Teori
politik pemikiran Ibnu Taimiyah diawali dengan penelitian kritis
terhadap teori khilafah yang berkembang pada masa Ibnu Taimiyah. Ia
menyinggung adanya kebutuhan akan pendekatan yang lebih kritis terhadap
pemerintahan Islam. artinya, bila perkembangan sejarah tidak terabaikan,
maka prinsip-prinsip teori yang kritis tentu akan terpelihara. Teori
khilafah tidak mampu memenuhi tujuan itu karena terlalu bersandar
sejarah sehingga penelitian yang dimaksud kehilangan kontak dengan
tujuannya semula.
Ibnu
Taimiyah menemukan metodologi yang mempermasalahkan praktik-praktik
kehidupan dan pandangan di masanya yang dianggap menyimpang dari ajaran
Islam. penyimpangan-penyimpangan itu disebabkan oleh berbagai faktor,
terutama taklid buta terhadap perilaku bid’ah atau fitnah yang
menyesatkan. Dengan mengambil peranan sebagai pengontrol terhadap aneka
peristiwa yang ada, Ibnu Taimiyah menyajikan teori politik Islam yang
diharapkan mampu menutup keterbatasan-keterbatasan pada teori tersebut
dengan mengajukan kekhalifahan klasik.
Karenanya,
dengan menolak bahwa praktik sejarah dapat berlaku sebagai dasar bagi
filsafat politik, Ibnu Taimiyah mampu menghindarkan dirinya dari
“kesalahan menilai kekuatan politik yang ada sebagai kekuasaan yang
dilegalisasikan oleh bayangan khalifah”. Ibnu Taimiyah menolak kompromi
bagi kebaikan dan menyajikan kepada ummat cita-cita politik baru yang
Islami, nyata, praktis dan tahan uji.
Ibnu Taimiyah juga menkritik teori Syiah tentang Imamah seperti yang menjadi tema dominan pada tulisannya, Minhaj as Sunnah.
Konsep Syiah tentang Imamah dikatakannya tidak mempunyai dasar dalam
Al-Quran maupun As-Sunnah serta akal sehat. Ia menyebutkan bahwa Imamah
merupakan biang keladi perpecahan dan kelemahan ummat Islam, karena
Syiah sendiri tidak sepakat dalam kepemimpinan seorang Islam. Bahkan
perbedaan-perbedaan mereka tentang masalah tersebut lebih membahayakan
daripada aneka perbedaan pada sebagian ummat Islam yang lain. Konsep
Syiah tentang ummat Imam “yang dinanti” sebagai tanpa celah dan dosa
juga gagal memecahkan aneka ragam persoalan ummat. Ibnu Taimiyah lebih
menyukai bani Umayyah daripada Syiah. Bani Ummayah ia pandang mampu
membimbing rakyat untuk mewujudkan tata pergaulan dunia maupun spiritual
karena mempunyai kepemimpinan dan pemimpin yang nyata walaupun tentu
tidak lepas dari beberapa kekurangan. Sedangkan Syiah yang
menggantungkan diri pada wujud yang tak tampak (ghaib) dipandang tidak
mampu menyajikan pengabdian yang sebenarnya.
Negara dan Masalah Kenegaraan
Bentuk
pemerintahan Islam agaknya tidak banyak menyita perhatian Ibnu
Taimiyah. Bukunya yang membahas masalah tersebut berjudul as-Siyasah
asy-Syar’iyyah (Pemerintahan menurut syariat). Buku ini sedikitpun tidak
menyinggung tentang bentuk konstitusi negara Islam. Buku ini hanya
menampilkan bahasan mengenai urgensi kekuasaan dalam menerapkan syariat
dan kewajiban ummat untuk mematuhinya. Pada bagian akhir penulisannya
berbicara tentang kebutuhan manusia akan adanya konsultasi dan koperasi.[1]
Ibnu
taimiyah menyerang Sunni dan Syi’ah menyerang Sunni dan Syiah. Menurut
pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori
khilafah tradisional maupun teori imamah yang mutlak. ia melihat Islam
sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi, yaitu hukum
Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan
formasinya meskipun menerima negara itu sebagai sebuah kebutuhan agama.
Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah sebuah
pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi.
Kehadiran
Ibnu Taimiyah dengan pandangan tentang syariat sebagai sumber kekuasaan
final dan standar mutlak bagi segala ragam kekuasaan dan kekuatan
menghindarkan sebuah gerakan islam yang teokrasi. Dalam sistem itu,
posisi ulama tidak bisa disamakan dengan kedudukan para pendeta karena
kekuasaan mereka tidak berasal dari ordinasi pemerintah, tetapi berakar
pada pengetahuan mereka tentang syariat, suatu kenyataan yang
memungkinkan setiap muslim berpengetahuan memiliki kedudukan sebagai ‘alim (orang yang berpengetahuan agama).
Menurut
Ibnu Taimiyah, seorang hakim muslim mestinya tidak mengikatkan diri
secara kaku pada suatu tafsiran Al-Quran tertentu, terutama dalam
berbagai persoalan yang sifatnya kontroversial. Suatu pemikiran yang
baik dapat saja diterima meskipun tidak selaras dengan empat mazhab
hukum Islam. Ibnu Taimiyah sendiri juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang
sebagian tidak sejalan dengan salah satu dari mazhab-mazhab tersebut.
Kebebasan berpendapat itu dimaksudkan untuk menyanggah padangan bahwa
ulama “pemerintah” adalah para penentu keputusan terakhir dalam berbagai
masalah sekaligus ditujukan untuk membendung kecenderungan untuk
memonopoli proses pengambilan keputusan. Karena dalil ini pula Ibnu
Taimiyah tidak cenderung mengakui keberadaan ahlul-halli wal-aqli
(dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku pada
teori-teori khilafah tradisional. Semua itu cenderung untuk mengikis
unsur-unsur teokrasi dalam sistem pemerintahan Islam.
Lebih
lanjut, Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kebutuhan manusia akan negara
didasarkan pada akal dan hadist. Argumen rasionalnya terletak pada
kebutuhan universal semua manusia untuk tergabung, bekerja sama dan
menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka
menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional itu juga diperkuat
oleh beberapa landasan Sunnah Nabi saw. Contohnya adalah sabda Nabi saw,
“bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang di antara mereka selayaknya menjadi pemimpin,” dan juga sabda beliau “Enam puluh tahun berada di bawah tirani lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan.” Itulah dua contoh dari hadist-hadist yang dikemukakan.[2]
Hadist-hadist
Nabi saw tersebut menekankan perlunya nasihat bagi pemimpin politik dan
kepatuhan terhadap aturan-aturan mereka sebagai kewajiban agama.
Contohnya adalah, “sungguh, Allah pasti suka jika tiga hal tersebut
dapat terwujud: engkau menyembah kepada-Nya, dan tidak menyekutukannya;
engkau mengikatkan diri erat-erat kepada Allah dan memberikan saran atau
nasihat kepada siapapun yang ditunjuk Allah untuk memimpin kalian.”
Dari hadist-hadist itu Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa praktik
pengukuhan sebuah pemerintahan harus dianggap sebagai tugas agama yang
mesti dipatuhi oleh setiap Muslim disamping sebagai sarana agar manusia
mempunyai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Memang,
istilah negara (daulah) tidak disinggung dalam Al-Quran maupun
as-Sunnah, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat
ditemukan dalam kitab suci itu.[3]
Umpamanya, Al-Quran menjelaskan seperangkat prinsip atau fungsi yang
dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap
perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara. Termasuk di dalamnya adalah
keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Dalam
Al-Quran, juga bisa ditemukan hukum-hukum yang bersifat umumatau hukum
yang secara langsung menyinggung masalah pembagian harta rampasan perang
(ghanimah) atau upaya untuk menciptakan perdamaian.
