(LENGKAP) MASA IDDAH, TALAK PERCERAIAN & RUJUK :
Pengertian & Hukum Talak (Talak Raj’i dan Talak Ba’in),
Pengertian & Hukum rujuk, Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya
niat semata tidak jatuh,Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda,
Lafadz-lafadz talak, apakah talak jatuh jika dengan tulisan?
Tatacara Rujuk
Macam-macam Masa Iddah

Didalam
masa iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan
yang telah sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan
didalam rahim, agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa
menunggu dan memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah
yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami
yang telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Masa
iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu :
1. Iddah masa kehamilan,
yaitu
waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang
dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak
kembali kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang
dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh
‘azza wa jalla :
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4
2. Iddah muthlaqah (masa perceraian),
yaitu
masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa
suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah
; 228
Yaitu
3 kali masa haidh.
3. Perempuan yang tidak terkena haidh,
yakni
ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang tidak/belum terkena
haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa haidhnya (menopause),
seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa iddah dua jenis perempuan
ini :
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4
4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat,
Alloh
menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut :
“Orang-orang
yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.”
QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat
ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi, usia
muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi
wanita hamil apabila mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
Demikian
yang kami nukil dari kitab Al-Hadyu An-Nabawi karya Ibnul
Qoyyim (5/594-595 ; cetakan Al-Muhaqqaqah)
=============================
‘IDDAH ISTRI YANG DITALAK

Jawab:
Fadhilatusy
Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjawab, “Wajib bagi istri yang ditalak raj’i untuk tetap tinggal di
rumah suaminya dan haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya,
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Janganlah
kalian (para suami) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak raj’i) dari
rumah-rumah mereka dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar, terkecuali
bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah dan
siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Adapun sikap orang-orang pada hari ini di mana seorang istri bila
ditalak dengan talak raj’i, dengan segera ia pulang ke rumah keluarga
(orangtua)nya, hal ini jelas merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena
AllahTa’ala berfirman:
“Janganlah
kalian mengeluarkan mereka.”
AllahTa’ala
juga mengatakan:
“Dan
jangan pula mereka (diperkenankan) keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Allah
Ta’ala tidak mengecualikan larangan di atas, terkecuali bila mereka (para istri
yang ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata. Setelah itu
Allah Ta’ala berfirman:
“Itulah
hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Lalu
Allah Ta’ala menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal di
rumah suaminya dengan firman-Nya:
“Engkau
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu perkara.”
(Ath-Thalaq: 1)
Maka
sudah sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian terhadap
hukum-hukum Allah Ta’ala dan berpegang dengan apa yang AllahTa’ala
perintahkan kepada mereka. Janganlah mereka menjadikan adat /kebiasaan sebagai
jalan untuk menyelisihi hal-hal yang disyariatkan. Yang penting, wajib bagi si
wanita untuk memerhatikan masalah ini. Istri yang ditalak dengan talak raj’i
wajib tetap tinggal di rumah suaminya hingga selesai iddahnya. Dalam
keadaan/masa iddah tersebut si istri boleh membuka wajah/tidak berhijab di
hadapan suami yang mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri di depan
suaminya, tetap memakai wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya
berbicara dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan
segala sesuatu terkecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan jima’ (senggama)
atau mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada jima’). Karena
istimta’ dengan jima atau mubasyarah hanya dilakukan ketika rujuk.
Si suami boleh merujuk istrinya (dalam masa iddah tersebut) dengan
ucapan, ia katakan, “Aku telah merujuk istriku.” Sebagaimana ia boleh merujuk
istrinya dengan perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
Adapun
tentang ‘iddah istri yang ditalak, kita katakan: Bila istri itu ditalak sebelum
si suami dukhul dan khalwat yakni sebelum melakukan jima’, sebelum si suami
berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya, maka sama sekali tidak ada
iddah bagi si wanita. Dengan demikian, semata-mata talak dan ia pisah dari
suaminya, berarti ia halal untuk dinikahi oleh lelaki lain.
