan menjadi sebagai bumerang yang justru akan menghancurkan agama. Prinsip yang demikian konsisten ini tidak berubah, meskipun ada permintaan agar Diniyah puteri bergabung dengan anggota PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) yang mencoba mengimbangi politik Sukarno yang dilakukan melalui PNI.
Sikap konsisten yang diambil Rahmah El-Yunusiyah merupakan wujud komitmennya terhadap falsafah hidup Islam, yaitu : wujud tanggung jawab moral yang fundamental. Penekanan pada pelaksanaan pendidikan agama, merupakan upaya menanakam nilai-nilai absolute ilahi yang berfungsi sebagai control dan pemberi arah kehidupan ideal bagi umat manusia. Tatkala nilai-nilai Islam telah mampu tertanam dalam diri setiap individu dan social pada kehidupan yang baik dan sejahtera. Untuk merealisasikan ideanya in, ia memulaina dengan mendidik kaum perempuan berdasarkan bimbingan agama dengan berbagai variasi ketrampilan praktis yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.
Upaya pembaharuan yang dilakukannya mulai Diniyah Putri akhirna dapat diterima, ini ditandai dengan semakin banyak permintaan dari masyarakat agar institusi ini mengirim outputnya mengajar di berbagai daerah, bahkan sampai ke Malaysia. Melalui para alumninya, ia berhasil mengembangkan institusi pendidikan yang didirikannya dengan mendirikan beberapa cabang madrasah Diniyah Puteri di Sumatera dan Jakarta.
Di samping ide-ide pembaharuan di atas, Rahmah El-Yunusiyah juga bercita-cita membangun rumah sakit dan mendirikan lenbaga pendidikan tinggi khusus bagi perempuan. Semua cita-citanya belum terealisasikan sampai meninggal.

BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN

Kesimpulan :
v  Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Konsep pendidikannya yaitu tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, konsep guru, dan konsep hukuman.
v  Selain Ibnu Sina, Al-farabi juga ada kaitannya dengan pendidikan. Beliau melebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab filsafat Yunani. Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing individu menuju kesempurnaan. Penekanan pendidikan dalam pandangan Al-Farabi adalah akal budi.
v  Al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan. Konsep pendidikan al-Ghazali adalah tentang peranan pendidikan, tujuan pendidikan, pendidik dan murid.
v  Selain itu al-Ghazali, Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Konsep pendidikannya adalah tentang cara mendapatkan ilmu dan sosok ideal seorang guru.
v  Ibnu Khaldun juga seorang tokoh yang menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik.
v  Muhammad Iqbal sudah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam sebuah karya pemikirannya mengenai konsep paradigma pendidikan dan dapat dijadikan salah satu sumber referensi dalam upaya merekonstruksi pendidikan. Konsep peranan pendidik, peserta didik, kurikulum dan lingkungan yang dibangun oleh Muhammad Iqbal sangat sesuai dengan yang diharapkan oleh pendidikkan pada zaman sekarang secara ideal.
v  Penetapan konsep Naquib Al-Attas yang tepat untuk digunakan dalam pendidikan Islam sebagaimana didefinisikan, dalam hal ini adalah ta’dib, bukannya tarbiyah atau ta’lim. Hal ini dikarenakan dalam ta’dib itu sendiri sudah tercakup ketiga istilah tersebut. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan al-Attas adalah insan kamil atau manusia universal. Hal ini merujuk pada pribadi Nabi SAW yang merupakan perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa sedekat mungkin menyerupai Nabi SAW.
v  Hasan Langgulung salah sesorang pemikir Muslim Asia Tenggara  yang banyak mencurahkan perhatiannya pada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terutama pada bidang pendidikan  dan Psikologi. Beliau berupaya untuk memadukan pemikiran-pemikiran barat modern dengan pemikiran Islam. Beberapa pokok Pikiran Hasan Langgulung tentang Pendidikan Islam yaitu, hakekat pendidikan islam, tujuan pendidikan islam, asas pendidikan islam, kurikulum pendidikan islam, dan evaluasi pendidikan islam.
v  Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, dan ibunya Hj. Fathonah. Konsep pendidikan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid adalah pembaharuan pesantren, kebangkitan gerakan inteleqtual dikalangan ummat islam, pendidikan akhlak.
v  Rahmah el Yunusiyah  adalah  sosok  pembaharu dalam pendidikan Islam bagi kaum perempuan di Minangkabau. Ia dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1900 M di kota Padang Panjang. Ia  menciptakan pendidikan modernis menurut modelnya sendiri, yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan mencakup pendidikan formal umum dan agama, latihan berbagai keterampilan yang produktif, dan pendidikan akhlak yang secara eksplisit didasarkan pada agama Islam dan secara implisit kepada adat.


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Suharto, Toto. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Ar-Ruzz Media.
http://alhafizh84.wordpress.com/2012/03/03/2123/
http://syamsul-arifin-pamekasan.blogspot.com/2012/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Postingan Lama