Subjek-subjek
aneka ragam hukum maupun petunjuk-petunjuknya itu tidak lain adalah
ummat Islam, yang diisyaratkan Al-Quran sebagai kesatuan ummat yang
paripurna. Dengan kata lain, ummat Islam dinyatakan sebagai suatu
masyarakat yang berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain karena
kebijakan yang mereka miliki, yang mendasari sifat-sifat mereka.
Ringkasnya, ummat Islam adalah suatu masyarakat politik yang sanggup
mencukupi diri sendiri.
Lebih
dari itu, berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan
kriminal, distribusi manfaat di kalangan yang berhak menerimanya dan
organisasi jihat tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi
penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional negara inilah yang
seringkali ditekankan Ibnu Taimiyah dalam berbagai pandangan tentang
negara. Ia mengatakan bahwa negara dan agama sesungguhnya saling
berkaitan. Tanpa kekuasaan negara agama berada dalam keadaan bahaya
sedangkan tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah
organisasi yang tiranik.
Dalam
as-Siyasah asy-Syar’iyyah, ia menganggap penegakan negara sebagai tugas
suci yang dituntut oleh agama dan merupakan salah satu perangkat untuk
mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara berarti
menyediakan fungsi yang besar untuk menegakkan sebuah keadilan.
Dikarenakan menegakkan keadilan berarti melaksanakan perintah dan
menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan
bagi munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah.
Tujuan negara sendiri adalah mengubah bangunan dan fondasi serta
kaitan-kaitan masyarakat, bahkan membangun akidah, akhlak, kebudayaan
dan tradisi sosial.[4]
Masalah Konstitusi
Ibnu
Taimiyah memandang masalah dasar hukum dan perundang-undangan dalam
negara bersifat sosiologis dan sebagian bersifat filosofis. Namun yang
lebih mendasar lagi adalah adanya dasar agama sebagai landasan sebuah
negara dan tujuan etika keagamaan yang mendasari gerak laju negara itu.
Perpaduan antara politik dan agama yang merupakan akibat langsung dari
hakekat teologi Islam juga terungkap dalam kawasan teori konstitusional.
Di sini pula jalinan moral dan hukum terungkap sehingga menyulitkan
orang untuk menentukan titik temu antara tujuan moralitas dan permulaan
hukum. Meski demikian, bagi ummat Islam, perbedaan antara hukum dan
moralitas itu nyaris kabur jika ditilik dari sudut syariat, yang
dianggap begitu luas dan mencakup semua aspek kehidupan, material maupun
spiritual di bawah panji-panji hukum yang suci dan mutlak.
Dasar dari hukum syariat adalah empat sumber hukum yang terdapat pada:
- Al-Quran
sebagai
sumber utama dari segala prinsip dan aturan hukum Islam. Menurut
keyakinan setiap muslim, Al-Quran adalah sebuah kitab yang berisi wahyu
Allah swt. Dan segala ragam hukum yang terdapat di dalamnya berada di
atas hukum apa pun yang diciptakan manusia. Mereka juga percaya bahwa
teks Al-Quran tidak sedikit pun mengalami perubahan. Karena Al-Quran
diyakini berasal dari Allah swt. Dan teks-teksnya dianggap suci, maka
setiap muslim wajib mengakuinya sebagai fondasi segala macam
suprastruktur Islam.
- As-Sunnah
Betapapun
kedudukan dan sifatnya suci, Al-Quran tidak cukup memuat seluruh
rincian ajaran yang mampu memberikan solusi alternatif bagi setiap
persoalan yang muncul di setiap waktu. Oleh sebab itulah As-Sunnah atau
Hadist mempunyai kedudukan penting dalam hukum Islam. Sunnah secara
harafiah diterjemahkan dengan suatu praktek kehidupan yang membudaya
atau suatu norma perilaku yang diterima secara komunal meliputi segenap
kata-kata dan perbuatan Nabi saw.