Namun
bila si suami telah dukhul dengannya, berdua-duaan ataupun menggaulinya, maka
wajib bagi si istri untuk ber-’iddah. Tentang ‘iddahnya maka dilihat dari
beberapa hal berikut ini:
Pertama:
Bila ia dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya,
baik waktunya panjang ataupun pendek. Bisa jadi, si suami mentalaknya pada
waktu pagi dan sebelum dhuhur ternyata ia telah melahirkan kandungannya, yang
berarti berakhir iddahnya. Bisa pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan
Muharram dan ia belum juga melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah
hingga ia beriddah selama 12 bulan. Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya
dengan melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya
masa yang dijalani). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan
istri-istri yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan
kandungan mereka.” (Ath-Thalaq: 4)
Kedua:
Si istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih mengalami haid
(belum menopause), maka iddahnya tiga kali haid yang sempurna setelah ia
ditalak. Dengan makna, ia ditimpa haid lalu suci, beberapa waktu kemudian ia
haid lagi lalu suci, dan waktu berikutnya (kali yang ketiga) ia haid lagi dan
suci. Inilah tiga haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang di
antara ketiga haid tersebut atau tidak panjang. Berdasarkan hal ini, bila si
suami mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan
ia tidak mengalami haid terkecuali setelah lewat dua tahun2 maka ia terus dalam
masa ‘iddah sampai datang haid padanya sebanyak tiga kali sehingga ia menjalani
masa iddah selama dua tahun atau lebih. Yang penting, wanita yang masih haid
berarti iddahnya tiga kali haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang
ataulah pendek. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan
istri-istri yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama
tiga quru3.” (Al-Baqarah: 228)
Ketiga:
Si wanita tidak mengalami haid, bisa jadi karena usianya yang masih kecil
sehingga haid belum menimpanya, atau karena sudah tua, telah mengalami
menopause, maka iddahnya tiga bulan. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan
wanita-wanita yang tidak haid lagi (menopause) dari istri-istri kalian (yang
kalian talak), jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka tiga
bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum mengalami haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Keempat:
Bila si wanita tidak lagi mengalami haid karena suatu sebab yang diketahui
bahwa haidnya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia tidak akan mengalami
haid lagi selama-lamanya) seperti rahimnya telah diangkat, maka wanita yang
seperti ini disamakan dengan wanita yang menopause. Ia beriddah selama tiga
bulan.
Kelima:
Bila si wanita tidak mengalami haid dalam keadaan ia tahu apa yang menyebabkan
haidnya tertahan, maka ia menanti sampai hilang penyebab yang menahan haidnya
dan menanti haidnya kembali lagi. Lalu ia menghitung iddahnya dengan haid
tersebut.
Keenam:
Bila si wanita tidak mengalami haid dan ia tidak tahu apa penyebabnya maka para
ulama mengatakan si wanita beriddah selama setahun penuh. Dengan perincian,
sembilan bulan untuk masa kehamilan dan tiga bulan untuk iddah.
Demikianlah
pembagian iddah istri yang ditalak.
Adapun
wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’4 atau selainnya,
maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid. Bila seorang istri
meminta khulu’ kepada suaminya dengan ia atau walinya memberikan ‘iwadh kepada
si suami agar si suami mau melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si
suami meluluskan permintaan tersebut dengan mengambil ‘iwadh yang diberikan,
maka cukup setelah perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haid.
Allah
llah yang memberi taufik. (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
2/797, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah fil ‘Aqa’id wal
Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hal. 1028-1030)
1
Talak yang bisa dirujuk dalam masa ‘iddah, yaitu talak satu dan dua.
2
Karena biasanya ibu yang sedang menyusui tertahan haidnya.
3
Tentang quru ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haid dan ada pula
yang mengatakan maknanya suci dari haid.
4
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Fathul Bari menyatakan bahwa khulu’
adalah seorang suami melepaskan istrinya dari ikatan pernikahan, dengan cara si
istri memberikan iwadh/sejumlah harta untuk menebus dirinya kepada suaminya.
====================================
Penjelasan Sederhana Tentang Talak
(perceraian), Rujuk dan Iddah
Al-Ustadz
Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty

TALAK
(PERCERAIAN)
Pembahasan
Pertama: Pengertian talak
Talak
secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara
syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara
menyeluruh atau sebagiannya. (Al-mulakhos Al-Fiqhiy : 410)
Pembahasan
Kedua: Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil
dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ
مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil
dari Sunnah
Diantaranya
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya
dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ
تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ
يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ
لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan
kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai
suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah
kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya
(mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah
seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat
langsung menhadapinya (iddah)” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata
Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “Sungguh telah dihikayatkan
adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy : 411)
Pembahasan
Ketiga: Hukum Talak
Berkata
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan : “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh,
terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang
hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy : 410)
- Makruh
Talak
yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat
(alasan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya
berjalan dengan baik.
- Haram
Talak
yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i.
Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita.
dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam keadaan
haid
Kedua : Suami menjatuhkan thalaq kepada istri pada saat suci
setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
- Mubah (boleh)
Talak
yang hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk
menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena
perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak
sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
- Sunnah
Talak
yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya
serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun
sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai
suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti
ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman
firman Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
- Wajib
Talak
yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak
akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan -ed.) setelah masa penangguhannya
selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya.
Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim
yang menjatuhkan thalak teersebut. (Silahkan lihat Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy, Fiqih Muyyasar dan yang lainnya)
Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun
hanya niat semata tidak jatuh.
Talak
hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan,
tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya
kecuali dengan di ucapakan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak
jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ
اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ
تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya
Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama
tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR.
al-Bukhari : 5269 dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414)

Pembahasan Kelima: Tentang Yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak
sah jika dari suami yang baligh, berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa
yang dipilih, atau orang yang mewakilinya. Talak tidak jatuh (tidak sah)
dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan
orang yang dalam keadaan marah yang sangat sehingga menutup akalnya dan tidak
sadar dengan apa yang di ucapkannya.”(Fiqih Muyyasar : 305)
Diantara
dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat
pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil
sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud:4450, at-Tirmidzi:1423 dan Ibnu
Majjah:2041)
Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda
Seseorang
yang mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau
“kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak
kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini
berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga
perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang
bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud 2129, at-Tirmidzi : 1184 dan Ibnu Majjah :
2039 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ : 1826)
Pembahasan Ketujuh: Tentang Lafadz-lafadz
talak
Talak
bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
- Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.
- Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai talak, atau adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada maksud tersebut. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.”(silahkan lihat Minhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413, Fiqih Muyyasar).
Pembahasan Kedelapan: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq
dan Tanjiz
Talak
bisa jatuh dengan munjazah (langsung) atau mu’alaqah (terikat dengan syarat)
Al-Munjazah
: yaitu talak yang sejak dikeluarkan
perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga seketika itu jatuhlah
talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
Mu’allaqah: yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak
tergantung pada syarat. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat
itu kamu tertalak.
Pembahasan Kesembilan: Tentang apakah talak jatuh
jika dengan tulisan

Pembahasan Kesepuluh: Tentang seseorang yang
Ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata
Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “apabila ragu-ragu akan jatuhnya
talak, dan yang di inginkan dari ragu-ragu apakah terjadi talak darinya, atau
ragu-ragu bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
- Apabila ragu-ragu telah jatuh talak darinya, maka istrinya tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
- Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah. Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana penjelasan yang lalu.
- Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413).
Pembahasan Kesebelas: Tentang talak sunnah dan
talak bid’ah
- Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
Talak
sunnah adalah talak yang terjadi sesuai
dengan syar’i. Yaitu seorang suami menceraikan istrinya dengan ucapan satu kali
talak dalam keadaan suci yang pada saat suci sang suami belum mencampurinya,
dan membiarkannya serta tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya sampai
habis masa iddahnya.
Talak
bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya
dalam bentuk yang haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali ucapan
(lafadz). Atau mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak istrinya
dalam keadaan suci namun setelah digauli yang tidak diketahui hamil tidaknya.
Hukum talak seperti ini haram. (Fiqih Muyyasar : 305, Mulakhos Al-Fiqhy
: 413).
- Hukum talak sunnah dan talak bid’ah
Hukum
talak sunnah : Para ulama sepakat bahwa talak
sunnah jatuh sebagai talak.
Hukum
talak bid’ah : diharamkan atas suami untuk mentalak
dengan talak bid’ah, baik pada jumlah bilangan (sekaligus tiga –ed) atau pada
waktu (ketika haid –ed). adapun dari sisi jatuh tidaknya talak, maka jatuh
talaknya dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu
Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk merujuknya. tidaklah rujuk kecuali
setelah terjadinya talak. (Silahkan lihat Fiqih Muyyasar : 305)
Pembahasan Keduabelas: Tentang Talak Raj’i dan
Talak Ba’in
Seorang
suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk menalak istri yang telah
digaulinya sebanyak tiga kali. Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam
- Talak Raj’i
Talak
raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk
merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah, tanpa tergantung
persetujuan istrinya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua
yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau
walaupun istri tidak rela dirujuk.
- Talak bain
Talak
bain ada dua macam :
Pertama
: Talak ba’inunah shugra (perpisahan
yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki
peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya. Jika ingin kembali dengan akad
nikah yang baru dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu
terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah
selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak
yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli (berhubungan suami
istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal bagi suami
untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (mantan istri -ed)
atas persetujuan istri dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada
pada masa iddah sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.
