DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA (STUDI PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu
menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa
tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive
pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan
perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan
kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi
politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal
Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi
bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan
Agamawan, khususnya Islam.[1]
Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan
kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai
asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa
dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang
menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat
untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai
politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan,
tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul
polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung
kekakalahan.
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi
ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian
menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan
ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali
pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi.
Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,[2] khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?
Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran
Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman
Wahid[3]
tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua
tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam
dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat
ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis,
yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada
alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah
Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis,
yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail
tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang
terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler,
Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini
Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama
aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[4]
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur
memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya
dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis,
dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh
modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam
istilahGreg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional
tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan
tetap setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan
kebenaran al-Qur’an tidak perlu diganggu gugat.[5]
Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama,
secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu
integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan
negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (background)
yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik
tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum
tradisionalis,[6] yaitu NU yang nota bene
orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan
Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang
cenderung ala Ali Abd al-Raziq,[7]
sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru
lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti
al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar
negarakarena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat
adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.[8]
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia
apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh
tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan
negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan
penelitian ini dilakukan.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara
bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada
penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno
konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini
berazaskan ideologi Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”.[9]
Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di
Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan
bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan
beragama dan bernegara.[10]
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara,
M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak
melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak
mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna.[11]
Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai
sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras
memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.[12]
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan
agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul
bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal.[13]
Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah
ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan
agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[14]
Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah
ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor
inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok
muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan”
di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim
dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul,
sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah
pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas
bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus
Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya
tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.[15]
Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima
ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya
adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan
tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas
ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti
jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja
karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi
dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan
pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman
yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif
neo-modernisme.”[16]
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan
nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi
keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di
Indonesia selama ini.
- B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa
ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur
mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai
demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini
bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab
itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
- Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?
- Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
- Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover)
dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping
itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
- C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan
Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang
lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus
Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut
dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial,
pendidikan dan politik.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi
kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik
Indonesia saat ini.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
- Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
- Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.
- Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
- D. Telaah Pustaka.
M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh
pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh
masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun
gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi
dan aksi politik.
Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua,
pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di
Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus
Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi
pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya
difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji
perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus.
Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa
perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi’i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
Karya ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian
menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan
politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya.
Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena
lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at Islami (Pakistan)
karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada
partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M.
Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan
fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus
kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998)
yang menjelaskan relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan
kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim
secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya
komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis
juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai
azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance
yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya
mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan
dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil
penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat
pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai
asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi.
Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak pola pemikiran kedua tokoh
tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini penulis
lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori
politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh
tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais
yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih menyoroti
tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan
demokratisasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara
karya Ma’mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus
kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi
Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya
asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan
artikel media.
E. Kerangka Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia
membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam
untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas
itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu
memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin
kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah.
Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyahialah
wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum
demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.[17] Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu
merupakan salah satu dari epistimologi syari’ah. Dengan syarat bahwa:
1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari‘ah (Al-qur’an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.[18]
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari’ah meskipun tidak tercover
secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta dan kehormatan.[19]
Objek kajian fiqih siyasahatau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut
Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan
yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama
yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan
mereka.[20] Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah
meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan
Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam
mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan
kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak
dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.[21]
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak
lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi
menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari’ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih),
karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi
maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah
mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan
bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.[22]
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati
posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan
negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan.
Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting
bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar
al-Qur’an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif),[23] sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini,
penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran
yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda
dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada
tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran konservatif tradisionalis,
yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam
adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis,
yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail
tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh
aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler,
yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena
menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan
negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[24]
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan
beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis
penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan
Fazlur Rahman.[25] Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, [26] Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,[27]
ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang
sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan
sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan
Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.[28]
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan
gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui
partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk
merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu
dengan pertumpahan darah.[29] Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi.[30] Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq,[31]
menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan
syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan
sebuah negara Islam (Khilafah).[32]
Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara
yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia
menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin
negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa
dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui
perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus
bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.[33]
Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma’ yang shahih,
alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja
ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana
bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.[34]
Fazlur Rahman,[35]
pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi
al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, menurut Rahman, umat merupakan suatu
“penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam
diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan
kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.[36]
“Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata
tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika
yang sah dan viable.[37] Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.[38]
كنتم خير أمـﺔ أخرجت للنـاس تأمرون بالمعروف وتـنهون عن
المنكروتؤمنون بالله ولوأمن أهل الكـتاب لكان خيرالهم منهم المؤمنون
وأكثرهم الفاسقـون ! (ال عمران: ١١۰)
الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع
الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله
كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز! (الحج:٤٠)
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura
yang merupakan nilai dasar al-Qur’an bisa dikembangkan menjadi sebuah
institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi
apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.[39]
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya,
menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap
tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir
kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan
demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu
antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman
meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan
Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.[40]
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh
Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam
membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun
yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya
karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham
tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain
pula.
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur,
sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga
diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun
paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi
jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data,
pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
- Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research),
yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber
utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk
memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.[41]
- Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif
adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam
masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang
dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan
fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis
dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang
melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih
memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan
pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya
mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
- Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari
kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang
dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji
tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang
relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
- Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan
normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji
dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya
penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan
negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis
yaitupendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu
merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan
sosio-politik yang mengitarinya.[42]
Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan
kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan
dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam
masalah ini.
- Analisa Data
Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.[43]
Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan
negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit
dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi
dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah
terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara
keduanya.[44]
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun
membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah
pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir
sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul
dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang
tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia
dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu
karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu
modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua
perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan
Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku
politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di
Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara
yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli
terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi
dan dasar negara.
Bab keempat menganalisa pemikiran kedua
tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang
demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan
kedua tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan
perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha
menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh
politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat
ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan
saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak
signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan
memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan
Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para
penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang
berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah
menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya
sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di
kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi
didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan
diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris
yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam
kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan
Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi
indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan
berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[45]
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik
Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan
ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam
sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara,
peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara
ini.[46] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam
Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim
membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi
kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap
keempat 1965 sampai sekarang.[47]
Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya
perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia
secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai
upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[48]
dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan
dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada
tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.[49]
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa
persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung
lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda
dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara
Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini
yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti
Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu
kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[50] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag
(Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan
untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya
sebagai alat mencapai kemerdekaan.[51]
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini
belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat
itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu
aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama
kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[52]
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama,
dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini
Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan
kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[53] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[54]
Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di
antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili
Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan
nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama.
Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas
agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan
Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota
mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[55]
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu
ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang
lagi dari Jepang yakniIchibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan
anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan
Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto
Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+
20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari
nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok
nasionalis-sekuler.[56] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam
yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H.
Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim,
Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan
wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman
Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro,
Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin,
untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat
dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di
tangan kelompok nasionalis. [57]
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang
malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri
(atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil
BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari
kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul
Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno,
Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[58]
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang
paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras
dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota
mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah
akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta
yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[59]
kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam
kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa
karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata
telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[60] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara
merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan
kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat
Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara
dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan
keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang
mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang
sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[61]
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya
mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila
pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[62]
Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam
terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945
dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI
yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang,
kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang
menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota
dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan
Kasman Singodimedjo.[63]
Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak
melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD
dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih
adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara
kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur
Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan
pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan
rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi
konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka
melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari
Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15
menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[64]
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[65] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama
dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan
keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan
negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[66]
Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal
ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam
menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan
saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam
semesta.[67]
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun
1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan
Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem
dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim,
seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan
tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo,
Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai
sekarang. [68]
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek
pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim
lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di
Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia
sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak
bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di
bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang
memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[69]
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik
tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara
berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat
tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[70]
Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus
dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif
dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab
itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam.
Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[71] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[72] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[73] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[74] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[75]:
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus
dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak
perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam
pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai
sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga,
sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti
konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama
harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara, [76]
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat
menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara
muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori
pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia
tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun
konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam
dijadikan dasar negara.[77]
Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik
nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk
ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak
pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan
yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik
ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa
diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi
data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung
gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan
daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni
memisahkan negara dari persoalan agama.[78]
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di
Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan
kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun
Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini
tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita
negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang
diharapkan bersama.[79]
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan
kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang
muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya
(negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.[80]
Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945,
Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik
Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda
seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia
yang ber-ruh Islami ini.[81]
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap
Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang
menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua,
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.[82]
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula
istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah,
imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah
negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut
mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
- a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).[83]
menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau
wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang
pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.[84]
Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara,
selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang
bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa
muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam
wilayahnya.[85]
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam
politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah
pada pertengahan abad delapan.[86]
Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada
daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah
Abbasiyyah).[87]
- b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab
yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik
sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik
(ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[88]
Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin
Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah ,
menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik
daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan
merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[89]
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam
politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu
Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.[90]
Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali
pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di
Arabia.[91]
- c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam
juga sering digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara.
Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala
negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan
ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara.[92]
Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan
dua istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu
kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan mensyiarkan Islam ke
seluruh penjuru dunia.[93]
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).[94]
- d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.[95]
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure
Islam memang tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian
patut diteliti apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini
bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi
perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak
pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang
membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar
negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena
mereka bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh
penjuru wilayah negara, M. Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra
dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan
salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan
Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk
menerapkan Syari‘at.[96]
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu,
bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran
yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk
mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang
terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari
Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin
Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri
1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin
Perang Aceh tahun 1872-1912).[97] Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas
dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai
organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum
Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi
konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan
tahun 1912), gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun
1912, dan organisasi Tradisionalis NU (didirikan 1926).[98] Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas
dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa
kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa
Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai
pemeluk Islam”.[99]
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan
praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford
Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.[100]
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim
tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas
di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah
mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik
Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.[101]
Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini
memiliki implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam
politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam
melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962.[102]
Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem
kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme
Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa
Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan
mendasar antara partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam.
Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama
memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua
dengan kekuatan illegal.[103]
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini,
baginya cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi
tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M.
Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan
simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk
Kepala negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada
substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak
berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya karena terburu
menggunakan kekerasan.[104]
Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian
kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang
kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan
partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi[105]
dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara
perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati
terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager,
Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta
(1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga
membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang
Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan
komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong
pemberontakan ini.[106]
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno
membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat
dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha
menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme,
dan komunisme Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep Pancasila,
melainkan juga sebuah konsep NASAKOM,[107]
yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang
labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan
politisnya jelas saling berlawanan.[108]
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan
negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita
dalam memahami bab-bab berikutnya.
B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika
pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide
pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.[109]
Di sisi lain, masih terdapat kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh
para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis kelompok
tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas
antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam”
adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif
yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif
Tuhan.[110]
Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai
dengan konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap
pesan Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus
diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan
Indonesia wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik
dan debat yang tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan
hangat mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas
sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya,
yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari
setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang
konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno
melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan
Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan
mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya
Islam mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan
cara yang bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya
dirasakan tapi juga diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini
telah menempatkan Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.[111]
Akhirnya, situasi inilah yang
mendorong pemikir Islam Indonesia generasi kedua (sejak tahun 1970-an),
yang kemudian sering disebut sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam
pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual
karena trauma politik yang membekas para aktivis politik saat itu, baik
dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini
tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan
pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan
kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang
mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi
Islam,[112]
Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren;
dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam
konteks Indonesia.[113]
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas
Islam kultural dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan
inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis,
dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme
yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.
Pertama,aliran konservatif, yang
berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada
alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah
Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran modernis,
yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail
tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang
terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler,
Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini
Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama
aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein[114]
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada
kategori kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun
klasifikasikan kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis.
Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang,
bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari
hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis,[115] yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya
menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum
idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural
yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.[116]
- 1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke
20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat
Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama kali di
Indonesia yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan.[117]
Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu
yang lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.[118]
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong
kesadaran akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan
sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme
seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan
sunnah secara murni”.[119] Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan
penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam
perspektif modernis karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis
katakan rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di
dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian
demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,[120]
sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai
dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara
utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.[121]
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.[122]
Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari
kalangan modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,[123] sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.[124]
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu
penyusun tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran
pemikiran yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap
menerima sistem Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam. Sebenarnya secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde
Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah.[125]
Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang
konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai
hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara
totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai
sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam
nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam.[126]
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara
Islam secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan
Sunnah telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di
zamannya.[127]
Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab
selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun
bahas dalam bab selanjutnya.
- 2. Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur
Rahman, menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme
memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran
ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah
kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu
apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.[128]
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,[129] dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment
(pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali
terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu
kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, [130] sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح !
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan
usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis
dengan kaum Islam modernis.[131]
Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun
1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang
mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua
ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.[132]
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua,
aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat
sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide
liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga
mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi
dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam
mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh
mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat
mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal,
khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme
selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran
Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial
dan humoniora.[133]
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim
Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo,
dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.[134]
Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun
hadapkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis
yang latar belakang sosialnya berasal dari golongan tradisionalis,
meskipun Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah di tahun 1990-an, tetapi dia tergolong akomodasionis
terhadap sistem sosial yang berlaku di Indonesia.[135]
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih
suka menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam
sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi,
politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang
paling utama mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid
dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam
berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi
Islam ideologis tidak pernah berhasil.[136]
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di
Indonesia dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka
fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang
lebih baik melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,[137]
hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah
sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan
menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[138]
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini
mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu
mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran
Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah
harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam
kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah” (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.[139]
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun
neo-modernisme dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda,
karena secara teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran
tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan realistik.
Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem negara
yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian
menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun
kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik
lebih tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang
menekankan pada substansi bukan sebuah bentuk formal, [140] dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa
di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk
mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya
masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan
pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk
memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang
memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan
mereka adalah penjaga syari’ah.[141]
Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan
pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang
menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan
bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak
bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan
agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di
kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh
geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor
organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
- 1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir
tidak pernah luput dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih
memperjuangkan cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu
bangsa karena mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3
April 1950, yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir.[142]
M. Natsir berasal dari Sumatera Barat, daerah yang memang banyak
memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional, baik dalam bidang politik,
pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus
Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.[143]
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab
dengan dunia politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari
masyarakatnya sendiri yang terdiri dari sejumlah republik
(negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku
keluarga yang didasarkan pada suatu sistem Matriarchat.[144] Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu,
melahirkan para gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang
dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan
Islam Mesir. Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara
langsung kepada tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan
gagasan-gagasannya M. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.[145] Salah satu tuntutan gerakan ini adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan
Islam ini disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang
berdiri waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli ketika niat sholat.[146]
Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas Syeikh Ahmad Khatib
selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat setempat.[147]
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam kehidupan masyarakat. Pertama,
gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan tradisionalis dan
Kepala suku. Akibatnya masyarakat terpolarisasi menjadi kaum adat dan
puritan. Kedua, gerakan ini membawa perubahan-perubahan positif
bagi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, sehingga
mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti yang di tulis
Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi di atas,
antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan.
Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami
ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta
masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau
dan melahirkan banyak madrasah agama.”[148]
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H,
bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan
Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris
Sutan Saripado Dan Khadijah,[149]
pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis
di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit
melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (HollandInlandischeSchool) Adabiyah[150] dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO[151]
(Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir mulai terlibat
organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di
Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua
organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat
dari MULO dan melanjutkan ke AMS[152] (Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung. [153]
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak
menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan
kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya
bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan
orientalisme.[154]
Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa;
Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa
Indonesia.[155]
Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus
terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya
bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah
satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci
dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu
pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang
bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi(abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.[156]
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim.[157]
Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan
para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan,
dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.[158]
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam
yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari
pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan
Islam yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh
pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur,
seorang tokoh pembaharu di Padang.[159]
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung[160],
Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad
Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan
organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam
dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi
ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim
modernis pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.[161]
Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama,
Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat
bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang
berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian
Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang
digunakan sangat berbeda dengan para ulama lainnya.[162]
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial
masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir.
Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum
adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan
kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak
terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu
pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian
ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia
berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di
antaranya Jong Islamieten Bond [163](the
Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB
berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan
perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian
membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi
anggota JIB cabang Bandung.[164] Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota ini juga.
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih
dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak
mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang
dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama.[165]
M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis,
apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang
diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang
belajar di sekolah menengah Belanda.[166]
Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam [167]
yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam
bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian
besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan
publikasi.[168] Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini.[169]
Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang
menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang
dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan
pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung sebagai juru bicara,
pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.[170]
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia
juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di
AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak
mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani
dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.[171]
Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21
tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris,
Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan
mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki
Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk
mengantarkannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi
Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa
tersebut karena kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.[172]
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda,
mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang
menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa
telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang
mendapat keuntungan bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan
bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa
rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin
menderita karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.[173]
Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia
mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya.
Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih
dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat
ditentukan oleh perjuangan politik rakyat.[174]
Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran politik Natsir pasca
kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita
politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap
kalangan nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan
kalangan sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir.
Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.[175]
Organisasi ini berbasiskan anggota di Bandung, tempat di mana Natsir
mengembangkan pemikiran politik dan agamanya. Sebagai aktivis Persis
yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir tertarik dan seringkali
mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan Soekarno, hanya saja ia
tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-aturan agama.[176]
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian
mempengaruhi perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk
dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan
selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah
keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu
Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi
revolusi yang bergolak untuk menentang tentara kolonial yang hendak
kembali lagi ke Indonesia.[177]
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini
datang dari sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam
Indonesia yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah
Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim,
Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman
Wiryosajoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.[178]
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama
beberapa periode, dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya
Masyumi yang kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi
didirikan atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan
Zuama dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia,
Yogyakarta.[179]
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M.
Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih
sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952,
1954, dan 1956.[180]
Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam
organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam
Indonesia.[181]
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama
sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus
menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya
memisahkan diri dari keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan
partai politik sendiri.[182]
- 2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan
tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan
dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto
sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan
jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.[183]
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan
kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di
dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan
Kristen, Fasis Atau Komunisme.[184] Dengan berdasarkan H{ujjahnas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan[185]:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون ! (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim
di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang
sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.[186]
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang
menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di
antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang
kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama
makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap
masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang,
yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.[187]
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama,
faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan
pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis
sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan
muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup
reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.[188]
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu,
wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena
isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara
agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.[189]
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa
pemikiran-pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang
sedang terjadi di Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan
memposisikan Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik
Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia
tentang sendiri.[190]
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh
Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah
ikut mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam.
Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara
Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum
merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang
Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara
Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>).[191]
Dari pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir
telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya
dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara
Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam
membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan
manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang
terserang penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang
beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan
oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.[192]
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.[193]
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang
menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas
alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam
mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran
Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam
menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.[194]
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir
bersama-sama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar
negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua,
adanya fakta normatif yang jauh sebelum Pancasila lahir, umat Islam di
Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam dalam kehidupan
sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat kuat
tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya
yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.[195]
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna.[196] Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam.[197] Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga,
kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia,
Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi
bangsa Indonesia.[198]
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa
ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan
dua premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih
banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran;
sedangkan dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak
mengakui adanya wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.[199]
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri,
yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk
Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam
menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran
Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan
dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk
di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di
nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam
yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan
tersebut.[200]
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang
terkesan tidak konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia
berpendapat bahwa sudah sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena
secara sosiologis umat Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya,
sedangkan dalam kesempatan lain ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di
kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar
negara kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran
Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai
sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta
dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara
berbagai golongan di dalam negara ini”.[201]
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.[202]
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan,
bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang
maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal
harus dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara
disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun
praktiknya.[203]
Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam
klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan
kehendak-kehendak Islam.[204]
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak
perlu memberi definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan
pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak
pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun,
Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus,
Hobbes, Rosseau dan lain sebagainya.[205]
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai
hak, tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan
atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh
alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.[206]
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila[207] :
- Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
- Diakui oleh masyarakat.
- Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
- Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
- Berdasarkan atas paham hidup.
- Mempunyai keanggotaan.
- Mempunyai daerah berlakunya.
- Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
- Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
.
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus
mempunyai: a) wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E)
Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang
tidak tertulis. [208]
Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa
dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat
negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur
dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan
masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat
manusia, baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan
lain sebagainya.[209]
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara
bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.[210] Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara
bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan
aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia
menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban
belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan lain-lain.[211] Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan
berlakunya undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan
manusia sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.[212]
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang
menyuruh dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno,
bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit persoalan.[213]
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi
negara nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan
negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada
sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja
merupakan sebuah negara.[214]
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di
atas, menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti
Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam
karena telah menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula
Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya
negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami
tidak dinyatakan tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak
mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief)
telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang
berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.[215]
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan
sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan
sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah
bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu
yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan
Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran
al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri,
Pancasila telah mencakup cita-cita islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi
dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan
setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.[216]
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan
pendiriaannya, pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak
Pancasila sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai
hasil ciptaan manusia dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i
Ma’arif memandang bahwa mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam
majelis karena telah terjadi pengaburan interprestai Pancasila yang
dibuat-buat oleh masyarakat kita.[217]
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan
ia menyatakan bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan
pendapat dan pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan
pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa
kesempatan inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .[218]
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa
penerimaan Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan
ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut,
ia sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai
dasar dan ideologi negara.[219]
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di
atas, dengan mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis,
memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan
menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak
Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang
harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun
1957? Atau malah tidak kedua-duanya.[220]
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima
Pancasila sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945
sampai tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957.
Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang
konstituante tersebut secara konstitusional adalah sah, karena pada saat
itu majelis belum menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan
sebagaimana tokoh politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari
pihak muslim berhak mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan
pendukung Pancasila dalam momen itu.[221]
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama,
majelis konstituante merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya
untuk mengusulkan ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk
negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir dan
teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam
memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non
muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga
menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.[222]
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir
mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi
ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di
atas adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung
soal nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan
istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.[223]
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non,
yang terpenting adalah seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak
bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya
dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya.[224]
Dan untuk syarat sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi:
agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam
menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa
dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.[225]
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara
menurut Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak
diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar
ketetapan agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan
cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.[226]
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di
negara-negara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu
selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang
diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli
salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil
peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita,
dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.[227]
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan
sekular, sebab dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara
yang memisahkan agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan
bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap
sehingga ia harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang
sama, yakni contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas
sangatlah liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara
totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara
komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh
Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam
itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan
yang telah ada di dunia ini.[228]
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem
pemerintahan demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam
pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan
azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad(despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan.[229] Bukan berarti bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis Syura,
sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan hanyalah
masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan dasar
negaranya.[230]
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan
yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan
pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan
untuk menghilangkannya.[231]
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi
sistem kenegaraan Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada
instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai
bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan
demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang
baik. Akan tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai
sifat-sifat bahaya.[232]
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”.[233]
Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan
kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat
melampaui H{udud(batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.[234]
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana
sesungguhnya demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang
konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan,
“Thestic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.[235] Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir
di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan
negara tidak dapat dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam
dijadikan ideologi negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari
pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh
diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama
dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan
tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan
tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan
saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel”
dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya
undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia
sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat[236].
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan
dalam pandangan Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya,
hubungan agama dan negara dalam politik Islam tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang lain. Islam baginya
telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai
zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar
dalam masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak
menjadikan “sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.[237]
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
- 1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar
belakang kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan
dalam naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren
Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan
anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya,
tetapi ikut bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya
itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir
mudik di rumah kakeknya.[238]
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke
Jakarta, sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama
Republik Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta.
Keluarga Gus Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat
pertokoan Duta Merlin. Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia
semakin akrab dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan
ayahnya saat bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur
termasuk anak yang sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak
heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar
membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.[239]
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu:
main bola, catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan
tahun ia sudah banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat
kabar. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi
cerita.[240]
Buku-buku itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang
memang terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang
diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.[241]
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat
pertemuannya dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah
berpindah ke agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar
Bueller. Dan dari sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai
musik klasik, khususnya karya Bethoven.[242]
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat
sekolah formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas
di sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat
gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping
itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya
saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.[243]
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4
sya’ban menurut penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan
tanggal 7 September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya
selalu diadakan pada tanggal 4 Agustus,[244] hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari
golongan “darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid
Hasyim, yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh
Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya,
bernama Nyai Hj. Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri
Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu
dikenal sebagai Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.[245]
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan
Jakarta, Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya
dimasuki anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah
biasa, menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat
(SD) KRIS, di Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di
sekolahan ini, karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman
Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarganya yang baru di
Matraman, Jakarta Pusat.[246]
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di
Jakarta. Lalu setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan
ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil
menamatkannya pada tahun 1956.[247]
Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur bermukim di rumah salah
seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang ulama kecil yang terlibat
dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan Lebih dari itu, ia juga
termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah).
Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali seminggu di pesantren
Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Maksum. [248]
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa
Inggris dengan baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan
Belanda, serta sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun
ketika ia belajar di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang
cepat.[249] Bagi Gus Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus
Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di
pesantren Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota
Yogyakarta. Ia belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai
Khudori, salah satu pemuka NU.[250]
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren
Tambak beras Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai
pada tahun 1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah,
namun kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan
tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum.[251]
Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an sampai 1963) Gus Dur
mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra
Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang
dan kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak
menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan:
tokoh-tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis
dan Rusia. Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami
tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi
sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done
nya Lenin. Kedua buku itu menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu
partai komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga
tertarik pada ide Lenin tentang ketelibatan sosial secara radikal,
seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).[252]
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada
tahun 1964 Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas
al-Azhar Kairo Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia
sedang berumur 23 tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab
sebanyak 1000 bait (Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus
Dur mengambil spesialisasi bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak
betah belajar di sini karena materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda
dengan apa yang ia dapatkan di pesantren dulu.[253]
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di
organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya.
Dengan demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di
perpustakaan terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.[254]
Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi
al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok
diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di
samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.[255]
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah
di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia
banyak belajar tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan
teori sosial. Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem
Universitas Baghdad ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa
daripada al-Azhar Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai
1970.[256]
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat,
lingkungan baru ini juga membantunya banyak membaca karya-karya
pemikiran seperti pemikiran Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia
juga mulai tumbuh di Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang
Indonesia cukup banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas
Baghdad ini pulalah ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam
di Indonesia.[257]
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke
negeri Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di
sana, tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background
studinya di Kairo dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat
bermaksud pergi ke McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program
studi Islam yang sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia
lebih memilih balik ke Indonesia. [258]
Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia saja,
sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru dunia
pesantren yang menggembirakan.[259]
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan
kehidupan pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan
Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang
sekarang menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang.
Kemudian dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok
pesantren Tebuireng, Jombang.[260]
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam
kepemimpinan nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke
Jakarta, dan mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU,
dan menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan
Pesantren Ciganjur, di Jakarta Selatan.[261]
Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas
di Jakarta termasuk mengajar di dalam program pelatihan bulanan
kependetaan Protestan.[262]
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan
kontak dengan intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti
Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum
diskusi dan lingkaran studi mereka. Meskipun latar belakang
pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur jauh lebih siap untuk
menggagas wacana agama yang bercorak liberal.[263]
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar
dan moderat. Bahkan menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah
menempuh pendidikan formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan
pemikirannya jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana
besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim.
Selain belajar secara otodidak, studinya di Baghdad juga banyak
memberikan dasar-dasar yang baik mengenai wacana liberal yang bercorak
Barat dan sekular.[264]
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah,
kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri
pada Festifal Film Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh
kaum santri (NU).[265] Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984,[266] hal ini bisa dilihat dari gagasan-gagasannya,[267] seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.[268]
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat
International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah
and Secular Law, di Den Haag.[269]
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus
Dur dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon
Magsasay” dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan
bergengsi yang diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi
kemajuan yang khas bagi bangsanya.[270]
Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam
aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini
ia menjabat sebagai ketuanya.[271]
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan
gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama,
kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari
kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh
saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh
pembawa gerbong
reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat
itu masih aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan
bahwa PKB bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan
negara sekuler.[272]
Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan “poros
tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi kepresidenan
pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang
sangat demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam
percaturan politik nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan.
Namun sayang masa pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan
pada tanggal 23 Juli 2001 secara inkonstitusional karena sikap
politiknya yang mengundang banyak kritik, dari pengamat dan lawan
politik yang mengantarkannya dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan
santri, yang kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan
politik di awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik
setelah ia dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger
masyarakat muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan
Legium Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa,
Sulawesi Utara.[273] Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
- 2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal
yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang
melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar
bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan
negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu
pemisahan antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd
al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas,
yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara
ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena
menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan
terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik,
melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan
konflik horizontal.[274]
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.[275] Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah(Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur,
sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik,
penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep
yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan
negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan
dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya
mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari
keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat
melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain,[276] padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti
Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara
hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak
mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama
masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas
merupakan hukum alam atau Sunnatullahdi negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.[277]
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan
membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama,
padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan
di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan
negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa
agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan
tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.[278]
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang,
toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa
Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang
lahir dalam konteks protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial
Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan
keadilan.[279]
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara,
bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin
ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai
egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan
pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.[280]
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.[281] Ini dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan
dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur
menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam
Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang
saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu
sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada
tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin
dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan
menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan
masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi
mendasar bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap
organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan.
Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi
jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan
kepercayaannya masing-masing”.[282]
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa
Pancasila negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas
negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan
saya pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia
dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam, atau malah
disalahgunakan oleh keduanya.[283]
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun
1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan
jenuh mendengar Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan
hampir setiap hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah
Pancasila saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan
kebijakan, dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus
berlabelkan Pancasila , seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila ,
bahkan sepak bola Pancasila .[284]
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang
selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka,
antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad
Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan
bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam
kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin
memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang
berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.[285]
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang
fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia
menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan
syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam”
yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang
dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi),
bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat
diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen
masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alatiImka>niyyah Wad‘ihi). [286]
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan
Pancasila sebagai ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping
itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah
pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri
tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif, seperti yang
dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang pernah ada tiga
sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf,Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.[287]
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-S}ultaniyyah),
Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun (Muqadimah), yang telah
banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata paham kebangsaan
ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.[288]
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu
Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat
membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga
diperlukan rasa ‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk
membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun,
alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.[289]
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara
sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab
itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di
Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di
negara ini.[290]
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami
ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai
pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan
relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.[291]
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua,
mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa
dikenal pribumisasi Islam. Dan kedua tawaran itu kemudian mengarah pada
penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan
sosio-kultural dan politik di Indonesia.[292]
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il(tujuan
dan cara penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas
melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan
pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu,
menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian menjadi
masalah sekunder, dan yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.[293]
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika
sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk
kenegaraan tertentu.[294]
Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya dalam
memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.[295]
Selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka
secara penuh, maka bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat
pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi
politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal
Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama
organisasi tersebut. Lebih lanjut, Pancasila dalam pandangan NU
merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang
tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.[296]
Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa
pemerintahan yang berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan
dalam negara damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia
acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak
orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur
membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan
politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan
keabsahan di mata hukum fiqih.[297]
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran
negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan
realistik.[298]
Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang
sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur
sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada
pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan
negara dapat ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam
konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi
negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di
mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh
sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis
dan berbagai tuduhan minor lainnya.[299] Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis,
Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke
mana para pengikutnya tidak mau ikut.[300]
Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak
terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang
kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud
menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan
menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme dan
anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur
dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian
nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia
ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.[301]
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika
Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap
positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa
watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus
dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan
dengan sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa
yang baik dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap
rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan
sosialnya, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi Pancasila daripada
Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan
pengekspresian gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa
pemikiran politiknya didasarkan pada visi politik yang demokratis,
sekular dan nasionalis.[302]
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang
esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini
menurutnya penting untuk disampaikan karena beberapa muslim memandang
Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia
kemudian menunjukkan bahwa ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU
pada tahun 1945 juga sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.[303]
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan
penggunaannya terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi,
perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik
formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam
yang pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke khittah
1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk
memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan
keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru.
Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan
menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu
pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan
Pancasila untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun
1970-an dan awal tahun 1980-an.[304]
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala
Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi
agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya
pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak
penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain,
Namun pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu
dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000.[305]
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni
pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan
penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah
mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara.
Akan tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran
selama kurun masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.[306]
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui
power negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas
keinginan itu melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk
menguji wacana tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai
politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam
Jakarta”[307]
untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses
amandemen 1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena
banyaknya kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap
agama dan politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.[308]
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama,
Gus Dur selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam
menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari
kesadaran pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian
masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara,
merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan,
yakni menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena
pengistimewaan agama tertentu dalam negara yang plural ini, berarti
pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi
urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu
mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan
eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan
gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas,
yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik
melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia
menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai
kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa
dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya,
partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi
pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
- A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa
gambaran kedua tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa
pemikiran keduanya. Di antaranya mengenai latar belakang kehidupan,
karier politik, dan organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran
politiknya. Selain itu ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan
pertimbangan sebelum menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut
dalam kategori aliran tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype
modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak
mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu
diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak
dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian dalam
situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang
idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan
Islam sebagai ideologi negara.[309]
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam
generasi kedua pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam
kultural. Dalam pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu
yang sulit dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas
antara aktivis politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini
lebih memilih garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang
sesuai dengan konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.[310]
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan,
tetapi pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai
panggung politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi
pada kelompok modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama,
secara internal, praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang
menyimpang dari ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang
kemudian menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu
pembaharuan doktrin Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban
Barat sekular yang mulai masuk dalam percaturan peradaban Islam,
dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang dominan menyebabkan
kemuduran dunia Islam.[311]
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam
beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat
Islam, sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke
al-Qur’an dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik,
abadi dan akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis
Islam banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada
dasarnya doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan
rintisan yang tepat dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja
doktrin tersebut kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid
dan akhirnya melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik,
misalnya dengan menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai
alternatif menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah[312]:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ !
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan
sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan
hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama,
maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis
dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.[313]
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau
analisis oleh M. Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan
Islam dan negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran
kedua tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam
merespon hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua
tokoh tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri
ini adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata
bagi umat manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur
dikenal sebagai pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik
terkemuka di negeri ini, keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk
menjadikan Islam sebagai agama pembebas yang membebaskan manusia dari
segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir
dengan Gus Dur dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan
mereka tentang tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam
sebagaimana yang telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam
Islam hanyalah prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti
musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur
dasar dan pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari
itu dalam membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan
syarat-syarat sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai
wilayah, rakyat, Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber
hukum atau kekuasaan lain yang tidak tertulis.[314]
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan
secara tegas bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun
sebuah negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa
dan negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat
khalifah sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme
yang berbeda satu sama lain,[315]
ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak mempunyai mekanisme baku
sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan
kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh
tersebut merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan
terbentuknya suatu masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi
sebagaimana yang dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai
dasar di atas Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya
kompatibel dengan aturan demokrasi.
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang
tidak sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab
walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan
tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham
fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga
dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan
sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana
keislaman yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan
bagi pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan
doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan
berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam
sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini
ditujukan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara
rakyat dengan penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan
keadilan, kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam
secara radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum
terpadu dan lengkap hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas
yang melakasanakan penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah
memerlukan dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian
tujuan pertama didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan
melindungi Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang
seutuhnya, artinya tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep
ini. Dengan demikian ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai
paradigma dalam memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya
sama-sama menerima demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini
sudah jelas terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam
memandang Pancasila di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar
dalam berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan
demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini.
Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
- B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus
Dur dalam memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental
terdapat dua hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M.
Natsir dengan tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme,
menurutnya sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham,
tujuan, dan sikap yang hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para
sekularis mengakui adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya
tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam
sikap, tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin
membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini.
Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa
negara Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep
ini jelas bercorak La>-diniyyahyang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.[316]
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab
sebelumnya, bisa dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya
tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis mutualisme.
Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara di
sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan
penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif.[317]
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber
motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila).
Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai
yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan
hidup bangsa.[318] Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup
sekuler, mengingat gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan
simbolisasi agama terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah
berkeinginan untuk memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum
agama tertentu, seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara,
karena menurutnya hanya akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di
negara yang sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan
pengingkarana terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan
prinsip-prinsip pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat.
Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila sebagai ideologi negara sudah sesuai
dengan konteks demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi
diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur
merupakan konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas
dikatakan Natsir, Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan
konsep demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak
meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang berpedoman pada ketuhanan.[319] Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan) terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan
untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial,
dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan
menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan
seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.[320]
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai
suatu kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan
dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan
manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan
Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.[321]
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini,[322]
karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas
menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam memperoleh
keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf(saling mengenal); 2) Syu>ra (musyawarah); 3) Ta‘a>wun(kerja sama); 4) Mas}lah}ah(menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir(perubahan).[323]
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan,
akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk
dalam birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan
pemeberlakuan syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur
justru sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi
negara terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan
syari’ah di negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman. Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.[324] Sedangkan dalam al-Qur’an kata Syir‘ahatau Syari‘ahdimaknai agama,[325] baik sebagai jalan lurus (T{ariq Mustaqi>mah)
yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang
harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad S.A.W. ditanya tentang syari’at
Islam, beliau menjelaskan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji.[326]
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah
pada masa nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah
essensial dalam ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah
yang telah diyakini kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli
fiqh) mendefiniskan Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah
bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan
umat manusia untuk mencapai kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih menyatakan bahwa Syari‘ah
merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, karena fiqih merupakan
hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an
tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama. Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi ma>laha wa ma> ‘alaiha(pengetahuan
seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya), definisi ini memberi
gambaran bahwa fiqih meliputi aspek kehidupan, baik dari akidah, hukum
sampai pada tingkah laku kehidupan.[327]
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci (‘adilah tafs}iliyyah),[328]
selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih adalah ilmu tentang
perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang diperoleh dari
aplikasi teori Istidla>latau pencarian hukum dengan dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada
pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada
kepentingan dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih.
Dan sebagai wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan
diinterpretasikan merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian,
kreativitas itu harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana
dalam kaidah fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis
membedakan gagasan kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah
tertentu mereka juga mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir
yang cenderung idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang
kemudian menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain
itu Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama
Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga
cukup mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada
masa kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan
bangsa ini melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus
Dur dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa
yang dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih
banyak diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian
melahirkan polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme.
Gerakan modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah
satu respon intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang
secara umum menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan
menyesuaikan diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri
sebagai agama secara eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk
mengembalikan kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban
yang lain, dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan
tuntutan zaman. Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena
dasar argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang
baru lahir pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam
merespon tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas
seharusnya tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan
nilai-nilai baru, seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan
modernis Islam saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas
harus dilihat sebagai proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh
transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang
cenderung dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern
yang mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali,
seperti apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح !
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,[329] yaitu:
درء المفا سد مقدم على جلب المصالح !
الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة !
الضرورة تبيح المحظورة !
Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan
kelompok modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah
dibakukan lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih,
maupun melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu
menjawab tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai
sistem kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan
menjurus ke situasi traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman
kontekstualisasi ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai
berikut: 1) asas menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas
sejarah. 4) asas deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi
Islam. 6) asas kesejarahan 7) asas pluralitas. 8) dan asas konvergensi.[330]
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa
disimpulkan bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam
memandang relasi Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan
negara tidak dapat dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas
paham sekular, sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham
sekular, memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan
nilai-nilai agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan
bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap
mereka dalam menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun
Pancasila merupakan hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi
sosialnya, akan tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi
kemaslahatan bangsa Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih
memilih Islam sebagai ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan
ideologi ini masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan
bernegaranya.[331]
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M.
Natsir dan Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini
adalah bahwa pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh
realitas sosial politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang
kemudian melahirkan klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan
neo-modernisme. Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut
ini.
PERSAMAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
|
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang
|
M. Natsir |
Gus Dur |
|
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Gerakan dakwah
|
Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
|
- C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan
dengan wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin
menambah khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya,
pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap
kehidupan politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim
selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi
pimikiran kedua tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang
bersifat institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication). Pertama,
implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran suatu
lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka
pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi personal, yang
berarti pemikiran mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai
saja, tetapi juga terhadap praktik dan pemahaman masyarakat dalam
bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak
umum, sejak keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama
kali di Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil
mengantarkannya ke kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir
di partai ini sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya
memang bersifat idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah
politiknya, banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam
Indonesia. Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap
mendapat tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an
ini, bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini,
tidak hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan
politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat
mempengaruhi karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia,
di antaranya Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII.
Dalam pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam
memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia,
bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai
media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan
modernis muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya
sama-sama bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara
menerapkan pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian
dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi
visi dan strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno,
selain disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus
pemimpin partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform
partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya
sebagai representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai
yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu mentransformasikan hukum
Islam menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan
ilmu pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian
diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya
untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah
yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan
memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).[332]
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir
mempunyai pengaruh yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini.
Meskipun partai Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri
dari berbagai aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis),
namun pada perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh
pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja
menemui jalan buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan
sebagai kelompok yang berhaluan ekstrem kanan[333]
serta dinilai berpotensi melahirkan kekacauan nasional karena berupaya
mendirikan negara Islam di tengah masyarakat yang plural, sehingga pada
proses selanjutnya politik Islam seringkali menerima intimidasi,
pengekangan dan pengkebirian hak politiknya oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya
membuat mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan
membentuk sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme
dan semangat Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya
dengan jalan penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini,
asalkan pemimpin dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar
kepemimpin, sehingga pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai
Muslimin Indonesia” (Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan
Lukman Harun, dua pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.[334]
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga
masih banyak mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB
(Partai Bulan Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan
eforia politik pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai
perjalanan sejarah yang lebih panjang, yakni dari masa politik orde
lama, orde baru dan sampai sekarang masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah
dirintis oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir,
K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang
sebelumnya bergerak dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah
Islamiyyah (FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989,
pendiriannya dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim
tersebut, atas gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.[335]
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai
Politik Islam Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu
diurungkan karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi
di masa lalu dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan,
sehingga generasi baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan
sangat berat menanggung beban moral apabila tidak mampu menjaganya, dan
akibatnya akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.[336]
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran
M. Natsir secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap
pembentukan partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi,
dan PBB. Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh
oleh pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai
Islam itu adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan
prinsip-prinsip Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan
masalah-masalah masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan
sosial ekonomi, sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan
negara dan seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai
ini tidak pernah mereka tinggalkan. Sehingga tidak aneh kalau kelompok
ini sangat kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana
yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga
cukup berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman
sekarang. Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis
seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra.
Meskipun tidak sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan
negara, akan tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka
terkesan Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat
apresiatif dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah
perpolitikan bangsa ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah
kenegaraan maupun keagamaan. Apalagi mengingat figur tokoh Islam
Indonesia yang sangat dikagumi Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh
sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat
Natsiris”.[337] Ini terlihat dari sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme
dan sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan
dari ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara
imprerialisme baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.[338]
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara
adalah saling bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa
dipisahkan, oleh sebab itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik
itu sekulerisme moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut
tampak jelas bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah
besar.[339]
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas
wacana sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak
Nur juga pernah menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini
disebabkan inovasi pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam
modernis yang lebih tua saat itu,[340] bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.[341]
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga
sangat dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini
terlihat bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya,
yakni PBB (Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis
mempertahankan Islam sebagai asas dasar partainya.
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup
mewarnai manuver politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan
organisasi sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural
politiknya selalu muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini.
Hal ini bisa dilihat dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU
yang saat itu masih berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru
sebagai embrio gerakan anti Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out
para tokoh NU dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan
P4. Menurut Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara
ini yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971
ia menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku
Politik, kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto
untuk menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”.[342] Prilaku inilah yang membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto
pada Rapim ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak
mencoba mengubah Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out”
(walau tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan
masalah P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan
anti-Pancasila yang harus diwaspadai.[343] Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu
sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon
kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang
paling penting atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke
khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga
independensi politik NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam
menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa
pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di
antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf
Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan
pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur
terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme dan
Islam.
NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang
kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia
bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus
Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam
sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia
mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena
beberapa alasan.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta
nasihat para pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno
merumuskan lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa
sebenarnya tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena
Islam tetap bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak
didasarkan pada Islam resmi.[344]
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan
nasionalis-Islam, Akhirnya pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas
Islam besar pertama yang menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya,
yang kemudian dipertegas kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo
Jawa-Timur bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan
UUD 1945 adalah merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan
memerintah kepulauan Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan
tersebut ditegaskan di tengah-tengah iklim politis yang saat itu
benar-benar dalam keadaan memanas antara Islam dan negara, yakni pasca
peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta.[345]
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq[346]
(almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung
jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam
yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah
menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena
merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak
mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia
pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap
menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB
dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa
Bisri, K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.[347]
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd
kalau PKB tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian
besar yang membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai
NU, ditambah lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU,
meskipun masih juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya.
Pembentukan PKB merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di
garis struktural politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural
melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah) seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur,
masih tetap bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas
tunggal di era reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah
jatuh dan eforia politik Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain
kesempatan, Gus Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil
pernah menyatakan, bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai
yang menginginkan negara sekuler.[348]
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran
Gus Dur terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di
atas bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek
nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang
menjadikan Pancasila sebagai asas partai.[349]
Mengenai dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan
dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB
mengutamakan kepentingan nasional.[350]
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui
Hukum Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan,
karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan
kepentingan-kepentingan nasional dan bukan sebuah negara agama.[351]
Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB
tidak mengusung simbol-simbol Islam kemudian dikatakan partai yang tidak
Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB
adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka
main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan
mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan.
Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.[352]
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang
berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan
Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.[353]
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak
keislaman yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan
Partai yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung
tinggi kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan
persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah”.[354]
Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam sedemikan rupa, akan tetapi
dalam kenyataannya tetap tidak membuat partai ini tergoda untuk
menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di mana sebuah partai yang nota bene
berbasiskan muslim santri pedesaan ternyata mampu membuat mereka
(konstituennya) menerima pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau
Islam-kultural dibanding Islam-formal. Pemakaian Pancasila sebagai
asas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam,
mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dilembagakan secara formal,
tetapi yang penting adalah nilai ajaran Islam harus tercermin dalam
kehidupan sehari-hari.[355]
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur
juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh
politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi
sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan
misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”,
sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga
menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan
malah menjadi alat legitimasi politik.[356]
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola
pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh
ini merupakan duet yang ideal.[357]
Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan
etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan
bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita
mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah negara yang
berdasarkan Syari‘at Isla>m.[358]
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas
tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem
atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk
menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang
beradab.[359]
Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat
berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses
demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan.
Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan
masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya
akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus
ditinggalkan.[360]
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB,
kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan
lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi
juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan
Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan
karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran
kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur
seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti
pembelaannya ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata,
tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif
baginya.[361]
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari
jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia
politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard
Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun
demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya
bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih
sebagai Ketua Umum PKB.
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku
inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur.
Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi
tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti
yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU
dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah
untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul
banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita
adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat
menkounter radikalisme ini.[362]
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m
tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu
disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang
mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang
Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.[363]
Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini
masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik
dalam memahami agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil
Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat
kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia
politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap
agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang
cenderung membeku baginya.
Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam
Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya
sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung
dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya.
Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama
dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual,
dan Islam Universal.
Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di antaranya yaitu:[364] Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua,
pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran
Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang
merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab,
potong tangan, rajam, jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab
lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu
hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib
diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara
kekuasaan politik dan agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi,
sedangkan pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi
masyarakat melalui prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai
universal agama[365] tetap diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai
tuntutan pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa
Islam sebagai agama adalah masalah privat.[366] Oleh sebab itu menurutnya, Islam tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita (privat),
dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya penyempitan
pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama, padahal perbedaan
itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara
pandang yang menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama
haruslah dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di
atas, agar kesucian agama tetap terjaga.[367] Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai merk
atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai
substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan
budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.
BAB V
PENUTUP
- A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis
kondisi sosial politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan
tetapi secara ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih
terus mewarnai panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa
dilihat dari implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran
politik Islam yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya,
penyusun simpulkan sebagai berikut:
- Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.
- Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦) !
Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ !
Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis
juga sangat mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting
sosial maupun aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di
lingkungan Islam modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan
pemurnian ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan
Islam tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan
mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.
- Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya, pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis, yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai
kelompok realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial.
Meskipun berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup
mewarnai di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif
dalam merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
- B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam
kehidupan politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde
lama ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami
metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah
tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai
Islam.
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana
menyikapi relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik
beratkan pada perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun
hadapkan pada dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak
aspek lain yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru
sebagian masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh
tersebut. Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam,
eksistensi partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap
pemberlakuan Syari‘at Isla>m.
Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun
mengharapkan saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan
atau kekurangan yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya
ini merupakan buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual
penyusun, sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelompok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-’Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-’Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.
—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945
dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis
Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.
———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.
———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran
Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan
Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme
dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai
Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman
Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M.
Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
—————-, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.
Yogya Post, 12 April 1991, hlm. 2.
Lampiran I.
TERJEMAHAN
Hlm |
F.N.
|
Terjemahan |
18
18
34
52
69
113
125
125
125
|
38
38
75
130
185
312
329
329
329
|
Bab I
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan
kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Bab II
Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Bab III
Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Bab IV
Kebijakan penguasa yang diberlakukan untuk warga negara harus didasarkan pada pertimbangan kesejahteraan.
Menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan sebelum melakukan kemaslahatan.
Kebutuhan setara dengan keadaan darurat.
Keadaan darurat kemungkinan dihalalkannya yang dilarang.
|
Lampiran II.
BIOGRAFI TOKOH-ULAMA
- 1. Abu al-A’la al-Maududi.
Lahir pada 25 September 1903 M (3 Rajab 1321 H) di Aurangabad India Selatan, dan berasal dari keluarga syarif
(keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi yang bermukim di Deskan.
Ia sempat berkiprah di Dar al-Islam, sebuah proyek pendidikan di Punjab
yang semula diprakarsai oleh M. Iqbal, namun ketertarikannya pada
politik memalingkannya dari Dar al-Islam. Momentum dari aksi politik
Maududi adalah berdirinya Jema’at Islam pada 1941. Ketika India pecah,
Maududi bersama 385 anggota Jema’at Islam memilih Pakistan dan
mendirikan markas di Lahore. Melalui Jema’at Islam Maududi banyak
berkiprah dalam perpolitikan Pakistan, sejak pemerintahan Ayub Khan
sampai Ziaul Haq. Maududi meninggal di Bufallo, New York, pada 22
September 1979 dan dimakamkan di Lahore.
- 2. Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus Sumatera
Barat. Ia pernah belajar di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Lintau
(1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta
sampai sarjana Muda (1941), dan tamat FKIS IKIP Yogyakarta (1968),
belajar sejarah pada Nothern Illionis University (1973) dan memperoleh
gelar MA dalam ilmu sejarah pada OHIO University, Athens Amerika Serikat
(1980) dan meraih gelar ph.D dalam bidang pemikiran Islam diperoleh
dari the University of Chichago, Amerika Serikat (1982). Kemudian
menjadi dosen FKIS IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga dan UII
Yogyakarta, dan pada tahun 1999 ia menjabat sebagai Ketua Umum P.P
Muhammadiyah sampai sekarang.