- Ijma (Konsensus)
Ijma,
berarti kesepakatan universal atau konsensus yang bersifat umum. Ijma
melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu
kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan
hukum tentang suatu masalah tertentu.
- Qiyas
Qiyas
adalah metode logika yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang
berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu dengan cara
menetapkan satu kaitan positif atau negatif antara bentuk perilaku itu
dengan bentuk perilaku lain yang diatur dengan suatu prinsip umum. Dalam
islam, metode itu digunakan untuk memperluas hukum-hukum syariat yang
bersifat umum terhadap berbagai kasus individu yang tidak terbatas atas
dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang
telah dijelaskan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih lanjut Qiyas
memiliki berbagai ketentuan berikut seperti: Masalah yang dicarikan
keputusan hukumnya harus berkaitan dengan mu’amalat (tata
pergaulan dunia), bukan ibadat. Serta hasil keputusan tidak boleh
menyimpang dari dari tujuan syariat atau hukum-hukum yang sudah mapan,
dan hasil keputusannya harus membawa manfaat bagi masyarakat.
Telah diketahui bahwa
argumen Ibnu Taimiyah tentang sumber-sumber hukum dan legislsi Islam
dimaksudkan untuk menitikberatkan pada satu masalah pokok yaitu bahwa
sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap dalam kitab
suci Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad saw, yang secara kolektif bersifat
“syariat”.
Rupa-Rupa Permasalahan Politik
Ibnu
Taimiyah dengan metodologi reformisnya, berjuang untuk mengalihkan
perhatian dari lembaga khilafah kepada urgensi atau kewajiban ummat
Islam untuk memiliki kekuasaan politik meskipun ciri utamanya tidak sama
dengan bangunan konstitusi tertentu seperti khilafah atau imamah. Ciri
utama itu adalah penerapan syariat melalui berbagai upaya kerjasama
antara umara dan ulama. Jadi, menurut pendapatnya, suatu negara Islam
tidak wajib mempunyai seorang khalifah sebagai pucuk pimpinan atau demi
menandai ciri umum dalam rangka mewujudkan masyarakat yang “Islami”.
Suatu bentuk pemerintahan yang meletakkan syariat sebagai penguasa
tertinggi adalah gambaran dari pemerintah Islam yang memenuhi syarat.
Ibnu Taimiyah bahkan melihat semua warga di berbagai negara Islam
sebagai satu masyarakat yang disebut dengan Ummah. Dalam berbagai negara
Islam itu setiap individu dapat hidup berdampingan secara damani dengan
individu lain kendati independensi dan konstitusi negaranya
masing-masing tidak sama.
Namun,
syarat pokok yang mendasari kekuasaan negara Islam dengan mendasarkan
segala perilakunya pada ajaran-ajaran syariat memerlukan suatu standar
tingkah laku tertentu atau serangkaian norma yang menjadi basis tegaknya
negara Islam. Dalam pembahasan kali ini ingin memfokuskan pembahasan
pada norma-norma atau praktik-praktik politik tertentu yang mendasari
suatu pemerintahan Islam yang sah.
- Ummah Sebagai Raga Politik
Konsep
terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep tentang Ummah
atau komunitas orang-orang yang beriman. Menurut makna istilah, Ummah
meliputi totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terkait oleh
tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras. Di dalam Ummah
itu segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tiak ada Tuhan kecuali
Allah dan Muhammad adalah rasulNya. Dihadapan Allah semua anggota
mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas atau
ras. Sebuah ayat dalam Al-Quran menyebutkan bahwa ummat Islam adalah
sebaik-baiknya ummat manusia; kriteria inilah yang membedakan mereka
dengan masyarakat-masyarakat lain.
Sisi
lain penting peranan Ummah dalam Islam adalah tingkat solidaritas yang
tinggi. Bentuk solidaritas itu tidak sama dengan solidaritas mekanis
yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu masyarakat dengan
faktor-faktor yang umum seperti wilayah, budaya, dan bahasa (faktor yang
lazim ada pada sebuah bangsa). Solidaritas Islam adalah sebuah
solidaritas organik yang mencitakan dan berupaya menggayuh eksistensi
tujuan yang bersifat umum dan menghendaki partisipasi setiap warganya
untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang
dimiliki sejalan dengan keragaman tugas (kewajiban) masing-masing.