Kedua
: Talak ba’inunah kubra
(perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak
ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Jika ingin
kembali atas persetujuan istri (baca mantan istri -ed) dan dengan akad nikah yang
baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah
melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau
suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
Contoh
talak tiga, seorang suami menalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa
iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu menalak lagi, kemudian
merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu
dia menalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang
menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.
RUJUK
Pembahasan Pertama: Pengertian Rujuk
Rujuk
adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada
keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad.
Pembahasan
Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma disyariatkan rujuk
Dari
Al-Qur’an
أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah.” (Qs.
Al-Baqarah : 228)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره
فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh
dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan
suci atau sedang hamil.” (HR.
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata
Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : berkata Ibnul Mundzir“Para
ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang bukan
talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua maka baginya
ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulskhos Al-Fiqhiy : 416)
Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan
beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
- Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
- Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah. Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada pada rumah suaminya. Begitu juga haram hukumnya seorang istri yang tertalak dengan talak pertama atau kedua menawar-nawarkan dirinya untuk dinikai oleh orang lain dalam masa iddahnya, karena statusnya masih istri dari suaminya.
Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk
Rujuk
adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini
tanpa ada syarat kerelaan istri. Tatacara merujuk harus sesuai syar’i:
- Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak.
- Prosesnya
-
Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai
niat.
-
Menggauli istrinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh
karena itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i tidak boleh
menggaulinya tanpa niat rujuk.
Pembahasan
Kelima: Mempersaksiakan talak dan rujuk
- Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
- Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur.
IDDAH
Pembahasan Pertama : Pegertian iddah
Iddah
adalah sebuah nama untuk jangka waktu tertentu seorang istri menunggu
setelah dicerai oleh suaminya, atau ditinggal mati oleh suaminya atau untuk
memastikan kosongnya rahim.
Pembahasan
Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil
dari Al-Qur’an
Allah
Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Dalil
dari Sunnah
عَنِ
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari
Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha
mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah
dia.” (HR. Bukahari : 5320)
Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak
hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
-
Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya
nasab
-
Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk
apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
-
Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada
saat hamil.
-
Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan
dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
-
Memperlihatkan rasa sedih karena baru ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita
menahan diri untuk tidak berdandan,
hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan
lihat Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan : 419-420, Fiqih Muyasar : 317)
Pembahasan Keempat: Macam-macam iddah
- Iddah dengan quru’
- Iddah dengan beberapa bulan
- Iddah dengan melahirkan
Penjelasannya
secara singkat.
Iddah
dengan quru’ dalilnya Firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ 4
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Para
ulama berselisih pendapat tentang makna quru’.
Pendapat
pertama: Quru’ adalah haidh ini
pendapatnya para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, dan para ulama dari
kalangan madzhab Hanbali dalam satu riwayat.
Pendapat
kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci,
bukan haidh. Ini pendapatnya para ulama dari kalangan madhzab Maliki, madzhab
syafi’i dan madzhab Hanbali dalam riwayat yang lain.
Wallahu
ta’aala a’lam bis shawwab adapun kami cenderung dengan pendapat yang pertama
yang memaknai quru’ dengan haidh. Jadi macam iddah yang pertama dengan tiga
kali haid.
Iddahnya
dengan beberapa bulan
Dalilnya,
firman Allah Ta’aala:
وَاللائِي
يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
“dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.”(Qs. Ath-Thalaq : 4)
Pada
ayat ini memberlakukan iddah selama tiga bulan pada dua jenis
wanita :
1.
Wanita yang sudah memasuki usia menopause (tidak haid lagi)
2.
Wanita yang belum pernah haidh karena masih kecil
Iddahnya
dengan melahirkan
Masa
iddah wanita yang hamil itu berakhir dengan melahirkan, sekalipun itu
berlangsung hanya sebentar setelah perceraian. Dan hal ini berlaku bagi wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikan. Tetapi bagi selain wanita
hamil yang ditinggal mati oleh suaminya masa iddahnya empat bulan
sepuluh hari
Itu
penjelasan sederhana lagi ringkas yang bisa kami bawakan disini dari kitab para
ulama semoga bermanfaat. Wallahu Ta’aala A’lam bis Shawwab.
Selesai
ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Priuk
Jakarta Utara
10
Rabiul Awwal 1434H/22 Januari 2013
Sumber
bacaan
Minhajus
Saalikiin Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos
Al-Fiqhy Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih
Muyyasar kumpulan para ulama
0 komentar:
Posting Komentar