- 3. Alwi Shihab.
Lahir pada 19 Agustus 1946 di Rappang Sulawesi Selatan,
sebelum terjun di politik ia dikenal sebagai seorang akademisi dan
pengusaha. Alwi mendapat gelar sarjana di bidang Akidah Filsafat di IAIN
Alaudin Ujung Pandang pada 1986, ketika itu ia sudah meraih gelar
Master dari Universitas al-Azhar, Mesir, dalam bidang yang sama. Pada
tahun 1980 ia meraih gelar Doktornya yang pertama dari Universitas ‘Ain
Syam, Mesir dalam bidang Filasafat, karena belum merasa cukup, kemudian
ia hijrah ke Universitas Temple, Amerika, untuk meneruskan studinya di
bidang Agama. Sembari meluangkan waktu untuk mengajar studi agama Islam
di almamaternya tersebut. Antara 1995-1996, Alwi mengikuti Program Pasca
Doktoralnya di Pusat Studi Agama-Agama Dunia (The Centre for Studi of World Relegion),
di Universitas Harvard. Dan sejak 1996 ia tercatat sebagai pengajar
agama Islam di Hartford Seminary. Kemudian pada tahun 1999-2000 ia
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI, dan saat ini ia memegang
jabatan penting di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Umum,
selain itu ia masih tercatat sebagai anggota International Connection Commite, American Academy of Relegion, Atlanta, Georgia. Karya-karyanya yang telah diterbitkan yaitu : Inclusive Islam (1997), Muhammadiyah Movement and Controversy With Christian Mission (1998), Sufistic Islam (2001) dan Teaching Islam in the West (segera).
- 4. Amien Rais.
Lahir pada 26 April 1944 di Solo, ayah dan ibunya adalah
aktivis Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan kalangan
modernis Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Sejak
jenjang TK hingga SMA seluruh pendidikannya dihabiskan di
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Setamat dari SMA Muhammadiyah Solo, pada
1962, Amien melanjutkan kuliah di Fisipol UGM, ia juga tercatat sebagai
mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lalu pada tahun
1972 Amien melanjutkan pendidikannya di Universitas Notre Dame, Indiana,
AS. Pada tahun 1974 ia berhasil meraih gelar Master of Art (MA),
kemudian pada tahun 1975 ia berangkat ke Universitas Chichago, AS, untuk
melanjutkan studi Doktornya di Ilmu Politik, akhirnya pada tahun 1981
ia berhasil meraih gelar ph.D. selanjutnya ia juga sempat tercatat
sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar, Kairo
(1978-1979). Selain menjadi Dosen di UGM, pada 1995 Amien juga sempat
menjabat sebagai ketua umum P.P Muhammadiyah. Selain itu. Ia juga
dikenal sebagai seorang politisi, tepat pasca Reformasi 1998 ia
mempelopori berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) dan diketuainya.
sehingga pada tahun 1999-sekarang ia menjabat di birokrasi pemerintahan
sebagai Ketua Umum MPR RI.
- 5. Azyumardi Azra.
Lahir pada Maret 1955 di Lubuk Aling, Sumatera Barat. Pada
tahun 1982 ia menyelesaikan sarjana strata 1 di Fakultas Tarbiyyah IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1986 ia memperoleh beasiswa
Fullbright untuk melanjutkan studi di Columbia University, saat ini ia
menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya tulisnya
antara lain: Islam dan Masalah-masalah Kemasyarakatan, Perkembangan
Modern dalam Islam, Perspektif Islam di Asia Tenggara dan Jaringan
Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
- 6. Fazlur Rahman.
Lahir pada tahun 1919 M di Barat Laut Pakistan, ia termasuk
salah satu pemikir pembaharuan Islam yang liberal dan radikal. Rahman
dibesarkan di keluarga yang memiliki tradisi Madzhab Hanafi yang dikenal
lebih rasionalis dibanding dengan madzhab lainnya. Pada tahun 1942 ia
berhasil meraih gelar MA dalam bidang Sastra Arab dari Universitas
Punjab. Sebelumnya ia pernah diajak bergabung oleh Maududi dalam Jama’at al-Islami,
seraya berkata “semakin engkau (Rahman) banyak belajar maka semakin
beku kemampuan praktismu” akan tetapi Rahman lebih memilih meneruskan
studinya, bahkan menjadi seorang kritikus yang tangguh terhadap
pemikiran keagamaan Maududi. Pada tahun 1950 ia berhasil meraih gelar
Doktor dari Universitas Oxford Inggris dengan desertasi tentang Ibnu
Sina, setelah menyelesaikan studinya Rahman lebih memilih untuk tetap
tinggal di Inggris sambil mengajar di berbagai perguruan tinggi seperti
Durham University, Inggris. Dan Institute of Islamic Studies, McGill
Kanada. Pada tahun 1962 Rahman kembali ke Pakistan dan mendapat banyak
jabatan di negerinya, akan tetapi ia merasa lingkungannya tidak
mendukung pengembangan intelektualnya, akhirnya ia pindah ke Chichago,
Amerika Serikat Departement of Near Eastern Languages and Civilization.
Rahman sudah banyak menghasilkan karya ilmiah, di antaranya adalah Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Islamic Methodology in History, Major Themes of The Qur’an dll.
- 7. Kuntowijoyo.
Seorang dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Lahir di
Yogyakarta pada 18 September 1938. Ia memperoleh gelar MA dari
Universitas Connecticat, Amerika Serikat dan ph.D pada 1980 dari
Colombia University, selain menerbitkan banyak karya tulis yang
terhimpun dalam beberapa buku, Kunto juga dikenal sebagai budayawan yang
banyak menghasilkan karangan-karangan fiksi, di antara
tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan yaitu: Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997) dan Muslim tanpa Masjid, Esai-esai Agama Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Trasendental (2001).
Seorang guru besar pemikiran politik Islam IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. Ia pernah
nyantri di Gontor sampai tahun 1975, lalu melanjutkan di IAIN Jakarta
sampai tahun 1982. Dan meraih gelar Master (1988) dan Doktor (1991) dari
University of Califonia Los Angeles (UCLA). Selain seorang akademisi,
ia juga aktif di banyak organisasi seperti Muhammadiyah, ICMI, MUI,
bahkan sempat menjadi aktivis Golkar, dan saat ini menjabat sebagai
Sekretaris Umum MUI Pusat dan menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah.
- 9. Munawir Sjadzali.
Lahir di Klaten 7 November 1925, ia seorang intelektual,
pernah belajar di University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan
memperoleh gelar MA dari Georgetown University, Washington DC, Amerika
Serikat. Setelah menyelesaikan tesisnya yang berjudul Indonesian’s Muslim Parties and Their Political Concept
(1959). Selain seorang intelektual ia juga dikenal sebagai seorang
diplomat dan pernah menjabat berbagai posisi penting di Pemerintahan,
antara lain: Dubes untuk beberapa negara Timur Tengah seperti Kuwait,
Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-19800), menjadi
Menteri Agama selama dua periode yaitu Kabinet Pembangunan IV
(1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Lahir 17 Maret 1939 di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur, Ia
dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur
menyelesaikan pendidikannya dengan meraih gelar ph.D dari University of
Chichago dengan desertasi yang berjudul Pimikiran Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyyah.
Semasa mahasiswa Cak Nur aktif di organisasi, HMI dan IFSO
(International Islamic Federation of Students Organizations). Saat ini,
ia menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Selain
itu menjelang pemilu 2004 ini, Cak Nur juga sedang sibuk dicalonkan
menjadi calon Presiden RI ke-6. Karya-karyanya banyak yang telah
diterbitkan. Di antaranya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1988), Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992).
0 komentar:
Posting Komentar