Unsur
organik dalam studi tentang konsep negara Islam menurut Ibnu Taimiyah
itu tidak lain adalah suatu ungkapan tentang realitas dasar serupa yang
terungkap dalam istilah-istilah lain. Ketika menekankan struktur
organisasi masyarakat Islam, Ibnu Taimiyah hanya mengikuti kriteria Nabi
saw. Yang bersabda, “dalam urusan cinta dan kasih sayang, ummat
Islam mestinya mirip sebuah tubuh; jika salah seorang warganya sakit,
maka anggota-anggota yang lain juga merasakan demam dan lemas.” Hadist yang juga menuturkan hal yang serupa adalah, “Hubungan
antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bagian-bagian
dalam sebuah bangunan; masing-masing saling menguatkan.” Makna
kesatuan dan solidaritas itu juga berakar pada tradisi Islam yang
memiliki independensi tersendiri terhadap ragam tantangan kehidupan
politik.
Dalam
batas-batas negara Islam, Ummah memiliki peranan penting dalam
gelanggang politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri sebagai badan
politik yang menjadi dasar negara Islam, tetapi juga “dilimpahi karunia
Allah dengan ciri khusus seperti yang tersurat dalam sabda Nabi saw, “masyarakat tidak akan pernah sepakat dalam kesalahan”.
Karakteristik khusus itulah yang menjadi dasar ide “ijma” sebagai salah
satu sumber hukum Islam seperti yang dikemukakan terdahulu. Ijma yang
merupakan produk ulama itu tidak mengurangi peranan Ummah dalam proses
kehidupan, karena ulama dianggap mewakili seluruh jajaran Islam. Unsur
perwakilan ini tidak hanya memandang remeh peranan kekhalifahan, tetapi
juga enggan memberikan kedudukan yang istimewa kepada ulama.
Lagi
pula, sudah menjadi keyakinan di kalangan Sunni bahwa sejak Nabi saw
wafat, tidak menunjuk seseorang atau sebuah panitia untuk mewarisi
kepemimpinannya, maka tugas tersebut secara otomatis menjadi tanggung
jawab seluruh Ummah. Jadi, Ummah dapat dianggap sebagai satu-satunya
penerus Nabi saw, sedang kadar kekuasaan dan kesuciannya dapat
disejajarkan dengan Nabi saw. Untuk mendukung peranan dan ciri-ciri itu,
ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menegaskan Ummah sebagai pelanjut
kepemimpinan itu. Status ini terbukti dengan tanggung jawab
legislatifnya dalam ijma sebagai media yang mentransformasi “kehendak”
masyarakat (secara teoritis merupakan kehendak Allah swt.) kepada
“hukum-hukum syariat.
- Model Pemilihan: Bai’at
Bai’at
adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. bai’at
identik dengan sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya semua ragam
perjanjian, bai’at melibatkan dua kelompok: di satu sisi, pihak
pemimpin dan masyarakat; di sisi lain, tidak hanya ulama yang berperan
penting dalam proses konsultasi sebelum bai’at terwujud, tetapi semua
pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan
yang turut terlibat dalam proses itu. Perluasan sekup bai’at dengan
melibatkan semua unsur masyarakat yang berpengaruh merupakan salah satu
pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sejalan dengan implikasi elitsi teori
khilafah klasik.
