Hukum Islam Setelah
Indonesia Merdeka
Fase
Aktualisasi (1998 – sekarang)
Ketika masa reformasi
menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum Islam
semakin kuat. Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam
Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di
Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi
terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam
dan Makassar.
Perkembangan hukum
Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai
teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat
luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam
ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang
Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah
UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen
melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan
Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya
sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi
perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum Islam. Secara
garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah Indonesia dapat
dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan
sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi Nangroe
Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki otonomi khusus dalam menyusun dan
memberlakukan hukum Islam di wilayahnya.[42] Penegakan model ini bersifat
menyeluruh, karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga
menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan
adalah Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan
Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan Kabupaten Garut yang membentuk Lembaga
Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).[43]
Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang
Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi
empat hal, (1) penerapan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan beragama,
(2) penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa
mengabaikan kurikulum umum, (3) pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintahan
desa, dan (4) pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[44]
Tindak lanjut dari
undang-undang di atas adalah ditetapkannya Undang-undang Nomor 18/tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Aceh kemudian
menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah guna merinci pelaksanaan dari
undang-undang ini. Maka lahirlah empat perda, yaitu (1) Perda nomor 3 tahun
2000 tentang organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama, (2) Perda
nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, (3) Perda nomor
6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan (4) Perda nomor 7 tahun
2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Fenomena pelaksanaan
hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya
berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka muncullah
perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II.
Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok, Padang
Pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tangerang, Cianjur, Gresik,
Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi. [45] Pada
umumnya perda-perda syari’ah yang ditetapkan oleh pemda mengatur tiga aspek,
yaitu: (1) menghapus kejahatan sosial seperti prostitusi dan perjudian, (2)
menegakkan ibadah ritual di kalangan muslim, seperti membaca Al-Qur’an, salat
jum’at, dan puasa Ramadan, dan (3) mengatur tata cara berpakaian
muslim/muslimah, khususnya penggunaan jilbab dalam wilayah publik.[46].
Materi perda syari’at
Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar
saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda
syari’at tersebut, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat,
Infaq dan Sadaqah, penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan
penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
Fenomena munculnya perda-perda
syari’at di satu sisi menunjukkan arah baru perkembangan hukum Islam di
Indonesia. Namun di sisi lain banyak ekses yang ditimbulkan terkait dengan
munculnya perda-perda ini. Menurut Muhyar Fanani, keberadaan perda-perda
syari’at ini tidak akan berlangsung lama. Hal ini dikarenakan oleh tiga hal,
Pertama, perda-perda tersebut tidak menyentuh langsung kebutuhan mendesak
masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan
sebagainya. Kedua, perda-perda tersebut belum tampak efektif terutama
menyangkut perilaku para pengelola pemerintahan. Ketiga, perda-perda tersebut
tidak didukung oleh nalar publik. Aturan dalam perda lebih mengedepankan kulit
dan tidak menyentuh substansi syari’at. Karena terjebak pada kulit sehingga
menimbulkan polemik, termasuk di kalangan umat Islam sendiri.[47]
Sustainsi dan
Resistensi Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Membaca sejarah
perkembangan hukum Islam di atas, memunculkan satu pertanyaan tentang bagaimana
masa depan kedudukan dan keberlakuannya di Indonesia. Jawaban pertanyaan ini
tentu tidak mudah, karena harus melihat berbagai faktor yang mendukung adanya
penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan
resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu
bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia
sudah diangap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial.
Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah membaca berbagai peluang atau
prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di
Indonesia.
Secara politis maupun
sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai peluang bagi
pemberlakua hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan
hukum Islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum Islam yang luas,
serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan hukum Islam
sejajar dengan sistem hukum yang lain, dalam arti mempunyai kesempatan yang
sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek
yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis
maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas,
bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional.
Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan. Hukum merupakan penjelmaan dari
struktur ruhaniyah suatu masyarakat atau sebagai penjelmaan dari nilai-nilai
sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.[48]
Di sisi lain, kenyataan
bahwa Islam merupakan agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang
menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai
lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang
mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya semakin banyak
populasi muslim, maka semakin banyak aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun
realitas ini tidak serta merta menjadi niscaya, karena sangat tergantung pada
bagaimana keinginan dan upaya umat Islam mengimplementasikannya. Perdebatan
pada saat menentukan bentuk negara dapat menjadi cermin bagaimana menyatukan
umat Islam dalam visi dan misi yang sama tentang pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia.
Faktor pendukung lain
terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum
Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu
mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Nilai, asas dan
karakteristiknya dapat menjadi landasan dan sumber hukum. Pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan mengabil nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai
norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis untuk dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Penuangannya dapat melibatkan nilai-nilai budaya
lokal yang telah berlaku dalam masyarakat, sehingga warna Indonesia sebagai
identitas budaya tetap terwujud.[49]
Faktor keempat yang
juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam. Secara
struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politk Indonesia
menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai
organisasi Islam setidaknya dapat menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai
keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dengan daya tawarnya organisasi
Islam dapat menyalurkan aspirasi anggotanya dan berpartisipasi aktif dalam
pembangunan politik.
Keempat faktor di atas
memberikan gambaran betapa hukum Islam memiliki peluang yang besar untuk
menjadi hukum nasional. Namun semua itu tergntung bagaimana umat Islam
mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan visi tentang
Islam, terutama diantara kalangan yang disebut fundamentalis dengan meeka yang
modernis atau liberalis. Tanpa kesatuan visi, maka cita-cita untuk
mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi angan-angan, atau hanya
tampil dalam wacana diskusi-diskusi di kalangan umat Islam.
Di samping peluang atau
prospek positif di atas, perlu dicermati juga sejumlah hambatan yang menjadi
penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Secara sederhana faktor
yang kurang mendukung prospek hukum Islam di Indonesia terdiri dari faktor
internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’
institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum Islam. Sedangkan
faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap
bidang-bidang hukum tertentu.
Belum kaafaahnya
pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam
implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau
hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapatkan perhatian khusus. Namun
hukum-hukum selainnya seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh
atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang
berkaitan dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius.[50] Hal
ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan
eliminasi terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam berlaku
sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk memutuskan semua
jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan
politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, di mana hukum pidana dan tata
negara digantikan dengan sistem hukum Barat/Eropa.
Pola dikhotomi hukum
privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru
hanya memberikan kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam. Hukum publik
tetap menjadi monopoli pemerintah, yang masih tetap memberlakukan hukum
peninggalan Belanda. Pengadilan Agama, sebagai institusi resmi, hanya berwenang
menangani perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama
Islam, dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf serta
sodaqoh yang dilaksanakan menurut hukum Islam.[51]
Kurang
melembaganya hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum.
Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah
kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara. Sehingga
dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk kepada undang-undang yang
diberlakukan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama
dengan cara penegakan diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran
agamanya. Pola penegakan hukum preventif dari kaidah agama tersebut sangat
efektif dalam membantu menetapkan pola penegakan hukum negara secara
prefentif-represif, agar masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara
dan kaidah agama. Dengan demikian syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi
diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan
hukum positif.
Penutup
Perkembangan hukum
Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat
Islam sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal
tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun
sebaliknya, jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah
menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang mewarnai
sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga masa
kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat
bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
- Adurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1991
- Ahmad Azhar Basyir, “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional”, dalam Artidjo Al-Kostar (ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH UII, 1997
- Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
- Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
- Ario Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
- Bolland, BJ., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Graffiti Press, 1995.
- C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Hukum ISLAM DI INDONESIA

(Tinjauan Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan,
Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek Penerapannya)
makalah
Disampaikan
Pada Diskusi Ilmiah Yang diselenggarakan Oleh Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama Republik indonesia
Di The
SUN Hotel Jl. Pahlawan No. 1 Sidoarjo
Pada
Tanggal 18 – 20 Februari 2010
Oleh :
M. Djamaluddin Miri
MAHAD ALI HASYIM ASY'ARI
PONDOK PESANTREN TEBU
IRENG
JOMBANG
2010
0 komentar:
Posting Komentar