Apresiasi
peranan kekuatan dalam politik oleh Ibnu Taimiyah telah terungkap dalam
pandangannya tentang syarat-syarat pemimpin Islam. Jauh sebelum
menawarkan seperangkat syarat moral dan intelektual, ia menawarkan dua
syarat pokok bagi pemimpin yaitu: kejujuran atau dapat dipercaya dan
kekuatan atau kecakapan. Dasar yang ia gunakan adalah ayat Al-Quran
sebagai berikut,”…sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Syarat lain seperti berpengetahuan luas, bersikap adil dan saleh yang
harus dipenuhi oleh pemimpin. Oleh karena itu, setiap muslim dapat
dipilih untuk menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan atau negara,
bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memperoleh dukungan mayoritas ummat.
b. Memenangkan dukungan ahlusy-syaukah atau unsur-unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
c. Memiliki syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.
- Musyawarah (Syuro)[5]
Konsep
Ibnu Taimiyah tentang musyawarah atau konsultasi sama luasnya dengan
konsep yang dikemukakannya tentang bai’at. Ia menghendaki adanya
musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin seharusnya
tidak hanya meminta pertimbangan dari ulama, tetapi semua kelas dalam
masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang
dinamis. Hanya saja, ada batasan yangmelingkari berlakunya konsultasi
secara wajar. Tidak semua permasalahan dapat dijadikan materi
konsultasi. Misalnya, ajaran-ajaran Islam pokok yang merupakan
dasar-dasar agama tersebut tidak perlu lagi dipermasalahkan atau
dimusyawarahkan. Memusyawarahkan validitas ajaran-ajaran itu justru
dipandang sebagai tindakan yang kufur dan bid’ah.
Ibnu
Taimiyah membatasi musyawarah itu pada “berbagai masalah yang tidak
dijelaskan oleh wahyu”. Andaikata pendekatan Ibnu Taimiyah terhadap
pemerintahan Islam yang didasarkan pada syariat dilihat sebagai suatu
kerangka kerja umum dan bukan konstitusi khusus, maka akan terbuka lebar
kawasan luas yang belum ditegaskan sehingga kreativitas dan imajinasi
menjadi penting. Dengan kata lain, ada ruang gerak yang lebih luas
adanya konsultasi dalam teori pemerintahan Ibnu Taimiyah ketimbang
permulaan teori Sunni periode pertama tentang khilafah atau teori Syiah
tentang imamah. Kedua teori tersebut dibatasi dengan rumusan atau
standar-standar kaku yang berasal dari over-reading atau mis-reading terdapat pada golongan Syiah yang memandang Imamah sebagai bentuk penegasan iman sehingga tak terjamah pembahasan akal.
Menurut
Ibnu Taimiyah, bila kebutuhan akan pemerintahan dianggap perlu, baik
karena alasan-alasan rasional maupun agama, maka bentuknya yang khusus
atau konstitusinya harus ditentukan oleh ummat atas dasar kerjasama dan
konsultasi. Jadi, para pemimpin politik yang dikehendaki oleh Ibnu
Taimiyah adalah mereka yang bersandar pada prinsip syura dan menata
berbagai problema kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, para pemimpin
berkewajiban menerima atau mempertimbangkan berbagai jenis rekomendasi
yang sejalan dengan syariat. Di sisi lain, mereka harus menolak tanpa
memperdulikan akibat apapun yang muncul jika diminta memberikan nasihat
yang tampak bertentangan dengan syariat. Dan jika para pemimpin
dihadapkan pada situasi dengan berbagai pilihan yang harus
dipertimbangkan, maka mereka harus mengadopsi pilihan yang paling
selaras dengan syariat.
Kesimpulan Dan Catatan Kritis
Teori
Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan merupakan contoh kritik yang
meremehkan teori khilafah. Dasar pijakan kritiknya adalah penolakan
terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kekhalifahan tidak mempunyai
dasar konstitusional dari Al-Quran. Memang benar Al-Quran secara khusus
menjelaskan kebutuhan terhadap pemerintahan dan kekuasaan, tetapi tidak
memaparkan secara rinci keputusan konstitusional pemerintahan Islam.
Jadi, di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tidak terdapat dasar pijakan bagi
keputusan konstitusional baku yang melandasi teori khilafah.
Dengan
penolakan tersebut, Ibnu Taimiyah ingin menawarkan sebuah alternatif
pemikiran. Bahwa persoalan pokok dalam teori Islam bukanlah pada lembaga
khilafah, tetapi pada hukum syariat. Meskipun khilafah dikatakan
berpijak pada syariat, namun perkembangan sejarah lembaga tersebut
satu-satunya organisasi politik yang diterima dalam Islam justru
menghantarkannya pada legitimasi tertentu yang tidak lagi sejalan dengan
ajaran-ajaran pokok syariat. Dalam Islam, negara memiliki peranan
penting (instrumental) untuk meraih tujuan-tujuan syariat, sebagaimana
terungkap dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ibnu Taimiyah menghendaki
terwujudnya pemerintahan yang menitikberatkan pada asas konstitusi,
koperasi dan hubungan perjanjian melalui proses pemilihan pemimpin.
Pertanyaan
yang mendasar yang patut dipertanyakan adalah Apakah sistem politik dan
kenegaraan yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah masih relevan dengan
kondisi sosial-politik saat ini? Saya memandang bahwa sistem politik
yang ditawarkan masih relevan dan bahkan menjadi acuan para negarawan
untuk membangun sebuah pemerintahan. Dengan berlandaskan keinginan
rakyat dan memberikan rakyat ruang untuk berpartisipasi dalam politik
saya melihat pemikiran politik masih sejalan dengan asas demokrasi yang
populer saat ini. Menghapuskan sistem kepemimpinan Khilafah dan Imamah
saya pikir Ibnu Taimiyah mempunyai gagasan yang revolusioner dan
pembaruan. Ia tidak ingin rakyat hanya menjadi objek dalam sebuah negara
tapi Ia ingin rakyat menjadi subjek atas negara.
Apakah
sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah dapat dikatakan teokrasi? Pertanyaan
tersebut dapat dijawab bahwa sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah bukanlah
sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi mengakui Tuhan sebagai penguasa
yang sebenarnya dan hukum-Nya ditetapkan sebagai hukum bumi. Ibnu
Taimiyah justru berpandangan bahwa syariat merpakan sumber kekuatan
final dan standar mutlak bagi segala kekuasaan dan kekuatan. Dapat pula
dikatakan bahwa sistem pemerintahan Ibnu Taimiyah bersifat Monokratik[6].
Sistem yang monokratik dalam artian bahwa pemerintahan yang berkuasa
merupakan hukum tertinggi yang menggantikan segala bentuk kekuasaan
lain. Yang jelas bahwa pemerintahan yang berkuasa harus menerapkan
hukum syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Umar. Apakah anda termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Jakarta: PT Bina Ilmu, 1987
Mujtaba, Sayyid. Teolog islam syiah. Jakarta: Al-Huda, 2004
Taimiyah, Ibnu. As-Siyasah asy-Syar’iyyah. Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952
Khadduri, Majid. The Nature of the Islamic State. Islamic Culture 21, 1974
Syariati, Ali. Ummah dan Imamah. Jakarta: Bandar Lampung, 1952
Zahra, Abu. Aliran politik dan aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996
Jindan,Khalid Ibrahim. Teori politik Islam: telaah kritis pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995
[1] Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah [Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952], hlm.181-191
[2] Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah [Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952], hlm.174.
[3] Majid Khadduri, “The Nature of the Islamic State”, Islamic Culture 21 (1974): 327
[4] Ali Syariati, Ummah dan Imamah [Jakarta:Bandar Lampung 1952], hlm.45
[5] Abu Zahra, Aliran politik dan aqidah dalam Islam [Jakarta: Logos, 1996], hlm.93
[6]
Pendapat Prof.Dr.Khadduri tentang beda teokrasi dan monokrasi di dalam
buku, Khalid Ibrahim, Teori politik Islam: telaah kritis pemikiran Ibnu
Taimiyah tentang pemerintahan Islam [Surabaya: Risalah Gusti, 1995],
hlm.84
0 komentar:
Posting Komentar